You are on page 1of 22

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN KASUS PLASENTA PREVIA

Oleh :
Putri Purwo Lintang
Anjari Agnesia
Siti Rahma
Yaumil Wahyuni
Mhd.Khelrian Putra
D.alfiradhina

Pembimbing:
dr. Zulmaeta, SpOG

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
PEKANBARU
2014

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai akibat komplikasi
yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga diperkirakan terdapat angka kematian
maternal sebesar 400 per 100.000 kelahiran hidup (estimasi kematian maternal dari WHO/
UNICEF/ UNFPA tahun 2000). Hal ini memiliki arti bahwa satu orang wanita di belahan dunia
akan meninggal setiap menitnya. Kematian maternal 98% terjadi di negara berkembang dan
sebenarnya sebagian besar kematian ini dapat dicegah. 1
Angka kematian maternal di negara negara maju berkisar antara 20 per 100.000
kelahiran hidup (KH), sedangkan di negara negara berkembang angka ini hampir 20 kali lebih
tinggi yaitu berkisar antara 440 per 100.000 KH. Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan terdapat
240.000 kematian maternal setiap tahunnya, sehingga diperoleh angka kematian maternal sebesar
210 per 100.000 KH. Indonesia sebagai negara berkembang, masih memiliki angka kematian
maternal yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1992 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia 425 per 100.000 KH dan menurun menjadi 373 per
100.000 KH pada SKRT tahun 1995. Sedangkan pada SKRT yang dilakukan pada tahun 2001,
angka kematian maternal kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 396 per 100.000 KH dan
dari SDKI 2002 / 2003 angka kematian maternal menjadi sebesar 307 per 100.000 KH. Hal ini
menunjukkan bahwa angka kematian maternal di Indonesia cenderung stagnan. 1-3
Hampir dua pertiga kematian maternal disebabkan oleh penyebab langsung yaitu
perdarahan (25%), infeksi / sepsis (15%), eklamsia (12%), abortus yang tidak aman (13%),
partus macet (8%), dan penyebab langsung lain seperti kehamilan ektopik, embolisme, dan hal
hal yang berkaitan dengan masalah anestesi (8%). Sedangkan sepertiga lainnya disebabkan oleh
penyebab tidak langsung yaitu keadaan yang disebabkan oleh penyakit atau komplikasi lain yang
sudah ada sebelum kehamilan atau persalinan dan memberat dengan adanya kehamilan atau
persalinan, seperti terdapatnya penyakit diabetes, hepatitis, anemia, malaria atau AIDS (19%). 1,2
Pada laporan chichaki dan kawan-kawan disebutkan perdarahan obstetrik pada kehamilan
lanjut yang sampai menyebabkan kematian terdiri dari solusio plasenta (19%) dan koagulopati
(14%), robekan jalan lahir termasuk ruptura uteri (16%), plasenta previa (7%) dan plasenta
akreta/inkreta dan perkreta (6%) dan atonia uteri (15%). Salah satu faktor yang mempengaruhi

mortalitas dan morbiditas maternal dan perinatal adalah faktor keterlambatan pasien menerima
bantuan medik saat pertama pasien mulai sakit di rumah, keterlambatan dalam pengangkutan ke
rumah sakit bahkan sampai di rumah sakit pun masih sering terjadi keterlambatan.4
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim,
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum (OUI).

4,5

Faktor

Predisposisinya antara lain multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun), defek vaskularisasi
desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan inflamatorotik, cacat atau
jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC, Kuret, dll), konsepsi dan nidasi
terlambat, plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
plasenta previa sering menjadi penyebab perdarahan pada kehamilan lanjut ini perlu
mendapat perhatian dalam penanganannya agar tidak terjadi keterlambatan yang menyebabkan
mortalitas maupun morbiditas ibu dan janin. Maka, kelompok kami tertarik untuk mengangkat
kasus plasenta previa sebagai topik makalah ini.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
Perdarahan obstetrik yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi
setelah anak atau plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan jika tidak
mendapat penanganan yang cepat bisa mendatangkan syok yang fatal. Salah satu sebabnya
adalah plasenta previa. Oleh sebab itu, perlulah keadaan ini untuk diantisipasi seawal-awalnya
selagi perdarahan belum sampai ke tahap yang membahayakan ibu dan janinnya. Antisipasi
dalam perawatan prenatal adalah sangat mungkin oleh karena pada umumnya penyakit ini
berlangsung perlahan diawali gejala dini berupa perdarahan berulang yang mulanya tidak banyak
tanpa disertai rasa nyeri dan terjadi pada waktu yang tidak menentu, tanpa trauma. Sering disertai
oleh kelainan letak janin atau pada kehamilan lanjut pada bagian bawah janin tidak masuk ke
dalam panggul, tetapi masih mengambang di atas pintu atas panggul. Perempuan hamil yang
ditengarai menderita plasenta previa harus segera dirujuk dan diangkut ke rumah sakit yang
terdekat tanpa melakukan pemeriksaan dalam karena perbuatan tersebut memprovokasi
perdarahan berlangsung semakin deras dan cepat.4
3.1. DEFINISI
Plasenta adalah organ yang dibentuk selama kehamilan untuk memberikan nutrisi,
membuang hasil metabolisme, dan menghasilkan hormon untuk mempertahankan kehamilan.
Umumnya plasenta telah lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion
telah mengisi seluruh cavum uteri. Letak plasenta umumnya di depan atau di belakang dinding
uterus, agak ke atas ke arah fundus uteri. Hal ini adalah fisiologis karena permukaan bagian atas
korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk berimplantasi.5

Gambar 3.1. Plasenta Normal8


Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi yang normal ialah pada
dinding depan dan dinding belakang uterus di daerah fundus uteri.4
Sejalan dengan bertambah membesarnya uterus dan meluasnya segmen bawah uterus ke
arah proksimal memungkinkan plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah uteri ikut
berpindah mengikuti perluasan segmen bawah uteri seolah plasenta itu bermigrasi. Ostium uteri
yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala satu bisa mengubah luas
pembukaan serviks yang tertutup oleh plasenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau
klasifikasi dari plasenta previa ketika pemeriksaan dilakukan baik dalam masa antenatal maupun
dalam masa intranatal, baik dengan ultrasonografi maupun pemeriksaan digital. Oleh karena itu,
pemeriksaan ultrasonografi perlu diulang secara berkala dalam asuhan antenatal atau intranatal.4

3.2. KLASIFIKASI
Klasifikasi plasenta previa didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui
pembukaan jalan lahir pada waktu tertentu, yaitu :6
1.

Plasenta previa totalis atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri
internum.

2.

Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.

3.

Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri
internum.

4.

Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah uteri
sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari ostium
uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm dianggap normal.4

Gambar 3.2. Plasenta previa totalis (paling kiri), plasenta previa parsialis (kiri tengah), plasenta
previa marginalis (kanan tengah) dan plasenta letak rendah (paling kanan).7
Karena klasifikasi ini tidak didasarkan pada keadaan anatomik melainkan fisiologik,
maka klasifikasinya akan berubah setiap waktu. Umpamanya, plasenta previa totalis pada
pembukaan 4 cm mungkin akan berubah menjadi plasenta previa parsialis pada pembukaan
8cm.4,6

3.3. INSIDENSI
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada usia di atas
30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada kehamilan tunggal.uterus
bercacat ikut mempertinggi angka kejadiannya. Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah
dilaporkan insidennya berkisar 1,7% sampai dengan 2,9%. Di negara maju insidensinya lebih
rendah yaitu kurang dari 1% mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas tinggi.
Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang memungkinkan deteksi
lebih dini, insidens plasenta previa bisa lebih tinggi.1 Plasenta previa terjadi pada kira-kira 1 di
antara 200 persalinan. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, antara tahun1971-1975, terjadi 37
kasus plasenta previa di antara 4.781 persalinan yang terdaftar atau kira-kira 1 di antara 125
persalinan terdaftar.6
Di Amerika Serikat, plasenta previa terjadi sekitar 0,3 - 0,5 % dari semua persalinan. Dari
seluruh kejadian plasenta previa, plasenta previa totalis terjadi sebanyak 20-45%, plasenta previa
parsialis sebanyak kurang lebih 30% dan plasenta previa marginalis sebanyak 25-50%.5
Sedangkan jumlah kematian perinatal akibat plasenta previa sekitar 0,03%.6
3.4. ETIOLOGI
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah uteri belum diketahui dengan
pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa desidua di daerah segmen bawah
uterus tanpa latar belakang lain yang mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu
penyebabnya adalah vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari
proses radang atau atrofi. Paritas tinggi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah sesar,
kerokan, miomektomi, dan sebagainya berperan dalam proses peradangan dan kejadian atrofi di
endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai sebagai faktor resiko terjadinya plasenta
previa. Cacat bekas bedah sesar berperan menaikkan insiden dua sampai tiga kali. Pada
perempuan perokok, dijumpai insidensi plasenta previa lebih tinggi dua kali lipat. Hipoksemia
akibat karbon monoksida hasil pembakaran rokok menyebabkan plasenta menjadi hipertrofi
sebagai upaya kompensasi. Plasenta yang terlalu besar seperti pada kehamilan ganda dan
eritroblastosis fetalis bisa menyebabkan pertumbuhan plasenta melebar ke segmen bawah uterus
sehingga menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.4,8

3.5. FAKTOR PREDISPOSISI 9


1. Multiparitas dan umur lanjut ( >/ = 35 tahun).
2. Defek vaskularisasi desidua yang kemungkinan terjadi akibat perubahan atrofik dan
inflamatorotik.
3. Cacat atau jaringan parut pada endometrium oleh bekas pembedahan (SC, Kuret, dll).
4. Chorion leave persisten.
5. Korpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil
konsepsi.
6. Konsepsi dan nidasi terlambat.
7. Plasenta besar pada hamil ganda dan eritoblastosis atau hidrops fetalis.
8. Riwayat plasenta previa sebelumnya.
Plasenta previa diperkirakan terjadi pada 1 diantara 20 wanita yang memiliki faktor
resiko. Riwayat plasenta previa sebelumnya, riwayat seksio sesarea dan riwayat aborsi
sebelumnya dapat menyebabkan perubahan atrofi dan pembentukan scar pada desidua.4,10 Meski
perubahan yang terjadi pada desidua tidak selalu menyebabkan terjadinya plasenta previa namun
merupakan faktor resiko untuk terjadinya plasenta previa. Pada kehamilan yang multipel,
plasenta akan memperluas permukaannya bahkan sampai ke pembukaan jalan lahir, dimana
risiko terjadi plasenta previa meningkat 2 kali lipat pada kehamilan ganda.4,8
Dilihat dari paritas dan umur ibu, Kloosterman (1973) mendapatkan frekuensi plasenta
previa pada primigravida yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 10 kali lebih sering
dibandingkan dengan primigravida yang berumur kurang dari 25 tahun, pada grande multipara
yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 4 kali lebih sering dibandingkan dengan grande
multipara yang berumur kurang dari 25 tahun. Sedangkan di Rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo juga didapatkan frekuensi plasenta previa yang semakin meningkat dengan
meningkatnya umur dan paritas. Frekuensi plasenta previa pada primigravida yang berumur lebih
dari 35 tahun kira-kira 2 kali lebih besar dibandingkan dengan primigravida yang berumur
kurang dari 25 tahun, pada para 3 atau lebih yang berumur lebih dari 35 tahun kira-kira 3 kali
lebih besar dibandingkan dengan para 3 atau lebih yang berumur kurang dari 25 tahun.4,8

3.6. PATOFISIOLOGI
Pada usia kehamilan yang lanjut, umumnya pada trimester ketiga dan mungkin juga lebih
awal, oleh karena telah mulai terbentuknya segmen bawah uterus, tapak plasenta akan
mengalami pelepasan. Sebagaimana diketahui tapak plasenta terbentuk dari jaringan maternal
yaitu, bagian desidua basalis yang bertumbuh menjadi bagian dari uri. Dengan melebarnya
isthmus uteri menjadi segmen bawah uterus, maka plasenta yang berimplantasi sedikit banyak
akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai tapak plasenta.4,10
Demikian pula pada waktu serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatation) ada
bagian tapak plasenta yang terlepas. Pada tempat laserasi itu akan terjadi perdarahan yang
berasal dari sirkulasi maternal yaitu ruangan intervillus dari plasenta. Oleh karena fenomena
pembentukan segmen bawah rahim itu perdarahan pada plasenta previa betapa pun pasti akan
terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak oleh
karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen
otot yang dimilikinya sangat minimal, dengan akibat pembuluh darah pada tempat itu tidak akan
tertutup dengan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan kecuali jika ada
laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta pada mana perdarahan akan berlangsung lebih
lama dan lebih banyak. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim itu berlangsung
progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Demikianlah
perdarahan akan berulang tanpa sesuatu sebab lain (causeless). Darah yang keluar berwarna
merah segar tanpa rasa nyeri (painless).4,10
Pada plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum perdarahan terjadi lebih awal
dalam kehamilan oleh karena segmen bawah rahim terbentuk lebih dahulu pada bagian terbawah
yaitu pada ostium uteri internum. Sebaliknya, pada plasenta previa parsialis atau letak rendah
perdarahan baru terjadi pada waktu mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama
biasanya sedikit, tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Untuk berjaga-jaga
mencegah syok hal tersebut perlu dipertimbangkan. Perdarahan pertama sudah biasa terjadi pada
kehamilan di bawah 30 minggu tetapi lebih separuh kejadiannya pada umur kehamilan 34
minggu ke atas. Berhubung tempat perdarahan terletak dekat dengan ostium uteri internum,
maka perdarahan lebih mudah mengalir ke luar rahim dan tidak membentuk hematom
retroplasenta yang mampu merusak jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam
sirkulasi maternal. Dengan demikian, sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.4,10

Hal yang perlu diperhatikan adalah segmen bawah rahim yang tipis dan mudah diinvasi
oleh permukaan vili dari trofoblas, akibatnya plasenta melekat lebih kuat pada dinding uterus.
Lebih sering terjadi plasenta akreta dan plasenta inkreta, bahkan plasenta perkreta yang
pertumbuhan vilinya bisa sampai menembus ke buli-buli, dan ke rektum bersama plasenta
previa. Plasenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya pernah
mengalami bedah sesar. Segmen bawah rahim dan serviks yang rapuh dan mudah robek oleh
sebab kurangnya elemen otot yang terdapat di sana. Kedua kondisi ini berpotensi meningkatkan
kejadian perdarahan pasca persalinan pada plasenta previa, misalnya dalam kala tiga karena
plasenta sukar melepas dengan sempurna (retentio plasenta), atau setelah uri lepas karena
segmen bawah uteri tidak dapat berkontraksi dengan baik.4,10

Gambar 3.3. Segmen bawah rahim yang tipis hingga menyebabkan plasenta akreta, inkreta atau
perkreta.7

3.7. GAMBARAN KLINIK

Perdarahan tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan gejala utama dan pertama dari
plasenta previa. Perdarahan dapat terjadi pada saat penderita tidur atau bekerja biasa. Perdarahan
pertama biasanya tidak banyak, sehingga tidak akan berakibat fatal dan sering berhenti sendiri.
Akan tetapi perdarahan berikutnya selalu lebih banyak daripada perdarahan sebelumnya dan
lebih berbahaya jika sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan dalam. Walaupun perdarahannya
sering dikatakan terjadi pada triwulan ketiga, akan tetapi tidak jarang pula dimulai sejak
kehamilan 20 minggu karena sejak itu segmen bawah uterus telah terbentuk dan mulai melebar
serta menipis.4,11
Dengan bertambahnya usia kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar lagi, dan
serviks mulai membuka. Plasenta yang letaknya lebih tinggi dapat menyebabkan perdarahan
yang baru muncul ketika persalinan dan sering kali salah didiagnosis dengan solutio plasenta.
Darah berwarna merah segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta
yang berwarna kehitaman. Sumber perdarahan berasal dari sinus uterus yang terobek karena
lepasnya plasenta dari dinding uterus, atau karena robekan sinus marginalis dari plasenta.
Perdarahan yang terjadi tidak dapat dihindarkan karena ketidakmampuan segmen bawah uterus
untuk berkontraksi menghentikan perdarahan itu, tidak seperti perdarahan pada kala III dengan
letak plasenta yang normal.4,11
Turunnya bagian terbawah janin ke dalam pintu atas panggul akan terhalang karena
adanya plasenta di bagian bawah uterus. Apabila janin dalam presentasi kepala, kepalanya akan
didapatkan belum masuk ke dalam pintu atas panggul yang mungkin karena plasenta previa
sentralis, menggolak ke samping karena plasenta previa parsialis, menonjol di atas simfisis
karena plasenta previa posterior, atau bagian terendah janin tidak teraba karena plasenta previa
anterior. Pada plasenta previa tidak jarang terjadi kelainan letak, seperti letak lintang atau letak
sungsang.4,11

Gambar 3.4. Berbagai letak janin pada plasenta previa.7


Apabila janin telah lahir, plasenta tidak selalu mudah dilahirkan karena sering
mengadakan pendekatan yang erat dengan dinding uterus. Selain itu, sering terjadi perdarahan
postpartum apabila plasenta telah lahir. Ini terjadi karena kekurangmampuan serabut-serabut otot
segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan dari bekas insersio plasenta
atau karena perlukaan serviks dan segmen bawah uterus yang rapuh dan mengandung banyak
pembuluh darah besar, yang dapat terjadi bila persalinan berlangsung pervaginam.4,11

3.8. DIAGNOSIS
Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai sebagai plasenta previa
sampai dibuktikan bahwa dugaaan itu salah. Diagnosis plasenta previa sulit ditegakkan tanpa
dilakukan pemeriksaan klinik sampai jari masuk melalui serviks dan meraba adanya plasenta.4
Pada anamnesis, akan ditemukan gejala perdarahan jalan lahir pada kehamilan setelah 22
minggu tanpa rasa nyeri, berwarna merah segar, dan tanpa alasan, terutama pada multigravida.
Banyaknya perdarahan tidak dapat dinilai dari anamnesis, melainkan dari pemeriksaan
hematokrit.4,11

Pada pemeriksaan luar, bagian terbawah janin biasanya belum masuk pintu atas panggul.
Jika presentasi kepala, biasanya kepalanya masih terapung di atas pintu atas panggul atau
menggolak ke samping, dan sukar didorong ke dalam pintu atas panggul. Tidak jarang disertai
kelainan letak janin seperti letak lintang atau letak sungsang.4,12,13
Pemeriksaan in spekulo, bertujuan mengetahui apakah perdarahan berasal dari ostium
uteri eksternum atau dari kelainan serviks dan vagina, seperti erosio porsionis uteri, karsinoma
porsionis uteri, polypus servisis uteri, varises vulva, dan trauma. Apabila perdarahan berasal dari
ostium uteri eksternum, adanya plasenta previa harus dicurigai. Dilakukan pemeriksaan ini jika
perdarahan telah berhenti.4,12,13
Penentuan letak plasenta tidak langsung, dapat dilakukan dengan radiografi,
radioisotope, dan ultrasonografi. Nilai diagnostik cukup tinggi di tangan yang ahli, akan tetapi
ibu dan janin pada pemeriksaan radiografi dan radioisotop masih dihadapkan pada bahaya radiasi
yang cukup tinggi pula, sehingga cara ini ditingggalkan. Cara termudah dan tepat serta aman
menentukan lokasi plasenta dengan USG transabdominal. Nilai akurasi diagnostik 96% dan
dapat mencapai 98%. False positif dapat terjadi akibat distensi vesika urinaria. Oleh karena itu
pemeriksaan USG yang positif harus diulang setelah pengosongan vesika urinaria.4,9
Penentuan letak plasenta secara langsung adalah dengan meraba secara langsung
plasenta melalui kanalis servikalis. Akan tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya karena dapat
menimbulkan perdarahan banyak. Oleh karena itu pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya
dilakukan apabila penanganan pasif ditinggalkan dan ditempuh penanganan aktif. Pemeriksaan
harus dilakukan dalam keadaan siap operasi.4,12,13
Pemeriksaan fornises hanya bermakna apabila janin dalam presentasi kepala. Sambil
mendorong sedikit kepala janin ke arah pintu atas panggul, perlahan-lahan seluruh fornises
diraba dengan jari. Perabaannya teraba lunak apabila antara jari dan kepala terdapat plasenta.4,12,13
Pemeriksaan melalui kanalis servikalis hanya dapat dilakukan apabila kanalis servikalis
sudah terbuka. Perlahan-lahan jari dimasukkan ke dalam kanalis servikalis dengan tujuan meraba
kotiledon plasenta. Jangan sekali-kali menyelusuri pinggir plasenta karena dapat menyebabkan
lepasnya insersio plasenta.4

3.9. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk plasenta previa adalah solusio plasenta, ruptur uteri, erosi
portio, post coital bleeding, preterm labour dan gangguan pembekuan darah.4
Gejala dan tanda
Perdarahan tanpa nyeri,
usia gestasi > 22
minggu
Darah segar atau
dengan bekuan
Perdarahan dapat
terjadi setelah miksi
atau defekasi, aktivitas
fisik, kontraksi braxton
hicks atau koitus
Perdarahan dengan
nyeri intermitten atau
menetap
Warna darah kehitaman
dan cair, tapi mungkin
ada bekuan jika solusio
relatif baru
Jika ostium terbuka,
terjadi perdarahan
berwarna merah segar.

Perdarahan
intraabdominal
dan/atau vaginal
Nyeri hebat sebelum
perdarahan dan syok,
yang kemudian hilang
setelah terjadi regangan
hebat pada perut bawah
(kondisi ini tidak khas)

Perdarahan berwarna
merah segar.
Uji pembekuan darah

Faktor predisposisi
multipara
mioma uteri
usia lanjut
kuretase
berulang
bekas SC
merokok

Penyulit lain
Syok
perdarahan setelah
koitus
Tidak ada kontraksi
uterus
Bagian terendah
janin tidak masuk
PAP
Bisa terjadi gawat
janin
Hipertensi
Syok yang tidak
sesuai dengan
versi luar
jumlah darah
trauma abdomen
(tersembunyi)
polihidramnion
Anemia berat
gemelli
Melemah atau
defisiensi gizi
hilangnya denyut
jantung janin
gawat janin atau
hilangnya denyut
jantung janin
Uterus tegang dan
nyeri
Riwayat seksio Syok atau takikardia
sesarea
Adanya cairan bebas
Partus lama atau
intraabdominal
kasep
Hilangnya gerak
Disproporsi
atau denyut jantung
kepala
janin
/fetopelvik
Bentuk uterus
Kelainan
abnormal atau
letak/presentasi
konturnya tidak
jelas.
Persalinan
Nyeri raba/tekan
traumatik
dinding perut dan
bagian2 janin mudah
dipalpasi
solusio plasenta
perdarahan gusi
janin mati dalam gambaran
memar
rahim
bawah kulit

Diagnosis
Plasenta
previa

Solusio
plasenta

Ruptur uteri

Gangguan
pembekuan
darah

tidak menunjukkan
adanya bekuan darah
setelah 7 menit
Rendahnya faktor
pembekuan darah,
fibrinogen, trombosit,
fragmentasi sel darah

eklamsia
emboli air
ketuban

perdarahan dari
tempat suntikan
jarum infus

3.10. PENATALAKSANAAN
3.10.1. Prinsip Dasar Penatalaksanaan
Setiap ibu dengan perdarahan antepartum harus segera dikirim ke rumah sakit yang
memiliki fasilitas untuk melakukan transfusi darah dan operasi. Perdarahan yang terjadi pertama
kali jarang sekali, atau boleh dikatakan tidak pernah menyebabkan kematian, asal sebelumnya
tidak diperiksa dalam. Biasanya masih terdapat cukup waktu untuk mengirimkan penderita ke
rumah sakit, sebelum terjadi perdarahan berikutnya yang hampir selalu lebih banyak daripada
sebelumnya. Jangan sekali-kali melakukan pemeriksaan dalam kecuali dalam keadaan siap
operasi.4,14
Apabila dari penilaian ternyata perdarahan yang telah berlangsung atau yang akan
berlangsung tidak akan membahayakan ibu dan/atau janinnya (yang masih hidup), dan
kehamilannya belum cukup 36 minggu, atau taksiran berat janin belum sampai 2500 gram, dan
persalinan belum mulai, dapat dibenarkan untuk menunda persalinan sampai janin dapat hidup di
luar kandungan lebih baik lagi. Penanganan pasif ini, pada kasus-kasus tertentu sangat
bermanfaat untuk mengurangi angka kematian neonatus yang tinggi akibat prematuritas, asal
jangan dilakukan pemeriksaan dalam.4,11
Penganganan pasif ini diperkenalkan oleh Johnson dan Macafee pada tahun 1945 untuk
beberapa kasus plasenta previa yang janinnya masih prematur dan perdarahannya tidak
berbahaya, sehingga tidak diperlukan tindakan pengakhiran kehamilan segera. Pengalamannya
membuktikan bahwa perdarahan pertama pada plasenta previa jarang sekali fatal apabila
sebelumnya tidak dilakukan pemeriksaan dalam dan perdarahan berikutnya pun jarang sekali
fatal apabila sebelumnya ibu tidak menderita anemia dan tidak pernah dilakukan pemeriksaan
dalam.4,14
Penanganan pasif ini bertujuan untuk memberikan kesempatan janin untuk dapat hidup
dan berkembang lebih lama di dalam uterus sehingga akan meningkatkan luaran bayi

kemungkinan bayi untuk hidup di luar kandungan lebih besar lagi. 4,10 Penanganan pasif ini harus
dilakukan secara konsekuen dimana menuntut fasilitas rumah sakit dan perhatian dokter yang
luar biasa. Penderita harus dirawat di rumah sakit sejak perdarahan pertama sampai pemeriksaan
menunjukkan tidak adanya plasenta previa atau sampai bersalin. Transfusi darah atau operasi
harus dapat dilakukan setiap saat apabila diperlukan. Anemia harus segera diatasi mengingat
kemungkinan perdarahan berikutnya. Menilai banyaknya perdarahan harus lebih didasarkan pada
pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit secara berkala, daripada memperkirakan banyaknya
darah yang hilang pervaginam. Ada atau tidaknya plasenta previa diperiksa dengan penentuan
letak plasenta secara tidak langsung.4,15 Penderita dianjurkan untuk melakukan tirah baring atau
bedrest, diberi hematinik, antibiotika, dan tokolitik bila ada his. Bila umur kehamilan kurang dari
34 minggu diberikan kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru-paru janin. Jika ibu
memiliki tipe darah Rh negatif, diberikan injeksi Rh immune globulin atau RhoGam.9

Bila selama 3 hari tidak ada perdarahan, pada pasien dilakukan mobilisasi
bertahap. Setelah pasien berjalan tetap tidak ada perdarahan, pasien boleh pulang dengan
diinformasikan

agar

mengurangi

aktifitas

fisik

dan

menghindari

setiap

manipulasi

intravaginal.4,14
Untuk cara penanganan pasif berdasarkan protap di Rumah Sakit Sanglah adalah sebagai
berikut :11,14
a. Observasi di kamar bersalin IRD selama 24 jam.
b. Keadaan umum ibu diperbaiki, berikan transfusi sampai Hb lebih dari 10 gr%.
c. Berikan kortikosteroid untuk maturitas paru janin (menjaga kemungkinan
penanganan pasif gagal), dengan dexametason 5 mg, 4 kali tiap 6 jam.
d. Bila perdarahan berhenti, penderita dipindahkan ke ruangan setelah
sebelumnya dilakukan USG di IRD.
e. Observasi Hb setiap hari, tensi, nadi, denyut jantung janin, perdarahan setiap 6
jam.
f. Penanganan pasif gagal jika terjadi perdarahan berulang (penanganan aktif).
g. Penderita dipulangkan bila tidak terjadi perdarahan ulang setelah dilakukan
mobilisasi.

h. Waktu pasien pulang, diberi nasehat agar istirahat, tidak melakukan


koitus/manipulasi vagina, bila perdarahan lagi segera datang ke rumah sakit,
dan periksa ulang (ANC) 1 minggu lagi.
Dilakukan penanganan aktif segera dan penanganan pasif harus ditinggalkan, jika terdapat
salah satu dari keadaan dibawah ini :4,14

Penurunan kondisi ibu

Perdarahan aktif

Umur kehamilan > 36 minggu

Taksiran berat janin > 2500 gram

Gawat janin pada janin yang viable

Kontraksi uterus yang tidak berespon pada pengobatan


Dalam hal ini pemeriksaan dalam dapat dilakukan di meja operasi dalam keadaan siap

operasi.

3.10.2. Memilih Cara Persalinan


Pada umumnya memilih cara persalinan yang terbaik tergantung dari derajat plasenta
previa, paritas dan banyaknya perdarahan. Beberapa hal lain yang harus diperhatikan pula ialah
apakah terhadap penderita pernah dilakukan pemeriksaan dalam, atau penderita pernah
mengalami infeksi seperti seringkali terjadi pada kasus-kasus kebidanan yang terbengkalai.4,14
Plasenta previa totalis merupakan indikasi mutlak untuk seksio sesarea, tanpa
menghiraukan faktor-faktor lainnya. Plasenta previa parsialis pada primigravida sangat
cenderung untuk seksio sesarea. Perdarahan banyak, apalagi berulang, merupakan indikasi
mutlak umtuk seksio sesarea karena perdarahan itu biasanya disebabkan oleh plasenta previa
yang lebih tinggi derajatnya daripada apa yang ditemukan pada pemeriksaan dalam, atau
vaskularisasi yang hebat pada serviks dan segmen bawah uterus.4,14
Multigravida dengan plasenta letak rendah, plasenta previa marginalis, atau plasenta
previa parsialis pada pembukaan lebih dari 5 cm dapat ditanggulangi dengan pemecahan selaput
ketuban. Akan tetapi, apabila ternyata pemecahan selaput ketuban tidak mengurangi perdarahan
yang timbul kemudian, atau setelah 12 jam tidak terjadi persalinan, atau terjadi gawat janin,

maka seksio sesarea harus dilakukan. Dalam memilih cara persalinan per vaginam hendaknya
dihindarkan cara persalinan yang lama dan sulit karena akan sangat membahayakan ibu dan
janinnya.4,14
Pada kasus yang terbengkalai, dengan anemia berat dengan perdarahan atau infeksi
intrauterin, baik seksio sesarea maupun persalinan per vaginam sama-sama tidak mengamankan
ibu maupun janinnya. Akan tetapi, dengan bantuan transfusi darah dan antibiotika secukupnya,
seksio sesarea masih lebih aman daripada persalinan per vaginam untuk semua kasus plasenta
previa totalis dan kebanyakan kasus plasenta previa parsialis. Seksio sesarea pada multigravida
yang telah memiliki anak hidup cukup banyak dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan
histerektomi untuk menghindarkan terjadinya perdarahan postpartum yang sangat mungkin akan
terjadi, atau sekurang-kurangnya dipertimbangkan untuk dilanjutkan dengan sterilisasi untuk
menghindarkan kehamilan yang berikutnya. Terdapat 2 pilihan cara persalinan, yaitu persalinan
per vaginam dan persalinan per abdominal (seksio sesarea). Persalinan per vaginam bertujuan
agar bagian terbawah janin menekan plasenta dan bagian plasenta yang berdarah selama
persalinan berlangsung, sehingga perdarahan berhenti. Seksio sesarea bertujuan untuk secepatnya mengangkat sumber perdarahan, dengan demikian memberikan kesempatan kepada uterus
untuk menghentikan perdarahannya dan untuk menghindarkan perlukaan pada serviks dan
segmen bawah uterus yang rapuh apabila dilangsungkan persalinan per vaginam.4,14
a. Pesalinan per vaginam
Pemecahan selaput ketuban merupakan cara yang terpilih untuk melangsungkan
persalinan per vaginam, karena bagian terbawah janin akan menekan plasenta dan bagian
plasenta yang berdarah, dan bagian plasenta yang berdarah itu dapat bebas mengikuti regangan
segmen bawah uterus, sehingga pelepasan plasenta dari segmen bawah uterus lebih lanjut dapat
dihindarkan.4,14
Apabila pemecahan ketuban tidak berhasil menghentikan perdarahan, maka terdapat 2
cara lainnya yang lebih keras menekan plasenta dan mungkin pula lebih cepat menyelesaikan
persalinan, yaitu memasang cunam Willet, dan versi Braxton-Hicks. Kedua cara ini sudah
ditinggalkan dalam dunia kebidanan muktahir karena seksio sesarea jauh lebih aman bagi ibu
dan janinnya dibandingkan kedua cara itu. Akan tetapi, kedua cara itu masih mempunyai tempat
tertentu dalam dunia kebidanan, umpamanya dalam keadaan darurat sebagai pertolongan

pertama untuk mengatasi perdarahan banyak, atau apabila seksio sesarea tidak mungkin
dilakukan.4,14
Semua cara ini mungkin mengurangi atau menghentikan perdarahan, dengan demikian,
menolong ibu, akan tetapi tidak selalu menolong janinnya. Tekanan yang terus menerus pada
plasenta akan mengurangi sirkulasi darah antara uterus dan plasenta, sehingga dapat
menyebabkan anoksia sampai kematian janin. Oleh karena itu, cara ini cenderung dilakukan pada
janin yang telah mati, atau yang prognosisnya hidup di luar uterus tidak baik. Cara ini apabila
akan dilakukan, lebih tepat dilakukan pada miltipara karena persalinannya dijamin lebih lancar,
dengan demikian tekanan pada plasenta berlangsung tidak terlalu lama. Bila his tidak adekuat
dapat diberikan oksitosin drip. Namun bila perdarahan tetap ada maka dilakukan seksio
sesaria.4,14
b. Seksio sesarea
Di rumah sakit yang serba lengkap, seksio sesarea akan merupakan persalinan yang
terpilih. Nesbitt (1962) melaporkan 65% dari semua kasus plasenta previa diselesaikan dengan
seksio sesarea.4 Persalinan seksio sesaria diindikasikan untuk plasenta previa totalis baik janin
mati atau hidup, plasenta previa lateralis dimana pembukaannya kurang dari 4 cm atau serviks
belum matang, plasenta previa dengan perdarahan yang banyak dan plasenta previa dengan
gawat janin. Gawat janin atau kematian janin tidak boleh menjadi halangan untuk melakukan
seksio sesarea, demi keselamatan ibu. Akan tetapi, gawat ibu mungkin terpaksa menunda seksio
sesarea sampai keadaannya dapat diperbaiki, apabila fasilitas memungkinkan. Apabila
fasilitasnya tidak memungkinkan untuk memperbaiki keadaan ibu, jangan ragu-ragu untuk
melakukan tindakan seksio sesarea jika itu satu-satunya tindakan yang terbaik, seperti pada
plasenta previa totalis dengan perdarahan yang banyak.4,14
Dalam keadaan gawat, laparotomi dengan sayatan kulit median jauh lebih cepat dapat
dilakukan daripada dengan sayatan Pfannensteil yang lebih kosmetik. Sayatan pada dinding
uterus sedapat mungkin menghindarkan sayatan pada plasenta, agar perdarahan dari pihak ibu
dan janin tidak lebih banyak lagi. Perdarahan dari pihak janin akan sangat membahayakan
kehidupannya, apabila tidak segera ditemukan tali pusatnya untuk kemudian dijepit. Dapat
dilakukan seksio sesarea korporalis, walaupun diakui seksio sesarea transperitoneal profunda
merupakan jenis operasi yang terbaik untuk melahirkan janin per abdominam, apabila ternyata

plasenta pada dinding depan uterus yaitu untuk menghindarkan sayatan pada plasenta dan
menghindarkan sayatan pada segmen bawah uterus yang biasanya rapuh dan penuh dengan
pembuluh darah besar-besar, sehingga dapat menghindarkan perdarahan postpartum. Perdarahan
yang berlebihan dari bekas insersio plasenta, tidak selalu dapat diatasi dengan pemberian
uterotonika, apalagi kalau penderita telah sangat anemis. Histerektomi totalis merupakan
tindakan yang cepat untuk menghentikan perdarahan, dan dapat menyelamatkan jiwa penderita,
namun sebelumnya sebaiknya dicoba terlebih dahulu untuk meghentikan perdarahan itu dengan
jahitan. Apabila cara-cara tersebut tidak berhasil meghentikan perdarahan, dianjurkan untuk
menghentikan perdarahan itu dengan jalan mengikat arteri hipogastrika.4,14
3.11. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan janinnya. Komplikasi pada ibu dapat berupa
perdarahan post partum dan syok karena kurang kuatnya kontraksi segmen bawah rahim,
komplikasi tindakan seksio sesarea seperti trauma uterus atau serviks, infeksi saluran kencing,
pneumonia post operatif dan meskipun jarang dapat terjadi embolisasi cairan amnion. Dapat pula
terjadi kematian ibu yang disebabkan karena perdarahan post partum atau karena terjadi DIC
(Disseminated Intravascular Coagulopathy).14
Terhadap janin, plasenta previa meningkatkan insiden kelainan kongenital dan
pertumbuhan janin terganggu sehingga bayi yang dilahirkan memiliki berat yang kurang
dibandingkan dengan bayi yang lahir dari ibu yang tidak menderita plasenta previa. Risiko
kematian neonatal juga meningkat pada bayi dengan plasenta previa dengan angka kematian
5%.9
3.12. PROGNOSIS
Dengan penanggulangan yang baik seharusnya kematian ibu karena plasenta previa
rendah sekali atau tak ada sama sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun
1945, kematian perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini
kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan utama.4

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
1.
Diagnosis pada pasien ini kurang tepat.
2.
Prinsip terapi pada pasien ini sudah tepat.
3.
Bayi pada pasien ini mengalami gawat janin.
4.
Nasehat saat pulang yang dapat diberikan pada pasien yaitu agar dapat melakukan
ANC yang baik pada kehamilan selanjutnya, agar dapat meminimalisir komplikasi yang
mungkin terjadi.
5.2. SARAN
1.
2.

Seharusnya dokter mengerti cara penulinan dan penegakkan diagnosis

pasien obstetri dengan tepat.


Diperlukan pemahaman mengenai penanganan pasien dengan plasenta

previa untuk mengurangi terjadinya komplikasi.


3.
Pasien dengan plasenta previa perlu dipikirkan kemungkinan
4.

komplikasi gawat janin.


Diharapkan pasien dapat berkonsultasi kepada dokter spesialis
kandungan untuk kehamilan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Maternal mortality in 2000. Department of Reproductive Health and Research WHO,
2003.
2. UNFPA, SAFE Research study and impacts. Maternal mortality update 2004, delivery into
good hands. New York, UNFPA; 2004.
3. Saifudin AB. Issues in training for essential maternal healthcare in Indonesia. Medical
Journal of Indonesia Vol 6 No. 3, 1997: 140 148.
4. Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. 2009. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
5. Perkumpulan obstetri dan ginekologi indonesia. Standar pelayanan medik obstetri dan
ginekologi. 2006.
6. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. Obstetri
patologi. Bandung: Elstar Offset Bandung; 1984. 110-20.
7. Miller

D.A.

Obstetric

hemorrhage.

2004.

[diakses

11

Maret

2012]

http://www.obfocus.com/images/previa.gif.htm.
8. Cunningham F.G, Leveno K.J, Bloom S.L. Obstetrical hemorrhage. Williams obstetric. Edisi
ke-22. McGraw-Hill Companies; 2007.
9. Creasy R.K. Maternal fetal medicine principles and practice. 5th Ed. USA: Samdes; 2004.
10. Hanafiah T.M. Plasenta previa. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara; 2004.
11. Karkata K. Pedoman diagnosis obstetrik dan ginekologik. Denpasar: Bagian/SMF Kebidanan
dan Ilmu Penyakit Kandungan FK Unud/RS Sanglah.
12. Oppenheimer L. Diagnosis and management of placenta previa. J obstet gynaecol can; Maret
2007. 261-73.
13. DeCherney A.H, Nathan L. Lange current obstetric and gynecologic diagnosis and treatment.
9th Ed. USA: McGraw-Hill; 2003.
14. Saifudin A.B, Wiknjosastro G.H, Affandi B, Waspodo D. Buku panduan praktis pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal. Cetakan ke-7. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2002. 18-24.

You might also like