You are on page 1of 4

Jazz 7 Langit

Oleh Muhammad Ainun Nadjib


1
Apa benar Jazz itu suatu aliran musik? Alangkah sempitnya kalau ia hanya sebuah aliran, berjajar atau
berderet dengan aliran-aliran yang lain.
Aku tak mau Jazz sekedar sebuah sungai yang mengalir, betapapun indahnya sungai itu. Bahkan pun
andai ia sungai di sorga.
Aku mau Jazz itu pengembaraan di jagat raya.
Aku mau Jazz itu petualangan kemerdekaan menyusuri seluruh wilayah, bidang, garis, titik-titik,
ketinggian dan kedalaman, cakrawala yang menantang atau jiwa rebah di bumi, kemudian terbang
kembali ke segala penjuru langit tujuh.
Tujuh Langit, di luar maupun di dalam diri kita.
2
Tentu saja Jazz itu suatu aliran. Tetapi aku benci kata aliran dirampok oleh epistemologi, disempitkan
oleh kebudayaan, didangkalkan oleh bahasa, dan dikerdilkan oleh politik dan institusi Agama.

Jazz 7 Langit
Jangan katakan Jazz itu aliran. Nyanyikan: Jazz itu mengalir.
Jazz itu berlompatan, berhembus, terbang melayang, menelusup dan menyelam.

Jazz menyapa setiap kemungkinan, Jazz menyentuh segala probabilitas. Jazz memandang horizon nun
jauh, Jazz mendekap cakrawala di rahim rahasia dirinya.
Jazz itu cahaya yang meledak dari Al-Ahad, Sang Entitas Tunggal, memecah diri-Nya menjadi dan
mencapai A-Wahid, menyebar, menabur, menjagat mensemesta, meruang tanpa sisa, mewaktu, bertualang
di Fana, menembus Baqa.
Jazz itu semangat iradah cinta dan hak absolut kemerdekaan Allah atas diri-Nya dan apapun saja yang
diciptakan oleh-Nya. Allah menyamar menjadi alam semesta, menjadi ummat manusia, menjadi bunyi
dan warna, menjadi kata dan makna.
Allah menggemerecakkan nyanyian pada gitar, Allah berdendang pada trombone, terompet dan saksopon,
Allah melampiaskan rindu pada tabuhan drum, Allah menyatakan cinta dari belakang punggung para
pengrawit, Allah bermanja dan pura-pura mengeluh di snar biola, Allah melantunkan lagu, meneriakkan
janji kasih sayang, memekikkan rasa menyatu, sambil bersembunyi di dalam leher penyanyi hamba-Nya.
3
Jazz itu penerimaan seluruh muatan ruang dan waktu, bahkan kesetiaan mengetuk semua pintu.
Jazz tidak membuang siapa-siapa, Jazz tidak mengharamkan apa-apa, Jazz memanggul ilmu, kecerdasan
dan kepekaan untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Haram adalah disharmoni, sesuatu yang dijodohkan padahal bukan jodohnya, sesuatu yang dipadukan
padahal bukan paduannya.
Maka Jazz tidak mengenal fals, karena pelakunya mengerti untuk tidak mempertemukan dua hal yang
semestinya bersemayam di tempat yang berbeda.
Jazz itu puncak kesadaran Mizan, keseimbangan, harmoni. Harmoni adalah kejujuran atas diri, letaknya
dan lelakunya. Kejujuran adalah keikhlasan menjadi diri tempat Tuhan menjelma, serta kerelaan berada
di maqam atau wilayah yang telah disusun ditata oleh sunnah-Nya.
Orang yang belum mempelajari harmoni, belum meneliti peta iradah dan tata sunnah, terkurung di
dalam kebutaan dan kebodohan untuk membuang-buang yang ia tak pahami, menghardik-hardik yang ia
belum mengerti, mensesat-sesatkan yang ia belum dalami.
Orang mengharam-haramkan saudaranya dan mengusir-usir mereka dari hakekat cinta, karena belum
mengetahui bahwa tidak ada sejengkal ruangpun di luar jagat kasih sayang-Nya.
4
Hai.
Apakah Jazz itu musik?
Dan musik adalah bagian dari kehidupan?
Jadi, apakah Jazz itu bagian dari bagian kehidupan?
Jangan-jangan Jazz itu cara menjalani kehidupan. Jangan-jangan Jazz itu sikap mental, bahkan sikap
hidup. Jangan-jangan Jazz itu cara pandang, cara memandang, cara memperlakukan kehidupan.
Jangan-jangan Jazz itu metoda bersyukur dan teknologi kejiwaan untuk bergembira oleh dan atas
indahnya ciptaan-ciptaan.
Jangan-jangan Jazz itu syariat, yang orang mengawali pembelajarannya dengan shalat, dengan modal
rasa berhutang.
Jangan-jangan Jazz itu thariqat, yang orang mengawali pelatihannya dengan puasa, dengan bekal rasa
tiada.
Jangan-jangan Jazz itu haqiqat, yang orang mengawali kesetiaannya dengan zakat, berbekal rasa tak
berpunya.
Jangan-jangan Jazz itu marifat, yang menyampaikan pelakunya pada qiblah (kiblat) di pusat
kalbunya.
Jangan-jangan Jazz itu mesranya dan indahnya percintaan dengan Tuhan, yang tak kentara dan tak
disangka oleh kebanyakan manusia, bahkan mungkin juga oleh para pelaku Jazz sendiri.
5

Maka jangan tanya apa definisi Jazz, karena dua alasan.


Pertama, begitu Jazz didefinisikan, berakhirlah sejarah eksplorasinya. Kedua, karena definisi itu
membelenggu, sedangkan Jazz itu memerdekakan.
Pun jangan salahkan aku yang lancang menulis sesuatu dengan menyebut-nyebut kata Jazz, yang semua
orang menyepakati bahwa itu bukan milikku, bukan hakku, apalagi ekspertasiku. Tak ada pengetahuanku
tentang Jazz. Aku lebih dari awam. Bahkan tak ada satu alat musik yang sesederhana apapun yang aku
mampu memainkannya. Berkunjunglah ke Planet Musik, musik apapun: tak kan kau temukan jari jemari
dan wajahku.
Akan tetapi tak ada hak padamu atau pada siapapun saja untuk mempersalahkan cintaku. Karena Jazz
sudah terlanjur memasuki telingaku dan menyentuh jiwaku, maka kudekap ia menjadi bagian dari
cintaku.
Jazz adalah kuda tunggangan cintaku.
Jazz adalah burung-burung terbang kerinduanku.
Jazz adalah cara darahku mengalir.
Jazz adalah irama perjalananku.
Jazz adalah metode mensyukuri kehidupanku.
Jazz adalah isyq ijtihadku, keasyikan pencarian cintaku.
Jazz adalah riuh rendah perjuangan dan sunyi pisowanan tauhidku.
6
Hai.
Kehidupan dituntut memahami Jazz, ataukah Jazz memahami kehidupan? Manusia memahami Jazz
ataukah Jazz memahami manusia?
Kehidupan mangandung Jazz, ataukah Jazz hamil kehidupan?
Manusia dialiri Jazz, ataukah Jazz dialiri manusia?
Haha.
Itu pertanyaan sebelum Jazz.
Itu deskripsi yang tanggal di depan gerbang Jazz.
Itu pertanyaan orang yang berjarak dari kehidupan.
Itu pertanyaan yang berhitung-hitung sehingga cinta menjauhinya.
Jangan dijawab kedua-duanya.
Jazz adalah penerimaan bunyi oleh bunyi, keridhaan nada atas nada, keikhlasan nuansa dengan nuansa,
ketulusan cinta bersama cinta.
Jadi kenapa langit dihitung-hitung tujuh?
Hahaha.
Terserah-serah Yang Punya. Tuhan yang menggagas hak, Ia juga yang punya ide tentang kewajiban.
Semau-mau Ia juga akan mengikatkan diri pada aturan-Nya ataukah melanggarnya.
Kenapa doremifasollasi? Kenapa qiraah-sabah? Kenapa satuan tujuh dijadikan patokan hampir semua
kejadian-kejadian besar dalam sejarah? Kenapa 3,5 abad bersama VOC dan 3,5 tahun bersama Nippon?
Kenapa tujuh saja, jangan sampai 5 jangan pula berlebihan hingga 10? Tak perlu 8-9 amat, meskipun
kalau bisa jangan sampai 5-6. Tujuh adalah presisi nuansa kebersahajaan. Sebagaimana Jazz
menyederhanakan peta keindahan yang sebelumnya dianggap mewah. Sebagaimana Jazz mencairkan,
meng-udara-kan, meng-gelombang-kan padatan-padatan bunyi.
Hahaha.
Tuhan bermesraan denganmu. Menjebakmu di antara 1 dengan 7, di antara 7 ke tak terhingga. Di senja
hidupmu engkau lelah oleh hitungan-hitungan kehidupan, sehingga rebah di pangkuan-Nya.
Kecuali engkau yang menudingkan jari-jarimu ke atas untuk menunjuk langit. Padahal langit bersemayam
di dalam jiwamu.
Bumi dalam langit. Langit dalam bumi. Keduanya dalam engkau.
Bumi langit mikro-kosmos. Engkau makro-kosmos. Karena Ia bertajalli padamu.

7
Apakah Jazz adalah Duke Ellington, Louis Armstrong, Buby Chen, Bing Slamet, atau Balawan dan
Beben?
Habibuna Maulana Khidlir AS adalah profesor segala profesor Jazz kehidupan, gurubesar segala
gurubesar pengembaraan men-tauhid.
Yai Sudrun ngiler menetes air dari sudut bibirnya sepanjang zaman. Wajahnya buruk seburuk-buruk
wajah. Pakaiannya dikenakan untuk menyamar agar disangka manusia sebagaimana yang menyangka.
Tak pakai alas kaki ke manapun, tak cuci kaki naik dan masuk Masjid. Membuka sarungnya dan kencing
di lantai Masjid. Tapi tak bisa kau salahlah dia karena tak ada cairan kencing Sudrun di lantai Masjid.
Seribu orang menabuh rebana. Sudrun bosan dengan regulasi nada dan irama rebana. Ia merebut satu
rebana, memukulnya sekali, padam ratusan lampu petromak. Kemudian ia lempar rebana itu, berlari dan
tertawa-tawa, mentertawakan dunia dan kedunguan penghuninya.
Sudrun tidur telentang di tengah jalan raya. Semua kendaraan stop. Macet tak bergerak. Kedua kakinya
dilempar-lempar ke atas seperti bayi. Wajahnya menangis seperti bayi. Mulutnya menangiskan tangis
bayi. Para petugas menghampirinya dengan takut-takut:
Yai Sudrun kenapa nangis di tengah jalan. Ayo kita ke warung saja. Kita cerita-cerita di sana. Supaya
jalan bisa dipakai oleh ratusan pengendara yang lalulalang menuju keperluannya masing-masing
Yai Sudrun meningkatkan tangisnya, memuncakinya dengan kemarahan:
Sejak pagi tadi Kanjeng Nabi Muhammad datang mengunjungi kita di sini. Kalian semua tak ada yang
menyambutnya. Tak ada yang perduli kepada beliau. Kalian semua sibuk mengejar uang dan hal-hal
rendah lainnya.
Para petugas menjawab:
Lhoo Yai, kami tidak tahu bahwa Kanjeng Nabi hadir ke sini
Memang.
Jazz melihat yang tak terlihat oleh lainnya.
Yogyakarta, 9 April 2013
Emha Ainun Nadjib

You might also like