You are on page 1of 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat
segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini
disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan,
persalinan atau segera lahir (Prawiro Hardjo, Sarwono, 1997).
Asfiksia Neonatotum adalah keadaan dimana bayi baru lahir yang
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
Keadaan ini biasanya disertai dengan keadaan dimana hipoksia dan
hiperapneu serta sering berakhir dengan asidosis (Santoso NI, 1992).
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson,
1967). Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan berakhir
dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini
merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru
lahir terhadap kehidupan ekstrauterin (Gabriel Duc, 1971). Penilaian
statistic dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukan
bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas
bayi baru lahir. Hal ini dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang
mendapatkan bahwa skor Apgar yang rendah sebagai manifestasi
hipoksia berat pada bayi saat lahir akan memperlihatkan angka kematian
yang tinggi.
Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan
perdarahan pada bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis,
gangguan kerdiovaskular serta komplikasinya sebagai akibat langsung
dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru
lahir (James, 1958). Kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom

gangguan pernafasan pada hari-hari pertama setelah lahir (James, 1959).


Penyelidikan patologi anatomis yang dilakukan oleh Larrhoce dan
Amakawa (1971) menunjukkan nekrosis berat dan difus pada jaringan
otak bayi yang meninggal karena hipoksia. Karena itu tidaklah
mengherankan bahwa sekuele neurologis sering ditemukan pada
penderita asfiksia berat. Keadaan ini sangat menghambat pertumbuhan
fisis dan mental bayi di kemudian hari. Untuk menghindari atau
mengurangi kemungkinan tersebut diatas, perlu dipikirkan tindakan
istimewa yang tepat dan rasionil sesuai dengan perubahan yang mungkin
terjadi pada penderita asfiksia.
Asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak
dilakukan dengan sempurna, sehingga tindakan perawatan dilaksanakan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan mengatasi gejala lanjut
yang mungkin timbul. Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan,
beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam menghadapi bayi dengan
asfiksia.

B. Etiologi
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit
pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila
terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke
janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat
timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir
sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia
janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan
memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi.
Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir
selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia
neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada
saat lahir.

Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :


1.

Faktor ibu
Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala

akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat


pemberian obat analgetika atau anastesia dalam.Gangguan aliran darah
uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan
berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering
ditemukan pada keadaan ; gangguan kontraksi uterus, misalnya
hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi
mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi
dan lain-lain.
2.

Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan

kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan


mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta,
dan lain-lain.
3.

Faktor fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara


ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan
tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan
jalan lahir dan lain-lain.
4.

Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena ;

pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara


langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma
yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan
kongenital pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis
saluran pernafasan,hipoplasia paru dan lain-lain.

C. Patofisiologi
Selama kehidupan di dalam rahim, paru janin tidak berperan
dalam pertukaran gas oleh karena plasenta menyediakan oksigen dan
mengangkat CO2 keluar dari tubuh janin. Pada keadaan ini paru janin
tidak berisi udara, sedangkan alveoli janin berisi cairan yang diproduksi
didalam paru sehingga paru janin tidak berfungsi untuk respirasi.
Sirkulasi darah dalam paru saat ini sangat rendah dibandingkan dengan
setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh karena konstriksi dari arteriol dalam
paru janin. Sebagian besar sirkulasi darah paru akan melewati Duktus
Arteriosus (DA) tidak banyak yang masuk kedalam arteriol paru.
Segera setelah lahir bayi akan menariknafas yang pertama kali
(menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk respirasi.
Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada
didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan
dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah kedalam
paru akan meningkat secara memadai. Duktus Arteriosus (DA) akan mulai
menutup bersamaan dengan meningkatnya tekanan oksigen dalam aliran
darah. Darah dari jantung kanan (janin) yang sebelumnya melewati DA
dan masuk kedalam Aorta akan mulai memberi aliran darah yang cukup
berarti kedalam arteriole paru yang mulai mengembang DA akan tetap
tertutup sehingga bentuk sirkulasi extrauterin akan dipertahankan.
Hipoksia janin atau bayi baru lahir sebagai akibat dari
vasokonstriksi dan penurunan perfusi pru yang berlanjut dengan asfiksia,
pada awalnya akan terjadi konstriksi Arteriol pada usus, ginjal, otot dan
kulit sehingga penyediaan Oksigen untuk organ vital seperti jantung dan
otak akan meningkat. Apabila askfisia berlanjut maka terjadi gangguan
pada fungsi miokard dan cardiac output. Sehingga terjadi penurunan
penyediaan oksigen pada organ vital dan saat ini akan mulai terjadi suatu
Hypoxic Ischemic Enchephalopathy (HIE) yang akan memberikan
gangguan yang menetap pada bayi sampai dengan kematian bayi baru

lahir. HIE ini pada bayi baru lahir akan terjadi secara cepat dalam waktu
1-2 jam, bila tidak diatasi secara cepat dan tepat (Aliyah Anna, 1997).

D. Manifestasi Klinis
Pada asfiksia tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya :
1. Hilang sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolic akan mengakibatkan menurunnya sel
jaringan termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan
jantung.
3.

Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan


tetap tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi
darah mengalami gangguan.

Gejala Klinis :
Bayi yang mengalami kekurangan O2 akan terjadi pernafasan yang
cepat dalam periode yang singkat apabila asfiksia berlanjut, gerakan
pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga menurun, sedangkan
tonus neuromuskular berkurang secara barangsur-angsur dan memasuki
periode apnue primer. Gejala dan tanda asfiksia neonatorum yang khas
antara lain meliputi pernafasan cepat, pernafasan cuping hidung, sianosis,
nadi cepat.
Gejala lanjut pada asfiksia :
1. Tachikardi
2. Denyut jantung terus menurun.
3. Tekanan darah mulai menurun.

4. Bayi terlihat lemas (flaccid).


5. Menurunnya tekanan O2 anaerob (PaO2).
6. Meningginya tekanan CO2 darah (PaO2).
7. Menurunnya PH (akibat acidosis respiratorik dan metabolik).
8. Dipakainya sumber glikogen tubuh anak metabolisme anaerob.
9. Terjadinya perubahan sistem kardiovaskular.
10. Pernafasan terganggu.
11. Reflek / respon bayi melemah.
12. Tonus otot menurun.
13. Warna kulit biru atau pucat.

E. Klasifikasi
1. Asfiksia Ringan
Skor APGAR 7-10. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan tindakan
istimewa.
2. Asfiksia Sedang
Skor APGAR 4-6. Pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi detak
jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis,
reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat

Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung


kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadangkadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada, pada asfiksia dengan henti
jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit
sebelum lahir lengkap atau bunyi jantung menghilang post partum
pemeriksaan fisik sama asfiksia berat (Kamarullah,2005).
Cara menilai tingkatan APGAR score menurut Utomo (2006) adalah
dengan :
a. Menghitung frekuensi jantung.
b. Melihat usaha bernafas.
c. Menilai tonus otot.
d. Menilai reflek rangsangan.
e. Memperlihatkan warna kulit.
Di bawah ini adalah tabel untuk menentukan tingkat derajat asfiksia yang
dialami bayi:

Tanda
Detak jantung
Pernafasan
Tonus otot

0
Tidak ada
Tidak ada
Lunglai

Reflek saat
jalan nafas
dibersihkan
Warna kulit

Tidak ada

Nilai 0-3

Biru/pucat

: Asfiksia berat

1
< 100x/menit
Tidak teratur
Fleksi
ekstermitas
(lemah)
Menyeringai

3
> 100x/menit
Menangis kuat
Fleksi kuat
Gerakan aktif
Batuk/bersin

Tubuh
Merah seluruh
kemerahan
tubuh
Ekstermitas biru

Nilai 4-6

: Asfiksia sedang

Nilai 7-10 : Ringan/ bisa dianggap Normal


Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5,
bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5
menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir
bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar)
Sumber : Utomo, (2006).
Menurut Mochtar (1998) asfiksia dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
a. Asfiksia livida (biru)
b. Asfiksia Pallida (putih)
Tabel 2.2. Perbedaan antara asfiksia livida dan asfiksia pallida
Perbedaan
Asfiksia livida
Warna kulit
Kebiru-biruan
Tonus otot
Masih baik
Reaksi rangsangan Positif
Bunyi jantung
Masih teratur
Prognosis
Lebih baik

Asfiksia Pallida
Pucat
Sudah kurang
Negatif
Tidak teratur
jelek

Asfiksia livida lebih baik dari pada asfiksia pallida, prognosis


tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi
yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus di pikirkan
kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada
masa mendatang.

F. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1. Edema otak dan Perdarahan otak

Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah


berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke
otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia dan
iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga dapat
menimbulkan perdarahan otak.
2. Anuria atau oliguria
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah jantung
akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan ginjal. Hal
inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada pembuluh darah
mesentrium dan ginjal yang menyebabkan pengeluaran urine sedikit.
3. Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan pertukaran
gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan persediaan O2 dan
kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat menyebabkan kejang pada anak
tersebut karena perfusi jaringan tak efektif.
4. Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan otak.
Komplikasi pada berbagai organ yakni meliputi :
1. Otak : Hipokstik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsi
serebralis.
2. Jantung dan paru: Hipertensi pulmonal persisten pada neonatorum,
perdarahan paru, edema paru.

3. Gastrointestinal: enterokolitis, nekrotikans.


4. Ginjal: tubular nekrosis akut.
5. Hematologi.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan asfiksia menurut Wiknjosastro
(2005) adalah sebagai berikut :
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh
penurunan suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel
jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat, perlu diperhatikan
untuk menjaga kehangatan suhu BBL dengan :
1. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak.
2. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar.
3. Bungkus bayi dengan kain kering.
b. Pembersihan jalan nafas
Saluran nafas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan
amnion, kepala bayi harus posisi lebih rendah sehingga memudahkan
keluarnya lender

c. Rangsangan untuk menimbulkan pernafasan


Rangsangan nyeri pada bayi dapat ditimbulkan dengan memukul kedua
telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan
vitamin K. Hal ini berfungsi memperbaiki ventilasi.
2. Tindakan khusus
a. Asfiksia berat (nilai apgar 0-3)
Resusitasi aktif dalam hal ini harus segera dilakukan yaitu dengan :
1. Memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara
langsung dan berulang atau dengan melakukan intubasi
endotracheal dan O2 dimasukkan dengan tekanan tidak lebih dari 30
ml. Hal ini mencegah terjadinya iritasi paru berlebihan sehingga
dapat terjadi ruptur aveoli. Tekanan positif ini dilakukan dengan
meniupkan udara ke dalam kateter dari mulut ke pipa atau ventilasi
kantong ke pipa.
2. Memberikan natrikus bikarbonat dengan dosis 2-4 mEQ/kg BB
3. Masase jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan diatas
tulang dada secara teratur 80-100 x/mnt. Tindakan ini berselingan
dengan nafas buatan, yaitu setiap 5 x masase diikuti 1x pemberian
nafas. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan
timbulnya komplikasi pneumotoracks jika tindakan ini dilakukan
bersamaan.
4. Memberikan obat-obatan 1/10.000 andrelin dengan dosis 0,5-

1 cc

secara intravena (sebegai obat inotropik) dan kalsium glukonat 50100 mm/kg BB secara intravena, untuk meningkatkan frekuensi
jantung.
b. Asfiksia sedang (Nilai Apgar 4-6)

Dilakukan rangsangan untuk menimbulkan reflek pernafasan dengan :


1. Melakukan rangsangan 30-60 detik setelah penilaian APGAR

menit.
2. Melakukan nafas buatan dengan memasukkan pipa ke dalam
hidung, O2 dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter/menit. Bayi
diletakkan dengan kepala dalam dorsofleksi, dilakukan dengan
membuka dan menutup lubang hidung dan mulut disertai dengan
menggerakkan dagu ke atas dan kebawah dalam frekuensi 20 x/
menit.
3. Melakukan pernafasan mulut ke mulut yag seharusnya dalam mulut
bayi dimasukkan pharingeal airway yang berfungsi mendorong
pangkal lidah ke depan, sebelum mulut penolong diisi O2 sebelum
peniupan, peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 2030 x/menit.
2. Tindakan lain dalam resusitasi
a. Pengisapan cairan lambung dilakukan pada bayi-bayi tertentu yaitu
pada bayi prematur, sebelumnya bayi mengalami gawat janin, pada
ibu yang mendapatkan anastesia dalam persalinan.
b. Penggunaan obat Nalorphin diberikan pada bayi yang disebabkan
oleh penekanan pernafasan akibat morfin atau petidin yang
diberikan selama proses persalinan.
Menurut Hidayat (2005), Cara pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan
asfiksia, antara lain :
1.

Asfiksi Ringan (Apgar score 7-10)

Caranya:

a. Bayi dibungkus dengan kain hangat


b. Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung
kemudian mulut.
c. Bersihkan badan dan tali pusat.
d. Lakukan observasi tanda vital dan apgar score dan masukan ke
dalam inkubator.
2. Asfiksia sedang (Apgar score 4-6)
Caranya :
a. Bersihkan jalan napas.
b. Berikan oksigen 2 liter per menit.
c. Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belu
ada reaksi,bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
d. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan
natrium bikarbonat 7,5%sebanyak 6cc.Dextrosa 40% sebanyak 4cc
disuntikan melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk
mencegah tekanan intra kranial meningkat.
3. Asfiksia berat (Apgar skor 0-3)
Caranya:
a. Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui lambubag.
b. Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
c. Bila tidak berhasil lakukan ETT (Endotracheal Tube).
d. Bersihkan jalan napas melalui ETT (Endotracheal Tube).

e. Apabila bayi sudah mulai benapas tetapi masih sianosis berikan


natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak
4cc.

H. Pencegahan
Pencegahan yang komprehensif dimulai dari masa kehamilan, persalinan
dan beberapa saat setelah persalinan. Pencegahan berupa :
1. Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan.
2. Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
lengkap pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan
asfiksia neonatorum.
3. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada
usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
4. Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan
deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan
dengan kardiotokografi.
5. Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan
asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan
kesehatan.
6. Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan
penanganan persalinan.
7. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari :
a. Persalinan yang bersih dan aman.
b. Stabilisasi suhu.

c. Inisiasi pernapasan spontan.


d. Inisiasi menyusu dini.
e. Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka
menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal
Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara
dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitative.
B.

Saran
Dari hasil kesimpulan yang telah dikemukakan maka dapat

diberikan saran-saran sebagai bahan masukan bagi pihak yang


bersangkutan dalam rangka meningkatkan kualitas dalam pemberian obat
anti diuretik guna menunjang peningkatan kualitas kesehatan ibu
sehingga dapat menjadi literature guna mendukung peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan khususnya kesehatan ibu.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Allen, Carol Vestal. 1998. Memahami Proses Keperawatan. Jakarta : EGC.
Aliyah Anna, dkk.1997. Resusitasi Neonatal. Jakarta: Perkumpulan perinatologi
Indonesia (Perinasia).

Aminullah, Asril.1994. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina pustaka


Sarwono Prawirohardjo.
Brownes . 1980 . Antenatal Care . The English and Language Book Society and
J& A Churcill
Carpenito. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 8. Jakarta : EGC
Doenges, EM. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Dr. Rusepno Hassan Dkk.1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :
Infomedika
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga Jilid I. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI.
Price, SA. 1996. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Volume 1.
Jakarta : EGC
Prof. Dr. Hanifa Winkjosastro, SpOG.2007. Ilmu Kebidanan Edisi Ke 3.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo.
Setiawan S.Kep.1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
Smeltzer, SC., Bare B.G. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Alih Bahasa : Monica Ester. Jakarta : EGC
Internet
http://akbidpaguwarmas.ac.id/cetak.php?id=11
http://adoen-berbagiilmu.blogspot.com/2012/04/asfiksiakep-anak-ii.html
http://irmawatisyakir.blogspot.com/20

You might also like