Professional Documents
Culture Documents
adanya gejala-gejala kecemasan dan depresi yang timbul bersamasama, dan masing-masing
gejala tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya
suatu diagnosis tersendiri.
1. Gejala-gejala kecemasan antara lain:
Kecemasan atau khawatir berlebihan, sulit berkonsentrasi
Ketegangan motorik: gelisah, sakit kepala, gemetaran, tegang, tidak dapat santai
Aktivitas autonomik berlebihan: palpitasi, berkeringat berlebihan, sesak nafas,
mulut kering,pusing, keluhan lambung, diare.
2. Gejala-gejala depresi antara lain:
Suasana perasaan sedih/murung.
Kehilangan minat/kesenangan (menurunnya semangat dalam melakukan
aktivitas)
Mudah lelah
Gangguan tidur
Konsentrasi menurun
Gangguan pola makan
Kepercayaan diri yang berkurang
Pesimistis
Rasa tidak berguna/rasa bersalah
Diagnosis Banding
1.
2.
3.
4.
5.
6.
2. Farmakologi:
Untuk gejala kecemasan maupun depresinya, diberikan antidepresan dosis rendah, dapat
dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3 minggu: fluoksetin
1x10-20 mg/hari atau sertralin 1x25-50 mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50 mg/hari atau
imipramin1-2x10-25 mg/hari. Catatan: amitriptilin dan imipramin tidak boleh diberikan
pada pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia
karena efek hipotensi ortostastik (dimulai dengan dosis minimal efektif).
Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau dengan gejala
insomnia dapat diberikan kombinasi Fluoksetin atau sertralin dengan antianxietas
benzodiazepin. Obat-obatan antianxietas jenis benzodiazepin yaitu: diazepam 1x2-5 mg
atau lorazepam 1-2x0,5-1 mg atau klobazam 2x5-10 mg atau alprazolam 2x 0,250,5mg.
Setelah kira-kira 2-4 minggu benzodiazepin ditappering-off perlahan, sementara
antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum di tappering-off. Hatihati potensi
penyalahgunaan pada alprazolam karena waktu paruh yang pendek.
Kriteria Rujukan
Pasien dapat dirujuk setelah didiagnosis mengalami gangguan ini, terutama apabila gejala
progresif dan makin bertambah berat yang menunjukkan gejala depresi seperti pasien menolak
makan, tidak mau merawat diri, ada ide/tindakan bunuh diri; atau jika tidak ada perbaikan yang
signifikan dalam 2-3 bulan terapi.
Prognosis
Pada umumnya prognosis gangguan ini adalah bonam.
Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders
in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber
Publishers. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
2.Gejala Negatif:
Afek yang tumpul/datar (ekspresi wajah tidak berubah, penurunan spontanitas gerak,
hilangnya gerakan ekspresif, kontak mata yang buruk, afek yang tidak sesuai, tidak
adanya modulasi suara)
Alogia (kemiskinan bicara, kemiskinan isi bicara, penghambatan dan peningkatan latensi
respon)
Tidak ada kemauan, apati (bersikap acuh tak acuh)
Anhedonia (tidak suka berhubungan sosial, tidak suka dalam hubungan pertemanan)
Atensional impairmen (pecahnya perhatian)
Prognosis
Sekitar 10% pasien skizofrenia akan berhasil bunuh diri. Sebagian besar beresiko pada orang
muda yang mempunyai pendidikan tinggi dan bagi orang yang menderita penyakit. Jenjang usia
pada penderita skizofrenia biasa sekitar 10 tahun lebih pendek dibanding usia orang pada
umumnya. Hal ini dikarenakan beberapa faktor diantaranya tindakan bunuh diri, meningkatnya
jumlah perokok, sosial ekonomi dan kecelakaan.
Faktor-faktor dengan prognosis yang baik pada skizofrenia adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Wanita
Status menikah
Onset pada umur tua
Onset sakitnya secara tiba-tiba
Merespon baik terhadap pengobatan
Tidak adanya gejala negatif
Riwayat premorbid yang baik
Waktu yang pendek dari sakitnya sampai pengobatan
Penyakitnya dipengaruhi oleh pikiran pasien sendiri atau masalah keluarga
Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders
in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber
Publishers. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
Faktor Presipitasi
organobiologis,
psikoedukatif,
sosial budaya,
psikoreligius
Upaya pencegahan yang dilakukan pada masing-masing pilar dimaksudkan untuk menekan
seminimal mungkin munculnya skizofrenia dan kekambuhanya.
1) Organobiologis
Bila ada silsilah keluarga menderita skizofrenia sebaiknya menikah dengan keluarga yang
tidak memiliki silsilah skizofrenia.
Walaupun dalam keluarga tidak ada sil-silah menderita skizofrenia sebaiknya tidak
menikah dengan yang tidak memiliki silsilah skizofrenia dan merupakan keluarga jauh.
Sebaiknya penderita atau bekas penderita skizofrenia tidak saling menikah.
2) Psikoedukatif
Beberapa sikap yang harus diperhatikan orang tua dalam membina mental-emosional dan
mental-intelektual anak yaitu:
Sikap pertama adalah kemampuan untuk percaya pada kebaikan orang lain.
Sikap kedua adalah sikap terbuka.
Sikap ketiga adalah anak mampu menerima kata tidak atau kemampuan pengendalian diri
terhadap hal-hal yang mengecewakan, kalau tidak anak akan sulit bergaul dan belajar di
sekolah.
sama memiliki anggota keluarga skizofrenia bergabung bersama maka beban mereka
akan terasa lebih ringan dan saling menguatkan,
d. Family therapy (Object relations family therapy) Family therapy dapat menjadi bagian
dari rangkaian upaya membantu keluarga agar sebagai suatu system meningkat
kohensivitasnya dan lebih mampu melakukan penyesuaian diri. Keluarga harus
membantu menumbuhkan sikap mandiri dalam diri si penderita seperti melibatkan dalam
kegiatan sehari-hari dan mereka harus sabar dan menerima kenyataan.
e. Keluarga harus tetap bersikap menerima, tetap berkomunikasi dan tidak mengasingkan
penderita. Tindakan kasar, bentakan atau mengucilkan malah akan membuat penderita
semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar.
f. Keluarga menanggung beban dan tanggung jawab merawat anggota keluarga yang sakit,
Sikap keluarga terhadap penderita dapat ditentukan dengan apa yang disebut EE
(Emitional Expresion) yang terdiri atas kritikan atau komentar negative, emosional over
involvement, permusuhan terhadap penderita, ketidak puasan dan kehangatan.
Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders
in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber
Publishers. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.
Waham kejar.
Waham besar.
Waham cemburu.
Halusinasi yang berisi kejaran atau kebesaran.
Kunci diagnosis ini adalah adanya waham. Waham kejaran adalah yang paling umum, namun
pasien dapat mengalami waham kebesaran, di mana mereka memiliki rasa yang berlebihan
mengenai pentingnya, kekuasaan, pengetahuan, atau identitas diri mereka. Waham lain yang
disebutkan terdahulu, seperti merasa dikejar atau dimata-matai, juga dapat terlihat jelas.
Halusinasi pendengaran yang jelas dan nyata dapat rnenyertai waham. Para pasien yang
menderita skizofrenia paranoid sering kali mengalami ideas of reference; mereka memasukkan
berbagai peristiwa yang tidak penting ke dalam kerangka waham dan mengalihkan kepentingan
pribadi mereka ke dalam aktivitas tidak berarti yang dilakukan orang lain. Contohnya, mereka
mengira bahwa potongan percakapan yang tidak sengaja mereka dengar adalah percakapan
tentang diri mereka, bahwa sering munculnya orang yang sama di suatu jalan yang biasa mereka
lalui berarti mereka sedang diawasi, dan bahwa apa yang mereka lihat di televisi atau baca di
majalah dengan satu atau lain cara merujuk pada mereka. Para individu yang mengalami
skizofrenia paranoid selalu cemas.argumentatif, marah, dan kadang kasar. Secara emosional
mereka responsive, meskipun mereka kaku, formal, dan intens kepada oranglain. Mereka juga
lebih sadar dan verbal disbanding para pasien skizofrenia tipe lain. Bahasa yang mereka gunakan
meskipun penuh rujukan pada delusi, tidak mengalamai disorganisasi. Bila ada pasien
skizofrenia yang mengalami masalah hukum, biasanya mereka dari kelompok yang menderita
subtipe paranoid.
Diagnosis Klinis
Diagnosis Banding
Komplikasi
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Konseling & Edukasi
Kriteria Rujukan
Sarana Prasarana
Prognosis
Referensi
1. Kaplan and Sadock, Synopsis of psychiatry, 7th edition, William and Wilkins.
2. Departemen Kesehatan RI.Pedoman penggolongan dan diagnosis Gangguan jiwa di
Indonesia III, cetakan pertama, 1993.
3. World Health Organization. Diagnostic and management guidelines for mental disorders
in primary care: ICD-10 chapter V, primary care version. Seattle: Hogrefe & Huber
Publishers. 4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa/Psikiatri, 2012.