You are on page 1of 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus Tipe 2


2.1.1

Definisi
Diabetes adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan terjadinya

resistensi insulin, sekresi insulin yang tidak memadai, atau gabungan keduanya.
Manifestasi klinis gangguan tersebut adalah hiperglikemia. Pasien diabetes
diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu diabetes tipe 1 yang disebabkan oleh
defisiensi absolut insulin, dan diabetes tipe 2 didefinisikan adanya resistensi
insulin dengan meningkatnya kompensasi sekresi insulin yang tidak memadai.
Wanita yang mengalami diabetes selama masa kehamilan dikelompokkan sebagai
diabetes gestasional.
Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang dikaitkan dengan masalah metabolisme karbohidrat,
lemak dan protein dan dapat menimbulkan komplikasi kronik seperti gangguan
mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Dipiro, 2007)
2.1.2

Etiologi
DM tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak

penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1. Penderita DM tipe 2 mencapai


90-95% dari keseluruhan populasi penderita DM. Umumnya berusia diatas 45
tahun. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
DM tipe 2, antara lain obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang
gerak badan.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Berbeda dengan DM tipe 1, pada penderita DM tipe 2, terutama yang


berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang cukup
didalam darahnya. Disamping kadar glukosa yang juga tinggi. DM tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin
gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal.
2.1.3

Manifestasi Klinis
Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini

mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun protein dan lemak. Pada


diabetes tipe II ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel yang
menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara
homeostasis glukosa. Pasien dengan diabetes tipe II ini seringkali gemuk dan
sering dihubungkan dengan organ target yang membatasi respon insulin endogen
dan eksogen. Pada beberapa kasus, resistensi insulin disebabkan oleh penurunan
jumlah reseptor insulin (Mycek, 2001).
Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam
lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan
glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel mengakibatkan gangguan pada
pengontrolan glukosa darah.
2.1.3.1 Komplikasi Kronik Diabetes Melitus
Komplikasi kronik dari diabetes mellitus dapat menyerang semua sistem organ
tubuh. Kategori komplikasi kronik diabetes yang lazim digunakan adalah penyakit
makrovaskuler, mikrovaskuler, dan neurologis.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

1. Komplikasi Makrovaskuler

3 jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada penderita


diabetes adalah penyakit jantung koroner (Coronary Heart Disease = CAD),
penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (Peripheral
Vascular Disease = PVD). Walaupun komplikasi makrovaskular dapat juga
terjadi pada DM tipe 1, namun yang lebih sering merasakan komplikasi
makrovaskular ini adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita
hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi dari penyakit-penyakit
komplikasi makrovaskular dikenal dengan berbagai nama, antara lain Syndrome
X, Cardiac Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau Insulin
Resistance Syndrome. Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar risikonya
pada penderita diabetes, maka pencegahan komplikasi terhadap jantung harus
dilakukan sangat penting dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar
kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya selalu menjaga tekanan
darahnya tidak lebih dari 130/80 mm Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar
mengatur gaya hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet dengan
gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak merokok, mengurangi stress dan
lain sebagainya (Depkes RI, 2005).
2. Komplikasi Mikrovaskeler

Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada penderita diabetes tipe 1.


Hiperglikemia yang persisten dan pembentukan protein yang terglikasi (termasuk
HbA1c) menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin lemah dan rapuh
dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal inilah yang
mendorong

timbulnya

komplikasi-komplikasi

mikrovaskuler,

antara

lain

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena kondisi hiperglikemia,


ketiga komplikasi ini juga dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat
terjadi dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama, berbeda risiko
komplikasi mikrovaskularnya. Namun demikian prediktor terkuat untuk
perkembangan komplikasi mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat
keparahan diabetes (Depkes RI, 2005).
Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah atau memperlambat
jalan perkembangan komplikasi mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar
gula darah yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan suntikan
insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang disertai dengan monitoring
kadar gula darah mandiri dapat menurunkan risiko timbulnya komplikasi
mikrovaskular sampai 60% (Depkes RI, 2005).
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis klinis diabetes melitus umumnya akan diperkirakan bila ada
keluhan khas gejala hiperglikemia berupa poliuria, polidipsia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya (Scobie, 2007; Soegondo dkk, 2004).
Jika keluhan khas ada maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah sewaktu 11, 1 mmol/l (200 mg/dl) dan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa (tidak adanya asupan kalori yang masuk selama
minimal 8 jam) 7,0 mmol/l (126 mg/dl ) (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007;
Soegondo dkk, 2004). Diperlukan pemeriksaan kembali kadar glukosa darah
melalui hasil tes toleransi glukosa oral. Diberikan 75 gram glukosa yang
dilarutkan dalam 250-350 ml air, setelah 2 jam baru diukur kadar glukosa
darahnya (Holt and Kumar, 2010). Bila didapatkan kadar glukosa darah setelah 2

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

jam pemberian larutan glukosa 11,1 mmol/l (200 mg/dl), maka dapat dikatakan
seseorang menderita diabetes melitus (Holt and Kumar, 2010; Scobie, 2007;
Soegondo dkk, 2004).
Tabel 2.1 Kriteria penegakan diagnosis
Glukosa Plasma
Puasa
Normal
<100 mg/dL
Pra-diabetes
100 125 mg/dL
IFT atau IGT
Diabetes
126 mg/dL
Keterangan:
IFT
= Impaired Fasting Glucose (IFG)
IGT = Impaired Glucose Tolerance
(Sumber: Depkes RI, 2005)

Glukosa Plasma 2
Jam setelah makan
<140 mg/dL
140 199 mg/dL
>200 mg/dL

Untuk kelompok tanpa keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa


darah abnormal tinggi (hiperglikemia) satu kali saja tidak cukup kuat untuk
menegakkan diagnosis DM. Diperlukan konfirmasi atau pemastian lebih lanjut
dengan mendapatkan paling tidak satu kali lagi kadar gula darah sewaktu yang
abnormal tinggi (>200 mg/dL) pada hari lain, kadar glukosa darah puasa yang
abnormal tinggi (>126 mg/dL), atau dari hasil uji toleransi glukosa oral
didapatkan kadar glukosa darah paska pembebanan >200 mg/dL (Depkes RI,
2005)
Kriteria diagnosis Diabetes Melitus menurut American Diabetes
Association didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa plasma baik pada keadaan
puasa (Fasting Plasma Glucose/FPG) atau setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO). Puasa adalah keadaan tanpa asupan makanan/kalori selama minimal 8
jam (Depkes RI, 2005).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2.1.5

Penatalaksanaan

Tindakan yang dapat dilakukan dalam menangani kadar gula darah adalah:
a. Diet
Karena diet merupakan langkah awal dari usaha untuk penanganan diabetes.
b. Gerak badan
Latihan fisik atau olahraga teratur dapat memperbaiki pengendalian kadar glukosa
karena meningkatkan sensitivitas insulin.
d. Farmakoterapi
1. Obat antidiabetik oral
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik
oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan
fenilalanin).
b. Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif.
c. Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor -glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum digunakan untuk
mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-meal hyperglycemia).
Disebut juga starch-blocker.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2. Insulin
Insulin disintesis di sel pankreas dari prekursor 110 asam amino rantai
tunggal yang disebut preproinsulin. Setelah translokasi melalui membran
retikulum endoplasma kasar, peptide penanda N-terminal 24-asam amino dari
preproinsulin segera dipotong untuk membentuk proinsulin. Disini molekul akan
melipat dan terbentuk ikatan disulfida. Pada konversi proinsulin manusia menjadi
insulin di kompleks Golgi, empat asam amino basa dan peptida C atau peptida
penghubung yang tersisa dihilangkan melalui proteolisis. Hal ini menghasilkan
dua rantai peptida molekul insulin (A dan B), yang mengandung ikatan disulfida
satu intrasubunit dan dua intrasubunit. Rantai A biasanya terdiri dari 21 residu
asam amino dan rantai B memiliki 30 residu (Gilman, 2007).
Untuk tujuan terapeutik, dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan dalam
unit (U). Tradisi ini dimulai ketika sediaan hormon belum murni dan perlu untuk
menstandardisasi sediaan ini melalui uji hayati. Satu unit insulin setara dengan
jumlah yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah pada
kelinci yang berpuasa menjadi 45 mg/dl. Sediaan homogen insulin manusia
mengandung antara 25-30 U/mg (Gilman, 2007).
Insulin merupakan hormon utama yang bertanggungjawab untuk
mengontrol ambilan, penggunaan dan penyimpanan nutrisi sel. Jaringan target
yang penting untuk pengaturan homeostasis glukosa oleh insulin adalah hati, otot,
dan lemak, tetapi insulin juga menggunakan efek pengaturan yang kuat terhadap
jenis sel lainnya. Stimulus transport glukosa kedalam jaringan otot dan adipos
merupakan bagian penting pada respon fisiologis terhadap insulin. Glukosa
memasuki sel dengan cara difusi terfasilitasi melalui salah satu family transporter

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

glukosa (GLUT1 sampai GLUT5). Insulin menstimulus transport glukosa


setidaknya sebagian dengan cara meningkatkan translokasi vesikel intrasel
bergantung-energi yang mengandung transporter glukosa GLUT4 dan GLUT1 ke
dalam membran plasma. Pengaturan yang salah dalam proses ini dapat
menyebabkan patofisiologi diabetes tipe 2 (Gilman, 2007).
Di

hati,

insulin

menghambat

produksi

glukosa,

menurunkan

glukoneogenesis dan glikogenesis. Menstimulus ambilan glukosa di hati. Di otot,


insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor
glukoneogenik ke hati (mis: alanin, laktat dan piruvat). Di jaringan adiposa,
insulin menstimulus pengambilan glukosa dan menghambat aliran prekursor ke
hati (Gilman, 2007).
Klasifikasi insulin:
a) Insulin yang bekerja singkat
Sediaan ini memiliki onset kerja paling cepat, tetapi durasinya paling
singkat (Gilman, 2007). Dapat dibedakan berdasarkan sumbernya:

Insulin regular atau insulin soluble


Merupakan satu-satunya insulin jernih atau larutan insulin,
sementara lainnya adalah suspensi (Soegondo dkk, 2004). Dapat
diberikan secara intravena atau intramuskular. Biasanya harus
diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan. Kadar puncak dalam
plasma sekitar 1,5 sampai 4 jam (Gilman, 2007) dan biasanya
berlangsung selama 6-8 jam (Holt and Kumar, 2010). Contoh
insulin ini adalah Human Actrapid (Novo Nordisk), Humulin

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

S(Lilly), Insuman Rapid (Aventis), Hypurin Porcine Neutral (CP),


Hypurin Bovine Neutral (CP), Pork actrapid (Scobie, 2007).

Insulin analog kerja cepat


Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 0,5 sampai 1,5 jam
dan berlansung selama 2 sampai 5 jam (Gilman, 2007). Contoh
insulin analog kerja cepat adalah Insulin Aspart (NovoRapid),
Insulin Lispro (Humalog), Insulin Glulisine (Apidra) (Holt and
Kumar, 2010).

b) Insulin yang bekerja sedang


Dapat dibagi menjadi:

Suspensi insulin isophan


Merupakan suspensi insulin dalam bentuk kompleks dengan zink
dan protamin. Umumnya diberikan satu kali sehari sebelum
sarapan atau dua kali sehari. Mencapai puncak dalam serum dalam
waktu 6 samapi 12 jam dan berlangsung selama 18 sampai 24 jam
(Gilman, 2007). Contoh suspensi insulin isophan: Insulatard,
Humulin I, Insuman Basal, Hypurine Porcine Isophane, Hypurin
Bovine Isophane (Holt and Kumar, 2010).

Suspensi insulin Zink (lente)


Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 6 sampai 12 jam dan
berlangsung selama 18 sampai 24 jam (Gilman, 2007). Contoh
suspensi insulin Zink: Human Monotard, Humulin Lente Hypurin,
Bovine Lente (Scobie, 2007).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

c) Insulin yang bekerja panjang


Memiliki onset yang sangat lambat dan puncak kerja yang relatif datar
yang lebih lama. Insulin ini ditujukan untuk memberikan konsentrasi
insulin yang rendah sepanjang hari (Gilman, 2007).
Dapat dibagi menjadi:

Suspensi Zink insulin yang diperpanjang (ultralente)


Mencapai puncak dalam serum dalam waktu 16 sampai 18 jam dan
berlangsung selama 20 sampai 36 jam (Gilman, 2007). Contoh
insulin ultralente adalah Human Ultratard dan Humulin ZN
(Scobie, 2007).

Suspensi insulin bekerja panjang

Analog insulin ini dapat bekerja sampai dengan 24 ketika disuntikkan


secara subkutan dan diberikan sekalai sehari dan tidak mempunyai puncak dalam
plasma (Holt and Kumar, 2010). Contoh insulin ini adalah Glargine (lantus) dan
Detemir (Levemir) (Scobie, 2007).
2.2 Coronary Artery Disease (CAD)
2.2.1 Definisi
Coronary artery disease (CAD) merupakan penyakit yang ditandai dengan
berkembangnya plak aterosklerotik (fibro-fatty deposits) di arteri koroner.
Penyebab utama penyakit ini adalah adanya aterosklerosis yang terdapat pada
pembuluh darah epicardial sehingga bisa menyebabkan terjadinya blokade aliran
darah. (Dipiro,2007).
Arteri koroner merupakan pembuluh arteri yang mensuplai darah yang
mengangkut oksigen dan nutrisi ke miokardium (otot jantung). Terdapat suatu

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

keseimbangan kritis antara suplai dan kebutuhan oksigen miokardium, suplai


oksigen harus sesuai dengan kebutuhan akan oksigen tersebut. Pengurangan suplai
oksigen atau peningkatan kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini
dan membahayakan fungsi miokardium (Price dan Wilson, 2005).
Bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat, maka suplai oksigen juga
harus meningkat. Untuk meningkatkan suplai oksigen dalam jumlah yang
memadai,aliran pembuluh koroner haruslah ditingkatkan, karena ekstraksi oksigen
miokardium dari daerah arteri hampir maksimal pada keadaan istirahat.
Rangsangan yang paling kuat untuk mendilatasi arteri koroner dan meningkatkan
aliran pembuluh darah adalah hipoksia jaringan local. Pembuluh koroner dapat
melebar dan meningkatkan aliran darah sekitar lima sampai enam kali di atas
tingkat istirahat. Tetapi, pembuluh darah yang mengalami stenosis atau gangguan,
tidak dapat melebar dengan sempurna sehingga terjadi kekurangan oksigen bila
kebutuhan oksigen meningkat (Price dan Wilson, 2005).
2.2.2 Etiologi
Hasil penelitian pada hewan percobaan dan manusia menunjukkan bahwa
adanya lapisan lemak merupakan awal terjadinya aterosklerosis. Adanya lesi awal
ini sangat sering muncul dari peningkatan focal yang mengandung lipoprotein
pada daerah intima. Adanya hiperkolesterolemia dapat meningkatkan akumulasi
lipoprotein terutama low density lipoprotein (LDL) di intima. Partikel lipoprotein
sering berhubungan dengan konstituen dari matriks ekstraseluler, khususnya
proteoglikan. Sekuestrasi (penyerapan) di dalam intima memisahkan lipoprotein
dari antioksidan plasma dan menyebabkan terjadinya modifikasi oksidatif.
Partikel lipoprotein yang termodifikasi dapat memicu respon inflamasi lokal yang

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

memberikan sinyal untuk tahap selanjutnya pada pembentukan lesi. Tanda-tanda


yang lain dari berbagai adhesi molekul leukosit adalah adanya monosit yang mulai
timbul di lesi arteri (Dipiro, 2007).
Pada waktu berlekatan, beberapa sel darah putih bermigrasi ke dalam
intima. Migrasi ini terjadi karena adanya faktor chemoatractant, meliputi partikel
lipoprotein yang termodifikasi dan sitokin. Adanya mononuklear fagosit akan
mencerna lipid dan membentuk foam cells, yang ditunjukkan oleh pengisian
sitoplasma dengan droplet lipid. Lapisan lemak tersebut akan memperparah lesi
aterosklerotik, sel otot polos akan bermigrasi dari media melalui membrane
internal dan terakumulasi di dalam intima dan akan membentuk lesi yang semakin
memburuk (Dipiro, 2007).
2.2.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari CAD yang terpenting adalah nyeri di dada karena
adanya iskemia miokard. Nyeri dada juga bisa disertai sulit bernafas (dyspnea)
(Dipiro, 2007)
2.2.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis CAD, perlu dilakuklan beberapa tes
diagnosis, diantanya adalah:
a. Elektrokardiografi (EKG)
Terjadi perubahan pada gelombang ST-T, inverse gelombang T dan
elevasi segmen ST.
b. Exercise tolerance testing (ETT)

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

c. Pencitraan jantung
Radionuclide angiocardiography digunakan untuk mengukur fraksi ejeksi,
performa ventrikel, keluaran jantung, volume ventrikel, regurgitasi katup,
dan abnormalitas dinding jantung.
d. Echocardiography
Echocardiography berguna jika pasien mempunya riwayat penyakit katup
pericardial atau disfungsi ventrikel.
e. Kateterisasi jantung dan arteriografi koroner
2.2.5

Penatalaksanaan
Menurut American College of Cardiology (ACC) dan American Heart

Association (AHA), terapi awal untuk pasien CAD adalah dengan pemberian
oksigen intranasal (jika saturasi oksigen <90%), nitrogliserin sublingual, asprin,
beta blocker oral, dan antikoagulan dan agen fibrinolitik. Sedangkan terapi untuk
pasien CAD yang pernah mengalami infark miokard sebelumnya (CAD Old
Myocardial Infarction/CAD OMI) adalah beta blocker, ACEIs, aspirin, lipidlowering agents, antagonis aldosteron, dan antikoagulan (Dipiro, 2007).
a. Beta Blocker
Pada pasien CAD, manfaat pemberian beta blocker diperoleh dari
kemampuannya menginhibisi secara kompetitif reseptor beta-1 yang
terletak di miokardium. Inhibisi tersebut menyebabkan pengurangan
denyut jantung, kontraktilitas miokardium, tekanan darah, dan penurunan
kebutuhan oksigen miokardial. Selain itu, pengurangan denyut jantung
akan meningkatkan diastolic time, yang akan memperbaiki pengisian
ventrikel dan perfusi arteri koroner. Akibatnya, beta blocker

akan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

mengurangi resiko kekambuhan iskemia, infarct ataupun reinfarct dan


juga aritmia ventrikuler (Dipiro, 2007).
b. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)
Pemberian ACEIs didasarkan pada kemampuannya untuk mencegah
remodeling jantung. Mechanisme lainnya adalah kemapuan ACEIs untuk
memperbaiki fungsi endothelial, mengurangi aritmia atrium dan ventrikel,
meningkatkan angiogenesis, dan mengurangi kejadian iskemia (Dipiro,
2007).
2.3 Decompensatio Cordis/Gagal Jantung
2.3.1 Definisi
Gagal jantung terjadi ketika jantung tidak mampu memompa darah yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh
tubuh. Gagal jantung dapat juga merupakan hasil dari disfungsi sistolik dan
diastolik (Corwin, 2008). Pada disfungsi sistolik, kerja memompa (kontraktilitas)
dan ejection fraction (EF) dari kerja jantung mengalami penurunan. Sedangkan
pada disfungsi diastolik, proses mengerasnya dan kehilangan kemampuan
relaksasi otot jantung memiliki peranan yang penting dalam menurunkan keluaran
jantung (cardiac output) (Katzung, 2007).
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Infark
miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan turunnya
kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan mengubah
daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri
untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan


jantung sebelah kiri (Price and Wilson, 2005).
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis
kompensatoris. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat
untuk mempertahankan curah jantung. Pengurangan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus akan meningkatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin
aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan
meningkatkan aliran balik vena (Soufer, 2005).
2.3.2 Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan
yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi
regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel, dan beban akhir meningkat pada
keadaan akhir seperti stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas
miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan kardiomiopati (Price and
Wilson, 2005).
Secara epidemiologi cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal
jantung, di negara berkembang penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan
penyebab terbanyak sedangkan penyebab lain terbanyak adalah penyakit jantung
katup (Mariyono dan Santoso, 2007).
New York Heart Association (NYHA) mengelompokkan gagal jantung
dalam 4 kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan untuk
menimbulkan gejala-gejalanya (Gunawan, 2007; SIGN, 2007). Pengelompokan
gagal jantung menurut NYHA dapat dilihat pada Tabel 2.2.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Tabel 2.2 Pengelompokan gagal jantung menurut NYHA


Kelas Symptom
I
Tidak ada limitasi aktivitas fisik, tidak timbul sesak napas, dan rasa lelah.
Sedikit limitasi aktivitas fisik, timbul rasa lelah dan sesak napas dengan
II
aktivitas fisik biasa, tetapi nyaman sewaktu istirahat.
Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik kurang dari biasa sudah
III
menimbulkan gejala, tetapi nyaman sewaktu istirahat.
Gejala-gejala sudah ada sewaktu istirahat, dan aktivitas sedikit saja akan
IV
memperberat gejala.

2.3.3 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinik gagal jantung menunjukkan derajat kerusakan
miokardium dan kemampuan serta besarnya respon kompensasi. Berikut adalah
hal-hal yang biasa ditemukan pada gagal jantung kiri:
a. Gejala dan tanda: dispnea, oliguria, lemah, lelah, pucat dan berat badan
bertambah.
b. Auskultasi: ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan
ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
c. EKG: takikardia
d. Radiografi dada: kardiomegali, kongesti vena pulmonalis (Price and Wilson,
2005).
2.3.4 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan Jugular Venous
Pressure (JVP), hepatomegali, edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain fotothorax, EKG
12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi
dan tes fungsi paru (Mariyono dan Santoso, 2007).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2.3.5 Penatalaksanaan
Target terapi gagal jantung kronik adalah meminimalisir hingga
menghilangnya gejala, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi angka rawat
inap, memperlambat peningkatan keparahan penyakit, serta memperpanjang
ketahanan (Sukandar, dkk., 2008). Prinsip manajemen terapi juga meliputi
pengurangan beban kerja jantung, meningkatkan kinerja memompa jantung
(kontraktilitas), dan juga mengontrol penggunaan garam (Andreoli, et. all., 1997).
Pemilihan obat yang tersedia untuk pengobatan gagal jantung kongestif
bersifat terbatas dan terfokus terutama untuk mengontrol gejala-gejala yang
terjadi. Obat sekarang telah dikembangkan baik untuk memperbaiki gejala, dan
yang terpenting, memperpanjang kelangsungan hidup.
a.

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEIs)


ACE inhibitor telah digunakan untuk pengobatan hipertensi selama lebih

dari 20 tahun. Golongan obat ini juga telah dipelajari secara ekstensif dalam
pengobatan gagal jantung kongestif. Obat-obat ini menghambat pembentukan
angiotensin II, suatu hormon dengan efek yang berpotensi mempengaruhi jantung
dan sirkulasi pada pasien gagal jantung. Penelitian yang dilakukan pada beberapa
ribu pasien,

obat ini telah menunjukkan peningkatan perbaikan gejala-gejala

penyakit pada pasien, pencegahan kerusakan klinis, dan memperpanjang


hidup. Selain itu, obat ini digunakan untuk mencegah perkembangan gagal
jantung dan serangan jantung (Kulick, 2011).
Efek samping dari obat ini termasuk batuk kering yang mengganggu,
hipotensi, memburuknya fungsi ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit, dan
jarang terjadi reaksi alergi. Ketika digunakan dengan hati-hati dengan pemantauan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

yang tepat, bagaimanapun, mayoritas individu dengan gagal jantung kongestif


dapat mentolerir obat-obat ini tanpa masalah yang signifikan. Contoh inhibitor
ACE meliputi: kaptopril, enalapril, lisinopril, benazepril dan ramipril (Kulick,
2011).
b. Angiotensin II Reseptor Blockers (ARBs)
Individu yang tidak mampu mentolerir dampak ACE inhibitors, dapat
digunakan sebuah kelompok alternatif obat, yang disebut angiotensin receptor
blockers (ARBs). Obat ini bekerja pada jalur sirkulasi yang sama dengan inhibitor
ACE, tetapi kerjanya menduduki reseptor angiotensin II secara langsung Efek
samping dari obat ini mirip dengan seperti penggunaan ACE inhibitors, meskipun
batuk kering jarang dijumpai. Contoh golongan ini obat meliputi: losartan,
candesartan, telmisartan, valsartan, irbesartan, dan olmesartan (Kulick, 2011).
c. Beta-blocker
Hormon-hormon tertentu, seperti epinefrin (adrenalin), norepinefrin, dan
hormon serupa lainnya, bertindak pada reseptor beta pada berbagai jaringan tubuh
dan menghasilkan efek stimulatif. Efek hormon ini pada reseptor beta di jantung
adalah kontraksi yang lebih kuat dari otot jantung. Beta-blocker adalah obat yang
menghalangi aksi hormon ini dengan menduduki reseptor beta dari jaringan
tubuh. Karena diasumsikan bahwa menduduki reseptor beta dapat menekan fungsi
dari jantung, beta-blocker secara tradisional tidak digunakan pada orang dengan
gagal jantung kongestif (Kulick, 2011).
Penelitian telah menunjukkan manfaat klinis dari beta-blocker dalam
meningkatkan fungsi jantung dan kelangsungan hidup pada individu dengan gagal
jantung kongestif yang sedang menggunakan ACE inhibitors. Keberhasilan dalam

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

menggunakan beta-blocker pada gagal jantung kongestif adalah dengan memulai


dari dosis rendah dan kemudian meningkatkan dosis secara lambat (Kulick, 2011).
Efek samping yang mungkin termasuk retensi cairan, hipotensi,
dan kelelahan serta pusing. Beta-blocker umumnya harus tidak digunakan pada
orang dengan penyakit yang signifikan tertentu pada saluran napas (misalnya,
asma, emfisema). Contoh golongan obat ini adalah bisoprolol, metoprolol, dan
carvedilol (Kulick, 2011).
d. Glikosida jantung
Glikosida jantung menstimulasi otot jantung untuk berkontraksi lebih kuat.
Dengan kata lain, glikosida jantung adalah obat yang memperkuat kontraktilitas
otot jantung (efek inotropik positif), terutama digunakan pada gagal jantung
(dekompensasi) untuk memperbaiki fungsi pompanya. Potensi efek samping
termasuk: mual, muntah, gangguan irama jantung, disfungsi ginjal, dan kelainan
elektrolit. Efek-efek samping umumnya timbul akibat dari toksisitas dalam darah
dan dapat dimonitor dengan tes darah. Dosis glikosida jantung juga perlu
disesuaikan pada pasien dengan gangguan ginjal yang signifikan (Gunawan,
2007).
e. Diuretik
Diuretik seringkali merupakan komponen penting dalam pengobatan gagal
jantung kongestif untuk mencegah atau mengurangi gejala retensi cairan. Obat ini
membantu mengurangi cairan di paru-paru dan jaringan lain dengan cara
menyalurkan

cairan

melalui

ginjal. Meskipun

diuretik

efektif

dalam

menghilangkan gejala seperti sesak napas dan pembengkakan kaki, diuretik belum
menunjukkan untuk memberikan dampak positif pada kelangsungan hidup jangka

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

panjang. Namun demikian, diuretik tetap kunci dalam mencegah memburuknya


kondisi pasien. Bila diperlukan rawat inap, diuretik sering diberikan secara
intravena karena absorbsi diuretik oral mungkin terganggu, ketika gagal jantung
kongestif yang parah .Potensi efek samping diuretik meliputi dehidrasi, kelainan
elektrolit, hipokalemia, gangguan pendengaran, dan hipotensi (Brunton and
Parker, 2008).
Dalam terapi sangat penting untuk mencegah kadar kalium rendah dengan
cara menambahkan suplemen. Gangguan elektrolit tersebut dapat membuat pasien
rentan terhadap gangguan irama jantung yang serius. Contoh dari berbagai kelas
diuretik meliputi: furosemid, hidroklorotiazid, bumetanide, torsemide, dan
spironolactone. Spironolactone (Aldactone) telah digunakan selama bertahuntahun sebagai diuretik lemah dalam pengobatan berbagai penyakit. Obat ini
memblokir aksi dari hormon aldosterone. Aldosteron memiliki banyak efek pada
jantung dan sirkulasi pada gagal jantung kongestif (Brunton and Parker, 2008).
f. Vasodilator
Vasodilator sudah lama digunakan dalam pengobatan gagal jantung. Obat
golongan ini merileksasi otot polos pembuluh darah secara langsung. Penggunaan
secara kombinasi telah terbukti dapat mengurangi angka kematian pada pasien
gagal jantung. Hidralazin merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan
afterload dan isosorbid dinitrat merupakan venodilator sehingga menurunkan
preload jantung (Brunton and Parker, 2008).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2.4 Hipertensi
2.4.1 Definisi
Hipertensi atau Darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal. Hipertensi didefenisikan sebagai
tekanan darah diastolik tetap lebih besar dari 90 mmHg disertai dengan kenaikan
tekanan darah sistolik (140 mmHg) (Mycek, 2001).
Diagnosis hipertensi

tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali

pengukuran, kecuali bila TDS 210 mmHg dan TDD 120 mmHg. Pengukuran
pertama harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu
sampai beberapa minggu. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran
berulang-ulang diperoleh TDS 140 mmHg dan TDD 90 mmHg (Ganiswarna,
1995).
Tabel 2.3 Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingginya tekanan darah
Kategori
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
Normal
< 130
< 85
Normal tinggi
130-139
85-89
Hipertensi:
Tingkat 1 (ringan)
140-159
90-99
Tingkat 2 (sedang)
160-179
100-109
Tingkat 3 (berat)
180-209
110-119
Tingkat 4 (sangat berat)
210
120

2.4.2. Etiologi
Hipertensi merupakan kondisi medis yang heterogen. Pada kebanyakan
pasien, penyebab hipertensi belum diketahui secara pasti, sedangkan sebagian
pasien lainnya dapat diidentifikasi penyebab terjadinya hipertensi. Berdasarkan
etiologinya, hipertensi dapat di bagi atas hipertensi esensial dan hipertensi
sekunder.

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

1. Hipertensi Esensial
Hipertensi disebut juga hipertensi primer atau idiopatik. Hipertensi
esensial adalah hipertensi esensial adalah hipertensi yang tidak jelas etiologinya.
Lebih dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan
hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer.
Penyebab hipertensi esensial merupakan multifaktor, terdiri dari faktor genetik
dan lingkungan. Faktor keturunan dan terlihat adanya riwayat penyakit
kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa
sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas
vaskular (terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3
faktor lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi yaitu makan garam
(natrium) berlebihan, stress psikis dan obesitas (Dipiro, 2007).
2. Hipertensi Sekunder
Prevalensi hipertensi sekunder ini kurang dari 10% dari seluruh penderita
hipertensi. Hipertensi sekunder dapat disebabkan oleh penyakit ginjal atau
penggunaan obat-obat tertentu
2.4.3.

Manifestasi Klinik
Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Tanda-

tanda ynag bisa menjadi indicator hipertensi adalah nilai tekanan darah pasien
(Dipiro, 2007).
2.4.4

Diagnosa
Tes diagnosa perlu dilakukan untuk mempertegas diagnosa karena

hipertensi secara umum tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas. Pengukuran


tekanan darah sebagai dasar dalam menegakkan diagnose tidak cukup dilakukan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

satu kali. Diagnosa hipertensi dapat ditentukan dari rerata dua kali atau lebih
pengukuran yang diambil pada waktu yang berbeda. Dari hasil pengukuran rerata
tekanan darah tersebut, kemudian digunakan untuk mengklasifikasi tingkat (stage)
penyakit hipertensi.
2.4.5

Penatalaksanaan
Tujuan penanganan hipertensi adalah untuk mengurangi angka kematian

dan kesakitan terkait hipertensi. Penurunan tekanan darah sampai nilai yang
direkomendasikan tidak menjamin kerusakan organ target tidak terjadi. Namun
dengan penurunan tekanan darah hingga nilai normal dapat menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Adapun nilai tekanan darah
yang direkomendasikan oleh JNC7 adalah sebagai berikut:
-

Kebanyakan pasien

: <140/90 mmHg

Pasien dengan diabetes

: <130/80 mmHg

Pasien dengan penyakit ginjal kronik : <130/80 mmHg (dengan nilai LFG
<60 mL/menit, serum kreatinin >1,3 mg/dL pada wanita atau >1,5 mg/dL
pad pria, atau albuminuria >300 mg/hari 200
atau mg/g kreanitin)
(Dipiro, 2007).
Pemilihan obat untuk hipertensi sangat beragam. Terdapat 9 kelas

antihipertensi yang berbeda. Diuretik, penghambat , angiotensin converting


enzyme inhibitors (ACEIs), angiotensin II receptor blockers (ARBs), dan calcium
channel blockers (CaCBs) merupakan agen antihipertensi primer (Dipiro, 2007).

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

a.

Diuretik
Diureti bekerja menurunkan tekanan drah dengan mengeluarkan garam

serta mengurangi volume darah dari tubuh. Pada awalnya, diuretic mengurangi
tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan keluaran jantung.
b.

Beta-Blocker
Mekanisme kerja anti-hipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya

pompa jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah
diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contoh obatnya
adalah : Metoprolol, Propranolol dan Atenolol.
Pada penderita diabetes melitus harus hati-hati, karena dapat menutupi
gejala hipoglikemia (kondisi dimana kadar gula dalam darah turun menjadi sangat
rendah yang bisa berakibat bahaya bagi penderitanya). Pada orang tua terdapat
gejala bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat
harus hati-hati.
c.

Angiotensin Converting Enzym Inhibitors (ACEIs)


Cara kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat

Angiotensin II (zat yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah). Contoh


obat yang termasuk golongan ini adalah Kaptopril. Efek samping yang mungkin
timbul adalah : batuk kering, pusing, sakit kepala dan lemas.
d.

Calcium Channel Blocker (CaCB)


Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara

menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini


adalah : Nifedipin, Diltiasem dan Verapamil. Efek samping yang mungkin timbul
adalah : sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah. Dengan pengobatan dan

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

kontrol yang teratur, serta menghindari faktor resiko terjadinya hipertensi, maka
angka kematian akibat penyakit ini bisa ditekan.
Beberapa golongan antihipertensi lainnya dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.4 Golongan Obat-obat Antihipertensi
Kelas

DIURETIK
Thiazid

Nama Obat

Dosis
lazim
(mg/hari
)
Klortalidon
6.25-25
Hidroklorotiazi 12.5-50
d
1.25-2.5
Indapamide
0.5
Metolazone

Loop

Bumetanide
Furosemide
Torsemide

0.5-4
20-80
5

Penahan
kalium

Triamteren
Triamteren/
HCT

50-100
37.5-75/
25-50

Frek./ Komentar
hari

1
1
1
1

Pemberian pagi hari untuk


menghindari diuresis malam
hari, sebagai antihipertensi
gol.tiazid lebih efektif dari
diuretik loop kecuali pada
pasien dengan GFR rendah (
ClCr<30 ml/min); gunakan
dosis lazim untuk mencegah
efek
samping metabolik,;
hiroklorotiazid (HCT) dan
klortalidon
lebih
disukai,
dengan
dosis
efektif
maksimum
25
mg/hari;
klortalidon hampir 2 kali lebih
kuat
dibanding
HCT;
keuntungan tambahan untuk
pasien
osteoporosis;
monitoring tambahan untuk
pasien dengan sejarah pirai
atau hiponatremia
2
Pemberian pagi dan sore untuk
2
mencegah diuresis malam hari;
1
dosis lebih tinggi mungkin
diperlukan
untuk
pasien
dengan GFR sangat rendah
atau gagal jantung
1 atau Pemberian pagi dan sore untuk
2
mencegah diuresis malam hari;
1
diuretic ringan biasanya di
kombinasi dengan tiazid untuk
meminimalkan hipokalemia;
karena hipokalemia dengan
diuretic tiazid dosis rendah
tidak lazim, obat-obat ini
biasanya dipakai untuk pasienpasien
yang
mengalami

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

diureticinduced hipokalemia;
hindari pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis ( ClCr
<
30ml/min);
dapat
menyebabkan
hiperkalemia,
terutama kombi nasi dengan
ACEI, ARB, atau suplemen
kalium)
Kelas

Nama Obat

Antagonis
Aldosteron

Eplerenone
Spironolakton
Spironolakton
/ HCT

Dosis
lazim
(mg/hari
)
50-100
25-50
25-50 /
25-50

B.
ACE Benazepril
inhibitor
Captopril
Enalapril
Fosinopril
Lisinoril
Moexipril
Perindopril
Quinapril
Ramipril
Trandolaapril

10-40
12.5-150
5-40
10-40
10-40
7.5-30
4-16
10-80
2.5-10
1-4

Frek./ Komentar
hari

1 atau Pemberian pagi dan sore untuk


2
mencegah diuresis malam hari;
1
diuretic ringan biasanya di
kombinasi dengan tiazid untuk
meminimalkan hipokalemia;
karena hipokalemia dengan
diuretic tiazid dosis rendah
tidak lazim, obat-obat ini
biasanya dipakai untuk pasienpasien
yang
mengalami
diureticinduced hipokalemia;
hindari pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis ( ClCr
<
30ml/min);
dapat
menyebabkan
hiperkalemia,
terutama kombi nasi dengan
ACEI, ARB, atau suplemen
kalium)
1 atau Dosis awal harus dikurangi
2
50% pada pasien yang sudah
2 atau dapat
diuretik,
yang
3
kekurangan cairan, atau sudah
1 atau tua sekali karena resiko
2
hipotensi; dapat menyebabkan
1
hiperkalemia
pada
pasien
1
dengan penyakit ginjal kronis
1 atau atau
pasien
yang
juga
2
mendapat diuretik penahan
1
kalium, antagonis aldosteron,
1 atau atau ARB; dapat menyebabkan
2
gagal ginjal pada pasien
1 atau dengan renal arteri stenosis;
2
jangan
digunakan
pada
perempuan hamil atau pada
pasien
dengan
sejarah

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

C. Penyekat Kandesartan
reseptor
Eprosartan
angiotensin Irbesartan
Losartan
Olmesartan
Telmisartan
Valsartan

8-32
600-800
150-300
50-100
20-40
20-80
80-320

Kelas

Nama Obat

D.
Penyekat
beta

Kardioselektif:
Atenolol
Betaxolol
Bisoprolol
Metoprolol

Dosis
lazim
(mg/hari
)
25-100
5-20
2.5-10
50-200
50-200

Nonselektif:
Nadolol
Propranolol
Propranolol
LA
Timolol
Sotalol

40-120
160-480
80-320

Angioedema
1 atau Dosis awal harus dikurangi
2
50% pada pasien yang sudah
1 atau dapat
diuretik,
yang
2
kekurangan cairan, atau sudah
1
tua sekali karena resiko
1 atau hipotensi; dapat menyebabkan
2
hiperkalemia
pada
pasien
1
dengan penyakit ginjal kronis
1
atau
pasien
yang
juga
mendapat diuretik penahan
1
kalium, antagonis aldosteron,
atau
ACEI;
dapat
menyebabkan gagal ginjal pada
pasien dengan renal arteri
stenosis; tidak menyebabkan
batuk kering seperti ACEI;
jangan
digunakan
pada
perempuan hamil
Frek./ Komentar
hari

1
1
1
1
1

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension; dosis rendah s/d
sedang menghambat reseptor
1,
pada
dosis
tinggi
menstimulasi reseptor 2;
dapat
menyebabkan
eksaserbasi
asma
bila
selektifitas hilang; keuntungan
tambahan pada pasien dengan
atrial tachyarrythmia atau
preoperatif hipertensi.

1
2
1

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension,
menghambat
reseptor 1 dan 2 pada semua
dosis; dapat memperparah
asma;
ada
keuntungan
tambahan pada pasien dengan
essensial tremor, migraine,
Tirotoksikosis

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Aktifitas
simpatomimeti
k
Intrinsik:
Acebutolol
Carteolol
Pentobutolol
Pindolol

200-800
2.5-10
10-40
10-60

2
1
1
2

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension; secara parsial
merangsang
reseptor

sementara menyekat terhadap


rangsangan tambahan; tidak
ada keuntungan tambahan
untuk obat-obat ini kecuali
pada pasien-pasien dengan
bradikardi,
yang
harus
mendapat
penyekat
beta;
kontraindikasi pada pasien
pasca infark miokard, efek
samping dan efek metabolik
lebih sedikit, tetapi tidak
kardioprotektif
seperti
penyekat beta yang lain.

Campuran
12.5-50
penyakat dan 200-800
:
Karvedilol
Labetolol

2
2

Pemberhentian tiba-tiba dapat


menyebabkan
rebound
hypertension;
penambahan
penyekat meng akibatkan
hipotensi ortostatik

Kelas

Nama Obat

Frek./ Komentar
hari

E.
Antagonis
kalsium

Dihidropiridin:
Amlodipin
Felodipin
Isradipin
Lekarnidipin
Nicardipin SR
Nifedipin LA
Nisoldipin

Dosis
lazim
(mg/hari
)
2.5-10
5-20
5-10
5-20
60-120
30-90
10-40

180-360

1
1

Nondihidropiridin
Diltiazem SR

1
1
2
1
2
1
1

Dihidropiridin yang bekerja


cepat
(long-acting)
harus
dihindari, terutama nifedipin
dan nicardipin; dihidropiridin
adalah vasodilator perifer yang
kuat
dari
pada
nondihidropiridin dan dapat
menyebabkan
pelepasan
simpatetik
refleks
(takhikardia), pusing, sakit
kepala, flushing, dan edema
perifer; keuntungan tambahan
pada sindroma Raynaud
Produk lepas lambat lebih
disukai untuk hipertensi; obatobat ini menyekat slow

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

Verapamil SR

channels di jantung dan


menurunkan denyut jantung;
dapat menyebabkan heart
block; keuntungan tambahan
untuk pasien dengan atrial
Takhiaritmia

(Sumber : Dipiro, 2007)

BAB III
TINJAUAN KHUSUS

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

You might also like