You are on page 1of 4

24

c. Gejala dan Tanda asfiksia


1) Tidak bernafas atau bernafas megap-megap
2) Warna kulit kebiruan
3) Kejang
4) Penurunan kesadaran
(Winkjosastro, 2008, p.109)
d. Penilaian asfiksia neonatorum
Tabel 2.1 Skor Apgar
012
Appearance
(warna kulit)
Pucat Badan merah dan
ekstremitas
kebiruan
Seluruh tubuh
kemerahan
Pulse
(denyut jantung)
Tidak ada <100 >100
Grimace
(reaksi terhadap
rangsang)
Tidak ada Menyeringai Bersin atau batuk
Activity
(kontraksi otot)
Tidak ada Ekstremitas sedikit
fleksi
Gerakan aktif
Respiration
(pernafasan)
Tidak ada Lemah atau tidak
teratur
Menangis kuat
(Yanti, 2010, p.253)
Arti nilai apgar :
1) Nilai 10 : normal
2) Nilai 7-9 : asfiksia ringan
3) Nilai 4-6 : asfiksia sedang
4) Nilai 0-3 : asfiksia berat
e. Manajemen terapi
Resusitasi BBL adalah prosedur yang diaplikasikan pada BBL yang
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa
saat setelah lahir. Tujuan utama resusitasi pada BBL adalah untuk
25

memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas (IDAI,
2008, p.103).
Untuk mendapatkan hasil yang sempurna dalam resusitasi, prinsip
dasar yang perlu diingat adalah menciptakan lingkungan yang baik bagi bayi
dan mengusahakan tetap bebasnya jalan nafas, memberikan bantuan
pernafasan secara aktif kepada bayi dengan usaha pernafasan buatan,
memperbaiki asidosis yang terjadi dan menjaga agar peredaran darah tetap
baik (Prawirohardjo, 2008, p.711).
Tindakan-tindakan yang diberikan kepada bayi dapat dibagi dalam 2
golongan.
1) Tindakan umum
Tindakan dikerjakan pada bayi tanpa memandang nilai apgar.
Setelah bayi lahir, diusahakan agar bayi mendapatkan pemanasan yang
baik. Harus dicegah atau dikurangi kehilangan panas dari tubuhnya.
Penggunaan sinar lampu untuk pemanasan luar dan untuk mengeringkan
tubuh bayi mengurangi evaporasi. Bayi diletakkan dengan kepala lebih
rendah dan penghisapan saluran pernafasan bagian atas segera dilakukan.
Hal ini harus dikerjakan dengan hati-hati untuk menghindarkan timbulnya
kerusakan-kerusakan mukosa jalan nafas, spasmus laring, dan kolaps paruparu.
Bila bayi belum menunjukkan usaha bernafas, rangsangan
terhadapnya harus segera dikerjakan. Hal ini dapat berupa rangsangan
nyeri dengan memukul kedua telapak kaki, menekan thendos Achilles atau
26
pada bayi-bayi tertentu diberikan suntikan vitamin K (Prawirohardjo,
2008, p.712).
2) Tindakan khusus
a) Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan memberikan O2 secara tekanan
langsung dan berulang-ulang. Cara terbaik ialah melakukan intubasi
endotrakeal dan setelah kateter dimasukkan ke dalam trakea, O2 diberikan
dengan tekanan tidak lebih dari 30 ml air. Tekanan positif dikerjakan
dengan meniupkan udara yang telah diperkaya dengan O2 melalui kateter
tadi. Untuk mencapai tekanan 30 ml air peniupan dapat dilakukan dengan
kekuatan kurang lebih 1/3 1/2 dari tiupan maksimal yang dapat
dikerjakan. Secara ideal napas buatan harus dilakukan dengan terlebih
dahulu memasang manometer. Untuk memperoleh tekanan positif yang
lebih aman dan efektif, dapat digunakan pompa resusitasi. Pompa ini
dihubungkan dengan kateter trachea, kemudian udara dengan O2
dipompakan secara teratur dengan memperhatikan gerakan-gerakan
dinding toraks. Bila bayi telah memperlihatkan pernapasan spontan,
kateter trakea segera dikeluarkan. Keadaan asfiksia berat ini hampir selalu
disertai dengan asidosis yang membutuhkan perbaikan segera. Karena itu,
bikarbonas natrikus 7,5% harus segera diberikan dengan dosis 2-4 ml/kg
berat badan.
27

Di samping itu glukosa 40% diberikan pula dengan dosis 1-2 ml/kg
berat badan. Obat-obat ini harus diberikan secara berhati-hati dan perlahanlahan.
Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan
frekuensi jantung menurun (kurang dari 100 permenit) maka pemberian obatobat
yang lain serta massage jantung sebaiknya segera dilakukan. Massage
jantung dikerjakan dengan melakukan penekanan di atas tulang dada secara
teratur 80-100 kali permenit. Tindakan ini dilakukan berselingan dengan nafas
buatan, setiap 5 kali massage jantung diikuti dengan satu kali pemberian nafas
buatan. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya
komplikasi pneumotoraks atau pneumomediastinum apabila tindakan
dilakukan secara bersamaan. Di samping massage jantung ini obat yang dapat
diberikan ialah larutan 1/10.000 adrenalin dengan dosis 0,5-1 cc secara
intravena atau intrakardial (untuk meningkatkan frekuensi jantung) dan
kalsium glukonat 50-100 mg/kg berat badan secara perlahan-lahan melalui
intravena (sebagai obat inotropik). Pada bayi dengan tanda-tanda renjatan,
cairan intravena berupa plasma darah atau cairan pengganti lainnya (volume
expander) harus segera diberikan. Bila tindakan-tindakan tersebut di atas tidak
memberi hasil yang diharapkan, keadaan bayi harus dinilai lagi karena hal ini
mungkin disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam dan basa yang belum
diperbaiki secara semestinya, adanya gangguan organic seperti hernia
diafragmatik, atresia atau stenosis jalan nafas dan lain-lain (Prawirohardjo,
2008, p.713).
28
b) Asfiksia ringan-sedang
Di sini dapat dicoba melakukan rangsangan untuk menimbulkan efek
pernafasan. Hal ini dapat dikerjakan selama 30-60 detik setelah penilaian
menurut apgar 1menit. Bila dalam waktu tersebut pernafasan tidak timbul,
pernafasan buatan harus segera dimulai. Pernafasan aktif yang sederhana
dapat dilakukan secara pernafasan kodok (frog breathing). Cara ini dikerjakan
dengan memasukkan pipa ke dalam hidung, dan O2 dialirkan dengan
kecepatan 1-2 liter dalam satu menit. Agar saluran nafas bebas, bayi
diletakkan dengan kepala dorsofleksi. Secara teratur dilakukan gerakan
membuka dan menutup lubang hidung dan mulut dengan disertai
menggerakan dagu ke atas dan ke bawah dalam frekuensi 20 kali semenit.
Tindakan ini dilakukan dengan memperhatikan gerakan dinding toraks dan
abdomen. Bila bayi mulai memperlihatkan gerakan pernafasan, ushakanlah
supaya gerakan tersebut diikuti. Pernafasan ini dihentikan bila setelah 1-2
menit tidak juga dicapai hasil yang diharapkan dan segera dilakukan
pernafasan buatan dengan tekanan postif secara tidak langsung. Pernafasan ini
dapat dilakukan dahulu dengan pernafasan dari mulut ke mulut. Sebelum
tindakan dilakukan, ke dalam mulut bayi dimasukkan pharyngeal airway yang
berfungsi mendorong pangkal lidah ke depan, agar jalan nafas berada dalam
keadaan sebebas-bebasnya. Pada pernafasan dari mulut ke mulut, mulut
penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum peniupan. Peniupan
dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan
gerakan pernafasan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil

29
bila setelah dilakukan beberapa saat, terjadi penurunan frekuensi jantung atau
pemburukan tonus otot. Dalam hal ini bayi harus diperlakukan sebagai
penderita asfiksia berat (Prawirohardjo, 2008, p.714).
c) Tindakan lain-lain dalam resusitasi
Penghisapan cairan lambung hanya dilakukan pada bayi-bayi tertentu
untuk menghindarkan kemungkinan timbulnya regurgitasi dan aspirasi,
terutama pada bayi yang sebelumnya menderita gawat janin, yang dilahirkan
dari ibu yang mendapat obat-obatan analgesia atau anesthesia dalam
persalinannya, bayi premature, dan sebagainya (Prawirohardjo, 2008, p.714).
3. Hubungan Cara Persalinan Letak Sungsang dengan Kejadian Asfiksia
Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah keadaan dimana bayi tidak dapat segera
bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir (Prawihardjo, 2008, p.709).
Asfiksia pada BBL (Bayi Baru Lahir) menjadi penyebab kematian 19% dari 5
juta kematian BBL setiap tahun. Letak sungsang merupakan keadaan dimana
janin terletak memanjang dengan kepala di fundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri (Prawirohardjo, 2008, p.606). Kejadian letak
sungsang berkisar antara 2% sampai 3% bervariasi di berbagai tempat.
Sekalipun kejadiannya kecil, tetapi mempunyai penyulit yang besar dengan
angka kematian sekitar 20% sampai 30%. (Manuaba, 2010, p.491). Angka
kematian bayi pada persalinan letak sungsang lebih tinggi dibandingkan
dengan letak kepala. Ada dua cara persalinan letak sungsang yaitu secara
pervaginam dan perabdominal.
30
Pada persalinan letak sungsang dengan cara pervaginam, kelahiran
kepala yang lebih lama dari 8 menit setelah umbilicus dilahirkan, akan
membahayakan kehidupan janin. Selain itu, bila janin bernafas sebelum
hidung dan mulut lahir dapat membahayakan, karena mucus yang terhisap
dapat menyumbat jalan nafas. Bahaya asfiksia janin juga terjadi akibat tali
pusat yang menumbung (Prawirohardjo, 2007, p.613). Sedangkan persalinan
letak sungsang dengan cara perabdominal dianggap memiliki prognosis lebih
baik pada bayi yang dilahirkan. Hal ini dikarenakan skor apgar, terutama 1
menit pertama, pada bayi yang dilahirkan pervaginam umumnya lebih rendah
daripada bila dilakukan seksio sesarea (Cunningham, 2005, p.564).

You might also like