You are on page 1of 21

BAB IV

ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA


PADA MASA PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA
DAN ANALISIS TENTANG FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS
A. ANALISIS TENTANG KESADARAN BERAGAMA PADA MASA
PUBERTAS TINJAUAN PSIKOLOGI AGAMA
Bahwa keadaan jiwa pada masa pubertas berada dalam masa transisi dari
masa anak-anak menuju kedewasaan, maka kesadaran beragama pada masa
pubertas juga berada pada masa peralihan dari kehidupan beragama masa
anak-anak menuju kehidupan beragama yang lebih mantap. Perkembangan
jiwa pebertas ditandai dengan keadaan jiwanya yang masih labil dan
mengalami kegoncangan jiwa, daya berpikir yang abstrak, logik dan kritis
mulai menunjukkan tanda-tanda perkembangan. Selain itu, keadaan emosinya
semakin berkembang, motivasinya bersifat otonom dan tidak hanya
dikendalikan oleh dorongan biologis semata, tapi sudah dikendalikan oleh
aspek-aspek yang lain (misalnya aspek psikologis dan sosio-kultural) yang
juga ikut mendorong motivasinya.
Dari timbulnya perkembangan jiwa yang dialami masa pubertas tersebut,
mengakibatkan keadaan kehidupan beragama pada masa pubertas mudah
goyah dan mulai timbulnya keraguan dalam keimanan, kebimbangan dan
konflik batin. Tapi di sisi lain, kesadaran beragama pada masa pubertas mulai
menunjukkan penghayatan yang mendalam, ini terlihat dalam hubungannya
dengan Tuhan sudah adanya kesadaran dari dirinya,1 karena seseorang
melakukan perilaku beragama semata-mata didorong oleh keinginan untuk
menghindari keadaan bahaya yang akan menimpa dirinya dan akan memberi

Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1995), cet. III, hlm. 43

rasa aman bagi diri sendiri.2 Sehingga kesadaran beragama bagi pubertas
merupakan salah satu kebutuhannya sebagai makhluk yang dijuluki homo
religious (makhluk beragama) untuk mengabdi kepada Tuhan yang harus
dipenuhinya.
Sehubungan dengan hal tersebut, di bawah ini akan dijelaskan mengenai
ciri dan sikap kesadaran beragama yang dialami seseorang pada masa remaja
termasuk masa pubertas, yaitu:3
1. Adanya pengalaman ke-Tuhanan yang semakin bersifat individual
Salah satu ciri masa pubertas ditunjukkan dengan semakin mulai
mengenal dirinya, merekapun mengenal dirinya bukan hanya dalam
bentuk jasmaniyah saja, tapi sudah lebih meluas dalam kehidupan
psikologis rohaniyah yang berupa pribadi yang utuh, sehingga
mengakibatkan sikap yang kritis terhadap dirinya dan segala sesuatu yang
menjadi milik dirinya. Dimana segala pikiran, perasaan, keinginan dan
kebutuhan psikologis lainnya adalah milik pribadinya.
Dari penemuan diri pribadinya tersebut, masa pubertas mengalami
masa kesendirian dan terpisah dari pribadi yang lain. Inilah yang
mengakibatkan masa pubertas memerlukan bimbingan, perlindungan,
dorongan dan petunjuk yang membangkitkan kepribadiannya untuk bisa
berkembang. Dalam pencariannya, masa pubertas bisa saja menemukan
pandangan, ide dan falsafah hidup yang justru bertentangan dengan
keimanan yang telah menjadi bagian dari pribadinya, sehingga
mengakibatkan kebimbangan, kegelisahan, konflik batin dan penderitaan
bagi dirinya sendiri.
Dalam keadaan labil, tentunya masa pubertas mencari ketentraman
jiwa dan pegangan hidup yang abadi guna menepis segala kebimbangan,
kegelisahan dan konflik batin yang mereka alami. Dari penghayatan dan
sikap kritisnya yang dilakukan, akhirnya pubertas menemukan pelindung
2

Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, Psikologi Islami (Solisi Islam Atas Problemproblem Psikologi), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), cet. I, hlm. 71.
3
Abdul Aziz Ahyadi, op. cit., hlm. 44.

dan pegangan hidup yang dibutuhkannya, yaitu dalam bentuk keimanan


dan mengabdi kepada Tuhan.
2. Keimanannya semakin menuju realitas yang sebenarnya
Kehidupan beragama pada masa pubertas bukan hanya memiliki
pemikiran secara kongkret, namun kemampuan berfikirnya sudah mulai
berkembang ke arah yang abstrak. Mereka sudah mampu menemukan.
memahami dan menerima ajaran agama yang berhubungan dengan
masalah yang gaib dan bersifat rohaniyah dengan kesadaran, seperti:
mereka sudah bisa memahami dan meyakini adanya kehidupan setelah
dunia (alam kubur, hari kiamat dan akhirat), meyakini adanya makhluk
gaib (malaikat, jin dan setan), adanya surga dan neraka, dzatnya Allah dan
sebagainya.
Hal tersebut menimbulkan kehidupan beragama pada masa pubertas
mempunyai pandangan yang lebih luas dan kritis, sehingga pandangan
hidupnya semakin bersifat otonom.
3. Pelaksanaan peribadatan mulai disertai dengan penghayatan yang
tulus
Peribadatan bisa diartikan sebagai sikap dan tingkah laku keagamaan
yang merupakan efek dari adanya penghayatan ke-Tuhanan dan keimanan.
Sehingga peribadatan merupakan realisasi dari penghayatan dan keimanan
seseorang (pubertas) yang ditampakkan dalam pelaksanaan ajaran agama
yang terkandung di dalamnya.
Masa pubertas sering kali mengalami kegoncangan jiwa dalam
kehidupan beragama, ini lebih disebabkan karena sikap kritis yang mereka
miliki. Namun kegoncangan jiwa tersebut justru akan membawanya untuk
menemukan jati diri yang sebenarnya dan pegangan hidup, yaitu: berupa
penghayatan atas keimanan terhadap Tuhan yang mantap demi
ketentraman jiwanya.
Untuk merealisasikan keimanan yang telah merasuk ke dalam
jiwanya, mereka akan terdorong untuk melaksanakan peribadatan dan

ajaran-ajaran agama yang disertai dengan hati nurani yang tulus. Semua
itu dilakukan untuk mencapai makna dan tujuan hidup yang sebenarnya.
Dengan demikian, kecenderungan beragama pada masa pubertas telah
dimiliki sejak mereka lahir karena ini merupakan fitrah yang dibawanya,
walaupun jiwa keagamaan pubertas penuh dengan kebimbangan, kegoncangan
dan konflik batin akibat dari pertumbuhan dan perkembangan yang
dialaminya. Sehingga dari kegoncangan jiwa tersebut, pubertas menemukan
jati dirinya melalui kesadaran beragama yang ditujukkan dengan keimanan
yang benar, penghayatan nilai-nilai agama dan pelaksanaan peribadatan
dengan tulus.
B. ANALISIS

TENTANG

FAKTOR

YANG

MEMPENGARUHI

KESADARAN BERAGAMA PADA MASA PUBERTAS


1. ANALISIS

TENTANG

FAKTOR

PEMBAWAAN

DALAM

MEMPENGARUHI KESADARAN BERAGAMA PADA MASA


PUBERTAS
Bahwa setiap orang termasuk masa pubertas memiliki sifat yang
disebut sebagai homo religious atau homo divinans (makhluk
beragama), maka seseorangpun mempunyai bakat-bakat dan potensi untuk
beragama dan mengabdi kepada Tuhan. Dengan kata lain, seseorang telah
membawa fitrah untuk beragama atau mempunyai instink

religius

yaitu: kecenderungan ke arah beragama.4


Mengenai potensi dan bakat yang telah dimiliki seseorang sejak
lahir, sebagaimana pendapat M. Arifin, dan M. thalib:
Bahwa melatih anak-anak adalah suatu hal yang sangat penting
sekali, karena anak sebagai amanat bagi orang tua. Hati anak suci bagaikan
mutiara cemerlang, bersih dari ukiran serta gambaran, ia dapat menerima
segala yang diukirkan atasnya, dan apabila dibiasakan ke arah kebaikan

M. Arifin, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, (Jakarta: PT. Golden
Terayon Press, 1991), cet. II., hlm. 35.

jadilah ia baik. Tapi sebaliknya, jika dibiasakan ke arah kejelekan jadilah


ia jelek. 5
Sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat Ar-rum ayat
30, yaitu:

! "# $%
7564
3# 2 ./)
01

&
' (# )
$ * ) ! + ,-

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah),


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah
itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mau mengetahui. (Q.S. Ar-rum ayat
30).6
Dari kandungan ayat di atas dapat dijelaskan bahwa Allah SWT
memerintahkan kita untuk menghadapkan wajah kepada agama-Nya
dengan lurus (yaitu harus memurnikan agama Islam) dan diperintah untuk
selalu tetap pada fitrah Allah SWT (dasar agama Islam), dimana Allah
SWT telah menciptakan manusia dengan dasar agama Islam tersebut.
Tidak ada perubahan atas fitrah Allah SWT yaitu Allah telah menciptakan
manusia yang telah ditetapkan-Nya (dengan atas dasar agama Islam). Jadi
barang siapa yang musrik berarti mereka telah merubah apa yang menjadi
ketetapan atau fitrah Allah SWT, dengan kata lain mereka telah keluar dari
agama yang lurus (yaitu agama Tauhid atau agama yang mengesakan
adanya Allah SWT). Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya
(yaitu mengesakan adanya Allah SWT).7
Dari pendapat M. Thalib dan surat Ar-rum ayat 30 dapat diberi
pengertian, bahwa fitrah di sini diartikan sebagai kemampuan dasar yang
suci yang dimiliki seseorang sejak lahir, yaitu: kecenderungannya untuk

M. Thalib, Analisa Wanita dalam Bimbingan Islam, (Surabaya: Al-ikhlas, 1996), cet. I,
hlm. 198.
6
Soenarjo, dkk, Al-quran Dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 645.
7
Bisri Musthafa, Al-ibrizi (Ilmu Tafsir Al-quran Al-aziz), (Kudus: Penerbit Menara Kudus,
tt), Juz 11, hlm. 1391.

beragama atau mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan fitrah ini akan


berkembang tergantung pada proses pendidikan, terutama pendidikan ini
dimulai dari keluarga oleh kedua orang tua, yang dilanjutkan pada
pendidikan di sekolah dan pendidikan di masyarakat.
Dengan

demikian

bahwa

pubertas

telah

membawa

fitrah

kecenderungan beragama sejak lahir, sehingga potensi-potensi untuk sadar


dalam beragama telah ada. Namun potensi-potensi tersebut dapat
berkembang dengan baik ini tergantung pada proses pembinaan, baik
pembinaan dalam keluarga, sekolah maupun masyarakat.
2. ANALISIS

TENTANG

FAKTOR

LINGKUNGAN

DALAM

MEMPENGARUHI KESADARAN BERAGAMA PADA MASA


PUBERTAS
a. Faktor Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama bagi seseorang, sedangkan kedudukan orang tua (bapak dan
ibu) adalah sebagai pendidik yang mempunyai tanggung jawab yang
bersifat ganda, yaitu: tanggung jawab yang bersifat kodrati dan
tanggung jawab yang bersifat keagamaan.8
Tanggung jawab yang bersifat kodrati, karena orang tualah yang
melahirkan anak, sehingga secara naluriyah mereka bertanggung jawab
untuk

memelihara,

memberi

perlindungan,

mengawasi

dan

mengarahkan anaknya dengan rasa kasih sayang. Sedangkan tanggung


jawab yang bersifat keagamaan, yaitu: orang tua bertanggung jawab
untuk mendidik dan membina anaknya dalam hal agama,9 misalnya:
pendidikan tentang keimanan, pengetahuan dan pemahaman nilai-nilai
agama sampai pada pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana perintah Allah SWT dalam surat At-tahrim ayat 6,
yaitu:
8

Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. III, hlm. 204.
Muhaimin, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia,
1989), hlm. 106.
9

7B 4
$ A 2 89$)
( :# $)
(;)
9/)
% /)
<= > ?
@
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka. (Q.S. At-tahrim ayat 6).10
Dari ayat

/)
<= > ?
@ berarti

membenarkan adanya Allah dan rasulnya

wahai orang-orang yang

89$)
( :# $)
(;)
9/)
%

hendaknya sebagian yang satu dapat menjelaskan kepada sebagian


yang lain tentang keharusan menjaga diri dari api neraka dan
menolaknya, karena yang demikian itu merupakan bentuk ketaatan
kepada Allah dan mengikuti perintahnya, dan juga mengajarkan
kepada keluarganya tentang perbuatan ketaatan yang dapat memelihara
dirinya dengan cara memberikan nasihat dan pendidikan.
Jelasnya ayat tersebut berisi perintah atau kewajiban terhadap
keluarga agar mendidik hukum-hukum agama kepada mereka. Hal
yang demikian sejalan dengan hadis yang menyatakan bahwa Allah
memberikan kasih sayang kepada seseorang yang mengatakan bahwa
sembahyangnya, puasanya, zakatnya, ibadah hajinya, mengasuh anak
yatimnya dan tetangganya, mudah-mudahan semua itu dapat
menunjukkan mereka ke surga pada hari kiamat.
Buatlah sesuatu yang dapat menjadi penghalang datangnya
siksaan api neraka dengan cara menjauhkan diri perbuatan maksiat,
memperkuat diri agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan senantiasa taat
menjalankan perintah Allah SWT. Jagalah keluargamu (yang terdiri
dari isteri, anak, pembantu, budak dan saudara-saudara yang lain)
dengan cara memberikan bimbingan, nasehat dan pendidikan kepada
mereka.11
Peran yang diberikan oleh lingkungan keluarga berupa
pendidikan
10

agama

merupakan

dasar

bagi

pembentukan

jiwa

Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 951.


Abbudin Nara, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Al-ayat Al-tarbawiy), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), cet. 1, hal. 198-199.
11

keagamaan masa pubertas, maka pendidikan agama dan penanaman


nilai-nilai keagamaan untuk menumbuhkan kesadaran beragama harus
diperhatikan secara penuh oleh orang tua. Karena semakin
bertambahnya pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman
agama, mereka akan terdorong untuk menghayati nilai-nilai agama dan
selanjutnya mengamalkannya dalam bentuk pelaksanaan ajaran-ajaran
agama yang didasari dengan keimanan yang mantap.
Untuk menumbuh-kembangkan kesadaran beragama pada masa
pubertas, penulis memberi 4 tahapan yang harus dilakukan oleh orang
tua dalam keluarga, yaitu:
1). Menciptakan hubungan yang baik dengan anak (pubertas)
Bahwa keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama
dalam kehidupan seseorang, dimana keluarga sebagai tempat untuk
belajar dan tempat untuk menyatakan diri sebagai makhluk sosial
di dalam berinteraksi dengan kelompoknya.12 Sehingga hubungan
yang baik antara orang tua dan anak harus dibina sejak dini, jangan
sampai orang tua bertentangan dengan anak, karena hal ini akan
mengakibatkan sikap memberontak bagi anak dan selanjutnya akan
lari ke perilaku yang melanggar norma dan ajaran agama.
Dari hubungan yang baik antar anggota keluarga dan
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi sosial dalam
keluarga, bukan hanya menetukan pribadi dan kesadaran beragama
pubertas di dalam keluarga saja, namun juga akan menentukan
kepribadian dan perilaku dalam sosial di masyarakat terutama
perilaku keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Apabila dalam lingkungan keluarga sudah tercipta interaksi
sosial yang baik antar anggota kelompok sosialnya, maka perilaku
keagamaan pubertas kemungkinan besar akan mengikuti perilaku
keagamaan yang diajarkan orang tua. Begitu sebaliknya, apabila
interaksi sosial dalam keluarga terputus (tidak berlangsung secara
12

Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1988), hlm. 180.

harmonis), maka orang tua akan sulit menanamkan nilai-nilai


agama

terhadap

pubertas,

membentuk

kepribadiannya

dan

kemungkinan besar akan berperilaku memberontak kepada orang


tua serta cenderung mencari jalan hidupnya sendiri dan
menghindar dari pengawasan orang tua.
Demi terwujudnya bimbingan dan pengawasan yang baik dari
orang tua dalam pembentukan kepribadian dan perilaku menuju
kesadaran beragama pada masa pubertas, maka perlu adanya
hubungan yang baik antara orang tua dengan masa yang penuh
dengan kegoncangan jiwa tersebut. Jadi tanpa hubungan yang baik
antar anggota keluarga, bimbingan ataupun pengawasan akan sulit
terwujud.
2). Mengembangkan motivasi dan sikap keberagamaan masa pubertas
Motivasi dan potensi beragama yang dimiliki pubertas sejak
lahir, tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya tanpa adanya
pengaruh dari orang lain, terutama dari orang tua.13 Sehingga
dalam lingkungan keluarga peran orang tua untuk mengembangkan
motivasi dan potensi tersebut sangat diperlukan, agar potensi
beragama dapat berkembang ke arah kehidupan beragama yang
benar (agama Islam).
Kegoncangan jiwa terhadap keyakinan dan sikap kritis
sebagai ciri dan sikap keberagamaan yang dimiliki masa pubertas,
menunjukkan masa pubertas memerlukan pembinan ke arah
mantapnya keyakinan terhadap Tuhan. Sikapnya yang kritis diajak
untuk memahami nilai-nilai agama melalui penghayatan.
Terciptanya hubungan yang baik antara orang tua dengan
anak, dapat diambil kesempatan untuk memberikan dorongan atau
motivasi dan perilaku beragama dengan baik, misalnya: orang tua
memberikan
13

pengetahuan-pengetahuan

ajaran

agama,

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000), cet. III, hlm. 198.

membimbing dan mengarahkan untuk bisa meyakini dan


menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.
3). Pembinaan kebiasaan hidup beragama dalam keluarga
Yang dimaksud dengan kebiasaan hidup beragama dalam
keluarga adalah penampilan perasaan keagamaan yang disadari
berupa pengamalan ajaran-ajaran agama yang dilakukan secara
tetap dan terus-menerus dalam hidup sehari-hari di lingkungan
kelompok manusia yang terdiri dari bapak, ibu dan anak.14
Pemenuhan kebutuhan fitriyah seorang anak, hendaknya
dilayani dengan memberikan pengarahan yang dapat menunjang
perkembangan dirinya dan pembentukan pribadinya (tehadap jiwa
dan perilaku keagamaan). Proses ini hendaknya berlangsung secara
berkesinambungan antara orang tua dan anak, sehingga orang tua
dalam keluarga harus selalu mengarahkan pada adat kebiasaan
yang baik terhadap anak.15
Menurut M. Thalib, bahwa perincian tentang kebiasaan hidup
beragama dalam keluarga adalah:
a). Mengerjakan shalat (shalat wajib, sunah dan jamaah).
b). Mengerjakan ibadah di bulan Ramadhan, antara lain:
-

Mengerjakan puasa

Mengerjakan shalat terawih

Tadarus

c). Menunaikan zakat (zakat fitrah dan mal)


d). Ibadah sosial (menyembelih hewan qurban, sedekah, infaq dan
lain-lain)
e). Mempelajari agama, antara lain:

14

Membaca Al-quran

Pengajian agama

M. Thalib, op. cit., hlm. 192.


Aba Firdaus Al-halwani, Melahirkan Anak Saleh (Kajian Psikologi Dan Agama),
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), cet. III, hlm. 87.
15

f). Pendidikan agama atau bimbingan keagamaan berupa:


-

Orang tua memberikan pengetahuan/pelajaran agama.

Orang tua membimbing dan membina dalam pelaksanaan


ajaran agama.

Orang tua memberi pengawasan terhadap perilaku dan


kesadaran beragama.

g). Berakhlak baik (jujur, tidak sombong, pemurah, dan lain-lain).


h). Adab beragama, antara lain:
-

Mengucap salam ketika masuk dan keluar rumah.

Membaca doa ketika akan bepergian.

Membaca doa ketika akan makan dan sesudahnya.

Membaca basmalah ketika akan memulai suatu pekerjaan


yang baik.

Membaca doa ketika masuk dan keluar kamar mandi.

Membaca doa ketika akan tidur dan bangun tidur.16


Untuk mencapai keluarga yang mempunyai pribadi muslim,

maka seluruh anggota keluarga harus mampu melakukan kebiasaan


hidup beragama dalam keluarga, sehingga apa yang telah
dilakukannya menjadi ciri kepribadian muslim untuk keluarga
tersebut.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memupuk kebiasaan
untuk menumbuh-kembangkan rasa cinta kepada hal-hal yang baik,
serta kemauannya untuk merealisasikan dan mempraktekkan
ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
4). Orang tua harus menjadi suri tauladan yang baik bagi anak.
Ketika orang tua akan membiasakan kehidupan beragama
dalam keluarga terhadap anak-anaknya, maka haruslah terlebih
dahulu orang tua melaksanakan perbuatan-perbuatan kehidupan
beragama, sebelum meraka memerintahkan anak-anaknya untuk

16

M. Thalib, op. cit., hlm. 194.

berperilaku agama, karena orang tua dalam keluarga adalah suri


tauladan atas perilaku bagi anak-anaknya.
Juga disebutkan dalam surat Al-baqarah ayat 44, yaitu:

D ( ./) $)
9# $)
(;)
9 ./; #

.#))
<C

7HH4
G* 2 ./)
*
1F
Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu
membaca Al-kitab (taurat), maka tidakkah kamu berfikir. (Q.S.
Al-baqarah ayat 44).17
Apabila kamu suruh manusia berbuat kebaikan dan kamu
lupakan dirimu sendiri, padahal kamu menbaca kitab, apakah kamu
tidak pikirkan?. Teguran keras ini ditujukan kepada Bani Israel,
yaitu kepada pemuka-pemuka agama dan pendeta-pendeta mereka.
Bukan main keras larangan mereka, yaitu: ini haram, seakan-akan
merekalah yang empunya agama itu, padahala diri mereka sendiri
dilupakan. Hanya mulut mereka yang keras mempertahankan
agama untuk dipakai oleh orang lain, adapun untuk diri sendiri
tidaklah dipersoalkan; padahal dia membeca kitab, tetapi intisari
dan isi dari kitab itu serta apa maksudnya yang sejati, tidaklah
mereka mengetahuinya dan tidaklah mereka pikirkan.18
Pada dasarnya setiap orang (termasuk masa pubertas) akan
mempunyai kecenderungan untuk meniru terhadap seluruh gerak
dan perbuatan orang tua, sehingga dari kecenderungan tersebut
orang tua harus mengambilnya sebagai indikasi yang positif dalam
rangka pembentukan dan perilaku anak. Untuk mewujudkan
tercapainya kesadaran beragama bagi anak, maka orang tua harus
bisa menjadi figur yang baik atas perilakunya agar anak megikuti
dan meniru perilaku keagamaan yang ditampilkannya.
17
18

Soenarjo, dkk, op. cit., hlm. 16.


Hamka, Tafsir Al-azhar, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1982), juz. 1, hlm. 190.

Jadi, peranan orang tua dalam keluasga dapat mencapai hasil


yang baik atas pendidikan dan pembinaan agama terhadap pubertas
menuju kesadaran beragama, jika melakukan hal-hal sebagai berikut:
1). Mengusahakan suasana yang baik dalam lingkungan keluarga,
suasana yang baik misalnya: terciptanya hubungan yang baik antar
anggota keluarga, terciptanya ketentraman, terciptanya rasa kasih
sayang dan sebagainya. Hal inilah yang akan membantu proses
pendidikan agama yang disampaikan orang tua dan sekaligus
melatih dalam kesadarannya beragama.
2). Memberi pemahaman terhadap anggota keluarga untuk belajar
berpegang teguh pada hak dan kewajiban masing-masing. Hal ini
juga akan membantu anggota keluarga untuk bersikap disiplin dan
bertanggung jawab, yang selanjutnya akan membentuk pribadi dan
perilaku mereka, khususnya perilaku keagamaan.
3). Mengetahui kebutuhan dan karakter anak. Bahwa dengan
memahami kebutuhan dan karakter anak pada masa pubertas baik
berkaitan dengan fisik dan psikisnya, maka orang tua harus dapat
membimbing dan mengarahkan mereka pada jalan yang benar.
4). Tidak menjadi penghambat atas perkembangan psikis anak, tapi
justru memotivasinya untuk mengembangkan bakat-bakat atau
potensi yang dimiliki anak seusia pubertas termasuk potensinya
dalam beragama yang memang penuh dengan tantangan dan sikap
coba-coba. Namun sikap tersebut justru membawanya melatih
berkreatif dan kritis terhadap sesuatu yang dihadapi, selagi potensi
yang dikembangkannya tersebut tidak terarah kepada hal yang
sifatnya negatif. Sehingga orang tua haruslah memberi pengawasan
terhadap mereka dan selalu memberi pengarahan ke hal yang
sifatnya positif.
5). Membiarkan anak untuk bergaul dengan temannya di luar keluarga.
Pergaulan dengan teman sebaya di masyarakat memang suatu
kebutuhan pada masa pubertas, karena teman sebaya adalah

sebagai pengganti anggota keluarga ketika di masyarakat, namun


pergaulan ini harus tetap terawasi oleh orang tua, jangan sampai
pergaulan ini lepas kendali dan membawa kepada rusaknya
kepribadian pubertas dan berperilaku menyimpang dari ajaran
agama.
Dengan demikian peran keluarga untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kesadaran beragama anak pada masa pubertas sangat
penting, terutama peran kedua orang tua dalam mendidik dan
mengawasi

anak.

Sehingga

jiwa

keagamaan

pubertas

dapat

berkembang dengan baik menuju kematangan kesaadaran beragama.


b. Faktor Sekolah
Bahwa pendidikan agama di lembaga pendidikan akan memberi
peranan terhadap pembentukan jiwa keagamaan dan perilaku
keagamaan bagi siswa. Tapi besar kecilnya pengaruh tersebut sangat
tergantung pada faktor yang memotivasi siswa untuk memahami nilainilai agama, menghayati sekaligus mengamalkannya.
Tujuan pendidikan di sekolah berarti mendidik anak untuk
menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan
merdeka tenaganya. Ini berarti guru tidak hanya sekedar memberikan
ilmu pengetahuan dan siswa memahaminya saja, namun diharapkan
guru dapat menerapkan cara agar siswa dapat memakai ilmu tersebut
sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk pemenuhan kebutuhan lahir
dan batinnya.19 Kebutuhan batin termasuk adalah bagaimana siswa
dapat memahami, menghayati dan mengamalkan pengetahuan agama
yang didapatnya dari sekolah.
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa
kepribadian dan perilaku keagamaan siswa, yaitu antara lain sebagai
pelanjut pendidikan agama di lingkungan keluarga.20 Dalam hal ini,
19

M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1995), hlm. 25.
20
Jalaluddin, op. cit., hlm. 207.

guru agama atau tokoh-tokoh agama di lembaga pendidikan


mempunyai tugas dan tanggung jawab ganda.
Pertama, tanggung jawab untuk mengajar (menyampaikan
ilmunya), karena kewajiban guru agama

(Islam) sebagai seorang

muslim harus saling membantu muslim lainnya dalam menuntut ilmu.


Kedua, tanggung jawab untuk mendidik siswa yang disebabkan
karena pelimpahan sebagian tanggung jawab orang tua kepada
anaknya (karena kenyataan membuktikan bahwa orang tua di rumah
tidak mampu dan tidak mempunyai banyak kesempatan untuk
mendidik anaknya secara baik).21
Menurut Jalaludin, bahwa proses perubahan sikap dari sikap
tidak menerima ke sikap menerima dapat berlangsung melalui 3 proses
perubahan, yaitu:
1). Adanya perhatian
Bahwa pendidikan agama yang diberikan oleh guru agama
harus dapat menarik perhatian para siswa, maka guru agama harus
bisa

mengetahui

karakteristik

siswa,

mengetahui

tingkat

kemampuan siswa serta menciptakan suasana dan hubungan yang


baik terhadap siswa. Hal ini akan menunjang terciptanya perhatian
siswa terhadap materi pengajaran, yang selanjutnya membantu
tercapainya tujuan pendidikan.
2). Adanya pemahaman
Para guru agama harus mampu memberikan pemahaman
kepada peserta didik tentang materi yang disampaikannya. Guru
agama harus bisa merencanakan materi pengajaran, memilih dan
menggunakan metode yang tepat dan memakai media pendidikan
yang cocok. Sehingga dapat memungkinkan para siswa untuk bisa
memahami terhadap apa yang disampaikannya. Pemahaman ini
akan lebih mudah diserap, jika pendidikan agama yang
disampaikan dapat dipraktekkan oleh siswa.
21

Muhaimin, op. cit., hlm. 106.

3). Adanya penerimaan


Penerimaan siswa terhadap materi pendidikan agama yang
disampaikan ini sangat tergantung pada hubungan antara materi
pengajaran dengan kebutuhan bagi kehidupan siswa.22
Adanya sikap menerima tersebut juga ditentukan oleh sikap
guru agama, antara lain seorang guru agama harus mempunyai
keahlian dalam bidang agama dan terutama harus memiliki sifatsifat atau kepribadian yang sejalan dengan ajaran agama. Maka hal
ini akan mendukung dan menentukan keberhasilan pendidikan
agama di sekolah.
Menurut Abdur Rahman An-Nahlawi sebagaimana dikutip
oleh Chabib Thoha, bahwa untuk menunjang penerimaan
pendidikan agama Islam di sekolah, mereka memberikan metode
sebagai berikut:
a). Metode hiwar (percakapan)
Metode hiwar (dialog) adalah percakapan antara dua
pihak atau tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah
pada suatu tujuan. Metode ini digunakan untuk mengetahui
sejauh mana penerimaan siswa terhadap materi pelajaran yang
disampaikan.
b). Metode kisah
Metode ini digunakan agar para siswa dapat mengetahui
kisah-kisah terdahulu, yang selanjutnya dapat mengambil
manfaat sebagai suri tauladan yang baik dalam pengamalan
ajaran agama.
c). Metode amsal (perumpamaan)
Metode ini digunakan untuk memperjelas tentang mater
yang

disampaikan,

dan

perumpamaan

ini

sebaiknya

disesuaikan dengan kebutuhan dan kehidupan siswa dalam


sehari-hari.
22

Jalaluddin, op. cit., hlm. 207.

d). Metode teladan


Para siswa memandang guru sebagai teladan utama bagi
mereka, maka merekapun cenderung akan meniru segala
tindak-tanduk dan perilaku guru. Sehingga guru memegang
peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku siswa
untuk berpegang teguh pada ajaran agama, akidah, cara berfikir
siswa dan sebagainya.
e). Metode pembiasaan diri dan pengalaman
Dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa dan perilaku
keagamaan siswa, maka metode ini penting untuk diterapkan,
sehingga guru agama harus bisa menerapkan kebiasaan hidup
beragama di lingkungan sekolah, karena hal ini akan
menunjang keberhasilan pendidikan agama dan sebagai
hasilnya siswa dapat mengamalkan ajaran agama.
f). Metode ibrah dan mauidhah
Dengan metode ibrah siswa dapat mengambil pelajaran
atau manfaat dari materi pelajaran (misal: tentang kisah-kisah
dalam Al-quran), sehingga siswapun dapat mengetahui akibat
baik dan jelek, yang selanjutnya akan menentukan siswa untuk
selalu berperilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan metode mauidhah berarti memberi nasehat
dengan cara menyentuh kalbu. Dengan metode ini siswa
merasa terbimbing dan terbina terhadap ajaran agama, sehingga
akan mengarahkan siswa untuk selalu berfikir dahulu sebelum
bertindak sesuatu, agar apa yang akan dilakukan sesuai dengan
ajaran agama.
g). Metode targhib dan tarhib
Istilah targhib berarti janji terhadap kesenangan, atau
dengan kata lain istilah ini berkaitan dengan pahala. Sedangkan
tarhib berarti ancaman karena dosa yang dilakukan seseorang,
atau berkaitan neraka.

Dengan metode ini siswa dapat mengetahui tentang halhal yang baik dan jelek, mana perintah agama yang harus
dilakukan dan larangan agama yang harus tinggalkan, sehingga
siswa akan terdorong untuk sadar beragama dan selalu berbuat
baik.23
Dengan demikian, pembinaan agama dapat dilakukan dalam
proses menghadapi masalah melalui pendekatan agama, sehingga
ajaran agama tersebut dapat tercerminkan kepada siswa dalam
menghadapi masalah serta menjadi bagian penting dalam kehidupan
sehari-hari siswa untuk diteladaninya.
Guru hendaknya berjiwa dan berakhlak agama, sehingga siswa
terdorong untuk mencintai agama dan hidup sesuai dengan ajaran
agama. Apabila jiwa dan semangat agama tidak tercermin oleh sikap
dan tindakan guru di sekolah, maka pendidikan agama yang diberikan
guru akan sulit berkembang dalam jiwa anak dan bahkan

akan

menimbulkan antipatinya terhadap pendidikan agama.24


Selain itu, guru tidak hanya mendidik dan mengawasi
perkembangan perilaku keagamaan siswa ketika di lingkungan sekolah
saja, namun guru juga harus memperhatikan perkembangan siswa
ketika di luar sekolah (masyarakat), sehingga siswa dapat terawasi dan
terhindarkan dari pengaruh yang bertentangan dengan ajaran agama.
c. Faktor Masyarakat
Lingkungan masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang
ketiga setelah lingkungan keluarga dan sekolah. Dalam masyarakat
juga ikut berperan dalam menciptakan dan meningkatkan kesadaran
beragama pada masa pubertas, sehingga lingkungan masyarakat juga

23

Chabib Thoha, dkk, Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1999), hlm 123126.
24
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976),
cet. III., hlm. 90.

ikut bertanggung jawab atas terwujudnya pendidikan dan pengamalan


ajaran agama.25
Terciptanya suasana yang agamis dalam lingkungan masyarakat
akan membawa masing-masing anggota masyarakat untuk terlibat di
dalamnya, maka akan mendorong anggota masyarakat (pubertas) untuk
berperilaku sesuai dengan ketentuan agama dan

kesadarannya

menjalankan perintah agama.


Untuk mendukung terwujudnya kesadaran beragama pada masa
pubertas perlu adanya kerja sama yang baik antara orang tua dalam
keluarga, para guru di sekolah dan anggota masyarakat yang bersedia
membantu dan membina anggota masyarakat lainnya dalam hal
pendidikan agama. Hubungan dari ketiga elemen tersebut harus selalu
dibina untuk memberikan pendidikan dan pengawasan, sehingga
pubertas benar-benar terkontrol dalam perilaku beragamanya.
Dalam lingkungan keluarga dan sekolah memang telah terjadi
proses pendidikan agama oleh orang tua dan guru, tetapi proses
pendidikan tersebut hanya dapat berlangsung dalam kurun waktu
tertentu saja dan bersifat sementara ketika di sekolah. Setelah para
peserta didik (pubertas) kembali kepada pergaulan di masyarakat,
maka proses pendidikan inipun harus dilakukan dalam masyarakat.
Ketika pubertas sudah bergabung di masyarakat perlu adanya proses
pembinaan kembali yang dilakukan di masyarakat, sehingga fungsi
keluarga, masyarakat harus diterapkan secara bersama-sama dalam
proses pembinaan kembali terhadap pendidikan agama .
Ditinjau dari segi perkembangan sosial, masa pubertas mulai
menampakkan hubungannya dengan anggota masyarakat lainnya,
terutama yang menonjol adalah pergaulannya dengan teman sebaya
atau lawan jenis. Berkaitan dengan proses pembinaan kembali di
masyarakat, maka pubertas harus bisa mencari dan memilih teman
yang baik, teman yang mampu menjadi pendidik, pembina sekaligus
25

Muhaimin, op. cit., hlm. 107.

pengontrol atas dirinya dalam berperilaku keagamaan. Dan bukan


teman yang membawa ke pergaulan yang menyesatkan.
Sebagaimana At-Thagrai yang ditulis oleh Muhammad AsSuderi dalam buku yang berjudul Bahaya Teman mengtakan yaitu:
Musuh yang paling berbahaya adalah orang kepercayaanmu yang
paling dekat, maka waspadalah terhadap manusia dan pergauilah
mereka dengan hati-hati.26
Masa pubertas yang juga ditandai dengan mulai berkembangnya
hubungan dengan masyarakat khususnya dengan teman sebaya atau
lawan jenis harus selalu diperhatikan oleh orang tua, karena pergaulan
ini bisa membawa pendewasaan diri dan kesadaran beragama, atau
justru membawa pada perilaku amoral dan bertentangan dengan nilainilai agama jika pergaulan tersebut tidak terkontrol.
Oleh karena itu, pubertas dalam pergaulan di masyarakat harus
bisa memilih teman bergaulnya dengan cermat, khususnya teman
sebaya dan teman lawan jenisnya karena merekalah yang memberikan
pengaruh dominan atas perkembangan pribadi dan sikapnya. Teman
yang bisa membantu dirinya dalam pembinaan dan memberi
pengawasan atas dirinya agar tidak terjerumus pada hal-hal yang
dilarang agama. Jika pubertas sudah dapat menyadari arti pentingnya
teman yang baik dan mewaspadai bahayanya teman yang menyesatkan
dirinya, maka proses pembinaan kembali terhadap pubertas di
masyarakat akan dapat terwujud, yang tentunya didukung oleh
pengawasan dari orang tua.
Dengan demikian demi keberhasilan pendidikan dan pengawasan
anak pada masa pubertas menuju kesadaran beragama secara maksimal,
maka kerja sama antara orang tua, guru dan anggota masyarakat
hendaknya dilakukan dan dikembangnkan dengan baik. Sehingga pubertas
benar-benar terdidik dan terawasi terhadap perilakunya rtermasuk Perilaku
keagamaannya dakam kehidupan sehari-hari.
26

Muhammad As-Suderi, Bahaya Teman, (Jakarta: Gema insani Press, 1997), hlm. ii.

You might also like