You are on page 1of 23

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini
diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping
penanganan pertama yang belum benar-benar, serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10% termasuk cedera sedang, dan 10% termasuk cedera
kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah:

Simple head injury, Commutio cerebri,


Contusio cerebri, Laceratio cerebri, Basis
cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio
cerebri sekarang digolongkan sebagai
cedera kepala ringan, sedangkan Contusio
cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah
pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,
anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara
serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat
pasien tiba di rumah sakit.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan
penatalaksanaan cedera kepala dan fraktur maksila?
1.3. TUJUAN
Mengetahui etiologi, klasifikasi, patogenesis, patologi kelainan dan
penatalaksanaan cedera kepala dan fraktur maksila
1.4. MANFAAT
Menambah wawasan mengenai penyakit bedah syaraf khususnya cedera
kepala dan fraktur maksila serta sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda
yang sedang mengikuti kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit bedah syaraf.

BAB II
STATUS PENDERITA
2.1. IDENTITAS PENDERITA
Nama
Umur
Jenis kelamin
Pekerjaan
Pendidikan
Agama
Alamat
Status perkawinan
Suku
Tanggal Periksa
Tanggal MRS

: Sdr. H
: 20 tahun
: Laki-laki
: Swasta
: SMA
: Islam
: Desa Ngebrek, Sumberpucung, Malang
: Belum Menikah
: Jawa
: 27 Oktober 2014
: 26 Oktober 2014

2.2. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dan bengkak pada pipi kiri setelah kecelakaan lalu lintas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan
nyeri dan bengkak pada pipi kiri setelah kecelakaan menabrak sepeda
motor saat mengendarai sepeda motor pada Minggu tanggal 26 Oktober
2014 sekitar pukul 18.00 WIB. Menurut pasien, saat pasien sedang
mengendarai motor dengan tidak menggunakan helm, tiba-tiba ada
pengendara motor lain yang akan memutar arah, sehingga tabrakan tidak
dapat dihindari. Sesaat setelah jatuh, pasien langsung pingsan, keluarga
mengaku pasien pingsan selama perjalanan menuju RSUD Kanjuruhan
Kepanjen. Terdapat bengkak di pipi sebelah kiri dengan diameter kurang
lebih 10 cm, keluar darah dari hidung, pasien muntah berwarna hitam,
mengeluh pusing, bisa diajak berkomunikasi, dan masih ingat kejadian
sampai akhirnya pingsan. Pasien dibawa RSUD Kanjuruhan Kepanjen,
sampai di RSUD Kepanjen pukul 19.00.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat trauma
: tidak ditemukan
Riwayat operasi
: tidak ditemukan
Diabetes Mellitus : disangkal

Hipertensi
: disangkal
Alergi
: disangkal
4. Riwayat Pengobatan
Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan sebelumnya
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat merokok 1-2 batang sehari, minum kopi 1-3 gelas kecil / hari,
dan minum alkohol disangkal.
6. Riwayat Gizi
Baik.
2.3. PEMERIKSAAN FISIK (19-3-2014)
1) Status Interna Singkat
Tensi

: 100/60 mmHg

Nadi

: 72 x/menit

RR

: 18 x/menit

Suhu

: 36,5 0 C

2) Status Neurologik
Kesadaran

: GCS 4-5-6

Reflek fisiologis : tidak dievaluasi


Refleks Patologis : tidak dievaluasi
3) Status Generalis
Kepala
Bentuk mesocephal, edema pada maksila sinistra 10 cm.

Mata
Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), brill hematom (-/+), refleks
pupil (+/tidak dapat dievaluasi) isokor.
Telinga
Bentuk normotia, sekret (-), pendengaran berkurang (-).
Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (+), fraktur os nasal (-)
Mulut dan tenggorokan
Bibir luka (-), perdarahan (-),

Leher
JVP tidak meningkat, trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-).
Paru
Suara nafas vesikuler, ronchi (-/-), wheezing (-/-).
Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi

: perut tampak mendatar, tidak tampak adanya massa

Palpasi

: Supel (+), Nyeri tekan (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


CT-Scan Kepala

KESAN:
Fraktur Maksilaris Sinistra
2.5 RESUME
Sdr. H, Laki-laki 20 tahun, datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada
pipi kiri setelah jatuh dari sepeda motor saat menabrak sepeda motor. Sesaat

setelah kejadian pasien pingsan, keluar darah dari hidung, muntah, pusing(+),
bisa diajak berkomunikasi, dan ingat saat kejadian. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan TD: 100/60 mmHg, Suhu: 36,50 C, nadi: 72x/menit, RR:
18x/menit, GCS 4-5-6. Pemeriksaan penunjang CT scan memberikan kesan:
fraktur maksilaris sinistra.
2.6 WORKING DIAGNOSIS
Cedera Otak Ringan dengan Fraktur Maksila sinistra
2.7 PLANNING DIAGNOSIS
Pemeriksaan darah lengkap Hb, leukosit, LED, diff count, CRP,

CT/BT
Pemeriksaan radiologi CT Scan

2.8 PLANNING THERAPY


a. Non-operatif
1. Medikamentosa
NS 1000cc/ 24 jam
Ranitidin 2 x 50 mg
Ketorolac 2 x 30 mg
2. Non Medikamentosa
MRS
Diet TKTP

10

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan keadaan pasien yang mengalami riwayat
benturan di kepala atau adanya luka di kulit kepala atau menunjukkan perubahan
kesadaran setelah cedera tertentu (Jennett dan MacMillan, 1981). Menurut Brain
Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,
bukan

bersifat

kongenital

ataupun

degeneratif,

tetapi

disebabkan

oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah


kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi
fisik. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala didefenisikan
sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh
suatu benturan keras pada kepala.
3.2 Etiologi
Penyebab cedera kepala antara lain :
Kecelakaan lalu lintas (misalnya sepeda motor, mobil)
Jatuh
Pukulan keras
Luka tembakan.
3.3 Klasifikasi
Secara umum cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan tiga hal, yaitu:
1.

Berdasarkan mekanisme terbagi atas 2:

Static loading

Dynamic loading: (a) Lesi impact dan (b) Lesi akselerasi-deselerasi

Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih
dari 200 milidetik, mekanisme static loading ini jarang terjadi, tetapi kerusakan

11

yang dihasilkan sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai kerusakan
tulang kepala, jaringan otak dan pembuluh darah otak.

Dynamic loading
Gaya mengenai kepala terjadi secara cepat (kurang dari 50 milidetik), gaya
yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (Impact injury) ataupun gaya
tersebut bekerja tidak langsung (Accelerated-decelerated injury), mekanisme
cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi.
Impact injury
Gaya langsung bekerja pada kepala, gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala
arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain
akan diteruskan sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan
kembali. Gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi.
Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi:

Cidera pada kulit kepala (SCALP): Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom

Cidera pada tulang atap kepala: Fraktur linier, Fraktur diastase, Fraktur
steallete, Fraktur depresi

Fraktur basis kranii.

Hematom intrakranial: Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom


intraserebral, Hematom intraventrikular

Kontusio serebri: Contra coup kontusio, Coup kontusio

Laserasi serebri

Lesi diffuse: Komosio serebri, Diffuse axonal injury.(DAI)

Lesi akselerasi deselerasi


Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang
lain tetapi kepala tetap ikut terkena gaya. Oleh karena adanya perbedaan densitas
antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan
densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang
kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap

12

berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak
mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan
maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut
akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa:

Hematom subdural

Hematom intraserebral

Hematom intraventrikel

Contra coup kontusio


Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya tarikan

ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa:

2.

Komosio serebri

Diffuse axonal injury

Berdasarkan morfologi
Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar
tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
-Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
-Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
-Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
-Parese nervus facialis ( N VII )

13

Sebagai
umum

patokan

bila

terdapat

fraktur tulang

yang

menekan

dalam,

lebih

ke
tebal

dari tulang

kalvaria,

biasanya

memeerlukan

tindakan

pembedahan.

Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis

lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi lokal ;


- Perdarahan Epidural
- Perdarahan Subdural
- Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal,
namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka
cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan
Cedera Aksona Difus (CAD).
Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada
regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media
(Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan
dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh
gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian
gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil
edema dan gejala herniasi transcentorial.

14

Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus


lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri
kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan
epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kirakira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan
hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh
lebih buruk daripada perdarahan epidural.

Kontusio dan perdarahan intracerebral

15

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau
terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.
Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam
mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas dan
terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut

Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan
deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu,
namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai
derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak
diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung
dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia
pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera
yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu
disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran
beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu
lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali
dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik
pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat
timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist itu misalnya :
kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

16

Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita


mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh
suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma
yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam
keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan
gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera batang otak primer.
3.

Berdasarkan tingkat keparahan

Tingkat kesadaran yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) telah
digunakan untuk mengklasifikasikan derajat keparahan cedera kepala yang tersaji
dalam tabel berikut:
Tingkat keparahan cedera kepala
Ringan
Sedang
Berat

GCS score
13-15
9-12
8 atau kurang

3.4 Patofisiologi
Cedera primer
Luka primer termasuk transfer eksternal dari energi kinetik ke berbagai komponen
stukrtur otak (misal neuron, sinaps saraf, sel glial, akson, dan pembuluh darah
cerebral). Desakan zat biokimia bertanggung jawab terhadap luka otak primer
dapat diklasifikasikan secara umum sebagai concussive/compressive (misal
pukulan benda tumpul, luka penetrasi peluru) dan akselerasi/deselerasi (misal
pergerakan otak akibat kecelakaan bermotor). Luka primer terkategori selanjutnya
sebagai fokal (misal luka memar, hematoma) atau difusse.
Cedera sekunder
Suatu rangkaian patofisiologi yang kompleks dipercepat oleh cedera otak primer
dapat mengganggu secara serius terhadap keseimbangan antara kebutuhan dan
supply oksigen di CNS. Hipotensi selama periode awal pasca trauma merupakan
penyumbang utama terhadap ketidakseimbangan yang terjadi dan faktor yang

17

menentukan outcome. Hasil akhir dari ketidakseimbangan ini dapat menimbulkan


iskemia cerebral, yang merupakan kunci patofisiologi pemicu luka sekunder.
Bagan berikut merupakan skema sederhana dari proses luka sekunder dan
hubungan timbal baliknya.
3.5 Gambaran Klinis

Umum : derajat kesadaran dalam rentang bangun sampai tidak berespon


sama sekali

Gejala : amnesia pasca trauma (lebih dari 1 jam), pusing yang bertambah,
sakit kepala sedang sampai berat, kelemahan anggota badan, atau
paresthesia mungkin mengindikasikan cedera yang lebih berat

Tanda :

CSF

otorrhea

atau

rhinorhea

dan

kejang

mungkin

mengindikasikan cedera yang lebih berat. Kemunduran status mental yang


cepat sangat menandakan adanya lesi yang meluas dalam tengkorak

Tes laboratorium : ABGs (Arterial Blood Gas) mengindikasikan hipoksia


(penurunan PaO2) atau hypercapnia yang menandakan gangguan
ventilasi/pernafasan

Tes diagnosa lain : CT scan kepala merupakan alat diagnosa yang penting
untuk mendeteksi adanya massa lesi

Gejala Klinis Trauma Kepala


Menurut Reissner (2009), gejala klinis trauma kepala adalah seperti berikut:
Tanda-tanda klinis yang dapat membantu mendiagnosa adalah:
a. Battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid)
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah menbran timpani telinga)
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung)
d. Rhinorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (cairan serobrospinal keluar dari telinga)
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh.

18

b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.


c. Mual atau dan muntah.
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
e. Perubahan keperibadian diri.
f. Letargik.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat;
a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan di otak
menurun atau meningkat.
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan).
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas.

3.6 Diagnosa
Kriteria diagnosa:
Riwayat trauma kapitis
Sakit kepala/pusing, muntah, tidak sadar, amnesia, kesadaran menurun
Defisit neurologis fokal:
o Lateralisasi: pupil anisokor, refleks cahaya menurun/ hemiparesis/
plegi, dll
o Kejang
Gradasi cedera kepala:
o Tingkat I : sadar penuh (dapat disertai sakit kepala, muntah, atau
amnesia)
o Tingkat II : tidak sadar tetapi masih dapat melaksanakan perintah
sederhana, atau sadar penuh tetapi terdapat defisit neurologis
o Tingkat III: tidak sadar dan tidak dapat melaksanakan perintah
sederhana
o Tingkat IV: mati otak
Pemeriksaan penunjang:

19

Rontgen tengkorak; CT scan; MRI; EEG


3.7 Penatalaksanaan
1. Melancarkan jalan nafas (airway), menjaga pernafasan dan ventilasi
(breathing) dan peredaran darah (circulation) selama periode awal
resusitasi dan evaluasi
2. Menjaga keseimbangan antara CD O2 (cerebral oxygen delivery) dan CM
O2 (cerebral oxygen consumption)
3. Mencegah kejadian cedera neuronal sekunder
4. Mencegah dan atau mengobati komplikasi medis yang berhubungan
Penatalaksanaan terapi
Penatalaksanaan terapi untuk pasien yang tidak sadar (Standar Pelayanan Medik,
2009):
1. Suportif ABC
a. A airway (jalan nafas)
b. B breathing (pernafasan)
c. C circulation (sirkulasi/peredaran darah)
i.

Mengatasi syok hipovolemik

ii.

Infus dengan cairan kristaloid :

Ringer laktat

NaCl 0,9%; D5%; 0,45 saline

Infus dengan cairan koloid

Transfusi darah

2. Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial


a. Manitol 0,5-1 gr/kgBB, diberikan dalam waktu 20 menit diulangi
tiap 4-6 jam
b. Furosemid 1-2 mg/kgBB
c. Hiperventilasi dengan mempertahankan PaCO2 25-30 mmHg
3. Koreksi gangguan elektrolit asam basa
4. Antikonvulsan bila perlu
5. Antibiotik profilaksis

20

6. Nutrisi
7.

Operasi Cedera Kepala


Hasil segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran

garis tengah, kembalinya tekanan intrakranial ke dalam batas normal, kontrol


pendarahan dan mencegah perdarahan ulang.
lndikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal di
bawah ini :
Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

Massa hematoma kira-kira 40 cc

Masa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis tengah
dengan GCS 8 atau kurang.

Kontusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau
pergeseran garis tengat lebih dari 5 mm.

Pasien pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai


berkembangnya

tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.


lndikasi Burr hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak

memungkinkan dan didapat :


Dilatasi pupil ipsilateral
Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba
Operasi Cedera Kepala
Segera yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis
tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol
pendarahan dan mencegah pendarahan ulang.

21

Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal di


bawah ini :
Status neurologis
Status radiologis
Pengukuran tekanan intrakranial
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :

Massa hematoma kira-kira 40 cc

Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm

IED dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah
dengan GCS 8 atau kurang.

Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas


atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.

Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai


berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih
dari 25 mm Hg.
Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak

memungkinkan dan didapat :


Dilatasi pupil ipsilateral
Hemiparese kontralateral
Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.

22

BAB IV
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung
kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera
kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang
merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera
sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai
tahaplanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera
kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma
maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala, yang walaupun
bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab
kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir
bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan
pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan
dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan
koma.Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga

23

area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area
lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita,
maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang.

DAFTAR PUSTAKA
Dwliel F.Kelly.Curtis.D.Donald P.Becker: 1996 General principles of head injury
management dalam Narayan Raj.K, James E. Wilberger Jr, Jhon.Povlishock
(ed); Neuro trauma
Daniel F.Kelly,D.L.Nikos,D.P.Becker: 1996, Diagnosis and treatmen of moderate
and severe head injuries (ed) neurological surgery, Philadelphia, USA,
W.B.Sauders and co.
G.M.Teasdale, S.Galbrath: 1989, head injuries, Rob & Smith's (ed) Operative
surgery,London.
Narayan. K. Raj: 1994, closed head injuries, Setti. S.Rengachary, Robert H.
Wilkins (ed) principles of neurosurgery, Minnesota, USA, World Publishing.
Jennet Bryan: 1997; Outcome after severe head injury, Peter Reilly, Ross Bullock
(ed)head injury, London, UK, Chapman and Hall.
Krauss F.Jess: 1993; Epidemology of head injury, Cooper R.Paul (ed) head injury,
Baltimore, USA, William & Wilkins.
Mark S.Greenberg; 1994; handbook of neurosurgery, Greenberg graphics inc.

You might also like