You are on page 1of 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang
Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di
masyarakat dan golongan penyakit dengan ciri peradangan yang timbul akibat reaksi
imunologis terhadap alergi lingkungan. Walaupun faktor lingkunan merupakan faktor
penting, faktor genetik dalam manifestasi alergi tidak dapat di abaikan. Adanya alergi
terhadap suatu alergi tertentu menunjukkan bahwa sesorang pernah terpajan dengan
alergi bersangkutan sebelumnya. Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang
sering dijumpai di masyarakat. Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang
sering dijumpai di masyarakat. (WHO ARIA tahun 2001)
Alergi hidung adalah keadaan atopi yang paling sering dijumpai menyerang
20% anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain alergi
hidung dan penyakit atopi lainya lebih rendah, terutama pada negara yang kurang
berkembang. Insidensi penyakit tinggi pada anak-anak di bawah 5 tahun dan akan
menurun secara bertahap sesuai dengan bertambahnya umur. Rinitis merupakan salah
satu penyakit paling umum yang terdapat di Amerika Serikat, mempengaruhi lebih
dari 50 juta orang
Dilaporkan penyakit alergi yang sering dijumpai di Bagian Penyakit Dalam
RSCM Jakarta adalah asma, rinitis, urtikaria dan alergi makanan. Di Medan
dilaporkan manifestasi klinis pasien alergi saluran pernapasan adalah rinitis 41,9%,

asma 30,6%, asma + rinitis 25% dan batuk kronik 5%. Diperkirakan 10-20 %
penduduk pernah atau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang
setiap organ tubuh. Tetapi organ yang sering terkena adalah saluran napas dan kulit.
Keadaan ini sering berhubungan dengan kelainan pernapasan lainnya, seperti
asma. Rhinitis memberikan pengaruh yang signifikan pada kualitas hidup. Pada
beberapa kasus, dapat menyebabkan kondisi lainnya seperti masalah pada sinus,
masalah pada telinga, gangguan tidur, dan gangguan untuk belajar. Pada pasien
dengan asma, rinitis yg tidak terkontrol dapat memperburuk kondisi asmanya. Rinitis
tersebar di seluruh dunia, baik bersifat endemis maupun muncul sebagai KLB. Di
daerah beriklim sedang, insidensi penyakit ini meningkat di musim gugur, musim
dingin, dan musim semi.
Di daerah tropis, insidensi penyakit tinggi pada musim hujan. Sebagian besar
orang, kecuali mereka yang tinggal di daerah dengan jumlah penduduk sedikit dan
terisolasi, bisa terserang satu hingga 6 kali setiap tahunnya.
2.

Tujuan
Tujuan Umum
Mahasiswa mengetahui tentang berbagai alergi yang dapat ditimbulkan,
terutama pada Rhinitis Alergi dan Urtikaria. Mulai dari penyebabnya, gejala-gejala
apa yang timbul, serta penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penyakit tersebut.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien
gangguan sistem imunologi : Urtikaria

dengan

2. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan Urtikaria


3. Mahasiswa mampu menyusun rencana keperawatan Urtikaria
4. Mahasiswa mampu melakukan implementasi sesuai dengan rencana keperawatan
Urtikaria
5. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan Urtikaria
6. Mahasiswa mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada penyakit
Urtikaria

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Urtikaria adalah lesi sementara yang terdiri dari bentol sentral yang dikelilingi
oleh haloeritematosa. Lesi tersendiri adalah bulat, lonjong, atau berfigurata, dan
seringkali menimbulkan rasa gatal. (Harrison, 2005)
Urtikaria, yang dikenal dengan hives, terdiri atas plak edematosa (wheal) yang
terkait dengan gatal yang hebat (pruritus). Urtikaria terjadi akibat pelepasan histamine
selama respons peradangan terhadap alegi sehingga individu menjadi tersensitisasi.
Urtikaria kronis dapat menyertai penyakit sistemik seperti hepatitis, kanker atau
gangguan tiroid. (Elizabeth, 2007)
Urtikaria merupakan istilah klinis untuk suatu kelompok kelainan yang ditandai
dengan adanya pembentukan bilur-bilur pembekakan kulit yang dapat hilang
tanpa meninggalkan bekas yang terlihat. Pada umumnya kita semua pernah
merasakan salah satu bentuk urtikaria akibat jath (atau didorong) hingga gatal-gatal.
Gambaran patologis yang utama adalah didapatkannya edema dermal akibat
terjadinya dilatasi vascular, seringkali sebagai respons terhadap histamine (dan
mungkin juga mediator-mediator yang lain) yang dilepas oleh sel mast.(Tony, 2005)

Anatomi Fisiologi Sistem Imun


A. Pengertian sistem imun
Sistem Imun (bahasa Inggris: immune system) adalah sistem pertahanan manusia
sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau serangan
organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga
berperan dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain seperti yang
terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.
(Wikipedia.com)
Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar
biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem
kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi
bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh.
Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang,
sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu,
dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan
terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan
resiko terkena beberapa jenis kanker.

B. Fungsi dari Sistem Imun


Sumsum

Semua sel sistem kekebalan tubuh berasal dari sel-sel induk dalam sumsum tulang.
Sumsum tulang adalah tempat asal sel darah merah, sel darah putih (termasuk limfosit
dan makrofag) dan platelet. Sel-sel dari sistem kekebalan tubuh juga terdapat di
tempat lain.
Timus
Dalam kelenjar timus sel-sel limfoid mengalami proses pematangan sebelum lepas ke
dalam sirkulasi. Proses ini memungkinkan sel T untuk mengembangkan atribut
penting yang dikenal sebagai toleransi diri.
Getah bening
Kelenjar getah bening berbentuk kacang kecil terbaring di sepanjang perjalanan
limfatik. Terkumpul dalam situs tertentu seperti leher, axillae, selangkangan dan paraaorta daerah. Pengetahuan tentang situs kelenjar getah bening yang penting dalam
pemeriksaan fisik pasien.
Mukosa jaringan limfoid terkait (MALT)
Di samping jaringan limfoid berkonsentrasi dalam kelenjar getah bening dan limpa,
jaringan limfoid juga ditemukan di tempat lain, terutama saluran pencernaan, saluran
pernafasan dan saluran urogenital.

C.

Mekanisme Pertahanan
Mekanisme pertahanan pada system imun atau yang sering dikenal dengan nama

respon imunitas, terbagi menjadi 2 yaitu respon non spesifik dan respon spesifik.

Respon non spesifik tidak ditujukan terhadap sel/bakteri/virus tertentu. Contoh respon
non spesifik adalah inflamasi, interferon, natural killer dan komplemen. Sedangkan
respon spesifik lebih ditujukan terhadap sel/ bakteri/ virus tertentu. Contoh dari
aktivitas respon spesifik adalah limfosit B yang memberikan respon antibodi/
immunoglobulin (Ab/Ig) dan limfosit T.
1. Respon Imunitas Non Spesifik:

Inflamasi
Inflamsi sering disebut juga peradangan (radang). Inflamasi biasanya disebabkan

oleh infeksi mikrobial dan agen fisik seperti trauma, luka bakar, dan jaringan
nekrosis. Inflamasi bertujuan menghancurkan agen asing dan mempersiapkan proses
penyembuhan atau perbaikan.
Efek dari respon inflamasi berupa rubor (merah) karena vasodilatsi vascular, panas
(kalor) karena peningkatan vaskularisasi, bengkak (tumor) karena akumulasi cairan
(edema), dan nyeri (fungsio laesa) karena peningkatan tekanan dan berkurangnya
oksigenisasi.
Inflamasi terdiri dari beberapa rangkaian mekanisme. Bila jaringan diinvasi oleh
bakteri atau mengalami kerusakan, maka mast cell dari jaringan tersebut akan
melepas histamine dan kemotaksin. Histamine dan kemotaksin memacu vasodilatasi
arteri dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Akibatnya, sel darah dan cairan akan
terakumulasi di jaringan. Akumulasi ini bertujuan untuk mefasilitasi fagositosis zat
asing dan memacu pembekuan darah. Kondisi ini menyebabkan area inflamsi
dilokalisasi.
Interferon

interferon adalah protein yang menghambat replikasi virus agar tidak menyebar ke
sel-sel sehat yang belum terinfeksi. Saat virus masuk ke suatu sel, sel yang terinfeksi
melepas interferon. Interferon menyebar ke reseptor sel yang sehat. Sel sehat akan
memproduksi enzim pemecah mRNAvirus. Bila virus menyebar ke sel yang sehat
yang telah ditempeli interferon, maka virus tersebut akan diblokade enzim sehingga
virus gagal bereproduksi.
Naturall Cell Killer
Sel pembunuh alami termasuk dalam kelompok sel limfosit. Sel ini membunuh sel
virus dan sel maligna (ganas) dengan cara melisis (melumatkan) membran sel target.
Sel-sel ini aktif pada infeksi atau malignansi yang baru. Akan tetapi, sel ini berbeda
dengan sel limfosit yang lain karena tidak memiliki kemampuan memori.

Sistem Komplemen
System komplemen adalah kelompok protein yang diaktifkan oleh organisme
asing dan distimulasi oleh antibody (Ab). Protein komplemen terdiri dari 11 macam
(C1-C11) dengan karakter yang berbeda-beda. Secara umum, system komplemen
berperan menunjang aktivitas Ab (komplemen=penunjang).
2. Mekanisme Pertahanan Spesifik
Respon imun spesifik hanya bekerja menyerang agen patogen tertentu. Respon
imun ini terdiri dari 2 tipe yaitu tipe imunitas humoral dan imunitas mediasi sel.
Imunitas humoral adalah imunitas yang dimediasi oleh antibodi yang diproduksi oleh
limfosit B. imunitas humoral efektif untuk bakteri, toksin, dan beberepa virus.
Sedangkan imunitas mediasi sel diaktivasi oleh limfosit T. Imunitas ini efektif untuk
sel yang bermasalah seperti sel yang terinfeksi atau sel kanker.

Imunitas Humoralmediasi Ab
Sel limfosit B terdiri dari sel plasma dan sel memori. sel plasma banyak mengandung
retikulum endoplasma

kasar. Reticulum endoplasma ini berperan menghasilkan

antibody. Sel memori berperan mengenali Ag asing yang berperan memapar tubuh
sebelumnya.
Imunitas mediasi sel
Imunitas ini berespon pada sel-sel yang bermasalah. Imunitas ini bertujuan untuk
melindungi tubuh terhadap agen aptogen yang bersembunyi di dalam sel dan tidak
dapat dicapai oleh antibody maupun komplemen. Contoh imunitas mediasi sel ini
adalah sel sitotoksik T, sel helper T, sel suppressor T (sitokin). Imunitas ini bekerja
dengan cara mengeliminasi sel-sel yang bermasalah.

D. Antibodi (Immunoglobulin)
Antibodi (bahasa Inggris:antibody, gamma globulin) adalah glikoprotein dengan
struktur tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi
menjadi sel plasma, sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen
tersebut. Pembagian Immunglobulin
Antibodi A (bahasa Inggris: Immunoglobulin A, IgA) adalah antibodi yang
memainkan peran penting dalam imunitas mukosis (en:mucosal immune). IgA

banyak ditemukan pada bagian sekresi tubuh (liur, mukus, air mata, kolostrum dan
susu) sebagai sIgA (en:secretoryIgA) dalam perlindungan permukaan organ tubuh
yang terpapar dengan mencegah penempelan bakteri dan virus ke membran mukosa.
Kontribusi fragmen konstan sIgA dengan ikatan komponen mukus memungkinkan
pengikatan mikroba.
Antibodi D (bahasa Inggris: Immunoglobulin D, IgD) adalah sebuah monomer
dengan fragmen yang dapat mengikat 2 epitop. IgD ditemukan pada permukaan
pencerap sel B bersama dengan IgM atau sIga, tempat IgD dapat mengendalikan
aktivasi dan supresi sel B. IgD berperan dalam mengendalikan produksi autoantibodi
sel B. Rasio serum IgD hanya sekitar 0,2%.
Antibodi E (bahasa Inggris: antibody E, immunoglobulin E, IgE) adalah jenis
antibodi yang hanya dapat ditemukan pada mamalia. IgE memiliki peran yang besar
pada alergi terutama pada hipersensitivitas tipe 1. IgE juga tersirat dalam sistem
kekebalan yang merespon cacing parasit (helminth) seperti Schistosoma mansoni,
Trichinella spiralis, dan Fasciola hepatica, serta terhadap parasit protozoa tertentu
sepertiPlasmodium falciparum, dan artropoda.
Antibodi G (bahasa Inggris: Immunoglobulin G, IgG) adalah antibodi
monomeris yang terbentuk dari dua rantai berat dan rantai ringan , yang saling
mengikat dengan ikatan disulfida, dan mempunyai dua fragmen antigen-binding.
Populasi IgG paling tinggi dalam tubuh dan terdistribusi cukup merata di dalam darah
dan cairan tubuh dengan rasio serum sekitar 75% pada manusia dan waktu paruh 7
hingga 23 hari bergantung pada sub-tipe.

Antibodi M (bahasa Inggris: Immunoglobulin M, IgM, macroglobulin) adalah


antibodi dasar yang berada pada plasma B. Dengan rasio serum 13%, IgM merupakan
antibodi dengan ukuran paling besar, berbentuk pentameris 10 area epitop pengikat,
dan teredar segera setelah tubuh terpapar antigen sebagai respon imunitas awal
(en:primary immune response) pada rentang waktu paruh sekitar 5 hari. Bentuk
monomeris dari IgM dapat ditemukan pada permukaan limfosit- B dan reseptor selB.
IgM adalah antibodi pertama yang tercetus pada 20 minggu pertama masa janin
kehidupan seorang manusia dan berkembang secara fitogenetik (en:phylogenetic).
Fragmen konstan IgM adalah bagian yang menggerakkan lintasan komplemen klasik.

B.

Klasifikasi
Jenis urtikaria : (Mark,1996)
1. Idiopatik adalah kelompok terbesar, merupakan sepertiga dari kasus urtikaria
akut dan dua pertiga dari urtikaria kronik.
2. Fisik. Sekitar 15% kasus. Biasanya dapat ditemukan penyebab yang dikenali.
Terdapat beberapa jenis ;
a. Dermatografisme : reaksi terhadap goresan keras pada kulit yang
timbul dalam 1 sampai 3 menit dan berlangsung 5 sampai 10 menit.

b. Urtikaria kolinergik. Olahraga atau berkeringat merupakan agen


pencetusnya, menyebabkan timbulnya 10% reaksi, mengenai orang
muda, dan dapat berlangsung selama 6 sampai 8 tahun. Lesi timbul
sebagai wheal berukuran 1 sampai 2 mm pada dasar eritematosa yang
menyaru serta ditemukan pada batang badan dan lengan tanpa
mengenai telapak tangan, telapak kaki, dan aksila.
c. Urtikaria dingin. Reaksi terhadap pajanan dingin atau penghangatan
kembali setelah terpajan dingin
d. Urtikaria sinar matahari. Reaksi yang jarang terjadi, disebabkan oleh
pajanan sinar matahari. Penyakit ini timbul sebagai pruritus dan
eritema, yang diikuti oleh urtikaria. Awitan mendadak dan timbul pada
setiap kelompok usia.
e. Urtikaria tekanan lambat. Reaksi yang jarang terjadi, disebabkan oleh
tekanan terus-menerus.
f. Urtikaria akuagenik. Reaksi yang jarang terjadi, disebabkan oleh
kontak dengan air. Urtikaria panas setempat. Reaksi yang jarang
terjadi, disebabkan oleh air panas.
C. Etiologi
Etiologi Urtikaria. (Harrison, 2005) :

1. Gangguan kulit primer


Urtikaria fisikal, yang terdiri dari:
1. Dermatografisme
2. Urtikaria solaris
3. Urtikaria dingin
4. Penyakit sistemik

2. Urtikaria kolinergik
Penyebab terjadinya urtikari bisa karena: (Davey, 2005)
1. Obat-obatan sistemik dapat menimbulkan urtikaria secara imunologik yang
mampu menginduksi degranasi sel mast, bahan kolinergik misalnya asetilkolin,
dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung
dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Obat-obatan seperti :
Aspirin, kodein, morfin, OAINS
2. Jenis makanan yang dapat menyebabakan alergi misalnya: telur, ikan, kerang,
coklat, jenis kacang tertentu, tomat, tepung, terigu, daging sapi, udang, dll.
3. Inhalan bisa dari serbuk sari, spora, debu rumah.
4. Infeksi Sepsis fokal (misalnya infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan
atas, hepatitis,Candida spp, protozoa, cacing)
5. Sistemik : SLE, retikulosis, dan karsinoma

6. Faktor fisik seperti cahaya (urtikaria solar), dingin (urtikaria dingin), gesekan atau
tekanan (dermografisme), panas (urtikaria panas), dan getaran (vibrasi) dapat
langsung menginduksi degranulasi sel mast.
7. Genetik, terjadi difesiensi alfa-2 glikoprotein yang mengakibatkan pelepasan
mediator alergi.

D. Patofisiologi
Patofisiologi urtikaria :
Urtikaria sering terjadi dan merupakan akibat dari degranulasi sel mast (reaksi
imunolpgis tipe 1) sebagai respons terhadap antigen, dengan pelepasan histamin dan
mediator vasoaktif lainnya, yang menyebabkan timbulnya eritema dan edema. Pasienpasien dengan kondisi ini, 70% diantaranya mengalami urtikaria idiopatik (dimana
antigennya tidak diketahui), sisanya mengalami bentuk urtikaria lain. Urtikaria, jika
berat juga dapat mengenai jaringan subkutan dan mengakibatkan terjadinya
angioedema (pembengkakan pada tangan, bibir, sekitar mata, dan walaupun jarang
tetapi penting untuk diperhatikan yaitu pada lidah atau laring). (Davey, 2005)
Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang saling
berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya,
aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator
peradangan. Sel mast menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Bahanbahan ini meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast dan merangsang

peningkatan aktivitas ELAM dan VCAM, yang memicu migrasi limfosit dan
granulosit menuju tempat terjadinya lesi urtikaria (Anonimous, 2007).
Peristiwa ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan
terjadinya edema lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan
bengkak pada lapisan dermal kulit. Urtikaria akut bisa terjadi secara sistemik jika
allergen diserap kulit lebih dalam dan mencapai sirkulasi. Kondisi ini terjadi pada
urtikaria kontak, misalnya urtikaria yang terjadi karena pemakaian sarung tangan
latex, dimana latex diserap kulit dan masuk ke aliran darah, sehingga menyebabkan
urtikaria sistemik.
Urtikaria akut juga bisa terjadi pada stimulasi sel mast tanpa adanya ikatan IgE
dengan allergen. Misalnya, pada eksposure pada media radiocontrast, dimana pada
saat proses radiologi berlangsung, akan terjadi perubahan osmolalitas pada
lingkungan yang mengakibatkan sel mast berdegranulasi (Anonimous, 2007).
Faktor imunologik maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau
basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin
sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada
pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivate
amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotic
berperan pada keadaan ini.
Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit
yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk
melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X,

dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya
demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah
kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas (Djuanda, 2008).
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang
kronik, biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena
adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi
degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak
pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan.
Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun
secara alternative menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu
merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan
kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat
kontak terjadi pemakaian bahan serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.
E.

Manifestasi Klinis
Bentuk klinis Urtikaria fisik : (Tony, 2005)
1. Dermografisme : bilur-bilur tampak sesudah adanya bekas-bekas garukan. Hal ini
bisa timbul tersendiri atau bersama dengan bentuk-bentuk urtikaria yang lain.
2. Penekanan (timbulnya belakangan) : bilur-bilur timbul dalam waktu sampai 24 jam
sesudah terjadinya penekanan.

3. Urtikaria kolinergik : yang diserang adalah laki-laki muda ; kulit yang berkeringat
disertai oleh adanya bilur-bilur kecil berwarna putih dengan lingkaran berwarna
merah pada badan bagian atas.

F. Komplikasi
1. Purpura dan excoriasi
2. Infeksi sekunder
3. Bibir kering

G. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Diagnostis Urtikaria :
1. a. Urtikaria akut. Uji laboratorium pada umumnya tidak diperlukan.
b. Urtikaria kronik. Jika penyebab agen fisik telah disingkirkan, maka penggunaan
pemeriksaan laboratorium, radiografik, dan patologik berikut ini dapat memberikan
petunjuk untuk diagnosis penyakit sistemik yang samar.
2. Uji rutin
a. Laboratorium. Hitung darah lengkap dengan diferensial, profil kimia, laju endap
darah (LED), T4, pengukuran TSH, urinalisis dan biakan urine, antibody antinuclear
b. Radiografik. Radiograf dada, foto sinus, foto gigi, atau panorex

c.

Uji selektif. Krioglobulin, analisis serologic hepatitis dan sifilis, factor

rheumatoid, komplemen serum, IgM, IgE serum


d. Biopsi kulit. Jika laju endap darah meningkat, lakukan biopsy nyingkirkakulit
untuk men kemungkinan vaskulitis urtikaria.

H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan (Arvin, 1996)
Pada kebanyakan keadaan, urtikaria merupakan penyakit yang sembuh sendiri
yang memerlukan sedikit pengobatan lainnya, selain dari antihistamin. Hidroksizin
(Atarax) 0,5 ml/kg, merupakan salah satu antihistamin yang paling efektif untuk
mengendalikan urtikaria, tetapi difenhidramin (Benadryl), 1,25 mg/kg, dan
antihistamin lainnya juga efektif. Jika perlu, dosis ini dapat diulangi pada interval 4-6
jam.
Epinefrin 1 : 1000, 0,01 ml/kg, maksimal 0,3 ml, biasanya menghasilkan
penyembuhan yang cepat atas urtikaria akut yang berat. Hidroksizin (0,5 ml/kg setiap
4-6 jam) merupakan obat pilihan untuk urtikaria kolinergik dan urtikaria kronis.
Penggunaan bersama antihistamin tipe H1 dan H2 kadang-kadang membantu
mengendalikan urtikaria kronis. Antihistamin h2 saja dapat menyebabkan eksaserbasi
urtikaria. Siproheptadin (Periactin) (2-4 mg setiap 8-12 jam) terutama bermanfaat
sebagai agen profilaksis untuk urtikaria dingin.

Siproheptadin dapat menyebabkan rangsangan nafsu makan dan penambahan


berat pada beberapa penderita. Tabir surya merupakan satu-satunya pengobatan yang
efektif untuk urtikaria sinar matahari. Kortikosteroid mempunyai pengaruh yang
bervariasi pada urtikaria kronis ; dosis yang diperlukan untuk mengendalikan
urtikaria sering begitu besar sehingga obat-obat tersebut menimbulkan efek samping
yang serius. Urtikaria kronis sering tidak berespons dengan baik pada manipulasi diet.
Sayang sekali, urtikaria kronis dapat menetap selama bertahun-tahun.

I. ASUHAN KEPERAWATAN URTIKARIA


A. Pengkajian
1.

Identitas Pasien.

2.

Keluhan Utama.
Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.

3.

Riwayat Kesehatan.
a.

Riwayat Penyakit Sekarang :

Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan
utama dan tindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
b.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
c.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit
lainnya.
d.

Riwayat Psikososial :

Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang mengalami


stress yang berkepanjangan.
e.

Riwayat Pemakaian Obat :

Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau
pernahkah pasien tidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat.
f.

Pemeriksaan fisik

KU : lemah
TTV : suhu naik atau turun.
- Kepala :
Bila kulit kepala sudah terkena dapat terjadi alopesia.
- Mulut :
Dapat juga mengenai membrane mukosa terutama yang disebabkan oleh obat.
- Abdomen :
Adanya limfadenopati dan hepatomegali.
- Ekstremitas :
Perubahan kuku dan kuku dapat lepas.
- Kulit :
Kulit periorbital mengalami inflamasi dan edema sehingga terjadi ekstropion pada
keadaan kronis dapat terjadi gangguan pigmentasi. Adanya eritema , pengelupasan
kulit , sisik halus dan skuama.
B.

Diagnosa

1.

Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka akibat gangguan

integritas
2.

Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen

3.

Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus

4.

Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus

5.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak bagus.

6.

Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan inadekuat

informasi

C. Intervensi
1. Dx

: Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka akibat

gangguan integritas
Tujuan

: Tidak terjadi infeksi

Kriteria Hasil : a. Hasil pengukuran tanda vital dalam batas normal.


b. Tidak ditemukan tanda-tanda infeksi (kalor,dolor, rubor, tumor,
infusiolesa)
Intervensi

Rasional

a. Lakukan tekni aseptic dan antiseptic


a.
dalam

melakukan

tindakan

pada mengirangi dan mencegah kontaminasi

pasien.
Ukur tanda vital tiap 4-6 jam

Dengan teknik septik dan aseptik dapat

kuman.
b.

Suhu yang meningkat adalah imdikasi

c. Observasi adanya tanda-tanda infeksi

terjadinya proses infeksi

d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk


c.

Deteksi dini terhadap tanda-tanda infeksi

pemberian diet

d. Untuk menghindari alergen dari makanan

e. Libatkan peran serta keluarga dalam


e.
memberikan bantuan pada klien.
f.

Memandirikan keluarga

f.

Menghindari

alergen

yang

dapat

Jaga lingkungan klien agar tetap meningkatkan urtikaria.


bersih

2. Dx

: Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen


Tujuan : Tidak terjadi kerusakan pada kulit

Kriteria Hasil : Klien akan mempertahankan integritas kulit, ditandai dengan


menghindari alergen.

Intervensi

Rasional

a. Ajari klien menghindari atau menurunkan


a.
paparan

terhadap

alergen

yang

Pantau

b.
kegiatan

klien

yang

alergen

akan

telah menurunkan respon alergi.

diketahui.
b.

Menghindari

Menghindari dari bahan makanan

dapat yang mengandung alergen.

menyebabkan terpapar langsung dengan


c.
alergen. Seperti : stimulan fisik. dan kimia

Binatang
memelihara

sebaiknya
binatang

atau

hindari
batasi

c. Baca label makanan kaleng agar terhindar keberadaan binatang di sekitar area

dari

bahan

makan

yang

mengandung rumah.

alergen.

d.

AC membantu menurunkan paparan

d. Hindari binatang peliharaan.

terhadap beberapa alergen yang ada di

e. Gunakan penyejuk ruangan (AC) di rumah lingkungan.


atau di tempat kerja, bila memungkinkan.
f.

3.. Dx
Tujuan

: Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan pruritus


: Rasa nyaman klien terpenuhi

Kriteria Hasil :
a.

Klien menunjukkan berkurangnya pruritus, ditandai dengan berkurangnya lecet

akibat garukan.
b. klien tidur nyenyak tanpa terganggu rasa gatal
c.

klien mengungkapkan adanya peningkatan rasa nyaman

Intervensi

Rasional

a. Jelaskan gejala gatal berhubungan dengan1. a. Dengan mengetahui proses fisiologis


penyebabnya (misal keringnya kulit) dan dan psikologis dan prinsip gatal serta
prinsip terapinya (misal hidrasi) dan siklus penangannya akan meningkatkan rasa
gatal-garuk-gatal-garuk.
2.

b. Cuci semua pakaian sebelum digunakan

kooperatif.

untuk menghilangkan formaldehid dan2. b. Pruritus sering disebabkan oleh


bahan

kimia

lain

serta

hindari dampak iritan atau allergen dari bahan

menggunakan pelembut pakaian buatan kimia atau komponen pelembut pakaian.


pabrik.
c. Gunakan deterjen ringan dan bilas pakaianc. Bahan yang tertinggal (deterjen) pada
untuk memastikan sudah tidak ada sabun pencucian pakaian dapat menyebabkan
yang tertinggal.

iritasi.

4.

d. Mengurangi penyebab gatal karena


d. Jaga kebersihan kulit pasien

terpapar alergen.
5. e. Mengurangi rasa gatal.

e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian


obat pengurang rasa gatal

4. Dx

: Gangguan pola tidur berhubungan dengan pruritus

Tujuan

: Klien bisa beristirahat tanpa adanya pruritus

Kriteria Hasil :
a.

Mencapai tidur yang nyenyak.

b. Melaporkan gatal mereda


c.

.Mempertahankan kondisi lingkungan yang tepat.

d. .Menghindari konsumsi kafein


e.

.Mengenali tindakan untuk meningkatkan tidur.

f.

Mengenali pola istirahat/tidur yang memuaskan.

Intervensi
1.

Rasional

a. Mengerjakan hal ritual menjelang tidur. 1 a. Udara yang kering membuat kulit
terasa gatal, lingkungan yang nyaman
meningkatkan relaksasi.
2 b. Tindakan ini mencegah kehilangan

2. b. Menjaga agar kulit selalu lembab.

air, kulit yang kering dan gatal


biasanya tidak dapat disembuhkan
tetapi bisa dikendalikan.
3
c. Kafein memiliki efek puncak 2-4 jam
c. Menghindari minuman yang mengandung setelah dikonsumsi.
kafein menjelang tidur.
4.

d. Memberikan efek menguntungkan

d. Melaksanakan gerak badan secara teratur.

bila dilaksanakan di sore hari.

e. Memudahkan peralihan dari keadaan


e. Nasihati klien untuk menjaga kamar tidur terjaga ke keadaan tertidur.
agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban
yang baik.

5. Dx

: Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang


tidak bagus.
Tujuan

: Pengembangan peningkatan penerimaan diri pada klien tercapai

Kriteria Hasil :
i. Mengembangkan peningkatan kemauan untuk menerima keadaan diri.
ii. Mengikuti dan turut berpartisipasi dalam tindakan perawatan diri.
iii. Melaporkan perasaan dalam pengendalian situasi.
iv. Menguatkan kembali dukungan positif dari diri sendiri.
v. Mengutarakan perhatian terhadap diri sendiri yang lebih sehat.
vi. Tampak tidak meprihatinkan kondisi.
vii. Menggunakan teknik penyembunyian kekurangan dan menekankan teknik untuk
meningkatkan penampilan

a.

Kaji

Intervensi
adanya gangguan

(menghindari

kontak

citra

Rasional
diri
a. Gangguan citra diri akan menyertai setiap

mata,ucapan penyakit/keadaan yang tampak nyata bagi

merendahkan diri sendiri).

klien,

kesan

orang

terhadap

dirinya

berpengaruh terhadap konsep diri.


b. Identifikasi stadium psikososial terhadap
b.
perkembangan.

Terdapat

Berikan

kesempatan

antara

stadium

perkembangan, citra diri dan reaksi serta


pemahaman

c.

hubungan

pengungkapan kulitnya.

klien

terhadap

kondisi

c.
perasaan.

Klien

membutuhkan

pengalaman

didengarkan dan dipahami.


4.

d. Nilai rasa keprihatinan dan ketakutan d. Memberikan kesempatan pada petugas


klien,

bantu

klien

mengembangkan

yang

kemampuan

cemas untuk menetralkan kecemasan yang tidak


untuk perlu

menilai diri dan mengenali masalahnya.

terjadi dan memulihkan realitas

situasi, ketakutan merusak adaptasi klien .


5.

e. Dukung upaya klien untuk memperbaiki e. Membantu meningkatkan penerimaan diri


citra diri , spt merias, merapikan.

dan sosialisasi.

f. Mendorong sosialisasi dengan orang lain. f. Membantu meningkatkan penerimaan diri


dan sosialisasi.
6. Dx

: Kurang pengetahuan tentang program terapi berhubungan dengan

inadekuat informasi
Tujuan

: Terapi dapat dipahami dan dijalankan

Kriteria Hasil :
a.

Memiliki pemahaman terhadap perawatan kulit.

b. Mengikuti terapi dan dapat menjelaskan alasan terapi.


c.

Melaksanakan mandi, pembersihan dan balutan basah sesuai program.

d. Menggunakan obat topikal dengan tepat.


e.

Memahami pentingnya nutrisi untuk kesehatan kulit.

Intervensi

Rasional

a. Kaji apakah klien memahami dan mengertia.


tentang penyakitnya.

Memberikan

data

dasar

untuk

mengembangkan rencana penyuluhan

b. Jaga agar klien mendapatkan informasib. Klien harus memiliki perasaan bahwa
yang

benar,

memperbaiki

kesalahan sesuatu dapat mereka perbuat, kebanyakan

konsepsi/informasi.

klien merasakan manfaat.

c. Peragakan penerapan terapi seperti, mandic. Memungkinkan klien memperoleh cara


dan pembersihan serta balutan basah.

yang tepat untuk melakukan terapi.

d. Nasihati klien agar selalu menjaga hygiened. Dengan terjaganya hygiene, dermatitis
pribadi juga lingkungan.

alergi sukar untuk kambuh kembali.

e. tekankan perlunya melanjutkan terapi / e. penghentian dini dapat mempengaruhi


penggunaan obat-obatan topikal.

pertahanan alami tubuh melawan infeksi.

f. identifikasi sumber-sumber pendukung f. keterbatasan aktivitas dapat mengganggu


yang

memungkinkan

untuk kemampuan

pasien

untuk

memenuhi

mempertahankan perawatan di rumah yang kebutuhan sehari-hari.


dibutuhkan.
D. Implementasi
Implementasi adalah serangkai kegiatan yang di lakukan oleh perawat untuk
membantu klien dari status masalah kesehatan yang di hadapi ke status kesehatan

yang lebih baik yang menggambarkan kreteria hasil yang di harapkan ( gordon, 1994,
dalam potter dan perry, 1997)
E.

Evaluasi
1. Tidak terjadinya infeksi
2. Tidak terjadinya kerusakan kulit klien
3. klien tidur nyenyak tanpa terganggu rasa gatal karena berkurangnya pruritus dan
ditandai dengan berkurangnya lecet akibat garukan.
4. Tercapainya pola tidur/istirahat yang memuaskan
5. Menerima keadaan diri
6. Memahami tentang perawatan kulit dan terapi pengobatan

BAB III
PE N UTU P
A. Kesimpulan
Urtikaria, yang dikenal dengan hives, terdiri atas plak edematosa (wheal) yang
terkait dengan gatal yang hebat (pruritus). Urtikaria terjadi akibat pelepasan histamine
selama respons peradangan terhadap alegi sehingga individu menjadi tersensitisasi.
Urtikaria kronis dapat menyertai penyakit sistemik seperti hepatitis, kanker atau
gangguan tiroid. (Elizabeth, 2007)
Penyebab terjadinya urtikari bisa karena: Obat-obatan, Jenis makanan , Inhalan
yang berasal dari serbuk sari, spora, debu rumah, Infeksi Sepsis fokal (misalnya
infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernafasan atas, hepatitis,Candida spp,
protozoa, cacing), Sistemik : SLE, retikulosis, dan karsinoma, Faktor fisik seperti
cahaya

(urtikaria

solar),

dingin

(urtikaria

dingin),

gesekan

atau

tekanan

(dermografisme), panas (urtikaria panas), dan getaran (vibrasi) dapat langsung


menginduksi degranulasi sel mast, serta Genetik.
B. Saran
Mempelajari tentang penyakit urtikaria member kita manfaat yang besar.
Terutama

kita

sebagai

calon

perawat

professional

(mahasiswa/mahasiswi

keperawatan). Karena penyakit ini terkadang sangat sulit untuk di diagnosa. Untuk itu
perlu pemahaman yang sangat besar bagi kita untuk mempelajari materi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aishah S. Urtikaria. ln:Djuanda A, Hamzah Mochtar, Aisah S, eds. Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin Tempat. Indonesia: Balai Penerbit FKUI Jakarta; 2007.p.169

Anenomouse. Askep

Rhinitis

Alergik. Avaibable

from

{hyperlink

http://askeprhinitisalergika.blogspot.com/, [accessed 14/05/2012]}


Anenomouse. Sinusitis. Avaibable from {hyperlink http://kumpulan-asuhankeperawatan.blogspot.com/2008/12/asuhan-keperawatan-sinusitis.html,

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Efiaty Arsyad Soepardi. (2007). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Dan Leher, edisi 6. Jakarta : FKUI.

Kumala, Poppy. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta : EGC.


Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2002). Buku Ajar Keperawatn Medikal- Bedah, Vol 1.

You might also like