You are on page 1of 30

PROPOSAL KEBIDANAN POLTEKKES

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan World Health Organization (WHO) Tahun 2007, angka
kematian ibu dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas adalah sebesar 500.000 jiwa dan angka
kematian bayi sebesar 10.000.000 jiwa, pada Tahun 2009 jumlah kematian ibu sebanyak 2650
orang. Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi jika dibandingkan Negaranegara Association South East Asian (ASEAN), yang berarti kemampuan untuk memberikan
pelayanan kesehatan masih memerlukan perbaikan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu
(Saifuddin, 2008).
Salah satu syarat yang paling penting dalam pelayanan kesehatan adalah pelayanan yang
bermutu. Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila memberikan kepuasan kepada pasien.
Kepuasan pasien dalam menerima pelayanan kesehatan mencakup beberapa dimensi, salah satu
diantaranya adalah kelancaran komunikasi antara petugas kesehatan (termasuk bidan) dengan
pasien. Hal ini berarti pelayanan kesehatan bukan hanya pengobatan secara medis saja melainkan
juga berorientasi pada komunikasi karena komunikasi sangat penting dan berguna bagi pasien
(Pohan, 2007).
1
Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007, Angka Kematian
Ibu sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, Tahun 2009 Angka Kematian Ibu sebesar 357 per
100.000 kelahiran hidup sedangkan pada Tahun 2010 sebesar 263 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka Kematian Ibu mulai menjadi sorotan terkait sulitnya mencapai target MDGs (Millennium
Development Goals) yang tinggal 3 Tahun lagi yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu menjadi
102 per 100.000 kelahiran hidup pada Tahun 2015, untuk menurunkan Angka Kematian Ibu
diperlukan upaya-upaya yang terkait dengan kehamilan, kelahiran dan nifas (WHO, 2011).

Di Propinsi Bengkulu pada Tahun 2007 berdasarkan hasil Survei Kesehatan Daerah
jumlah kematian ibu sebanyak 58 orang terdiri dari kematian ibu hamil sebanyak 5 orang,
kematian ibu bersalin 44 orang dan kematian ibu nifas sebanyak 9 orang. Angka Kematian Ibu di
Propinsi Bengkulu sebesar 157,49 per 100.000 kelahiran hidup, tidak jauh berbeda dengan Tahun
2006 yaitu sebesar 158,87 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes, 2010).
Dalam memantau program pelayanan kesehatan ibu hamil dapat di nilai dengan
menggunakan indikator cakupan K1 dan K4, secara nasional cakupan K1 Tahun 2010 adalah
95,26% dan cakupan K4 adalah 85,56%, jumlah tersebut masih kurang dari target nasional tahun
2012 yaitu cakupan K1 100% dan K4 95%. Sedangkan cakupan K1 di Provinsi Bengkulu Tahun
2010 adalah 91,2% dan cakupan K4 adalah 85,8% dengan target cakupan tahun 2015 K1 100%
dan K4 95%. Di Puskesmas Lingkar Barat Kota Bengkulu pada Tahun 2009 didapatkan cakupan
K1 94% dan cakupan K4 84%, pada Tahun 2010 cakupan K1 95% dan cakupan K4 96%,
sedangkan pada Tahun 2011 cakupan K1 84% dan cakupan K4 86%. Dari uraian diatas
kunjungan ibu hamil mengalami kenaikan dan penurunan tiap tahunnya, banyak faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat kepuasan ibu hamil dalam melakukan kunjungan Antenatal Care
salah satunya adalah komunikasi bidan dalam Antenatal Care (Depkes, 2010).
Komunikasi baik antara bidan dengan ibu hamil sangat mempengaruhi kepuasan ibu
hamil dalam mendapat pelayanan oleh bidan. Sehingga dapat diperoleh rasa saling percaya
antara bidan dan pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan cara setelah melakukan perawatan
kehamilan, bidan mendengarkan dengan penuh perhatian apabila ada keluhan dari penderita
menanggapi dengan baik apabila ada pertanyaan. Konseling merupakan komunikasi
interpersonal yang berkaitan dengan hak klien untuk memperoleh informasi, indikator mutu

pelayanan kesehatan, membantu klien dalam menentukan pilihan, memahami kondisi yang
dihadapi oleh klien, memberikan rasa puas pada klien (Saifuddin, 2006).
Dari survey awal dengan melakukan wawancara pada 3 orang ibu hamil trimester I dan
III yang dilakukan peneliti pada salah satu Bidan Praktek Swasta di Wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Barat Bengkulu, diperoleh bahwa 1 ibu hamil trimester III mengatakan puas dan 2 ibu
hamil trimester I dan III mengatakan cukup puas dengan pelayanan Antenatal Care yang
diberikan oleh bidan. Menurut ibu hamil yang mengatakan cukup puas, kekurangpuasannya
karena merasa bidan kurang perhatian dan ibu hamil

kurang memahami penjelasan yang

diberikan oleh bidan.


Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengangkat judul
penelitian Hubungan Komunikasi Bidan dengan Tingkat Kepuasan Ibu Hamil dalam Antenatal
Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu.
B.

Masalah Penelitian
Dari latar belakang tersebut diatas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:

Apakah ada hubungan antara komunikasi bidan dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam
Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu?
C. Tujuan Penelitian
1.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:


Tujuan umum

2.

Untuk mempelajari hubungan komunikasi Bidan dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam
Antenatal Care pada ibu hamil di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat
Bengkulu.
Tujuan khusus

a.

Untuk mengetahui komunikasi Bidan dalam Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu.

b.

Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Genap Sri
Lingkar Barat Bengkulu.

c.

Untuk mengetahui hubungan komunikasi bidan dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam
Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu.
D. Manfaat Penelitian

1.

Bagi profesi bidan

Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan sekaligus sebagai bahan
perencanaan peningkatan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu.
2. Bagi institusi
Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi peserta didik mengenai komunikasi dan
tingkat kepuasan ibu hamil dalam Antenatal Care.
3. Bagi ibu hamil
Diharapkan ibu hamil merasa puas terhadap komunikasi bidan dalam Antenatal Care sehingga
dapat meningkatkan kunjungan dalam memeriksakan kehamilannya.
4. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini dapat berguna dalam menambah wawasan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan dan pengalaman dibidang penelitian dan untuk memenuhi tugas akhir di STIKES
Tri Mandiri Sakti Bengkulu Program Studi DIII Kebidanan penulisan Karya Tulis Ilmiah tentang
komunikasi bidan dalam Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Komunikasi Bidan
a.

Pengertian Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari kata to commune yang berarti menjadikan milik bersama.
Beberapa ahli menyampaikan pengertian komunikasi. Komunikasi adalah proses pertukaran
informasi (Taylor, 1993, dalam Wulandari, 2009). Komunikasi adalah proses penyampaian
informasi, makna dan pemahaman dari pengirim pesan kepada penerima pesan (Burgess, 1988,

b.

dalam Wulandari, 2009). Komunikasi adalah kegiatan mengajukan pengertian yang diinginkan
dari pengirim informasi kepada penerima informasi dan menimbulkan tingkah laku yang
diinginkan penerima informasi (Yuwono, 1985, dalam Wulandari, 2009).
Dari ketiga pengertian diatas, intinya adalah komunikasi merupakan seni penyampaian informasi
(pesan, ide, sikap, gagasan) dari komunikator atau penyampai berita, untuk mengubah serta
membentuk perilaku komunikan atau penerima berita (pola, sikap, pandangan, dan
pemahamannya), ke pola dan pemahaman yang dikehendaki bersama (Uripni, 2003).
6
Komunikasi adalah suatu proses interaksi antarpribadi atau proses penyampaian informasi
dengan menggunakan bentuk verbal maupun non verbal untuk mencapai tujuan tertentu
(Wulandari, 2009). Komunikasi adalah suatu pertukaran pikiran, perasaan, pendapat, dan
pemberian nasihat yang terjadi antara dua orang atau lebih yang bekerja sama (Tappen, 1995,
dalam Suarli, 2010).
Komunikasi kebidanan adalah bentuk komunikasi yang digunakan oleh bidan dalam memberikan
asuhan kebidanan kepada klien. Komunikasi kebidanan merupakan penggambaran terjadinya
interaksi antara bidan dengan klien dalam upaya pemenuhan kebutuhan klien. Sebagaimana
diketahui, klien atau pasien menuntut pelayanan yang paripurna, baik fisik maupun psikologis
terutama klien yang mengalami ketidak stabilan emosi selama proses adaptasi terhadap suatu
perubahan status misalnya menjadi ibu, menjadi orang tua, mengalami kehamilan yang pertama.
Karena keadaan tersebut, klien perlu memperoleh pendampingan dan kedekatan dengan tenaga
pelayanan kesehatan yang salah satunya adalah bidan (Uripni, 2003).
Melalui komunikasi bidan dapat menyampaikan ide dan pikirannya kepada pasien, dan kemudian
bidan dapat mengetahui pikiran dan perasaan pasien terhadap penyakit yang diderita dan juga
sikap perilaku pasien terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian segala tindakan bidan disepakati
oleh pasien, dan pasien itu sendiri ikut membantu segala penyembuhan yang dilakukan
terhadapnya bila dilakukan tindakan tanpa diberi penjelasan terlebih dahulu, atau pendapat klien
tidak diminta atau sebaliknya pasien menyembunyikan perasaannya, maka upaya penyembuhan
akan kurang berhasil (Dalami, 2009).
Tujuan komunikasi

c.

Komunikasi bertujuan untuk memudahkan, melancarkan, melaksanakan kegiatan tertentu dalam


mencapai suatu tujuan. Artinya dalam proses komunikasi, terjadi suatu pengertian yang
diinginkan bersama sehingga tujuan lebih mudah tercapai (Uripni, 2003).
Komunikasi juga bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara bidan dengan pasien
agar mampu meredakan segala ketegangan emosinya dan memahami dirinya serta mendukung
tindakan konstruktif terhadap kesehatannya dalam rangka mencapai kesembuhan. Upaya yang
dilakukan oleh bidan sebaiknya tidak hanya diakhiri oleh penyembuhan akan tetapi diikuti rasa
kepercayaan diantara kedua belah pihak atas tindakan pelayanan yang dilakukan. Oleh karena itu
emosi perlu terkendali dan pemahaman atas masalah yang dihadapi dan upaya pemecahannya
perlu dijaga (Dalami, 2009).
Jenis-jenis komunikasi
Komunikasi dapat dibedakan atas komunikasi verbal dan komunikasi non verbal (Wulandari,
2009).

1)

Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai alat sehingga
komunikasi verbal ini sama halnya dengan komunikasi kebahasaan. Komunikasi kebahasaan
dapat dijalin secara lisan (vokal) dan ditulis (visual), contoh penggunaan komunikasi verbal
adalah ketika memberi penjelasan kepada klien, saat membuat catatan perkembangan. Pada
semua contoh komunikasi verbal ini terdapat kata-kata dan bahasa yang dikomunikasikan kepada
orang lain.

2)

Komunikasi non verbal, merupakan komunikasi yang tidak menggunakan bahasa lisan maupun
tulisan, tetapi menggunakan bahasa isyarat tubuh (kinestik). Informasi dapat dikomunikasikan
kepada orang lain secara nonverbal dengan berbagai cara, seperti gerakan tubuh (Gesture),
ekspresi wajah, postur tubuh (postural), penggunaan sentuhan, posisi tubuh, suara, kondisi fisik
umum, gaya berpakaian, dan keadaan diam. Contohnya seperti memegang tangan orang dan
menariknya menginformasikan mengajak.

d.

Proses komunikasi

Komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila terdapat elemen-elemen yang mendukung
proses komunikasi (Uripni, 2003) antara lain meliputi:
1) Komunikator (sender), yaitu pihak yang mengirimkan pesan kepada pihak lainnya.
2)

Pesan (message), yaitu isi dari komunikasi yang disampaikan oleh seseorang.

3)

Media (channel), yaitu suatu alat bantu atau saluran untuk menyampaikan pesan terdiri atas 3
bagian lisan, tertulis, dan elektronik.

4)

Penerima (receiver), yaitu pihak yang menerima pesan dari pengirim pesan.

5)

Tanggapan (response), yaitu serangkaian reaksi dari pihak penerima atas pesan-pesan yang
disampaikan kepadanya.

6)

Umpan balik (feedback), yaitu respon penerima yang disampaikan kepada pengirim pesan.

7)

Lingkungan, yaitu situasi yang dapat mempengaruhi terjadinya komunikasi.

Dalam proses komunikasi setiap unsur memiliki peranan yang sangat penting dalam
membangun proses komunikasi, artinya tanpa keikutsertaan satu unsur akan memberi pengaruh
pada jalannya suatu komunikasi.
e.
Model Komunikasi
Menurut Tamsuri (2005), adapun model komunikasi yang menggambarkan proses komunikasi
antara lain:
1) Model komunikasi satu arah
Model yang melibatkan tiga unsur dasar dalam komunikasi, yaitu pengirim (komunikator),
pesan, dan penerima pesan (komunikan).
2)

Model komunikasi dua arah


Unsur-unsur yang terlibat pada model ini meliputi: unsur pengirim atau sumber, pesan, saluran,
penerima, dan umpan balik (feedback) (David, 1990, dalam Tamsuri, 2005).

3)

Model komunikasi Heliks


Model ini menyatakan bahwa komunikasi yang dilakukan manusia dapat dilakukan secara terusmenerus dan bersifat dinamis, sehingga komunikasi yang terbentuk antara satu manusia dan
manusia lain dapat berkembang, baik dalam tema maupun konteks yang terjadi (Tamsuri, 2005).

4) Model komunikasi Ellits & McClintok (1990)


Model ini menyatakan bahwa komunikasi tidak hanya melibatkan unsur penyampaian pesan
(direct message), tetapi juga ada pesan tambahan yang menyertai suatu proses komunikasi
(Tamsuri, 2005).

f.

Hubungan antar manusia yang baik mendasari keberhasilan dalam berkomunikasi. Oleh karena
itu, komunikasi secara efektif sangat diperlukan untuk memberikan kemudahan dalam
memahami pesan. Komunikasi yang mampu menghasilkan perubahan sikap (attitude, change)
pada orang yang terlihat dalam komunikasi. Tujuan komunikasi yang efektif adalah memberi
kemudahan dalam memahami pesan yang disampaikan antara pemberi dan penerima sehingga
bahasa lebih jelas, lengkap, pengiriman, dan umpan balik seimbang dan melatih penggunaan
bahasa nonverbal secara baik (Uripni, 2003).
Faktor yang mempengaruhi komunikasi

Proses komunikasi di pengaruhi oleh beberapa faktor (Potter&Perry, 1993, dalam Wulandari,
2009) antara lain:
1) Perkembangan

Agar dapat berkomunikasi efektif dengan seorang, bidan harus mengerti pengaruh
perkembangan usia, baik dari sisi bahasa maupun proses berfikir orang tersebut. Cara
berkomunikasi anak remaja berbeda dengan anak balita. Kepada remaja mungkin perlu belajar
bahasa gaul mereka, sehingga komunikasi diharapkan akan lancar.
2)

Persepsi
Persepsi adalah pandangan pribadi seseorang terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Persepsi ini
dibentuk oleh pengharapan atau pengalaman. Perbedaan persepsi dapat mengakibatkan
terhambatnya komunikasi. Misalnya, kata beton akan menimbulkan perbedaan persepsi antara
ahli bangunan dengan orang awam.

3)

Nilai
Nilai adalah standar yang mempengaruhi perilaku sehingga penting bagi bidan untuk menyadari
nilai seseorang. Bidan perlu berusaha untuk mengetahui dan mengklarifikasi nilai sehingga dapat
terjadi interaksi yang tepat dengan klien. Misalnya, memandang tindakan abortus tidak sebagai
dosa, sementara bidan memandang tindakan abortus sebagai tindakan dosa. Hal ini dapat
menyebabkan konflik antara bidan dan klien.

4)

Latar belakang sosial budaya


Bahasa dan gaya komunikasi akan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya juga akan
membatasi cara bertindak dan berkomunikasi.

5)

Emosi
Emosi merupakan perasaan subyektif terhadap suatu kejadian. Emosi seperti perasaan marah,
sedih, senang akan dapat mempengaruhi bidan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Bidan
perlu mengkaji emosi klien dan keluarganya sehingga mampu memberi asuhan kebidanan

dengan tepat. Selain itu, bidan perlu mengevaluasi emosi yang ada pada dirinya agar dalam
melakukan asuhan kebidanan tidak terpengaruh oleh emosi bawah sadarnya.
6)

Jenis kelamin
Setiap jenis kelamin mempunyai gaya sendiri dalam berkomunikasi yang berbeda-beda. Lakoff
(1975) menemukan bahwa dalam percakapan, laki-laki cenderung langsung dan aktif sedangkan
perempuan terlalu sopan dan pasif.

7)

Pengetahuan
Tingkat pengetahuan mempengaruhi komunikasi. Seseorang yang tingkat pengetahuannya
kurang sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dibandingkan dengan tingkat
pengetahuan yang lebih tinggi. Bidan perlu mengetahui tingkat pengetahuan pasien sehingga
dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberi asuhan kebidanan yang tepat kepada
klien.

8)

Peran dan hubungan


Gaya berkomunikasi sesuai dengan peran dan hubungan antar perorangan yang berkomunikasi.
Cara berkomunikasi seorang bidan dengan kolegannya, dengan cara berkomunikasi bidan
dengan klien akan berbeda, tergantung peran. Demikian juga dengan orang tua dan anak.

9)

Lingkungan
Lingkungan interaksi akan mempengaruhi komunikasi yang efektif. Suasana yang bising tidak
ada privasi yang tepat akan menimbulkan kerancuan, ketegangan, dan ketidaknyamanan. Untuk
itu bidan perlu menyiapkan lingkungan yang tepat dan nyaman sebelum melakukan interaksi
dengan klien. Lingkungan fisik mempengaruhi tingkah laku manusia berbeda dari satu tempat ke
tempat yang lain. Misalnya, saat berkomunikasi dengan sahabatnya akan berbeda apabila
berbicara dengan pimpinan.

10) Jarak
Jarak dapat mempengaruhi komunikasi. Jarak tertentu akan memberi rasa aman dan kontrol.
Pada saat pertama kali klien berinteraksi dengan bidan, bidan perlu memperhitungkan jarak yang
tepat pada saat melakukan komunikasi dengan klien.
11) Citra diri
Manusia mempunyai gambaran tertentu mengenai dirinya, status sosial, kelebihan dan
kekurangannya. Citra diri terungkap dalam komunikasi. Contoh, pembicaraan orang tua dengan
anaknya dengan menentukan ekspresi dan persepsi orang, misalnya kamu mesti jadi bidan
karna akan dihormati dan mudah mendapatkan uang.
12) Kondisi fisik
Kondisi fisik mempunyai pengaruh terhadap komunikasi. Artinya indra pembicaraan mempunyai
andil terhadap kelancaran terhadap komunikasi. Misalnya, orang tuna wicara akan kesulitan
apabila berbicara dengan orang normal.
Setiap pasien mempunyai hak-hak yang harus diberikan, tanpa memandang suku bangsa, usia,
agama, sosio-ekonomi, status perkawinan, partai politik, kehidupan seksual ataupun jumlah anak
dalam keluarga (Saifuddin, 2006).
Hak-hak keluarga:
1) Hak untuk memperoleh informasi tentang kondisi dan keadaan apa yang sedang mereka alami.
2) Hak untuk bertanya mendiskusikan tentang kondisi atau keadaan dirinya dan harapan pasien dari
sistem pelayanan.
3) Hak pasien untuk dilayani secara pribadi
4) Hak untuk menyatakan pandangannya
5) Hak untuk memutuskan secara bebas
Tingkat kesabaran yang tinggi dan teknik berkomunikasi yang efektif merupakan syarat yang
harus dimiliki oleh penolong atau petugas kesehatan dalam menghadapi orang sakit. Komunikasi
juga merupakan salah satu bentuk kewajiban penolong terhadap pasien untuk memperoleh
informasi objektif dan lengkap tentang apa yang sedang dialaminya, upaya yang akan atau

sedang dilakukan oleh penolong dan hasil tindakan pengobatan yang telah diberikan. Oleh sebab
itu komunikasi harus selalu berlangsung dalam berbagai tahap (Saifuddin, 2006) yaitu:
1) Sebelum pelayanan dilakukan
2) Selama prosedur klinik
3) Setelah tindakan atau pengobatan
Dalam komunikasi harus terdapat komunikator, pesan, saluran komunikasi, metode komunikasi,
komunikasi, dan umpan untuk mencapai hubungan yang baik.
2. Kepuasan dan Mutu Pelayanan Kesehatan
a.

Kepuasan pelayanan ANC

1)

Pengertian
Kepuasan adalah perasaan konsumen dalam hal ini ibu hamil setelah membandingkan hasil yang
diperoleh dengan harapan yang dimiliki, dimana hasil yang diharapkan sesuai maka konsumen
akan puas (Supranto, 2006).
2) Aspek-aspek kepuasan :
a) Aspek kognitif
Ibu hamil merasa puas dengan informasi yang diberikan oleh bidan.
b) Aspek afektif
Ibu hamil diperhatikan oleh bidan dengan penuh perhatian, mendengarkan keluhan dan
mempunyai empati yang tinggi.
c) Aspek perilaku
Ibu hamil melakukan evaluasi atas kemampuan komunikasi bidan dalam memberikan anjuran
yang diberikan.
3)

Dimensi kepuasan
Menurut Azwar (1996), secara umum dimensi kepuasan dibedakan atas dua macam:

a)

Kepuasan yang mengacu pada penerapan kode etik dan standar pelayanan

(1) Hubungan bidan dan pasien


Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang bermutu, hubungan bidan dan pasien
yang baik harus dapat dipertahankan. Diharapkan setiap bidan dapat dan bersedia memberikan
perhatian yang cukup kepada pasiennya secara pribadi, menampung dan mendengarkan semua

keluhan, serta menjawab dan memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya tentang segala hal
yang ingin diketahui pasien.
(2) Kenyamanan pelayanan
Kenyamanan yang dimaksudkan disini tidak hanya yang menyangkut fasilitas yang disediakan,
tetapi juga sikap serta tindakan para pelaksana ketika menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(3) Kebebasan melakukan pilihan
Memberikan kebebasan kepada pasien untuk memilih serta menentukan pelayanan kesehatan.
(4) Pengetahuan dan kompetensi teknis
Makin tinggi tingkat pengetahuan dan kompetensi teknis pelayanan kesehatan maka makin tinggi
pula mutu pelayanan kesehatan.
(5) Efektifitas pelayanan
Makin efektif pelayanan kesehatan makin tinggi pula mutunya.
(6) Keamanan tindakan
Untuk dapat dikatakan pelayanan kesehatan yang bermutu, aspek keamanan harus diperhatikan.
Pelayanan medis yang membahayakan pasien, bukanlah pelayanan yang baik.
b)

Kepuasan yang mengacu pada penerapan sesuai persyaratan pelayanan kesehatan.

(1) Available (ketersediaan layanan)


Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut tersedia di masyarakat.
(2) Appropriate (kewajaran pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan tersebut bersifat wajar, dalam arti sesuai
dengan kebutuhan masalah medis yang dihadapi.
(3) Continue (kesinambungan pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan bersifat berkesinambungan, dalam arti
tersedia setiap waktu dan ataupun pada setiap kebutuhan.
(4) Acceptable (penerimaan pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan dapat diterima oleh

pemakai jasa

pelayanan.
(5) Accessible (ketercapaian pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan dapat dicapai oleh pemakai jasa
pelayanan.
(6) Affordable (keterjangkauan pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat dijangkau oleh
pemakai jasa pelayanan.
(7) Efficient (efisisensi pelayanan)

Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat diselenggarakan
secara efisien.
(8) Effectivity (efektifitas pelayanan)
Suatu pelayanan dikatakan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat diselenggarakan
secara efektif.
Kepuasan sangat bersifat subjektif, sehingga sulit sekali untuk mengukurnya. Namun,
walaupun demikian, tentu saja kita harus tetap berupaya memberikan perhatian kepada
pelanggan (customer care) dengan segala daya, sehingga paling tidak kita dapat memberikan
pelayanan yang terbaik, yang dimulai dari upaya menstandarkan kualitas sampai dengan
pelaksanaannya. Pada saat berhubungan dengan pelanggan dengan standar yang diperkirakan
dapat menimbulkan kepuasan yang paling optimal bagi pelanggan (Barata, 2003).
b.

Mutu pelayanan kesehatan

1) Pengertian mutu
Beberapa pakar berpendapat tentang mutu (Saifuddin, 2006):
a)

Mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang diamati (Winston,
1956, dalam Saifuddin, 2006).

b) Mutu adalah sifat yang dimiliki oleh suatu program (Donabedian, 1980, dalam Saifuddin, 2006).
c)

Mutu adalah totalitas dari wujud serta ciri dari suatu barang atau jasa, yang didalamnya
terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna (Din ISO
8402, 1986, dalam Saifuddin, 2006).

d) Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan (Crosby, 1984, dalam Saifuddin,
2006).
Mutu pelayanan kesehatan adalah penampilan atau kinerja yang menunjuk pada tingkat
kesempurnaan pelayanan kesehatan, yang di satu pihak dapat menimbulkan kepuasan pada setiap
pasien sesuai dengan tingkat kepuasan rata-rata penduduk, serta dipihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan standard dan kode etik profesi yang telah ditetapkan
(Saifuddin, 2006).
2) Dimensi Mutu menurut Azwar, (1996):
a) Interpersonal relationship : hubungan antar manusia
b) Affordability : pelayanan yang diberikan dapat dijangkau oleh masyarakat.
c) Acceptability : pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat.
d) Safety : pelayanan yang diberikan aman
e) Efficiency : pelayanan yang diberikan efisien.
f)

Continuity of care : pelayanan yang diberikan berkelanjutan, terkoordinir dari waktu ke waktu.

g) Respect and caring : sopan, hormat, dan penuh perhatian


h) Legitimacy /accountability : pelayanan yang diberikan dapat dipertanggung jawabkan.
i)

Timeliness : tepat waktu.


Penelitian yang dilakukan Roberts dan Prevost dalam Prawirohardjo, (2006) membuktikan
adanya perbedaan dimensi mutu:

a) Bagi pemakai jasa pelayanan kesehatan:


Mutu pelayananan kesehatan lebih terkait pada dimensi ketanggapan petugas memenuhi
kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, keprihatinan serta
keramahtamahan petugas dalam melayani pasien dan kesembuhan penyakit yang sedang diderita
pasien.
b) Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan:
Mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi kesesuaian pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan dengan perkembangan ilmu tekhnologi mutakhir dan otonomi profesi dalam
menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien.

c) Bagi penyandang dana:


Mutu pelayanan kesehatan lebih terkait pada dimensi efisiensi pemakai sumber dana, kewajaran
pembiayaan dan kemampuan menekan beban biaya penyandang dana.
3) 14 prinsip Deming :
a) Peningkatan mutu merupakan tujuan yang secara konsisten hendak dicapai.
b) Menerapkan filosofi mutu.
c) Mengurangi ketergantungan pada pengawasan.
d) Hentikan pendapat bahwa harga membawa nama.
e) Peningkatan yang berkesinambungan sistem pelayanan dan produksi.
f)

Pendidikan dan pelatihan karyawan.

g) Kepemimpinan yang mempunyai komitmen terhadap mutu.


h) Menghilangkan rasa takut dalam iklim kerja.
i)

Menghilangkan barier antar unit kerja.

j)

Membatasi slogan.

k) Mengurangi penekanan pada angka pencapaian target.


l)

Menghilangkan hambatan terhadap kepuasan kerja.

m) Merencanakan dan melaksanakan program diklat yang membangun.


n) Melaksanakan proses perubahan.
c.

Standar Pelayanan Kesehatan


Standar adalah spesifikasi dari fungsi atau tujuan yang harus dipenuhi oleh suatu sarana
pelayanan kesehatan agar pemakai jasa pelayanan kesehatan dapat memperoleh keuntungan yang
maksimal dari pelayanan kesehatan yang diselenggarakan (Saifuddin, 2006).

Standar dalam pelayanan kesehatan banyak macamnya. Untuk dapat memahami macam
standar tersebut, perlulah terlebih dahulu diketahui unsur-unsur yang terdapat dalam pelayanan
kesehatan. Standar dalam pelayanan kesehatan dapat dibedakan pula atas 4 macam (Saifuddin,
2006). Ke empat standar unsur-unsur tersebut adalah :
1)

Standar masukan (standard of input)

Adalah yang menunjuk pada persyaratan minimal unsur masukan.


Standar masukan ini dibedakan atas 3 macam :
a) Standar tenaga (standard of man power).
Di sini ditetapkanlah persyaratan minimal tenaga kerja yang harus tersedia yakni yang
menyangkut jumlah, jenis, dan kualifikasi.
b) Standar sarana (standard of facilities)
Di sini ditetapkan persyaratan minimal sarana yang harus bersedia yakni yang menyangkut
jumlah, jenis dan spesifikasi.
c) Standar dana
Di sini ditetapkan persyaratan minimal dana yang harus bersedia, yakni yang menyangkut,
alokasi, serta pengelolaan.
2)

Standar proses (standard of process)


Yang menunjuk pada persyaratan minimal unsur proses, yang dikenal dengan nama standard of
conduct dibedakan atas dua macam :

a) Standar tindakan medis (standard of medical procedure)


Ke dalam standar tindakan medis termasuk persyaratan minimal tata cara anamnesa,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan sepanjang, diagnosis terapi, dan pelayanan tindak lanjut.
b) Standar tindakan non medis (standard non medical procedure)

Ke dalam standar tindakan non medis termasuk persyaratan minimal tata cara pendaftaran,
konseling, penyuluhan, dan pengaturan pelayanan rujukan.
3)

Standar lingkungan (standard of environment)


Yang menunjuk pada persyaratan minimal unsur lingkungan. Standar lingkungan ini dapat
dibedakan atas 3 macam :

a) Standar kebijakan (standard of policy)


Di sini ditetapkan persyaratan minimal kebijakan yang harus dianut oleh suatu institusi kesehatan
dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
b) Standar organisasi (standard of organization)
Di sini ditetapkan persyaratan minimal struktur organisasi yang harus dianut oleh suatu institusi
kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
c) Standar manajemen (standard of management)
Di sini ditetapkan persyaratan minimal prinsip-prinsip manajemen yang harus dipenuhi oleh
suatu institusi kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
4)

Standar keluaran (standard of output)


Yang menunjuk pada penampilan penyelenggaraan yang diselenggarakan, di kenal dengan nama
standard of performance. Dibedakan atas dua macam :

a) Standar keluaran aspek medis


Kedalam standar ini termasuk antara lain angka kesembuhan, angka efek samping, angka
komplikasi, dan angka kematian.
b) Standar keluaran aspek non medis
Kedalam standar ini termasuk antara lain hubungan dokter pasien, keramahtamahan petugas,
keluhan pasien, dan kepuasan pasien.

Untuk dapat terselenggaranya pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat, keempat


standar ini perlulah dipantau serta dinilai secara sistematis, objektif, dan berkesinambungan.
Apabila ditemukan penyimpangan, perlulah segera diperbaiki, sedemikian rupa sehingga
perlawanan kesehatan yang diselenggarakan dapat dipertanggung jawabkan.
d.

Konsep pelayanan ANC


Antenatal care yaitu pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk memeriksa keadaan
ibu dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang
ditemukan (Depkes, 2009). Pengawasan Antenatal adalah pelayanan kesehatan oleh tenaga
profesional untuk ibu selama masa kehamilannya yang dilaksanakan sesuai dengan standar
pelayanan antenatal yang ditetapkan (Saifuddin, 2006)

1) Tujuan ANC
Menurut Saifuddin (2006) tujuan asuhan antenatal adalah :
a) Memantau kemajuan kehamilan untuk memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi
b) Meningkatkan dan mempertahankan fisik, mental dan sosial ibu dan bayi.
c)

Mengenali sedini mungkin adanya ketidaknormalan atau komplikasi yang mungkin terjadi
selama hamil, termasuk riwayat penyakit secara umum, kebidanan dan pembedahan.

d)

Mempersiapkan persalinan cukup bulan, melahirkan dengan selamat, ibu maupun bayinya
dengan trauma seminimal mungkin.

e) Mempersiapkan ibu agar masa nifas berjalan normal dan pemberian ASI eksklusif.
f)

Mempersiapkan peran ibu dan keluarga dalam menerima kelahiran bayi agar dapat tumbuh
kembang secara normal.

2) Kebijakan
a) Kebijakan program

Antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama kehamilan (WHO) yaitu satu
kali trimester pertama, satu kali trimester kedua, dua kali trimester ketiga (Saifuddin, 2006).
b) Kebijakan teknis
Setiap kehamilan dapat berkembang menjadi masalah atau komplikasi setiap saat. Itu sebabnya
mengapa ibu hamil memerlukan pemantauan selama kehamilan. Penatalaksanaan ibu hamil
secara keseluruhan meliputi komponen-komponen sebagai berikut (Saifuddin, 2006) :
(1) Mengupayakan kehamilan yang sehat
(2) Melakukan deteksi dini komplikasi, melakukan penatalaksanaan awal serta rujukan bila
diperlukan.
(3) Persiapan persalinan yang bersih dan aman.
(4) Perencanaan antisipatif dan persiapan dini untuk melakukan rujukan bila terjadi komplikasi.
e.

Standar pelayanan ANC

Standar pelaksanaan antenatal yang dilakukan pada ibu hamil pada setiap kunjungan
terdapat 6 standar (Depkes RI, 2009):
1) Identifikasi ibu hamil
Melakukan kunjungan rumah dan berinteraksi dengan masyarakat secara berkala untuk
memberikan penyuluhan dan motivasi ibu, suami dan anggota keluarganya agar memeriksakan
kehamilan sejak usia dini dan teratur.
Hasil yang diharapkan :
a) Ibu memahami tanda dan gejala kehamilan.
b) Ibu, suami dan masyarakat menyadari manfaat pelayanan kehamilan secara dini dan teratur.
c) Meningkatkan ibu hamil yang memeriksakan diri sebelum kehamilan 12 minggu.
2) Pemeriksaan dan pemantauan antenatal

Memberikan sedikitnya empat pelayanan, pemeriksaan meliputi anamnesa dan


pemantauan ibu dan janin secara seksama untuk menilai apakah perkembangannya berlangsung
normal.
Hasil yang diharapkan :
a)
b)
c)
d)

Ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal minimal 4 kali selama kehamilan.


Meningkatkan pemanfaatan jasa bidan oleh masyarakat.
Deteksi dini dan penanganan komplikasi kehamilan.
Ibu hamil, suami, keluarga dan masyarakat mengetahui tanda bahaya kehamilan dan tahu apa

yang harus dilakukan.


e) Mengurus transportasi rujukan jika sewaktu-waktu terjadi kegawatdaruratan.
3) Palpasi Abdominal
Melakukan pemeriksaan abdominal secara seksama dan melakukan palapasi untuk
memperkirakan usia kehamilan.
Hasil yang diharapkan :
a) Perkiraan usia kehamilan yang lebih baik.
b) Diagnosis dini kelainan letak dan merujuknya sesuai kebutuhan.
c) Diagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan lain, serta merujuknya sesuai dengan kebutuhan.
4) Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Melakukan pencegahan. Penemuan, penaganan, dan/atau rujukan semua kasus anemia
pada kehamilan sesuai ketentuan yang berlaku.
Hasil yang diharapkan :
a) Ibu dengan anemia berat segera dirujuk.
b) Penurunan jumlah ibu melahirkan dengan anemia.
c) Penurunan jumlah bayi baru lahir dengan anemia.
5) Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Menemukan secara dini setiap kenaikan tekanan darah pada kehamilan dan mengenal
tanda serta gejala pre eklamsi.

Hasil yang diharapkan :


a) Ibu hamil dengan tanda preeklampsi mendapat perawatan yang memadai dan tepat waktu.
b) Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat eklampsi.
6) Persiapan persalinan
Memberikan saran yang tepat kepada ibu hamil, suami serta keluarga pada trimester III
untuk memastikan bahwa persiapan persalinan yang aman dan bersih direncanakan dengan baik
termasuk transportasi.
Hasil yang diharapkan :
a)
b)
c)
d)

Ibu hamil dan masyarakat tergerak untuk merencanakan persalinan yang bersih dan aman.
Persalinan direncanakan di tempat yang aman dan memadai.
Adanya persiapan sarana transportasi untuk merujuk ibu bersalin jika perlu.
Rujukan tepat waktu telah dipersiapkan bila diperlukan.

3.

Hubungan komunikasi bidan terhadap tingkat kepuasan ibu hamil dalam mendapatkan
pelayanan ANC
Komunikasi kebidanan merupakan faktor pendukung pelayanan kebidanan profesional
yang dilaksanakan oleh bidan, dalam mengekspresikan peran dan fungsinya, salah satu
kompetensi bidan yang harus dimiliki adalah kemampuan berkomunikasi dalam pelayanan
kebidanan. Kemampuan berkomunikasi akan mendasari upaya pemecahan klien, mempermudah
pemberian bantuan kepada klien, baik pelayanan medik maupun pelayanan psikologi yang
diberikan dengan pendekatan konseling (Uripni, 2003).
Ibu hamil disarankan untuk menemui petugas kesehatan bila merasakan tanda-tanda
bahaya atau merasakan khawatir (Saifuddin, 2008). Jika ibu mempercayai bidan, maka
kemungkinan besar ia akan kembali lagi ke bidan yang sama untuk persalinan dan kelahiran
bayinya. Apabila diperlukan, komunikasi hanya berlangsung diantara pasien penolong saja.

Keterbukaan, rasa aman, dan jaminan kerahasiaan informasi hanya mungkin dilaksanakan pada
suasana yang bersifat pribadi atau adanya privasi bagi pasien.
Kepuasan sangat bersifat subjektif, sehingga sulit sekali untuk mengukurnya. Namun,
walaupun demikian, tentu saja kita harus tetap berupaya memberikan perhatian kepada
pelanggan (customer care) dengan segala daya, sehingga paling tidak kita dapat memberikan
pelayanan yang terbaik, yang dimulai dari upaya menstandarkan kualitas sampai dengan
pelaksanaannya. Pada saat berhubungan dengan pelanggan dengan standar yang diperkirakan
dapat menimbulkan kepuasan yang paling optimal bagi pelanggan (Barata, 2003).
Untuk meningkatkan kepuasan pada ibu hamil maka perlu dilakukan komunikasi yang
efektif antara pasien-petugas kesehatan. Sehingga peran bidan dalam memberikan pelayanan
bukan hanya dari kemampuan medis saja melainkan komunikasi juga sangat berpengaruh
(Saifuddin, 2008).
A. Kerangka Teori
Proses Komunikasi:
Komunikator (sender)
Pesan (message)
Media (channel)
Penerima (receiver)
Tanggapan (response)
Lingkungan
Aspek-aspek Kepuasan:
Aspek kognitif
Aspek afektif
Aspek perilaku
Bagan 1: Kerangka teori Penelitian

B. Kerangka Konsep

Komunikasi bidan dalam Antenatal Care


Tingkat Kepuasan

Bagan 2: Kerangka konsep penelitian


C. Hipotesa
Ho: Tidak ada hubungan antara komunikasi bidan dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam
Antenatal Care.
Ha: Ada hubungan antara komunikasi bidan dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam Antenatal
Care.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif korelatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama mendeskripsikan atau memaparkan komunikasi bidan
dengan tingkat kepuasan ibu hamil dalam Antenatal Care di Bidan Praktek Swasta Wilayah
Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu. Penelitian ini dilakukan dengan menempuh
langkah-langkah pengumpulan data, klasifikasi, pengolahan atau analisa data, membuat
kesimpulan dan laporan. Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan jenis
penelitian deskriptif korelatif melalui pendekatan Cross Sectional dengan metode yaitu
penelitian survei. Menurut Notoatmodjo (2010) Pendekatan Cross Sectional adalah
pengambilan data pada suatu waktu tertentu, dimana data tersebut dapat menggambarkan
pada waktu tersebut.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar
Barat Kota Bengkulu pada Bulan Agustus Tahun 2012.

35
C. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek ruang yang akan diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini semua ibu hamil yang memeriksakan
kehamilannya sampai bulan Agustus 2012 di Bidan Praktek Swasta Wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Barat Bengkulu sejumlah 40 ibu hamil.
2. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk bisa
memenuhi atau mewakili populasi (Notoatmodjo, 2010) :
Sampel dalam penelitian ini adalah semua responden yang sesuai kriteria inklusi yang
ditetapkan. Besar sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 36 ibu hamil.
Kriteria sampel :
Kriteria Inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi
yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010).
Yang menjadi kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1)

Ibu hamil yang telah memeriksakan kehamilannya minimal dua kali di Bidan Praktek Swasta

Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu.


2) Ibu hamil yang bersedia menjadi responden.
3. Teknik sampling
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling yang
berarti sampel diambil dari responden yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan
(Notoatmodjo, 2010).
D. Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan dua variabel, yaitu :
1.

Variabel Independent
Suatu variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependent, dapat
dikatakan sebagai variabel yang mempengaruhi (Setiawan, 2010). Variabel independent dalam
penelitian ini adalah komunikasi bidan dalam memberikan pelayanan Antenatal Care.

2.

Variabel Dependent
Adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independent (Setiawan, 2010). Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah tingkat kepuasan ibu hamil dalam Antenatal Care.

E. Definisi Operasional
1. Komunikasi Bidan
Komunikasi bidan adalah suatu proses penyampaian informasi oleh bidan kepada pasien
baik secara verbal yaitu dengan menggunakan bahasa maupun secara nonverbal yaitu tidak
menggunakan bahasa melainkan bahasa tubuh seperti sentuhan, kontak mata dan lainnya.
Pengukuran komunikasi bidan di ukur dengan berbagai item pertanyaan dalam kuesioner yang
dinyatakan dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan harapan yang
diinginkan.

lat ukur

: Kuesioner

kala

: Ordinal

asil ukur

: Nilai 2, bila jawaban Ya


Nilai 1, bila jawaban Tidak

edangkan kategori pelaksanan komunikasi bidan dibagi menjadi 3 (tiga) :

aik

: bila skor total 16

ukup

: bila skor total 11-15

urang

: bila skor total 10


2. Tingkat Kepuasan
Pelayanan kesehatan yang bermutu sehingga penerima pelayanan kesehatan puas
terhadap pelayanan yang diterima dengan penyelenggaran yang sesuai dengan kode etik dan
standar yang ditetapkan. Pengukuran kepuasan komunikasi diukur dengan berbagai item
pertanyaan dalam kuesioner.

lat ukur

Kuesioner

kala

Ordinal

asil ukur

Nilai 2, bila jawaban Ya


Nilai 1, bila jawaban Tidak

Kategori tingkat kepuasan dibagi 3 (tiga) :

uas

: bila total skor 16

ukup Puas

: bila total skor 11-15

urang Puas

: bila total skor 10


F. Metode Pengumpulan Data
1.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah :


a. Data primer yang diperoleh secara langsung dari responden dengan mengisi kuesioner.
b. Data sekunder yang diperoleh dari register ibu hamil di Bidan Praktek Swasta
Wilayah Kerja Puskesmas Lingkar Barat Bengkulu.

2.

Metode pengumpulan data

Cara pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan alat
ukur berupa kuesioner yang berisi 20 item pertanyaan kepada responden. Responden tinggal
memberikan tanda tertentu pada pertanyaan yang disediakan. Selama pengisian kuesioner,
peneliti berada tidak jauh dari responden agar dapat memberikan petunjuk pengisian bila ada hal
yang tidak atau kurang dimengerti. Apabila kondisi tidak memungkinkan, data diambil dengan
wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner yang sama, dimana jawabannya dipilih
responden dituliskan pada lembar kuesioner oleh pewawancara.
G. Instrumen atau Alat Penelitian
Instrumen adalah alat pada waktu penelitian menggunakan sesuatu metode. Alat dalam
penelitian ini adalah kuesioner, yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia

ketahui (Arikunto, 2007). Ditinjau cara responden menjawab kuesioner, penelitian ini
menggunakan pertanyaan tertutup dimana pertanyaan dirumuskan sedemikian rupa sehingga
kemungkinan jawaban yang diberikan responden sangat terbatas. Kuesioner ini diadopsi dari
kuesioner penelitian sebelumnya Pratiwi (2010) dan telah diuji menggunakan uji validitas
dengan analisa butir adalah skor-skor yang ada pada butir yang dimaksud dikorelasikan dengan
skor total, selanjutnya dihitung dengan rumus product moment. Jika R r tabel maka dikatakan
butir soal itu valid. Setelah diperoleh harga R, kemudian hasilnya dikonstitusikan dengan harga r
product moment. Item yang dinyatakan valid adalah item dengan hasil lebih dari r tabel pada
tingkat kepercayaan 95%, yaitu lebih dari 0,444. Hasil uji reliabilitas menunjukkan reliabilitas
instrumen dengan rumus cronbach alpha, bila dikonstitusikan dengan R product moment. Jika R
r tabel maka dikatakan butir soal itu valid. Item yang dinyatakan reliabel adalah item dengan
hasil lebih dari r tabel pada tingkat kepercayaan 95%, yaitu lebih dari 0,444.
Tabel 1. Kisi-kisi kuesioner
No
1.

2.

Variabel
Penelitian
Komunikasi
Bidan

Indikator
-

Total pertanyaan
Tingkat
kepuasan
-

Pengertian Komunikasi
Proses komunikasi
Jenis komunikasi
Faktor yang mempengaruhi
komunikasi
Kepuasan pelayanan ANC
Mutu pelayanan kesehatan

Total pertanyaan

Nomor
pertanyaan
3, 4, 5, 9,
10
7, 8
1,2
6
11, 12, 13,
14, 16,
15, 17, 18,
19, 20

Jumlah
5
2
2
1
10
5
5
10

H. Metode Pengolahan dan Analisa Data


1. Metode pengolahan data
Setelah pengisian kuesioner selesai, kuesioner ditarik kembali untuk dilakukan pengolahan data
sebagai berikut (Narbuko. dkk, 2005).

a.

Editing
Yaitu memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para responden untuk mengurangi
kesalahan atau kekurangan yang ada dalam daftar pertanyaan yang sudah diselesaikan.
Pemeriksaan ini dilakukan terhadap :

1) Kelengkapan jawaban.
2) Keterbacaan tulisan.
3) Kejelasan makna jawaban.
4) Kesesuaian jawaban.
5) Relevansi jawaban.
b.

Coding

Setelah data terkumpul dan selesai di edit di lapangan, tahap berikutnya yaitu mengkode data,
yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden ke dalam kategori-kategori
dengan memberi tanda / kode berbentuk angka pada masing-masing jawaban.
Langkah dalam melakukan coding yaitu :
1) Menentukan kategori yang akan digunakan.
2) Mengalokasikan jawaban-jawaban responden pada kategori-kategori tersebut.
c.

Tabulating
Tabulating dilakukan dengan memasukkan data yang telah diberi kode ke dalam tabel yang
tersedia.

d.

Entry
Memasukan data yang sudah di lakukan editing dan coding tersebut kedalam Komputer yaitu
untuk memastikan apakah semua data sudah siap di analisis

e.

Cleaning

Untuk memastikan apakah semua data sudah siap dianalisis.


2. Analisis Data
Hasil data yang diolah disajikan secara Deskriptif.
Untuk semua variabel akan ditampilkan distribusi frekuensi yang diperoleh dari analisa data
univariat.
a.

Analisis univariat
Untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang di teliti, baik
variabel independent maupun variable dependent. Langkah - langkah yang dilakukan dalam
analisa univariat adalah sebagai berikut :

1) Mengukur jumlah skor masing-masing responden.


2)

Jumlah skor masing-masing responden dikategorikan sesuai dengan ketentuan yang sudah di
tuliskan pada definisi operasional.

3) Menghitung presentase kategori komunikasi bidan dan tingkat kepuasan ibu hamil.
b. Analisis Bivariat
Untuk menguji hipotesis antara variabel independent dengan variabel dependent atau
melihat ada atau tidak nya hubungan antara kedua variabel yaitu komunikasi bidan dan tingkat
kepuasan ibu hamil.diolah dengan komputer menggunakan program SPSS dengan tekhnik
analisis statistic.
Bila chi square hitung lebih kecil dari tabel chi square maka Ha diterima, dan apabila chi square
hitung lebih besar dari chi square stabel maka Ha ditolak (Alimul, 2007

You might also like