Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Hingga saat ini, persoalan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan tenaga
listrik belum terselesaikan dengan baik dan tuntas. Di mana, setiap terjadi
perubahan minimal tiga hal, yaitu harga minyak mentah, kurs rupiah, dan volume
konsumsi, pasti akan menyisakan persoalan pada besaran subsidi. Ketika harga
minyak naik, nilai rupiah turun, dan volume konsumsi naik, belanja subsidi akan
membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara
(APBN). Ujung-ujungnya Pemerintah mengorbankan belanja modal dengan
mengurangi alokasi anggarannya atau menumpuk utang untuk menambah
kekurangan beban subsidi.
Timbulnya persoalan subsidi ini tidak lain karena konsekuensi dari kebijakan
pemerintah yang memberikan subsidi harga kepada masyarakat. Di BBM tertentu,
seperti premium, solar, minyak tanah, dan LPG 3 kg, Pemerintah memberi subsidi
sebesar selisih harga patokan dikurangi harga eceran. Di listrik, Pemerintah
mensubsidi selisih biaya pokok penyediaan (BPP) plus margin dikurangi harga jual.
Karenanya, ketika minyak mentah naik maka harga BBM yang merupakan produk
minyak mentah akan naik, akibatnya harga patokan atau BPP naik, dan selanjutnya
subsidi naik. Selain itu, ketika volume konsumsi naik maka subsidi naik pula.
Untuk
mengurangi
beban
subsidi,
Pemerintah
telah
beberapa
kali
mengajukan penyesuaian harga, dan baru berhasil pada tahun 2013. Namun
demikian, dalam setiap upaya penyesuaian harga, dapat dipastikan menimbulkan
kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan kontra dengan berbagai alasan yang
rasional. Pihak yang pro berpendapat bahwa penyesuaian harga perlu dilakukan
karena beban subsidi telah membebani APBN dan penyalurannya tidak tepat
sasaran. Sementara itu, pihak yang kontra berpendapat penyesuaian harga belum
perlu dilakukan karena akan membebani biaya hidup masyarakat.
1
Kepala Sub Bidang BUMN Piset dan Peneliti Muda pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan
Fiskal, Kementerian Keuangan, email: annasiru@gmail.com. Artikel telah dimuat dalam Buletin Info Risiko
Fiskal (IRF) Edisi 1 Tahun 2014
Berangkat dari pro dan kontra harga BBM tersebut di atas, tentunya timbul
pertanyaan tentang bagaimana kondisi minyak dan gas bumi (migas) Indonesia
sesungguhnya, cukup kaya atau miskin kah Indonesia akan migas? Logika
sederhana, bila negara kaya akan minyak tentunya ada kewajaran harga BBM
murah, atau sebaliknya. Dengan menggunakan data sekunder, artikel ini
menggambarkan tentang kondisi migas di Indonesia sebagai jawaban atas
pertanyaan tersebut di atas. Selanjutnya, dari gambaran ini diharapkan masyarakat
dapat mempunyai pendapat atau penilaian yang logis dan berdasar terhadap
berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan migas.
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
Produksi
200
Rata-Rata
0
1965 1967 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
42,0
43,4
44,6
45,0
45,8
49,9
24
71,1
73,0
81,3
83,3
86,9
87,5
112,2
116,2
139,7
143,9
152,4
152,5
154,1
174,9
182,6
207,5
394,9
526,2
547,0
dengan
kinerja
produksi
minyak
mentah,
seiring
dengan
peningkatan PDB dan jumlah penduduk, konsumsi BBM di Indonesia semakin lama
semakin meningkat. Hal ini terlihat dari perkembangan konsumsi minyak mentah
yang terjadi selama ini sebagaimana digambarkan dalam Grafik 3. Di era tahun 70an, konsumsi minyak hanya dikisaran 100 ribu s. d. 350 ribu BPD. Namun, dari tahun
ke tahun konsumsi terus meningkat atau tumbuh di kisaran 6,1% per tahun selama
periode 1970 s. d. 2012.
Grafik 3. Konsumsi dan Surplus/Defisit Minyak
Juta Ton
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012
Konsumsi Oil
Surplus/Defisit
Kondisi yang bertolak belakang antara kinerja produksi dan konsumsi minyak,
pada akhirnya membuat Indonesia mengalami defisit minyak. Hal ini mulai terjadi
pada tahun 2004 di mana Indonesia mengalami defisit minyak sekitar 5 juta ton,
kemudian terus merangkak naik hingga tahun 2012 yang mengalami defisit 27 juta
ton. Konsekuensi defisit sudah dapat dipastikan bahwa Indonesia harus impor baik
dalam bentuk minyak mentah maupun hasil olahan (bensin, diesel, dan kerosene).
Ketika impor, otomatis juga dapat berdampak pada neraca perdagangan
Indonesia.
Grafik 4. Neraca Minyak dan BBM
(JT KL)
(US$ Juta)
2011*
-38,6
2009
2008
-38,2
2011
2005
2010
-22,6
2004
2003
2009
2002
2001
-24,6
-40
2007
2006
-26,0
-60
2010
2012
2008
-20
Impor
2000
20
Produksi
40
60
Konsumsi
80
-30.000
-20.000
-10.000
10.000
20.000
Dari Grafik 4 dan Grafik 5 terlihat bahwa semakin lama volume impor minyak
dan BBM semakin meningkat. Tahun 2008, volume impor mencapai 24,6 juta kiloliter
(KL), meningkat 56,9% menjadi 38,6 juta KL pada tahun 2012. Dari sisi nilai nominal
pun otomatis defisit neraca perdagangan meningkat. Pada tahun 2003, terjadi
defisit neraca perdagangan sekitar US$414,8 juta, kemudian pada tahun 2011
periode Januari - November menjadi US$19,0 miliar.
Pada dasarnya, kenaikan konsumsi minyak atau BBM tidak menimbulkan
permasalahan selama kenaikan tersebut mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat secara maksimal. Pertanyaannya
adalah sudah maksimalkah konsumsi tersebut dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat? Hal ini dapat ditunjukkan dalam rasio PDB
dengan konsumsi energi ($/Kg Setara Minyak) sebagaimana terlihat dalam Grafik 6.
Indonesia terlihat masih di bawah Singapura ($8,3), Malaysia ($5,4), Korea ($4,88),
dan Brunei Darussalam ($4,84) dalam hal efisiensi penggunaan energi untuk
peningkatan PDB.
Grafik 6. Rasio PDB terhadap Konsumsi Energi Tahun 2012
Japan
Philippines
Singapore
Brazil
Australia
United States
Malaysia
India
Korea, Rep.
Pakistan
Brunei Darussalam
Indonesia
Venezuela, RB
Vietnam
Thailand
China
Russian Federation
0,00
8,52
8,51
8,35
7,49
6,37
6,32
5,40
5,34
5,27
Constant
2005 PPP $
Per Kg of Oil
Equivalent
4,88
4,84
4,75
4,70
4,57
4,45
3,66
2,88
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
ini
menunjukan
bahwa
kebijakan
harga
murah
menunjukan
adanya
Meskipun sampai dengan saat ini produksi gas Indonesia sudah sangat besar,
Indonesia masih diperkirakan memiliki potensi sumber gas yang cukup besar.
Fesharaki F. (2012), Chairman of Facts Global Energy, memperkirakan bahwa
produksi kotor gas Indonesia diperkirakan masih di atas 8.300 million standard cubic
feet per day (MMSCFD), bahkan diperkirakan dapat di atas 9.000 MMSCFD pada
tahun 2020.
Grafik 8. Perkiraan Konsumsi dan Produksi Gas
diekspor
kemungkinan
untuk
termasuk
kepentingan
potensi
produksi
luar
negeri
dan
di
masa
yang
tidak
akan
menutup
datang.
Renew
- ables
1%
Coal
32%
159,4
JT EO
New Zealand
Singapore
Taiwan
Oil
45%
Australia
Indonesia
Natura
l Gas
20%
South Korea
India
China
2,5
3,1
KONSUMSI NATURAL GAS
3,8
2012
5,6
JT EO
7,5
8,5
14,7
19,6
22,9
30,0
32,2
37,3
45,0
46,1
49,1
105,1
129,5
Seiring
dengan
harga
minyak
mentah
yang
mulai
meningkat,
gas
kurang memadai dan terbatas karena selama ini Pemerintah terfokus pada BBM
sehingga kurang adanya perencanaan di sektor gas. Terkait dengan harga BBM
yang murah juga berpengaruh terhadap masyarakat dalam memilih alternatif
bahan bakarnya. BBM yang murah mengurangi daya saing gas di masyarakat.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa poin kesimpulan.
Pertama, produksi minyak mentah Indonesia telah mengalami penurunan, dan
suatu saat nanti akan habis. Hal ini merupakan kosekuensi logis bahwa minyak
adalah SDA yang tidak dapat diperbarui. Kedua, di sisi konsumsi, permintaan akan
minyak dan BBM cederung terus
peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan kenaikan jumlah penduduk. Bila kedua kesimpulan ini
dikaitkan, tentunya dapat dipastikan bahwa keamanan energi dan kedaulatan
negara terancam apabila Pemerintah tidak melakukan apa-apa. Ketiga, Indonesia
masih memiliki potensi produksi gas alam yang cukup besar. Namun demikian,
berdasarkan catatan terdahulu, Indonesia lebih suka mengekspor gas dari pada
mengkonsumsi sendiri meskipun harga gas jauh di bawah harga BBM. Dampaknya
Indonesia sangat tergantung dengan sumber energi primer yang berbasis minyak
mentah.
Dari beberapa kesimpulan tersebut, Indonesia harus melakukan perubahan
bauran kebijakan yang ideal baik dari sisi kalori yang dihasilkan maupun dari nilai
nominal
rupiahnya.
Untuk
itu,
diperlukan
kebijakan
terobosan
seperti
(1)
Referensi
BP. 2013. Statistical Review of World Energy June 2013. Diakses 10 Januari 2014.
http://www.bp.com/en/global/corporate/about-bp/energy-
economics/statistical-review-of-world-energy-2013/statistical-reviewdownloads.html.
BPS. 2012. Perkembangan Ekspor-Impor Minyak dan BBM.
Fesharaki F. 2012. Indonesian LNG In The Global Context. Dipresentasikan pada
Indonesia LNG Forum pada 12-13 Juli 2012.
Tempo. 2012. Maju Mundur Kilang Baru. Edisi 8 Desember 2012.
World Bank. 2014. Data. Diakses 10 Februari 2014.
http://data.worldbank.org/indicator/EG.GDP.PUSE.KO.PP.KD