You are on page 1of 16

KOMPAS INSIDE: December 2006

1 of 16

Anggota Koalisi
Aliansi Jurnalis
Independen (AJI),
Aliansi Buruh
Menggugat/ABM
(KASBI, SBSI
1992, SPOI,
SBTPI, FNPBI,
PPMI, PPMI 98,
SBMSK, FSBMI,
FSBI, SBMI,
SPMI, FSPEK, SP
PAR REF, FKBL
Lampung, SSPA
NTB, KB FAN
Solo, AJI Jakarta,
SBJ, FKSBT,
FPBC, FBS
Surabaya, PC KEP
SPSI Karawang,
GASPERMINDO,
ALBUM Magelang,
FKB Andalas),
YLBHI, LBH Pers,
LBH Jakarta,
Aliansi Nasional
Bhineka Tunggal
Ika (ANBTI),
PBHI, TURC, LBH
Pendidikan,
Federasi Serikat
Pekerja Mandiri
(FSPM), Front
Perjuangan
Pemuda Indonesia
(FPPI), Serikat
Guru Tangerang,
Serikat Guru
Garut, Federasi
Guru Independen
Indonesia, ICW,
LBH APIK, IKOHI,
KONTRAS, PPR,
Somasi-Unas,
SPR, Arus Pelangi,
GMS, LPM Kabar,
Lembaga
Kebudayaan
Nasional (LKN),
Praksis, Forum
Pers Mahasiswa
Jabodetabek
(FPMJ), FMKJ,
Perhimpunan
Rakyat Pekerja
(PRP), FSPI,
Serikat
Mahasiswa
Indonesia (SMI),
Repdem Jakarta,
SPN, OPSI, SP
LIATA, SPTN Blue
Bird Grup

Links
IFJ
CPJ
SEAPA

Media
Detik.com
Voice of
Human
Rights
Tempo
Interaktif
Sinar
Harapan
Suara
Pembaruan
Hukum
Online

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Tuesday, December 26, 2006

Perkumpulan Karyawan Kompas Tolak PHK Wisudo


(ctt redaksi: Surat di bawah ini merupakan beberapa poin yang diambil dari surat Perkumpulan
Karyawan Kompas (PKK), sebuah serikat pekerja yang terdaftar resmi di Depnakertrans. Surat ini
kabarnya sudah dikirim ke pimpinan redaksi Kompas dan ditembuskan ke milist karyawan
Kompas. Karena sudah beredar luas di beberapa milist maka redaksi memandang perlu untuk
memuat surat ini)

Perkumpulan Karyawan Kompas Tolak PHK Wisudo


Mencermati kasus pemutusan hubungan kerja yang dilakukan manajemen PT Kompas Media
Nusantara terhadap rekan Bambang Wisudo (NIK : 94065 selaku Sekretaris Perkumpulan
Karyawan Kompas, PKK) pada tanggal 8 Desember 2006, Perkumpulan Karyawan Kompas
menyampaikan hal-hal seperti di bawah ini :
1. PKK menyatakan tidak sepakat atas pemecatan sepihak yang telah dilakukan
manajemen.
2. PKK menyatakan protes keras atas perlakuan fisik terhadap saudara Bambang
Wisudo pada hari Jumat, 8 Desember 2006.
3. PKK meminta manajemen menghormati Alasan penolakan adalah pasal 28 UU No
21/2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Berikut kutipan pasal dimaksud : Pasal
28: Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau
tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak
menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat
buruh dengan cara: a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan
sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan MUTASI;
Pasal 43(1): Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000, 00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).(2) Tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
4. Atas perintah UU dimaksud, PKK mendesak manajemen mencabut surat pemecatan
tersebut dan mengembalikan saudara Bambang Wisudo menjadi karyawan PT Kompas
Media Nusantara seperti sedia kala.
5. PKK menilai, pemecatan dimaksud sangat terkait dengan aktivitas saudara Bambang
Wisudo dalam organisasi PKK beberapa bulan terakhir, terutama dalam perundingan
menyangkut saham dan profit sharing. Padahal, dalam perundingan dimaksud, kedua
belah pihak sepakat membangun rasa saling percaya demi kemajuan Kompas pada
masa mendatang.
6. Pemecatan saudara Bambang Wisudo dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran
atas kesepakatan tersebut. Hal ini menjadi preseden kurang baik yang membawa
dampak buruk terhadap kerjasama PKK dengan manajemen PT Kompas Media
Nusantara.
7. PKK bersedia menjembatani penyelesaian kasus antara manajemen dengan Saudara Bambang
Wisudo.

Previous Post
SuratPencabutanPHK
Bambang Wisudo
JO Cabut Surat
Pemecatan Wisudo
Surat Protes Buat
KPK
KOMPAS (sebar)
BOHONG!
Stop Press Situs
Kompas Kena Hack
MA Mulai Proses
Kasasi Wisudo
Diakui, Tim Legal
Kompas Minta
Bantuan Hakim PHI
Pemred Kompas
Suryopratomo
Mendadak Dicopot
Film Perjuangan
Wisudo Diluncurkan
di Youtube
Surga Bernama
Kompas

Archives
December 2006
January 2007
February 2007
March 2007
April 2007
May 2007
June 2007
July 2007
September 2007
October 2007
November 2007
December 2007
January 2008
February 2008
June 2008
July 2008
December 2008

Powered by

Perkumpulan Karyawan Kompas


Hit Counter

Ketua
Syahnan Rangkuti
posted by KOMPAS @ 1:04 AM

0 comments

Dewan Pers Panggil Pimpinan Kompas


Jakarta, Kompas Inside. Menyusul pengaduan Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(KOMPAS) ke Dewan Pers hari Kamis (21/12) pekan lalu, Dewan Pers berencana akan memanggil
pimpinan Kompas ke kantor Dewan Pers Rabu (27/12) besok.
Rencana itu disampaikan anggota Dewan Pers Leo Sabam Batubara ke salah satu anggota Komite
dari LBH Pers, Horas Siringgo-Ringgo, melalui telepon, Senin (25/12) kemarin, pukul 13.22 WIB.
Rencananya hari Rabu (27/12), kami di Dewan Pers akan bertemu dengan pimpinan Kompas,
ujarnya. Salah satu ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang sekarang Ketua Umum-nya
masih dijabat Jacob Oetama ini, karenanya berharap komplain tentang hak jawab Bambang
Wisudo bisa segera direalisasi.
Seperti diberitakan, Bambang Wisudo menyesalkan pemberitaan di Kompas Online tanggal 11
Desember pukul 19.18 WIB berjudul "Satpam Tidak Menyandera dan Menganiaya Wartawan" yang
ditulis wartawan senior harian Kompas, R Adhi Kusumaputra.
Dalam berita yang dimuat di http://www.kompas.com/ itu, R Adhi Kusumaputera hanya mengutip
keterangan sepihak Pemred Kompas Suryopratomo dalam rapat internal dengan karyawan
Kompas hari Senin (11/12). Dalam keterangannya, Suryopratomo mengatakan tidak terjadi
kekerasan pada Bambang Wisudo. Ia juga menyatakan apa yang dilakukan Wakil Kepala Satpam
harian Kompas Kiraman Sinambela sudah sesuai prosedur.
Namun, sebagai subyek pemberitaan, Bambang Wisudo tak pernah dikonfirmasi. Ia sendiri sudah
mengajukan komplain pada pimpinan Kompas, tapi komplain tentang hak jawab itu tak juga
dipenuhi. Sehingga ia bersama Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja mengadukan hal ini
ke Dewan Pers.
Saat dikonfirmasi Koran Tempo tentang hak jawab Bambang Wisudo, Suryopratomo mengaku
harian Kompas tidak memiliki hubungan dengan Kompas Cyber Media (KCM). "Saya bukan orang
KCM, saya di Kompas. KCM berada di luar Kompas," jelasnya.
Namun, pemimpin KCM Ninok Leksono mengatakan ia belum mendengar adanya komplain soal
hak jawab Bambang Wisudo tersebut.
Ninok juga berbeda pendapat dengan Suryopratomo soal keberadaan KCM. Ia malah berkata
sebaliknya. "Agak repot karena Kompas dan KCM sudah melebur," ujar Ninok seperti dikutip
Koran Tempo edisi Jumat 22 Desember 2006. (KI/E1)

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

2 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

posted by KOMPAS @ 12:50 AM

0 comments

Yogya Serukan Boikot Kompas


Yogyakarta, Kompas Inside. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama elemenelemen lain yang tergabung dalam Aliansi Anti Pemberangusan Serikat Pekerja di Media Massa
menggelar aksi demonstrasi di depan kantor Kompas biro Yogyakarta.
Dikuti sekitar 60 orang, aksi ini bertujuan memberikan dukungan moral kepada P. Bambang
Wisudo yang di-PHK secara sewenang-wenang oleh pihak manajemen Kompas. Selain itu,
demonstrasi ini juga mengecam keputusan Kompas yang dinilai sarat dengan pelanggaran hukum.
Di bawah koordinator lapangan, Bambang Tiong (AJI Yogyakarta), aksi dimulai dengan long march
dari depan Kantor Telkom Yogyakarta yang berjarak sekitar 100 meter dari kantor Kompas.
Masing-masing peserta membawa poster yang isinya mengecam tindakan Kompas yang telah
mem-PHK jurnalisnya, Bambang Wisudo.
Poster-poster itu antara lain bertuliskan, "Cabut PHK Bambang Wisudo atau bubarkan Kompas";
"Kompas Petunjuk Arah yang Menyesatkan, Ganyang Komprador"; "Kompas, Kelompok
Pengompas"; "ersatulah Serikat Pekerja Media"; dan masih banyak lainnya.
Setiba di depan kantor Kompas biro Yogyakarta, aksi demonstrasi diisi dengan orasi dari berbagai
elemen. Elemen-elemen yang ikut dalam aksi ini adalah AJI, Masyarakat Peduli Media (MPM),
Samin, PBHI, Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Taring Padi, Forum LSM Yogyakarta, PBKH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi dari UNY, LPM
Keadilan dari Fakultas Hukum UII, LPM Poros dari Universitas Ahmad Dahlan, LPM Arena dari
Universitas Islam Negeri, Yogyakarta, LPM Pendapa dari Universitas Sarjana Wiyata, dan LPM
Himmah dari UII.
Dalam orasinya, masing-masing elemen mengatakan menyayangkan tindakan PHK Bambang
Wisudo yang seharusnya tidak dilakukan oleh Kompas, sebuah media terbesar di Indonesia.
"Jika mendengar kasus ini, Soe Hok Gie pun akan turut serta bersama kita untuk demo ke
Kompas," ujar Bambang MBK dari AJI Yogyakarta. Soe Hok Gie, adalah sosok tokoh mahasiswa
awal tahun 1970-an yang pernah dijadikan Kompas sebagai "ikon" ketika harian ini merubah
format halamannya.
Aksi ini semakin meriah karena diisi dengan "lagu-lagu perjuangan" yang didendangkan
komunitas seniman "Taring Padi". Para peserta aksi juga menghimbau kepada masyarakat umum
yang kebetulan lewat di depan Biro Kompas Yogyakarta, untuk berhenti membaca harian Kompas
hingga Bambang Wisudo dikembalikan ke posisi semula. "Boikot, boikot Kompas sekarang juga,"
teriak mereka.
Di sela-sela aksi, Bambang Tiong melakukan negoisasi dengan pihak Kompas, menanyakan
apakah peserta aksi dapat berdialog dengan perwakilan Kompas Biro Yogyakarta. Namun mereka
menyatakan tidak bisa menerima. Ini adalah penolakan yang kedua kalinya. Sebelumnya, saat AJI
Yogyakarta dan beberapa elemen lainnya datang ke sana untuk berdialog secara bermartabat pun
ditolak Kompas.
Setelah berlangsung selama satu setengah jam dan Kompas menolak untuk berdialog, aksi
demonstrasi pun diakhiri. "Jika kasus ini tidak segera selesai, kita akan datang dengan jumlah
massa yang lebih banyak lagi," ujar Unang Shio Peking, Direktur Forum LSM Yogyakarta.
Tuntutan Aliansi Anti Pemberangusan Serikat Pekerja di Media Massa: Pertama, Kompas harus
mengembalikan P. Bambang Wisudo pada posisi semula. Kedua, Kompas harus mengembalikan
saham karyawan sebesar 20 %. Ketiga, Kompas harus menghentikan kekerasan terhadap
wartawan. Empat, Kompas harus meminta maaf melalui media Kompas kepada P. Bambang
Wisudo dan publik. Lima, Kompas harus kembali pada garis perjuangan yang mengusung
nilai-nilai keadilan sosial, humanisme dan nilai-nilai demokrasi
Dan tuntutan terakhir: apabila Kompas tidak menjunjung tinggi poin-poin di atas maka peserta
aksi menghimbau kepada publik untuk tidak berlangganan harian Kompas. (mbk)
posted by KOMPAS @ 12:42 AM

0 comments

Friday, December 22, 2006

Komnas HAM Akan Usut CCTV Kompas


Jakarta, Kompas Inside. Belasan anggota delegasi Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja
(KOMPAS), Jumat (22/12) petang, mendatangi kantor Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM) di Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat.
Delegasi Komite mendampingi Bambang Wisudo untuk mengadukan kekerasan yang menimpa
Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas ini pada hari Jumat (8/12), dua pekan lalu.
Dalam pertemuan yang berlangsung di lantai III Gedung Komnas HAM itu, anggota delegasi
diterima oleh Amidhan, anggota Sub Komisi Ekosoc Komnas HAM. Menurut Amidhan, rencananya
Lies Soegondho ikut menerima. Namun karena sesuatu hal, maka hanya Amidhan yang
menerima.
Dalam pertemuan itu, juru bicara delegasi Komite Anti Pemberangusan Ori Rahman SH
mengungkapkan, bahwa mereka menilai harian Kompas telah melakukan kekerasan terhadap
Bambang Wisudo karena aktivitasnya sebagai aktivis serikat pekerja.
"Jelas ini merupakan pelanggaran terhadap Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, dan UndangUndang No 39/1999 tentang HAM, khususnya kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan
berserikat," tegas Ori.
Bambang Wisudo sendiri dalam testimoninya kembali menjelaskan kronologi kekerasan yang
menimpa dirinya pada hari Jumat malam dua pekan lalu. Karena itu sebagai korban ia meminta
Komnas HAM mengusut tindak kekerasan dan pemberangusan dirinya sebagai aktivis serikat
pekerja.
Delegasi juga mendesak agar Komnas HAM bersedia menyelidiki CCTV harian Kompas untuk
menilai apakah pada saat itu tidak terjadi kekerasan seperti yang dikatakan Pemimpin Redaksi
Kompas Suryopratomo.
"Kami meminta agar Komnas HAM memeriksa CCTV untuk menilai apakah benar tidak ada
kekerasan di sana," ujar salah seorang anggota delegasi.
Setelah mendengar pengaduan tersebut, Amidhan berjanji akan segera menindaklanjuti kasus ini.
Salah satunya Komnas HAM akan melakukan investigasi pada harian Kompas untuk membuktikan
apakah benar telah terjadi kekerasan terhadap Bambang Wisudo. Termasuk juga untuk meneliti
CCTV milik harian itu.
"Bila benar telah terjadi kekerasan dan pemberangusan serikat pekerja, maka harian Kompas
telah melakukan pelanggaran HAM," ungkap Amidhan.

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

3 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Dalam rombongan delegasi, Kordinator Badan Pekerja Usman Hamid, Hendrik Dikson Sirait dari
ANBTI, Hermawanto dari LBH Jakarta, Sekjen AJI Jakarta Margiono, anggota AJI senior, Roy
Pakpahan, wakil LBH Pendidikan, wakil LBH Pers, dan beberapa utusan organisasi yang tergabung
dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja. (KI/E-1)
posted by KOMPAS @ 2:15 AM

0 comments

Arswendo Desak Dewan Pers Sikapi PHK Wisudo


Fri, 22 Dec 2006 15:12:04 +0700
sumber: vhrmedia.net
Kasus PHK Wartawan Kompas
Arswendo: Dewan Pers Harus Bersikap
Jakarta Pengamat media Arswendo Atmowiloto mengkritik Dewan Pers terkait sikapnya terhadap
kasus pemecatan wartawan Kompas Bambang Wisudo.
Hal ini ia sampaikan usai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi di Gedung JMC Jumat (22/12)
siang.
Menurutnya, Dewan Pers jangan hanya menampung laporan sebuah kasus tanpa mengambil
tindakan yang jelas.
Arswendo berpendapat, Dewan Pers seharusnya mengetahui inti permasalahan kasus Bambang itu
dan memanggil keduabelah pihak yang bertikai. Dewan Pers juga harus mengambil sikap terhadap
siapa yang bersalah.
"Dewan Pers ambil sikap dong. Ok ini gak benar, ini benar. Artinya dia harus tahu informasinya
dan memanggil keduabelah pihak," ujar Arswendo.
Sebagaimana diketahui, mantan wartawan Kompas Bambang Wisudo yang merupakan pengurus
perkumpulan karyawan Kompas, mendapat surat pemberhentian sepihak oleh manajemen
Kompas beberapa waktu lalu.
Hal ini menyusul tindakan Bambang yang mempertanyakan kepemilikan saham kolektif karyawan
sebesar 20% kepada pihak manajemen Kompas. (Widya Siska/E1)
posted by KOMPAS @ 2:11 AM

0 comments

Thursday, December 21, 2006

Kompas Online Diadukan Ke Dewan Pers


Koran Tempo,
Jumat, 22 Desember 2006
JAKARTA - Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang di berhentikan, mengadukan Kompas
Cyber Media (KCM), situs berita milik Kompas, ke Dewan Pers kemarin. Pengaduan itu terkait
dengan pemberitahuan situs itu tertanggal 11 Desember pada pukul 19.18 WIB yang berjudul
"Satpam tidak menyandra dan menganiaya Wartawan."
Bambang mengatakan pada artikel yang ditulis wartawan Kompas, R. Adhi Kusumaputra, itu di
sebut seolah olah dirinya memutar balikan fakta peristiwa yang dialaminya pada 8 Desember
2006, "Berita itu tidak berimbang, karena saya tidak pernah di hubungi dan merasa di rugikan,"
kata Bambang di Dewan Pers di Jakarta kemarin.
Bambang mengatakan telah berupaya menghubungi petinggi Kompas dan KCM untuk memberinya
kesempatan menjawab. "Tapi hingga sekarang saya tidak memperoleh jawaban yang memuaskan
dan hak jawab saya tidak di penuhi," ujarnya.
Dewan Pers siap menjadi penengah persoalan tersebut. "Kami akan mencoba mengundang pihak
yang di adukan," kata Wakil Ketua Dewan Pers R.H.Siregar.
Siregar mengatakan mereka akan berupaya menyelesaikan persoalan itu secara kekeluargaan.
Tapi, bila ada pihak yang tak bersedia, Dewan Pers akan mengeluarkan Rekomendasi. Bentuknya
bisa berupa hak jawab yang di muat di KCM atau wawancara lebih lanjut.
Berita yang dimaksud itu bersumber dari penjelasan Pemimpin Redaksi Harian Kompas
Suryopratomo kepada jajaran Wartawan dan Karyawan Kompas di Jakarta pada Senin, 11
Desember. Suryopratomo di dampingi oleh Komandan Satpam Kelompok Kompas Gramedia Sigit
Hendarta dan Wakilnya, K. Sinambela.
Tapi Suryopratomo enggan mengomentari pengaduan Bambang itu. Menurut Dia, isi
pemberitahuan KCM bukan tanggung jawabnya. "Saya bukan orang KCM, saya di Kompas, KCM
berada di luar Kompas," katanya kepada Tempo.
Adapun Direktur KCM Ninok Leksono mengatakan belum mendengar dari redaktur pelaksana
adanya keluhan itu. Tapi, soal pemberian hak jawab, Ninok enggan menjawab. "Agak repot
karena sekarang KCM dan Kompas sudah melebur," ujarnya. REZA MAULANA/ DEDDY/ SOFYAN
posted by KOMPAS @ 8:32 PM

0 comments

Kantor Kompas Yogya Jumat ini Didemo


Yogyakarta, Kompas Inside. Jumat (22/12)pagi ini, kantor Biro Kompas Yogyakarta didemo
puluhan aktivis. Selain AJI Yogyakarta, peserta demo datang dari Forum LSM DIY, aktivis pers
mahasiswa, dan aktivis pro demokrasi lainnya.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum didapat keterangan lebih lanjut tentang jalannya aksi.
Seperti diketahui, Kantor Biro Kompas Yogyakarta sudah dua kali didatangi aktivis yang menolak
pemecatan Bambang Wisudo karena aktivitasnya mengutak-atik saham kolektif 20 persen dalam
kapasitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas ()KK), serikat pekerja yang
terdaftar resmi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Seperti pernah diberitakan, kedatangan pertama dilakukan paa hari Senin (11/12) dan diterima
dengan baik oleh Kepala Biro Kompas DIY, Bambang Sigap Sumantri.
Tapi saat delegasi mendatangi Biro Kompas DIY untuk kali kedua, Senin (18/12), anggota delegasi
tidak diterima dengan baik. Mereka hanya disambut oleh Satpam di tengah derai hujan. Akhirnya,
para aktivis pulang tapi menyatakan akan datang lagi. Tapi kali ini kedatangan mereka dilakukan
dalam bentuk aksi. (KI/E1)
posted by KOMPAS @ 7:53 PM

0 comments

Komite Adukan KCM ke Dewan Pers

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

4 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

(ctt redaksi: Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) tadi petang, pukul 14.00 WIB
mendatangi kantor Dewan Pers di Jalan Kebon Sirih. Di sana anggota tim litigasi dan Bambang
Wisudo diterima oleh dua anggota Dewan Pers, yakni Sabam Leo Batubara, yang juga aktif
sebagai salah satu ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS). Ketua Umum SPS sendiri sekarang
masih diduduki oleh Jacob Oetama, Direktur Utama PT Kompas Media Nusantara. Seorang
anggota dewan pers lainnya yang menerima pengaduan adalah Wakil Ketua Dewan Pers RH
Siregar yang juga duduk sebagai Ketua Dewan Kehormatan PWI. Di sini dapat dinilai apakah
Dewan Pers bisa independen dari segala pengaruh dan konflik kepentingan )

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja


(Kompas)
Jl. Dr. Soepomo No.1A Komplek BIER Menteng Dalam Jakarta Selatan 12870
Tlp. 021-83702660, 8295372, Fax. 021-8295701, 83702660
--------------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia,
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ikka (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan,
Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tanggerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru
Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, IKOHI, KONTRAS, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus
Pelangi, SP 68H, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ),
FMKJ, Partai Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

-------------------------------------------------------------------------------------------Hal: Pengaduan
Kepada Yth,
Ketua Dewan Pers
Gedung Dewan Pers Lantai VII,
Jalan Kebon Sirih 32-34 Jakarta 10110
Dengan Hormat,
Kami KOMITE ANTI PEMBERANGUSAN SERIKAT PEKERJA (KOMPAS) untuk dan atas nama
pemberi kuasa Sdr. Bambang Wisudo berdasarkan surat kuasa tanggal 21 Desember 2006,
dengan ini mengajukan Surat Pengaduan kepada Ketua Dewan Pers, sehubungan dengan
beberapa pelanggaran yang di lakukan oleh Kompas Cyber Media.
Adapun beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh Kompas Cyber Media adalah sebagai berikut :
PELANGGARAN KOMPAS CYBER MEDIA ATAS PEMBERITAANNYA
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip
demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Fungsi insan Pers yang diharapkan profesional dalam
menyampaikan suatu pemberitaaan. Untuk itu Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah.
Kadangkala penerbit pers dan wartawannya tidak mematuhi apa yang menjadi tanggung
jawabnya, padahal secara tegas dan jelas telah diatur secara khusus dalam UU no. 40/1999
tentang Pers. Pertanyaannya lalu buat apa aturan khusus untuk pers itu dibuat, kalau insan pers
sendiri tidak memakai aturan tersebut? Jawabannya adalah ini tanggungjawab kita semua untuk
meminta para pihak turut menghormati penegakan hukum.
1. TULISAN BERITA KOMPAS CYBER MEDIA TIDAK COVER BOTHSIDES
Kompas Cyber Media dalam tulisannya berjudul Satpam Tidak Menyandera dan Menganiaya
Wartawan atas laporan Wartawan Kompas R. Adhi Kusumaputra tertanggal , 11 Desember
2006 - 19:18 WIB, memuat berita tentang apa yang terjadi pada diri Bambang Wisudo secara
tidak berimbang (tidak cover bothsides). Berita itu tidak sedikitpun memuat konfirmasi atau
menanyakan atau mewawancarai Bambang Wisudo sebagai pihak yang diberitakan.
Pasal lain dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ dulu KEWI) , Pasal 3 menyebut: Wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini
yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak
secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini
interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Selanjutnya Pemberitaan yang dimuat Kompas Cyber Media dengan sangat jelas telah mencederai
dan mencemarkan nama baik Bambang Wisudo. Pemberitaan tersebut telah bertentangan dengan
Pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers: Pers nasional berkewajiban memberitakan
peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat
serta asas praduga tak bersalah
Lebih lanjut dalam kode Kode Etik Jurnalistik (KEJ dulu KEWI) , Pasal 8: Wartawan Indonesia
tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap
seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta
tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran:
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara
jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas jelas bahwa berita yang dimuat Kompas Cyber
Media telah melanggar Pasal 3 dan Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ), pasal 5 ayat (1)
UU No. 40/1999 tentang Pers.
2. PIHAK KOMPAS CYBER MEDIA TELAH MERAMPAS HAK JAWAB BAMBANG WISUDO
Bahwa terhadap pemberitaan Kompas Cyber Media dalam tulisannya berjudul Satpam Tidak
Menyandera dan Menganiaya Wartawan tertanggal , 11 Desember 2006 - 19:18 WIB, bahwa
pihak korban penganiayaan dalam hal ini Bambang Wisudo telah meminta hak jawab, tetapi
ditolak olek pihak Kompas Cyber Media.
Penolakan untuk memuat hak jawab tersebut sangat bertentangan dengan kewajiban Kompas
Cyber Media sebagai pers nasional sebagaimana diatur dalam undang-undang pers. Pasal 5 dari
UU Pers No. 40 tahun 1999 tentang Pers :
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
Dengan demikian, jelas bahwa Kompas Cyber Media telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 5 ayat 2 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
3. KOMPAS CYBER MEDIA TELAH MENGHALANG-HALANGI PENYEBARAN INFORMASI

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

5 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Bahwa kompas telah mengkoordinir beberapa pemilik media yang tergabung dalam editors club,
agar kasus yang dilakukan oleh pihak Kompas terhadap Bambang Wisudo tidak diberitakan untuk
menjaga imagenya. Indikasinya, Pimred Kompas Suryopratomo telah meminta sejumlah pimpinan
redaksi media lainnya agar tidak memuat berita demo di kantor Kompas yang tema besarnya
adalah menolak perlakuan Kompas terhadap Bambang Wisudo, yang di-PHK karena
memperjuangkan saham kolektif karyawan dalam kapasitasnya sebagai aktivis Serikat Pekerja.
Dengan kata lain Kompas sebagai pelaku industri media telah membangun blokade pemberitaan,
yang merupakan pelanggaran atas hak masyarakat untuk tahu yang dijamin oleh :
1. Pasal 28F UUD45 setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
2. Pasal 6a UU No. 40. tahun 1999 memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui,
3. Pasal 4 UU Pers no. 40 tahun 1999 :
1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan
menyebarluaskan gagasan dan informasi.
PERAN SERTA MASYARAKAT
Dalam UU Pers tahun 1999 Pasal 17:
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan
menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis
pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b.Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan
kualitas pers nasional.
PERAN DEWAN PERS
Mengingat peran dan fungsi Dewan pers sebagaimana diatur Pasal 15 ayat (2) UU No. 40 / 1999
bahwa : (2) Dewan Pers melaksanakan fungsi-fungsi sebagai berikut :
a. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers;
b. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik;
c.memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas
kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers;
Berdasarkan uraian diatas jelas, bahwa Kompas Cyber Media telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 28F UUD45, pasal 6a dan pasal 4 UU No. 40 tahun 1999
tentang Pers.
4. REKOMENDASI
Berdasarkan uraian tersebut diatas, tentulah telah meresahkan sebagian besar masyarakat yang
mendambakan kebebasan pers tetap terjaga. Namun kenyataannya kebebasan pers diberangus
dengan berbagai modus. Saat ini apa yang terjadi terhadap Bambang Wisudo, adalah
pemberitaan apa yang terjadi pada diri Bambang Wisudo secara sepihak di Kompas
Cyber Media dan lembaga ini telah merampas hak jawab.
Untuk itu Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja yang terdiri dari beberapa elemen
masyarakat meminta Dewan Pers untuk: :
1. Menyatakan Kompas Cyber Media telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 28F
UUD 1945;
2. Menyatakan Kompas Cyber Media telah melakukan pelanggaran pasal 4, pasal 5 ayat
1 dan pasl 6a UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
3. Menyatakan Kompas Cyber Media telah melakukan pelanggaran terhadap pasal 3 dan
pasal 8 Kode Etik Jurnalistik (KEJ KEWI)
4. Menyatakan bahwa Kompas Cyber Media telah melanggar pasal 18 ayat 2 UU No. 40
tahun 1999 tentang Pers.
5. Memerintahkan agar pihak Kompas Cyber Media memberikan jaminan pelayanan Hak
Jawab pada rubrik Kompas Cyber Media yang sama kapasitas lebar dan letaknya dengan
pemberitaan sebelumnya minimal 4 halaman sebagaimana dijamin dan diatur dalam KEJ
pasal 10 untuk memulihkan nama baik Bambang Wisudo.
6. Rasa penyesalan dan permintaan maaf itu harus dimanifestasikan tegas kepada
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja dan Bambang Wisudo secara pribadi serta
pembaca dalam box khusus yang cukup jelas minimal 10 cm x 10 cm
7. Pelayanan Hak Jawab tersebut harus sudah dimuat paling lambat 2 minggu atau pada
2 nomor penerbitan berikutnya setelah dibacakan Pernyataan Penilaian dan
Rekomerdasi ini.
Demikian Surat Pengaduan ini kami sampaikan, agar kiranya Dewan pers dapat membuat
Keputusan sesuai dengan fungsi dan peran Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers.
Jakarta, 21 Desember 2006
Hormat kami
TIM LITIGASI
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas)
HENDRAYANA, SH
ORI RAHMAN, SH
SHOLEH ALI, SH
H. SIRINGO-RINGO, SH
HERMAWANTO, SH
IRWAN PARDOSI, SH
M. HALIM, SH
GATOT S, SH
BAYU WICAKSONO, SH
JOHNSON PANJAITAN, SH
TAUFIK BASARI, SH
RESTARIA HUTABARAT, SH

posted by KOMPAS @ 2:52 AM

5 comments

Wednesday, December 20, 2006

Ilmuwan LIPI Tolak Wartawan Kompas

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

6 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Jakarta, Kompas Inside. Buntut pemecatan dan kekerasan terhadap Sekretaris Perkumpulan
Karyawan Kompas Bambang Wisudo karena mengutak-atik 20 persen saham kolektif karyawan,
membuat sejumlah ilmuwan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menolak
diwawancara harian Kompas.
Menurut penelusuran Kompas Inside, ilmuwan terakhir yang menolak diwawancara adalah
pengamat masalah luar negeri Dr Dewi Fortuna Anwar. Penolakan ini terjadi pada hari Rabu
(20/12) saat kantor harian Kompas didemo oleh ratusan pembaca Kompas yang kecewa dengan
aksi pemecatan sepihak Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo. Pada aksi itu, massa yang
tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), menuntut agar surat
mutasi dan PHK tanpa prosedur itu dicabut.
Kabarnya Dewi Fortuna Anwar sempat berkata pada wartawan Kompas tersebut, "Maaf dulu ya.
Untuk sementara kita menolak diwawancara dulu oleh Kompas." Alasannya, hal itu sebagai proses
pembelajaran harian Kompas agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap karyawan.
Persoalannya, bukan hanya Dr Dewi Fortuna Anwar yang menolak. Pekan lalu, beberapa
pengamat politik dari LIPI kabarnya ikut menolak wawancara wartawan Kompas. Ini merupakan
sebuah protes pribadi para ilmuwan LIPI terhadap manajemen Kompas yang telah bertindak
semena-mena.
Menurut sebuah sumber, penolakan sejumlah narasumber penting di LIPI untuk diwawancara
Kompas, telah membuat wartawan yang membawahi rubrik masalah politik dan HAM ikut-ikutan
resah. Namun keresahan itu masih dianggap enteng oleh Pemred Kompas Suryopratomo yang
menghabiskan karirnya lebih banyak sebagai wartawan olah raga.
Sebelum aksi penolakan diwawancara wartawan Kompas, ilmuwan LIPI lainnya, Dr Mochtar
Pabotinggi juga sempat mengirim surat ke Jakob Oetama (Pimpinan Umum), St Sularto (Wakil
Pimpinan Umum) dan Suryopratomo.
Isi surat tersebut menyatakan rasa keprihatinannya atas tindakan sepihak yang dilakukan
manajemen Kompas karena melakukan tindak kekerasan sebelum memecat Bambang Wisudo.
(KI/E-1)
posted by KOMPAS @ 10:22 PM

0 comments

Kompas Didemo Ratusan Orang


(ctt redaksi: Kamis, 21 Desember 2006, merupakan awan hitam bagi kebebasan pers Indonesia.
Betapa tidak. Sejak keran kebebasan pers dibuka, hak masyarakat untuk mendapat informasi
nyatanya tetap terhalang. Buktinya, aksi massa ratusan pembaca harian Kompas yang tergabung
dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS), pada hari Rabu (20/12/2006)
siang, sama sekali tak muncul di media massa. Baik itu media cetak maupun media elektronik.
Dari 11 penerbitan media cetak nasional, tak satu pun yang memuat berita ini. Hanya Koran
Tempo, satu-satunya media cetak yang menolak tunduk pada 'Solidaritas Hitam' yang digembargemborkan manajemen Kompas. Bravo!)
Koran Tempo, 21 Desember 2006

Kompas Didemo Ratusan Orang


JAKARTA - Lebih dari 300 orang yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat
Pekerja (Kompas) berdemo di depan kantor Kompas di Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, kemarin.
Mereka menuntut Bambang Wisudo, wartawan Kompas yang dipecat, dipekerjakan kembali.
Dalam aksi tersebut, komite, yang terdiri atas gabungan puluhan lembaga swadaya masyarakat,
ini melakukan orasi di atas truk. "Kami mengutuk aksi kekerasan dan penyanderaan terhadap
Bambang Wisudo," kata Hendrik Sirait, koordinator lapangan.
Selama aksi berlangsung, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya dan meneriakkan yel-yel dan
lagu-lagu perjuangan aksi solidaritas untuk Bambang Wisudo. Mereka juga mengusung spanduk,
bendera, dan karton dengan aneka tulisan, seperti"Kembalikan Kompas yang dulu" dan "Stop
kekerasan di Kompas".
Pemimpin Redaksi Kompas Suryopratomo mengatakan saat ini pihaknya sedang mengajukan
proses pemecatan terhadap Bambang Wisudo ke Departemen Tenaga Kerja."Dia dinilai bertindak
di luar batas kepatutan dan tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut Kompas," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bambang Wisudo dipecat oleh manajemen Kompas setelah
memperjuangkan berdirinya serikat pekerja dan pembagian saham 20 persen untuk karyawan.
Menurut Suryopratomo, berita itu tak benar. Serikat pekerja di Kompas masih eksis sampai
sekarang. Soal saham 20 persen untuk karyawan itu sudah disepakati bersama. "Kekerasan yang
diembuskan ke luar, itu juga tidak benar," katanya. Itu semua, menurut dia, bisa dilihat dari
CCTV.
Kronologinya, pada 7 Desember lalu, dia menempelkan surat pribadi kepada Jakob Oetama,
Pemimpin Umum Kompas, tentang permintaan untuk tidak dimutasi ke Ambon."Mutasi itu berlaku
bagi 56 wartawan Kompas yang lain," ujarnya.
Mengenai mutasi, dia malah mengajukan keberatan ke bagian sumber daya manusia agar
dimutasi ke Garut, bukan ke Ambon, dan meminta waktu hanya tiga bulan. "Itu tidak mungkin,"
ujarnya. Tapi keesokan harinya, dia menempelkan selebaran surat pribadi dari Jakob Oetama itu
di seluruh gedung Kompas.
Pihak keamanan menegurnya, lalu dia dibawa ke pos petugas keamanan. Saat digandeng, dia
menjatuhkan diri. "Tapi diberitakan dia disandera setelah diwawancarai radio swasta," katanya.
(RUDY PRASETYO WAHYU MURYADI)

posted by KOMPAS @ 9:17 PM

0 comments

Lawan Pemberangusan Serikat Pekerja Kompas!

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja


(KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta
cp: 081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)
-------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia,
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi
Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen
Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, YLBHI, SP 68H,
STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Praxis, Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ), FMKJ, Partai
Rakyat Pekerja (PRP), Sanggar Ciliwung, FSPI, Repdem Jakarta

-----------------------------------------------------------------------------------------PERNYATAAN SIKAP

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

7 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Lawan Pemberangusan Aktivis Serikat Pekerja Kompas!


Sepekan sudah skandal pemberangusan aktivis Serikat Pekerja Kompas bergulir. Pemberangusan
aktivis serikat pekerja terakhir kali ini menimpa Bambang Wisudo, wartawan senior Harian
Kompas, sebuah media cetak terbesar di tanah air yang selama ini mengklaim sebagi pengemban
Amanat Hati Nurani Rakyat.
Tapi hingga hari ini, yang terjadi malah pemutarbalikan fakta dari manajemen Kompas untuk
mengaburkan persoalan. Alih-alih memperkerjakan kembali Bambang Wisudo, Pemred Kompas
Suryopratomo malah sibuk menelepon ke sejumlah pimpinan media massa untuk memblokade
pemberitaan tentang skandal pemberangusan serikat pekerja ini.
Tragedi ini sendiri bermula dari kegiatan Bambang Wisudo selaku Sekretaris Perkumpulan
Karyawan Kompas (PKK), sebuah serikat yang terdaftar secara sah di Depnakertrans.
Pemberangusan manajemen terjadi saat pengurus PKK mempertanyakan nasib saham kolektif 20
persen milik karyawan.
Seperti diketahui, pada masa otoriter Soeharto, Menteri Penerangan Harmoko mewajibkan setiap
perusahaan pers memberi saham kolektif sebesar 20 persen ke setiap karyawan. Karena
peraturan ini, setiap perusahaan pers kemudian memberikan jatah saham kolektif 20 persen ke
semua karyawan.
Namun zaman berubah. Krisis ekonomi dan politik akhirnya membuat Kediktaktoran Soeharto
terguling bulan Mei 1998. Sejak saat itu, aspirasi masyarakat sipil yang selama ini terpendam di
bawah permukaan, mulai menggeliat. Salah satunya tumbuh suburnya serikat-serikat pekerja,
termasuk juga berdirinya serikat pekerja pers seperti Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK) pada
tahun 1998.
Namun kebebasan mendirikan organisasi serikat pekerja yang kemudian dikukuhkan oleh UndangUndang No 21/2000 tentang Serikat Pekerja itu, di sisi lain membawa ekses negatif. Sebab,
setelah Soeharto terguling, saham karyawan Kompas justru makin tak jelas keberadaannya.
Padahal harian Kompas sudah berubah menjadi konglomerat raksasa media cetak. Terlebih
koran-koran pesaingnya yang mencoba konsisten dengan fungsi kontrol pers, sudah banyak
dibredel di era Soeharto. Ini terjadi sejak era harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi (70-an),
Prioritas (80-an), hingga era Tempo, Detik Editor (90-an).
Aksi bumi hangus Soeharto pada media massa nasional yang kritis ini membuat Kompas tetap
berkibar dan menjadi satu-satunya media massa yang nyaris tak pernah dibredel sejak terbit
tahun 1965. Kontinuitas terbit nyaris tanpa terputus itu tak pelak membuat harian Kompas
berubah menjadi raksasa pers yang paling siap ketika keran kebebasan pers dibuka kembali
setelah Soeharto jatuh.
Namun, kemakmuran harian Kompas membuat Jacob Oetama Cs dan manajemen koran ini tak
segan untuk mengaburkan hak saham 20 persen milik karyawan. Sejak Bambang Wisudo ikut
mendirikan PKK tahun 1998, salah satu amanat karyawan memang untuk mempertanyakan nasib
saham kolektif karyawan. Inilah yang membuat PKK kemudian bergerak untuk menemui
manajemen dengan dukungan mayoritas karyawan yang bungkam (silent majority), di tengah
intrik dan tentangan para scab (buruh penghianat) yang jumlahnya minoritas dan didukung penuh
oleh manajemen.
Akhirnya negoisasi antar manajemen dan karyawan dengan perwakilan PKK yang sah dan
terdaftar di kantor Depnakertrans berbuah kesepakatan. Tuntutan karyawan dikabulkan sebagian.
Di antaranya, keuntungan Kompas akan didistribusikan ke karyawan dalam jumlah 20 persen
keuntungan. Untuk diketahui, menurut lembaga riset AC Nielsen harian Kompas merupakan media
cetak yang memegang peringkat terbesar. Dalam satu tahun, Kompas dapat memperoleh iklan
nyaris Rp 1 triliun. Karena itu bisa dibayangkan berapa besar kompensasi keuntungan yang bisa
didapat seluruh karyawan Kompas.
Kesepakatan antara karyawan dengan diwakili PKK dan manajemen PT Kompas Media Nusantara
ditanda-tangani Syahnan Rangkuti selaku Ketua PKK dan St Sularto selaku Wakil Pimpinan Umum
Harian Kompas. Apalagi dari sejarahnya, pendiri Kompas, almarhum PK Ojong memang pernah
mewariskan 20 persen saham itu ke karyawan pada tahun 1980-an, jauh sebelum Peraturan
Menteri Penerangan No 1/1984 tentang pemberian 20 persen saham karyawan sebagai syarat
pemberian Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), disahkan. Kesepakatan antara manajemen
dan PKK itu ditanda-tangani 13 September 2005.
Namun celaka. Tak lama berselang, manajemen malah melakukan aksi pembalasan. Aksi itu
terarah pada pimpinan PKK yang selama ini vokal mempertanyakan nasib saham kolektif
karyawan. Aksi balasan ini lucunya terjadi bahkan sebelum kesepakatan itu dijalankan. Aksi
pembalasan awal ini berupa pemindahan (mutasi) tugas sejumlah pimpinan PKK ke daerah
dengan alasan pengembangan karir yang bersangkutan. Syahnan Rangkuti selaku Ketua PKK
dibuang ke Padang, sementara Sekretaris PKK Bambang Wisudo dibuang ke Ambon. Keputusan
mutasi itu mulai berlaku 1 Desember 2006, meski kepengurusan PKK baru resmi berakhir Februari
2007.
Jelas mutasi ini merupakan pembuangan. Apalagi Wakil Pemimpin Umum PT Kompas Media
Nusantara, Bambang Sukartiono berkali-kali mengatakan ini merupakan upaya "rehabilitasi" untuk
Bambang Wisudo. Dengan demikian, aktivitas Bambang Wisudo dan disamakan dengan upaya
"rehabilitasi" tahanan politik (tapol) PKI pada era Orde Baru. Bila tapol PKI direhabilitasi ke Pulau
Buru, pengurus kunci PKK dibuang ke Ambon dan Padang.
Pola pemberangusan dan cara-cara Orde Baru ini jelas merupakan pola klasik kediktaktoran
Soeharto. Dan tragisnya pola ini masih tetap digunakan manajemen Kompas. Padahal di halaman
tajuk rencana, setiap harinya Kompas menyerukan demokrasi, HAM, penghormatan terhadap hak
berserikat, transparansi dan anti korupsi.
Karena itulah Sekretaris PKK, Bambang Wisudo, menolak tegas upaya "rehabilitasi" tersebut.
Bambang menilai apa yang dilakukan manajemen merupakan buah dari aksi PKK yang ia dirikan.
Khususnya karena langkah terakhir PKK berhasil memaksa manajemen membuka tabir rahasia 20
persen saham karyawan yang selama ini tak pernah dibuka ke karyawan, terutama sejak
Soeharto terguling.
Sebab Bambang Wisudo sadar, mutasi itu hanyalah trik manajemen untuk melakukan
penyingkiran dan pembungkaman. Apalagi keputusan mutasi dan negoisasi itu hanya berselang
kurang dari sebulan. Inilah harga yang harus dibayar Bambang Wisudo. Bambang menolak mutasi
ini karena dalam UU No 21/2000, setiap aktivis serikat pekerja dilindungi. Karena itu setiap aktivis
serikat pekerja tidak boleh dihalang-halangi aktivitasnya. Misalnya dengan alasan mutasi, PHK,
dan cara-cara intimidatif dan teror lainnya.
Tragisnya, saat Bambang mewartakan sikapnya untuk menolak mutasi ke karyawan Kompas, aksi
kekerasan malah justru terjadi. Pada hari Jumat (8/12/2006) petang, Wisudo dibekuk, dipiting,
diseret paksa, dan ditenteng sebelum akhirnya ditahan dan disandera oleh Satpam Kompas
selama beberapa jam di pos satpam kantor perusahaan itu, di Jalan Palmerah Selatan 26-28,
Jakarta 10270. Itu terjadi saat Bambang Wisudo membagikan leaflet pernyataan sikapnya dalam
kapasitasnya selaku aktivis Serikat Pekerja.

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

8 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Setelah menjadi bulan-bulanan korban kekerasan dan penyanderaan selama beberapa jam,
Pemimpin Redaksi Kompas kemudian mengeluarkan surat PHK dengan No: 074/Red/SDM/XII
/2006. Surat itu ditanda-tangani Pemimpin Redaksi Kompas, Suryopratomo.
Dengan demikian semakin jelaslah. Dengan melakukan PHK terhadap Bambang Wisudo dan
mutasi terhadap sejumlah pimpinan PKK, Jacob Oetama cs telah melakukan pelanggaran secara
terang-terangan terhadap UU No 21/2000.
Dengan terang-terangan Jacob Oetama cs melecehkan hukum dan bisa diartikan menantang
secara terang-terangan, apakah sanksi denda sebesarRp 500 juta dan hukuman penjara dua
tahun penjara seperti yang diatur UU No 21/2000 itu cukup ampuh menghadapi mereka.
Kekuatan modal Kompas kini tengah menguji apakah negara ini memang mampu menegakkan
hukum.
Dengan fakta-fakta di atas, kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat
Pekerja (KOMPAS) menyatakan:
1.Mengutuk aksi kekerasan dan penyanderaan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap
Bambang Wisudo.
2.Mengutuk tindakan anti demokrasi dan anti serikat pekerja yang dilakukan manajemen Kompas
terhadap Bambang Wisudo.
3. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dan menangkap pelaku kekerasan terhadap
Bambang Wisudo, termasuk para pimpinan Kompas yang memberi instruksi aksi kekerasan
tersebut
4. Menolak PHK sepihak yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo karena
aktivitasnya sebagai pengurus serikat pekerja di Harian Kompas.
5. Mendesak aparat kepolisian untuk menindak secara hukum sikap antiserikat pekerja yang
dipraktikkan manajemen Kompas.
6. Menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk bergabung melawan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh manajemen Kompas.
Jakarta, 20 Desember 2006
Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 9:05 PM

0 comments

Yang Terlewat Dari Makassar


karebosi.com
Berita Harian Makassar
AJI Makassar Unjuk Rasa di Biro Kompas Makassar
Karebosi.Com. Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Makassar, Serikat Buruh Indonesia (SBI) dan
anggota Pers Mahasiswa se-Makassar melakukan aksi unjuk rasa di halaman kantor Biro Kompas
Makassar, di Jalan Pengayoman Makassar, Selasa (12/12).
Mereka memprotes manajemen harian Kompas yang memecat wartawannya, Bambang Wisudo.
Aksi yang diikuti oleh puluhan pekerja pers tersebut juga diwarnai dengan aksi pembakaran dua
patung yang terbuat dari koran-koran Kompas yang dikumpulkan dengan menonjolkan tulisan
Kompas. Pembakaran patung tersebut sebagai tanda protes.
Aksi tersebut merupakan aksi solidaritas. Aksi yang dilaksanakan oleh AJI Makassar tersebut
dipimpin langsung oleh Ketua AJI Makassar, Syarief Amir. Dalam aksinya, mereka menilai
pemecatan sepihak terhadap Bambang Wisudo merupakan tindakan melawan hukum.
AJI Makassar sangat menyesalkan Kompas dengan reputasi sebagai koran nasional terkemuka
bisa melakukan tindakan anti demokrasi dan melanggar hak asasi manusia terhadap
wartawan/karyawannya sendiri.
Maka dalam kesempatan tersebut, AJI Makassar menyatakan mengutuk dan menyesalkan insiden
yang dilakukan Kompas sebagai media besar yang selama ini menjadi panutan penegak pilar
demokrasi dan kemanusiaan dalam nilai jurnalistik.
Pengunjuk rasa juga menuntut manajemen Kompas mencabut surat keputusan tertanggal 8
Desember 2006 yang memecat Bambang Wisudo sebagai wartawan PT Kompas Media Nusantara.
AJI Makassar meminta Kompas menyampaikan permohonan maafnya kepada Bambang di semua
media dan mendukung perjuangan Bambang dan karyawan Kompas lain dalam memperjuangkan
kesejahteraan.
Biro Kompas Makassar Didemo Wartawan
Makassar (ANTARA News) - Puluhan wartawan yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) Kota Makassar, melakukan aksi solidaritas di Kantor Biro Kompas Indonesia
Timur di Makassar, menyusul pemecatan Bambang Wisudo sebagai wartawan Harian Kompas.
Puluhan wartawan yang melakukan demo tersebut memprotes keputusan manajemen Harian
Umum Kompas atas pemecatan Bambang sejak Jumat lalu (8/12) terkait dengan penolakan
mutasi ke Ambon dan sikap kritis Bambang sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan (Serikat
Kerja) Kompas yang memperjuangkan 20 persen saham untuk karyawan dan kebijakan
manajemen Kompas lainnya yang dinilai diskriminatif.
AJI Makassar dalam pernyataan sikapnya juga mengecam intimidasi dan kekerasan yang
dilakukan anggota Satuan Pengamanan (Satpam) Kompas terhadap Bambang yang mencoba
memperjuangkan hak berserikat di lingkungan kantor Kompas di Jakarta.
"Pada zaman reformasi dan keterbukaan serta kebebasan pers seperti dewasa ini, ternyata
menejemen Kompas berusaha memberangus hak-hak dan perjuangan Perkumpulan Karyawan
Kompas yang nyata-nyata adalah pelanggaran terhadap konstitusi dan UU Serikat Kerja," kata
Djaya dari Divisi Advokasi AJI Kota Makassar dalam orasinya.
Kondisi ini sangat disayangkan karena Harian Kompas yang memiliki reputasi sebagai koran
nasional termuka bisa melakukan tindakan anti demokrasi dan melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) terhadap wartawan/karyawannya sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, dalam enam butir pernyataan sikap AJI Kota Makassar yang
dibacakan Ana Rusli, koresponden AnTV yang juga Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Kota
Makassar, menyesalkan insiden yang dilakukan oleh media besar yang selama ini menjadi
panutan penegak pilar demokrasi dan kemanusiaan dalam nilai-nilai jurnalistik.
Mereka juga menuntut manajemen Kompas mencabut Surat Keputusan Pemimpin Redaksi

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

9 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Kompas tentang pemecatan Bambang, mendesak manajemen Kompas mengembalikan


sepenuhnya hak-hak Bambang sebagai wartawan Kompas serta posisinya sebagai Sekretaris
Perkumpulan Karyawan Kompas.
"Perlakuan terhadap Bambang adalah perbuatan kriminal yang harus diusut tuntas dan diproses
secara hukum. AJI juga meminta Kompas memohon maaf atas segala tindakannya di semua
media cetak dan elektronik. AJI Makassar mendukung perjuangan Bambang dan karyawan
Kompas lainnya dalam memperjuangkan kesejahteraan," ujarnya.
Aksi yang dilakukan oleh wartawan Makassar itu juga dikuti oleh puluhan aktivis pers kampus dan
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel. Mereka berorasi dan menggelar spanduk yang berisi
protes terhadap manajemen Kompas bahkan sempat membakar dua replika manusia yang dibuat
dari kertas koran Kompas.
Menyikapi aksi demo wartawan tersebut, Abun Sanda, salah seorang redaktur harian Kompas
yang kebetulan sedang berada di Makassar mengatakan dapat memahami sikap para wartawan,
namun perlu diketahui bahwa menejemen Kompas selama ini sudah melakukan pendekatan dan
pembicaraan dengan Bambang, namun tidak pernah ada titik temu sehingga keputusan
pemecatan itu akhirnya dikeluarkan. (*)
Copyright 2006 ANTARA
12 Desember 2006 17:47
posted by KOMPAS @ 9:02 PM

0 comments

Wisudo: Masuk Disambut Baik, Keluar Disekap Satpam


Rabu, 20 Desember 2006, 14:29:49 WIB
BUNTUT PHK BAMBANG WISUDO
Masuk Disambut Manusiawi, Keluar Disekap Satpam
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Bambang Wisudo wartawan Kompas yang dipecat beberapa waktu
lalu, sedih dengan kebijakan para petinggi suratkabar tersebut yang semakin melupakan nilai-nilai
kemanusiaan.
"Kalau saat ini saya melawan, bukan karena saya benci Kompas. Tetapi, karena ada yang salah
dengan Kompas sekarang ini," kata Wisudo yang disambut yel-yel "reformasi" oleh para
pengunjuk rasa yang mendukungnya, di depan gedung Kompas-Gramedia, Jalan Palmerah
Selatan Jakarta Pusat, Rabu (20/12).
Wisudo mengenang, 20 tahun silam dia datang ke gedung Kompas-Gramedia, saat masih
berstatus mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Saat itu dia sedang mencari data untuk
keperluan penyusunan skripsi S-1 nya.
"Saya sempat berdiskusi dengan penuh manusiawi dengan Satpam di kantor ini. Sejak itu saya
mengimpikan untuk bekerja di kompas. Dalam hati saya berkata, inilah tempat (bekerja) yang
saya impikan," kata wartawan yang sudah bekerja selama 15 tahun untuk Kompas itu.
Tapi, lanjutnya, dua pekan lalu, di tempat yang sama dia mendapat perlakuan yang sangat tidak
berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Satpam Kompas.
"Saya digotong-gotong kayak mayat, saya disekap selama dua jam di pos Satpam. Ada apa ini
dengan Kompas?" keluhnya dengan mata berkaca-kaca.
Tindak kekerasan yang dilakukan oleh institusi Kompas terhadap dirinya, kata Wisudo, merupakan
tindakan yang sangat berlawanan dengan falsafah yang dibangun oleh pendiri Kompas PK.Ojong
dan Jacob Oetama.
"Kalau saat ini banyak yang mendukung saya, bukanlah karena pribadi saya. Siapalah saya ini,"
tandasnya.
Namun, para pengunjuk rasa yang datang bersamanya Rabu siang ini, yang merupakan pembaca
setia Kompas, lanjut Wisudo, datang untuk mengingatkan bahwa ada yang salah dengan
pengelolaan institusi ini saat ini.
"Kompas selama ini menyuarakan humanisme, demokrasi, kebebasan, tapi tindakan yang
dilakukan terhadap saya justru sebaliknya," ujar Wisudo.
Oleh karenanya, Wisudo akan terus mengingatkan kepada para pembaca Kompas, bahwa ada
yang salah dengan institusi ini. Dia tak akan menyerah, sebelum PHK terhadap dirinya dicabut,
keputusan mutasinya dibatalkan, dan Kompas memberikan kesempatan untuk organisasi serikat
pekerja berkembang di perusahaan konglomerasi pers tersebut.
"Tidak ada yang rugi bila Serikat Pekerja berkembang," tegas Koordinator Divisi Etik dan Profesi
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia itu. adi
posted by KOMPAS @ 2:41 AM

0 comments

Kantor Kompas Digeruduk Massa. Pagar Digrendel Rantai


Rabu, 20 Desember 2006, 13:39:03 WIB
DEMO PRO BAMBANG WISUDO
Kantor KOMPAS Digeruduk Massa, Pagar Digrendel Rantai
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Lebih dari 500 orang aktivis dari berbagai elemen memenuhi janjinya
untuk menyerbu kantor redaksi harian Kompas di gedung Kompas-Gramedia di Jalan Palmerah
Selatan, Jakarta Selatan.
Massa yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja datang dengan
menggunakan sound system yang diakut mobil bak terbuka. Mereka langsung menggelar orasi di
depan pintu gerbang kantor Kompas yang digrendel rantai.
Sementara, 50 polisi dari Polsektro Tanah Abang di-back up pasukan dari Polrestro Jakarta
Selatan berjaga ketat mengamankan kantor milik Jacob Oetama itu.
Demonstran yang berasal dari beberapa elemen seperti buruh, mahasiswa, aktivis pro-demokrasi
1998, hingga jurnalis tersebut menyerukan dukungannya kepada wartawan Bambang Wisudo
yang dipecat Kompas beberapa waktu lalu.
Karyawan Kompas-Gramedia yang hendak makan siang pun tidak bisa keluar gedung karena
semua pintu diblokir. Banyak diantara mereka malah menonton dari kejauhan.
Bambang Wisudo pun yang dianggap "virus" oleh Kompas juga ikut serta di tengah-tengah massa.
Ia sebentar lagi didaulat untuk berorasi.

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

10 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Massa juga membawa orang-orang yang terbuat dari koran bekas bertulis Kompas. Sebuah poster
"panas" juga dibawa demonstran. Bunyinya, "Kompas, Lain di Bibir, Lain di Hati."
Tampak pula di kerumunan massa ada aktivis buruh Dita Indah Sari, aktivis pendidikan Lody S
Paat serta pentolan PBHI Johnson Pandjaitan. Aksi mendukung Bambang Wisudo hingga kini
masih berlangsung seru. iga
posted by KOMPAS @ 2:35 AM

0 comments

Kompas Didemo Pembacanya Siang Ini


Rabu, 20 Desember 2006, 10:52:02 WIB
BUNTUT PHK BAMBANG WISUDO
KOMPAS Didemo Pembacanya Siang Ini
Laporan: Sholahudin Achmad
Jakarta, Rakyat Merdeka. Kantor suratkabar Kompas di Jalan Palmerah Selatan Jakarta Barat
kembali akan didemo Rabu siang ini (20/12).
Aksi demo tersebut dilakukan untuk menolak keputusan PHK terhadap Bambang Wisudo,
wartawan yang menjadi pengurus Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK).
Demikian dikatakan Edy Haryadi, koordinator aksi demo ke kantor Kompas, kepada Situs Berita
Rakyat Merdeka beberapa menit lalu.
Edy mengungkapkan, aksi siang nanti akan diikuti elemen mahasiswa, wartawan, buruh, pekerja,
dan aktivis pro demokrasi yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja.
Yang sudah pasti akan mengirimkan massa, kata Edy, adalah Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia (Pakorba-KKG),
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH
Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru
Garut, Federasi Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas,
Serikat Pengacara Rakyat, Arus Pelangi, KontraS, YLBHI, STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN).
Edy mengungkapkan, hingga hari ini, manajemen Kompas masih menganggap keputusan PHK
Wisudo sebagai urusan internal mereka. Padahal, lanjutnya, persoalannya tidak sesederhana itu.
"Wisudo dipecat karena aktivitasnya sebagai aktivis serikat pekerja di kantornya. PHK terhadap
aktivis serikat pekerja merupakan cara-cara Orde Baru dalam memberangus serikat pekerja," kata
bekas wartawan Warta Kota tersebut.
Para demonstran akan berkumpul di halte bus Kompas, tak jauh dari pintu gerbang kantor
Kelompok Kompas Gramedia.
Menurut rencana, para demonstran akan menggelar orasi dan poster di perusahaan konglomerasi
media yang menerbitkan Kompas dan sejumlah media ternama lainnya.
Senin pekan lalu, para pembaca Kompas juga melakukan aksi serupa, menuntut agar PHK
terhadap aktivis PKK tersebut dibatalkan. Tuntutan tersebut juga didukung oleh International
Federation of Journalist. Lewat surat protesnya kepada Kompas, pekan lalu, IFJ meminta agar PHK
terhadap Wisudo dibatalkan. (adi)
posted by KOMPAS @ 2:19 AM

0 comments

Monday, December 18, 2006

Jurnalis Asia Protes Kompas


Asia Journalists Association (AJA) Protest Note

Dear Mr
Jacob Oetama
St Sularto
Suryopratomo :
1. We are writing in support of the Alliance ofIndependent Journalists (AJI) in its dispute with the
KOMPAS Daily over the proposed transferred and then dismissal of Bambang Wisudo on 8
December 2006.
2. Having read the AJIs statement and studied itscase, we have concluded that the management
had acted arbitrary and without regard to the due process of good labour-management relations
and of Indonesian law.
3. Indeed, as a professional organization of editors,reporters and photo-journalists, we are
disappointed with the seemingly unprofessional attitude and action of your management in dealing
with Wisudo, a fellow journalist with 15 years service to KOMPAS Daily.
4. It appeared to us that a case of victimizationcould be made out against your management on
the grounds of Wisudos role as Secretary of KOMPAS TradeUnion, in particular in his efforts to
improve PKKs reportage standards and constructively address policies instituted by KOMPAS
Daily management which are disruptive to work force productivity and the papers readers.
5. As such, we stand firmly AJI in its protest against the managements high-handed and drastic
action against Wisudo and its lack of respect for the AJI as union duly elected to represent
KOMPAS Daily member-journalists in their grievances with the management.
6. At the same time, we would like to urge yourmanagement to exercise the sacred duty and
responsibilities of a renowned national newspaper group, with an international reputation to keep,
tosit down with the AJI leaders and negotiate a fair settlement over the Wisudo case.
7. We further urge your management to help create aconducive atmosphere for the two-party
talks by first rescinding the dismissal of Wisudo without immediate effect.
8. We believe the talks, if convened, should address the key concerns of AJI and its members,
including a transparent investigation of events leading to theWisudo lock-out and sacking.
9. In the name of justice and good labour practices,Wisudo and any staff member of the
newspaper should enjoy the right of representation by his union in their disciplinary disputes with
the management,including the appeal against ny unfair and unjustified job re-assignment.
10. We believe that the case of Wisudo has international repercussions. For to dismiss a
journalist without just cause is a threat Press Freedom, not only in Indonesia but
worldwide.
11. The alternative to negotiation and amutually-accepted settlement of the dispute will bemore

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

11 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

incriminations and antagonistic AJI-KOMPAS Daily industrial relations.


12. We in AJA would urge you to act professionally andlegally by sincerely making the effort to
resolve the Wisudo case fairly and equitably. This will certainly turn a new chapter in your
relations with AJI.
For Press Freedom, Peace and Professionalism!
Lee sang-Ki
President
Asia Journalists Association
Cc: Heru HendratmokoChairmanAJI
posted by KOMPAS @ 7:19 PM

0 comments

Aksi Yogya: "Kompas Layak Dilempari Telur Busuk"


Aksi Yogya: "Kompas Layak Dilempari Telur Busuk"
Yogyakarta, Kompas Inside. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta bersama jaringan
Forum LSM Yogyakarta, buruh dan persma (pers mahasiswa) kembali mendatangi kantor Biro
Kompas di Yogyakarta untuk menyuarakan suara keprihatinan berkaitan dengan PHK jurnalis
Kompas, Sdr P. Bambang Wisudo.
Berbeda dengan kedatangan sebelumnya (Senin, 11 Desember 2006), kali ini pihak Kompas tidak
menerima kehadiran delegasi.
Pada akhirnya, karena Kompas tidak mau menerima delegasi secara bermartabat, akhirnya
delegasi sepakat untuk meninggalkan Kompas. Kompas sangat tidak sopan, sebagai balasannya
Kompas layak kalau kita lempari telur busuk, ujar Unang Shio Peking, Ketua Forum LSM
Yogyakarta.
Aksi ini dimulai saat sekitar 15 orang anggota delegasi yang berasal dari AJI Yogyakarta, Aliansi
Buruh Yogyakarta (ABY), Masyarakat Peduli Media (MPM), Serikat Pekerja Pers Lintas Media
Yogyakarta (SPPLMY) dan Forum LSM Yogyakarta hanya diterima oleh Sigit Budi dari bagian SDM
Umum di halaman depan.
Meskipun hujan turun, Sigit tetap bersikukuh tidak dapat menerima kami di ruang tamu yang
nyaman. Kami tidak dapat menerima karena belum ada keputusan dari Jakarta, tegas Sigit.
Negosiasi yang berlangsung sekitar 30 menit pun dilakukan dibawah rintik hujan. Beberapa
satpam Kompas mengawasi jalannya negosiasi ini. Sebetulnya AJI Yogyakarta secara resmi sudah
mengirimkan surat kepada Biro Kompas Yogyakarta, tetapi hingga Senin siang belum ada jawaban
resmi dari Kompas.
Selain karena belum ada ijin dari Jakarta, Sigit juga mengatakan tidak ada pejabat berwenang di
Kompas Biro Yogyakarta yang dapat menerima kedatangan kami. Sigit mengatakan Kepala Biro
Kompas Yogyakarta, Bambang Sigap Sumantri sedang cuti. Sementara wakilnya, Putu Fajar
Arcana sedang tugas ke luar kota. Permintaan kami agar dapat berbicara dengan mereka berdua
via telepon pun ditolak Sigit.
Hujan kian deras, tetapi delegasi tetap tidak dipersilahkan masuk. Kompas ternyata tidak
mempunyai ruang tamu ya? ujar Hajar, aktivis persma Ekspresi dari Universitas Negeri
Yogyakarta (UNY). Pertanyaan yang menyelinap dalam pikiran anggota delegasi semua, inikah
cara Kompas yang menjunjung tinggi nilai humanisme universal dalam menerima tamunya yang
datang dengan baik-baik?
Disela-sela negoisasi, Bambang MBK dari AJI Yogyakarta kembali mengingatkan jika PHK
Bambang Wisudo menyalahi aturan, baik itu UU Serikat Pekerja dan UU Tenaga Kerja. Kasus PHK
Bambang Wisudo tidak lagi menjadi persoalan internal Kompas tetapi juga persoalan publik
karena ada aturan hukum legal yang dilanggar. Karena itu Wisudo harus kembali menjadi
karyawan Kompas kembali karena PHK itu, otomatis batal demi hukum.
Selain itu, Kompas sebagai media yang besar dan paling kredibel di Indonesia juga tidak
selayaknya melakukan PHK sewenang-wenang, terlebih karena alasannya adalah karena Wisudo
aktif di serikat Pekerja. Sebagai media yang selalu mengedepankan nilai-nilai demokrasi, keadilan
sosial, berpihak kepada kebenaran serta humanisme universal, Kompas tidak selayaknya
melakukan hal ini.
Sigit mengatakan dirinya tidak dapat mengatakan apa-apa karena semua proses ada di Jakarta.
Tolong buat pernyataan tertulis, nanti akan kami kirim ke Jakarta, ujarnya menanggapi.
Atas penolakan ini, delegasi sepakat tidak akan bersilaturahmi secara santun lagi ke Kompas Biro
Yogyakarta. Tetapi anggota koalisi akan melakukan aksi turun ke jalan agar semakin banyak
publik tahu (karena tidak ada media yang mau memuat berita soal ini) bahwa sesuatu yang salah
sudah terjadi di media massa terbesar di Indonesia itu yang ternyata tidak lagi mempunyai mata
hati dan kata hati. (mbk)
posted by KOMPAS @ 7:07 PM

0 comments

Agenda Sepekan Aksi Protes Bambang Wisudo

Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)


Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta. 021-83702660,
021-70758626
081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali),
08155517333 (Winuranto Adhi), 0811932683 (Bambang Wisudo)
---------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia,
Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH Pendidikan, Federasi
Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi Guru Independen
Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, SPR, Arus Pelangi, IKOHI, Kontras, YLBHI, SP 68H,
STN, GMS, Kabar, Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), KASBI

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

AGENDA SEPEKAN AKSI PROTES


PEMBERANGUSAN SERIKAT PEKERJA KOMPAS
Kepada Yth : teman-teman jurnalis
Hal : Agenda Komite
Pemecatan
Sekretaris
Perkumpulan
Karyawan
Kompas,
Bambang
Wisudo
karena
mempertanyakan saham kolektif karyawan jelas tidak bisa kita terima. Apalagipemecatan tersebut
juga disertai aksi kekerasan dan penyanderaan oleh satpamyang mengaku diperintah pimpinan.
Sebuah sikap antiserikat pekerja dan antidemokrasi dipertontonkan oleh media besar yang
mengklaim mengemban "AmanatHati Nurani Rakyat."
Namun setelah sepekan, tuntutan Komite Anti Pemberangusan Serikat pekerja (KOMPAS) agar
PHK Bambang Wisudo dibatalkan, telah ditampik oleh manajemen Kompas. Malah yang terjadi

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

12 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

adalah upaya disinformasi dan membelokkan isu dari pemberangusan aktivis serikat pekerja
menjadi sekedar masalah internal. Tambah lagi, Pemimpin Redaksi Harian Kompas juga telah
menggunakan budaya telepon Orde Baru ke sejumlah pimpinan media massa untuk membangun
Solidaritas Hitam serta membungkam pemberitaan tentang skandal ketenagakerjaan ini.
Untuk merespons sikap arogansi dan represi yang dilakukan manajemen Kompastersebut, kami
yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan SerikatPekerja (KOMPAS) menyampaikan
sejumlah agenda selama Senin (18/12)-Jumat (22/12):
SENIN, 18 DESEMBER 2006
Tim Litigasi Komite yang terdiri dari LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Apik, YLBHI, PBHI, ICW, LBH
pendidikan, Kontras, pagi ini secara serentak mengirim surat desakan ke Bagreskrim Mabes Polri
untuk menindaklanjuti proses pem-BAP Bambang Wisudo sebagai pelapor dengan tersangka
Suryopratomo pemred Kompas dengan No Tanda Bukti Lapor No. Pol: TBL/265/XII/2006-Siaga I.
Di sini ditegaskan Bambang Wisudo siap untuk dipanggil dalam proses pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP).
SELASA, 19 DESEMBER 2006
Pukul 13.00-17.00 WIB: Bambang Wisudo mendatangi Mabes Polri untuk di BAP dalam
laporannya untuk Suryopratomo. Selain itu Bambang Wisudo bersama tim litigasi mendatangi
Polda Metro Jaya, untuk melaporkan tindakan "perampasan kemerdekaan" yang dilakukan oleh
satpam atas perintah atasan.
RABU, 20 DESEMBER 2006
Pukul 12.00 WIB-selesai: Ratusan massa dari berbagai elemen yang tergabung dalam Komite
Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) akan menggelar aksi unjuk rasa kedua kalinya di
Harian Kompas. Tempat Gedung Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan 26-28,
Jakarta Pusat.
KAMIS, 21 DESEMBER 2006
Pukul 14.00 WIB: Bambang Wisudo dan Komite akan mendatangi Dewan Pers
untuk mengadukan penolakan hak jawab Kompas Online dan
tindakan tidak etis Pemred Kompas Suryopratomo karena
menggunakan budaya telepon Orde Baru untuk membungkam
skandal perburuhan di Harian Kompas. Tempat: Gedung dewan
Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
JUMAT, 22 DESEMBER 2006
Pukul 14.00 WIB: Mendatangi Komnas HAM untuk mengadukan tindak
kekerasan dan pemberangusan Bambang Wisudo sebagai
aktivis serikat pekerja di harian Kompas. Tempat Gedung
Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat.
Demikian pemberitahuan dari kami. Terimakasih.

Edy Haryadi
Koordinator
posted by KOMPAS @ 12:29 AM

0 comments

Artikel Wisudo Soal Pemberangusan SP Kompas


ctt penulis: tulisan ini saya kirim untuk rakyatmerdeka online.
Catatan Aktivis Buruh Suratkabar Kompas
Sejak saya disekap di pos satpam Kompas-Gramedia, Jumat (8/12) sore, praktis waktu saya habis
untuk membaca dan menjawab pesan pendek (sms) dan telepon untuk menyatakan dukungan.
Hari ini adalah hari ketujuh sejak peristiwa memalukan itu menimpa saya. Ratusan sms dan
telepon masuk tiap hari. Belum lagi saya sempat membaca pesan melalui e-mail. Padahal tidak
mungkin lagi melihat e-mail yang masuk melalui alamat wis@kompas.com yang telah diblokir
sejak Jumat pagi ketika desas-desus pemecatan terhadap saya beredar.
Semua ini merupakan bukti bahwa kasus ini bukan kasus internal sebuah perusahaan, bukan
sekedar kasus pemecatan semata-mata. Ratusan dukungan yang mengalir ini sekaligus
membantah argumen yang dipakai pejabat Kompas untuk meminta solidaritas pemimpin media
massa di Jakarta agar memblokir berita-berita manyangkus kasus ini. Kalaulah ini bukan kasus
yang menyangkut urusan publik, menyangkut nilai yang penting dalam bermasyarakat, mana
mungkin saya menerima simpati yang begitu besar. Siapalah saya? Saya bukan siapa-siapa.
Mereka bersuara bukan karena saya seorang yang bernama Bambang tetapi karena peristiwa
penistaan yang dilakukan sebuah institusi terhormat terhadap diri saya.
***
SAYA sadar betul bahwa sejumlah pemimpin Kompas sejak lama ingin menyingkirkan saya karena
aktivitas saya sebagai pengurus serikat pekerja ataupun sebagai seorang wartawan sering usil
menggugat sikap Kompas dalam pemberitaan. Sahabat-sahabar yunior saya di kantor sering
mengatakan, saya punya banyak nyawa. Beberapa kali mau disingkirkan tetapi tetap bisa lolos,
dan saya tidak kapok-kapok bersuara. Ternyata nyawa saya terbatas. Akhirnya saya dipecat.
Sejak Kompas berdiri, baru sekali ini wartawan dipecat. Itupun setelah disekap di pos
satpam selama dua jam, dipegang paksa atau dipiting, digotong-gotong dalam jarak seratus
sampai dua ratus meter. Ketika saya berteriak-teriak, tidak ada menolong.
Saat saya menerima surat pemecatan, saat isteri saya menyampaikan surat penolakan pemecatan
tiga hari kemudian, tidak ada kata permintaan maaf dari Kompas atas tindak kekerasan yang saya
alami. Sampai hari ini. Yang dilakukan justru sebaliknya. Seluruh karyawan Kompas dikumpulkan,
dibriefing oleh Pemimpin Redaksi Suryopratomo, dan disuruh mendengarkan bantahan Wakil
Ketua Satpam Kariman Sinambela bahwa mereka tidak melakukan kekerasan. Pertemuan intern
itu diberitakan oleh wartawan senior Robert Adhi KSP yang kredibilitasnya tidak diragukan ketika
menjabat sebagai wakil kepala biro di Semarang, melalui Kompas Online. Berita itu jelas tidak
berimbang, menyalahi kode etik, dan ketika saya berkali-kali menghubungi pimpinan Kompas
untuk minta hak jawab, mereka mengabaikan. Lagi-lagi ini merupakan blunder yang dilakukan
pimpinan Kompas. Mereka seharusnya tahu kode etik, tahu hak jawab, apalagi Pak Jakob selama
bertahun-tahun selama pemerintahan Orde Baru pernah memimpin Dewan Pers. Saya akan
segera mengadukan pelanggaran kode etik ini ke Dewan Pers.
***
MENGAPA para pejabat Kompas enggan menjelaskan langsung kepada publik terhadap peristiwa
kekerasan dan pemecatan yang erat terkait dengan aktivitas saya sebagai pengurus serikat
pekerja? Saya paham betul betapa mereka menghadap situasi yang dilematis. Suratkabar Kompas
menjadi besar seperti sekarang karena berhasil membangun citra diri sebagai pengemban amanat
hati nurani rakyat, sebagai pembela hak asasi manusia, dan pembela demokrasi. Kata hati, mata
hati. Namun peristiwa yang menimpa diri saya telah memutarbalikkan citra yang dibangun selama
ini. Ternyata institusi Kompas tidak lebih dan tidak kurang memperlakukan pekerjanya seperti
buruh pabrik sandal jepit. Istilah sandal jepit pernah dipakai Pak Ojong, almarhum pendiri
Kompas, untuk membedakan antara karakteristik pabrik dan perusahaan suratkabar.

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

13 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Sampai hari ini saya belum merasa dipecat dari Kompas. Saya merasa seperti wartawan Kompas
yang sedang mengambil cuti. Kalau saya kini berjuang, mengadukan Pemimpin Redaksi Kompas
Suryopratomo ke polisi, mengungkapkan kasus-kasus yang terkait pembungkaman serikat
pekerja di Kompas kepada publik, itu semua dalam rangka upaya saya memperjuangkan hak-hak
saya dan untuk mendorong perubahan internal Kompas dari luar. Saya pernah memimpikan
Kompas. Banyak anak muda saat ini yang juga memimpikan bisa bekerja. Saya sama sekali tidak
membenci Kompas. Akan tetapi saya tidak suka dengan tindakan sekelompok orang yang tengah
melakukan pembusukan terhadap Kompas dari dalam, dengan menciptakan ketakutan di ruang
redaksi dan dengan memberangus kritisisme di ruang redaksi. Pilar intelektualisme yang menjadi
penyangga utama suratkabar ini telah lama dirobohkan, digantikan dengan tuntutan loyalitas
buruh yang tidak merdeka.
Keputusan kini tinggal di tangan Pak Jakob. Apakah Pak Jakob sebagai Pemimpin Umum Kompas
mau atau tidak menarik atau merevisi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan manajemen
Kompas, meminta maaf kepada publik atas kekerasan dan aksi pemberangusan terhadap
kebebasan berserikat yang telah terjadi. Bila pilihan kedua yang dipilih, inilah kematian bagi
Kompas. Sikap antiunion dan sikap antidemokrasi akan menjadi citra baru suratkabar yang pernah
dihormati di negeri ini dan akan segera mengantarkannya ke liang kubur. Saya kira masih ada
sedikit sisa waktu bagi Pak Jakob dan orang-orang kritis di dalam untuk menyelamatkan Kompas.
(P Bambang Wisudo)
Penulis adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas dan Ketua Divisi Etik dan
Profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
posted by KOMPAS @ 12:23 AM

0 comments

Surat Mochtar Pabotinggi ke Pimpinan Kompas


Mas Larto Yang Budiman,
Pertama sekali terimakasih banyak saya sempat ditilpon beberapa hari lalu sehubungan dengan
kasus yang terjadi di intern Harian Kompas antara Manajemen dengan wartawan seniornya,
Bambang Wisudo. Kasus ini sudah saya ketahui dari Sri Yanuarti, isteri Bung Wis, rekan sekantor
di P2P-LIPI, sejak hari Jumat malam, 8 Desember. Waktu itu kami bersama sedang mengikuti
lokakarya di Hotel Kartika Chandra. Sejujurnya sudah sejak hari itu pula saya ikut risau dan sedih
atas terjadinya kasus tersebut, sebab itu bisa merugikan reputasi dan/atau berdampak negatif
baik bagi Kompas maupun bagi Bung Wis, apalagi jika itu berkembang menjadi buruk. Dan saya
sungguh tak menginginkan perugian reputasi atau dampak negatif itu bagi kedua belah pihak.
Mas Larto, Saya telah merasa dekat dengan Kompas sejak 1974, yaitu ketika Kompas sudi
memuat tulisan novice saya. Lama baru saya sadari bahwa Kompas membaca dan mendidik jauh
ke depan. Seperti Budaja Djaja sebelumnya dan mingguan Tempo serta jurnal Prisma
sesudahnya, dengan pemuatan itu Kompas telah meluangkan jalan bagi seorang anak muda untuk
tampil dan berkiprah secara nasional. Takkan pernah saya berhenti berterimakasih untuk itu. Saya
ikut menyaksikan Kompas tumbuh secara mandiri dan terhormat sebagai salah satu dari amat
sedikit penerbitan yang kontinu menyebarkan pencerahan multidimensional dalam kehidupan
bangsa kita dengan sekaligus menjamin kesejahteraan para karyawannya. Sejak tahun 1974 itu
hingga saat ini, sudah tak terhitung berapa kali sudah Kompas mengundang dan
mengikutsertakan saya dalam kegiatan multidimensionalnya, termasuk mewawancarai dan/atau
memuat tulisan saya secara patutsingkatnya mensponsori saya secara dan pada tempat yang
terhormatdalampelbagai acara. dan kesempatan. Khususnya di bawah pimpinan Pak Jakob, saya
senantiasa merasakan bahwa Kompas terus melangkah dalam kombinasi yang pas antara modal
berkah kerja (earned capital), ketercerahan (enlightenment) dan kebijaksanaan (wisdom). Pada
Kompas sepanjang yang saya tangkap selama ini saya mengamati adanya konsistensi dalam
upaya menggerakkan kemajuan serta menegakkan kebajikan dalam hidup berbangsa/bernegara.
Kita butuh Kompas terus dengan kiprah demikian hingga terus ke masa depan yang jauh.
Ingatan saya lekat pada Bung Wis mungkin sejak atau sebelum 1998, yaitu ketika dia pertama
kali mewawancarai saya di rumah atau di kantor, sebagai seorang yang santun dan kritis
sekaligus. Sama halnya Mas Larto, Mas Tommy, Bung Daniel, rekan-rekan senior lainnya di
Kompas, dan di atas semuanya Pak Jakob yangsemuanya kerap saya jumpai, rasa dan rasio saya
juga nyambung dengan Bung Wis. Semua wawancara saya dengan Bung Wis yang dimuat
Kompas, umumnya menyangkut kondisi politik dalam hiruk-pikuk masa transisi, disiapkan dan
ditulis secara prima. Begitu pula dengan laporan-laporan Bung Wis dari daerah-daerah konflik, di
mana dia bertahun-tahun meliput untuk Kompas dan dengan ikhlas mempertaruhkan
jiwa-raganya. Bisa saja saya keliru, tapi saya selalu merasa bahwa ada afinitas yang kuat dalam
hal-hal yang saya rindukan sebagai rute profesionalitas, sebagai jalan pribadi yang bajik dan
berharkat, dan/atau sebagai bangunan masa depan bangsa kita dengan hal-hal yangBung Wis
juga rindukan. Saya selalu merasa bahwa saya dan Bung Wis sama-sama tergiur pada yang bajik
dan berharkat, dan insya Allah takkan membudak pada materi, apalagi yang diperoleh secara tak
patut.
Mas Larto Yang Budiman,
Saya risau dan sedih karena telah terjadi konflik antara dua pihak yang sama-sama sudah lama
saya sayangi, yang keberlanjutan kiprah positifnya terus saya dambakan. Saya sungguh tak ingin
konflik ini berlanjut, apalagi berdampak negatif tak terbalikkan. Saya risau dan sedih karena
dihadapkan pada dua posisi yang bagi saya mustahil. Di satu sisi, sulit bagi saya memihaki salah
satu pihak dalam konflik ini, sebab memihaki berarti membenarkan berlanjut dan tersimpulnya
konflik sebagai konflik, sementara secara esensial saya tak melihat kemungkinan akan adanya
pemenang sepihak di sini. Jika konflik diteruskan, dalam bentuk apa pun, hasil akhirnya menurut
tilikan saya adalah pasti sama-sama kalah. Di sisi lain, juga sulit bagi saya untuk memilih
berpangku tangan hanya karena tak bisa memihak itu, sebab berpangku tangan berarti turut
membiarkan konflik.
Oleh karena itu dengan surat ini perkenankan saya mengimbau Manajemen Kompas dan
wartawan senior Kompas, Sdr. Bambang Wisudo untuk sama-sama mengalihkan tatapan pada
keindahan kebajikan dan kebijaksanaan, untuk tidak melangkah ke arah penyimpulan konflik
sebagai konflik, melainkan membelokkannya ke arah kebajikan. Beda dengan penerusan konflik
yang sejujurnya saya yakini akan berujung pada posisi sama-sama buruk, jalan kebajikan akan
berujung pada posisi sama-sama bajik.
Untuk itu, Mas Larto, perkenankan saya mengimbau agar tiap pihak menetapkan hati pada bahasa
dan perilaku yang bajiktradisi yang sedari dulu sudah dibangun oleh Kompas; agar tiap pihak
tidak sampai terjebak ke dalam atau memberi peluang pada peruakan perangkap ego+kuasaatas
nama korporasi atau organisasiyang nyata dan/atau potensial bisa berlaku pada kedua belah
pihak dalam konflik ini. Mari kita berhenti terperangkap pada orang atau situasi ketika ia jadi
mala, lalu begitu saja mengubur ingatan ketika ia begitu lama bona dan dengan penanganan yang
bajik bisa kembali demikian. Dalam peringatan Professor Driyarkara baru-baru ini, Pak
Jakobsetia dan jujur pada diri beliaumenekankan pentingnya wisdom dan compassion. Hanya
dengan wisdom dan compassion kita bisa terhindar dari perangkap ego+kuasa yang cenderung
membutakan kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik.
Penerusan konflik antara dua pihak yang sama-sama bajik hanya akan membuat kedua-duanya
serta merta jadi tak bajik. Dengan hati yang bersih dan nir-pamrih, saya sungguh berharap agar
pada posisi konflik saat ini, kedua pihak sama-sama tak memasang harga mati dan, sebaliknya,
berusaha sekuat mungkin memilih jalan penyelesaian yang melegakan kedua pihak.
Mas Larto Yang Budiman,
Saya sadari sepenuhnya bahwa menulis surat seperti ini mengandung risiko ke diri saya sendiri,

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

14 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

bisa dari kedua pihak sekaligus. Insya Allah, saya siap. Ini memang adalah salah satu momen di
mana integritas kita tertantang secara genting. Setelah berusaha sebatas kemampuan mendengar
suara dari kedua belah pihak, yang tentu mustahil tuntas, surat ini saya tulis karena saya cinta,
karena saya peduli.
Wassalam,
Mochtar Pabottingi
posted by KOMPAS @ 12:21 AM

0 comments

Friday, December 15, 2006

Kompas Tolak Hak Jawab Wisudo

Komite Anti Pemberangusan Serikat


Pekerja(KOMPAS)
Sekretariat: Jl Prof Dr Soepomo, Komplek BIER No 1A, Menteng Dalam, Jakarta.
081310274674 (Edy Haryadi), 081585160177 (Sholeh Ali), 08155517333 (Winuranto Adhi),
0811932683 (Bambang Wisudo)

=------------------------------------------------------------------------------------------Aliansi Jurnalis Independen (AJI), YLBHI, LBH Pers, LBH Jakarta, Paguyuban Korban Kelompok Kompas Gramedia
(Pakorba-KKG), Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI), PBHI, TURC, Aliansi Buruh Menggugat (ABM), LBH
Pendidikan, Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM), FPPI, Serikat Guru Tangerang, Serikat Guru Garut, Federasi
Guru Independen Indonesia, ICW, LBH APIK, PPR, Somasi-Unas, LMND, Papernas, Serikat Pengacara Rakyat, Arus
Pelangi,
KontraS,
YLBHI,
STN,
GMS,
Kabar,
Lembaga
Kebudayaan
Nasional
(LKN)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------Press Release

Kompas Tolak Hak Jawab Bambang Wisudo


Kami yang tergabung dalam Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (Kompas) mengecam
keras pemberitaan di Kompas online (http://www.kompas.com/) dengan judul "Satpam Tidak
Menyandera dan Menganiaya Wartawan."
Berita yang ditulis wartawan senior Kompas R Adhi Kusumaputra dan dirilis pada hari Senin
(11/12/2006) sore ini, tak hanya bertentangan dengan fakta di lapangan, namun juga tidak
dilakukan secara berimbang (cover both sides). Sebab, berita ini tidak mencoba mengkonfirmasi
Bambang Wisudo sebagai subyek berita.
Bambang Wisudo sendiri baru mengetahui berita itu pada hari Selasa (12/12/2006) petang.
Bambang sudah menghubungi beberapa petinggi Harian Kompas untuk mendapat hak jawab.
Sebab, Bambang percaya sebuah institusi pers mestinya bisa memenuhi Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI) dan Undang-Undang Pers No 40/1999.
Karena itu dalam salah satu SMS yang ia kirim ke St Sularto, Wakil Pimpinan Umum Harian
Kompas Bambang menulis "Mas sk dan sts (St Sularto) yth, mestinya kompasonline menghubungi
saya bila memberitakan kasus saya. Ini kan perusahaan pers bukan pamflet."
Untuk itu hari Rabu (13/12) saat Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
menggelar testimoni saudara Bambang Wisudo di LBH Jakarta, reporter Kompas Online turut
diundang. Salah satu tujuannya adalah menggunakan hak jawab Bambang Wisudo seperti yang
diatur dalam UU No 40/1999 tentang Pers secara beradab. Dan pada pelaksanaan acara itu, salah
seorang reporter Kompas Online memang terlihat hadir.
Namun hingga hari ini ternyata Kompas Online tidak juga memuat hak jawab dari saudara
Bambang Wisudo. Karena itu, bisa dipastikan telah terjadi pelanggaran serius yang dilakukan
manajemen Kompas terhadap Kode Etik Wartawan Indonesia dan UU No 40/1999 mengenai hak
jawab.
Jelas ini merupakan sebuah pelanggaran serius yang disengaja. Dengan demikian, manajemen
Kompas secara sadar telah merubah dirinya menjadi sebuah pamflet yang dilegalisasi dengan
menyabot kebebasan pers yang dibangun atas pengorbanan nyawa mahasiswa beserta rakyat
pada Mei 1998.
Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS) sendiri menegaskan, bahwa fakta
kekerasan dan penyanderaan Bambang Wisudo memang terjadi.
Tapi di luar kebohongan yang dibangun, tulisan wartawan senior Kompas itu tanpa sadar telah
mengkonfirmasi beberapa fakta penting.
Pertama, dalam tulisan yang dibuat wartawan Kompas itu, Pemimpin Redaksi Kompas
Suryopratomo menyatakan membenarkan prosedur yang dilakukan oleh Satpam terhadap
Bambang Wisudo. "Satpam telah melakukan prosedur yang benar. Mereka bertanya kepada
Wisudo, ini ada apa, mari kita bicarakan di pos," kata Suryopratomo. Dengan demikian Pemred
Kompas menyetujui aksi pemitingan dan pembekukan secara paksa oleh satpam pada Bambang
Wisudo.
Kedua, Kiraman Sinambela, Wakil Kepala Satpam harian Kompas di berita itu juga membenarkan
bahwa sempat terjadi tarik-menarik antara dirinya dengan Bambang Wisudo. Sehingga Bambang
Wisudo terjatuh ke lantai sebelum ditenteng ke pos satpam. Apakah ini bukan kekerasan?
Di pos Satpam, sekalipun di berita itu satpam membantah, Bambang Wisudo memang sempat
disandera dua jam. Tim advokasi yang datang untuk menemui Wisudo, faktanya memang tak
boleh menemui saudara Wisudo. Sehingga hal ini sempat memicu perdebatan panas antara
Satpam Kompas dan tim advokasi. Tapi seorang Satpam bernama Markus mengatakan dia dan
teman-temannya hanya menjalani perintah atasan. Bahkan seorang staf PSDM-U Kompas
bernama Suharno sempat menyatakan ke tim advokasi untuk melapor ke polisi.
Dengan demikian, berita itu menegaskan telah terjadi kekerasan dan perampasan kemerdekaan
terhadap Bambang Wisudo yang dilakukan oleh satpam dan disetujui oleh Pemimpin Redaksi
Kompas.
Selain itu, pada hari Senin (4/12) petang, kami juga mendapat informasi bahwa Pemimpin
Redaksi Suryopratomo telah menelepon Pemimpin-Pemimpin Redaksi media massa lainnya agar
tidak memuat berita demo di Kantor Kompas pada siang harinya. Alasannya, ini masalah internal
dan tidak terkait dengan soal saham dan pemberangusan aktivis serikat pekerja.
Bagi kami, "Solidaritas Hitam" yang coba dibangun pemimpin Kompas ini amat menyesatkan.
Sebab, hal itu sama saja dengan membangun sebuah blokade pemberitaan dan merupakan
pelangaran hak masyarakat untuk tahu yang dijamin oleh konstitusi khususnya amandemen pasal
28F UUD 45 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh
informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."
Terlebih dalam pasal 6 (a) UU No 40/19 juga secara tegas dikatakan, bahwa fungsi pers
bertujuan: "(a): memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;"
Selain itu, kami menolak upaya Pemimpin Redaksi Kompas yang mencoba mengalihkan isu bahwa
pemecatan Bambang Wisudo merupakan urusan internal dan tidak terkait dengan pemberangusan
Bambang Wisudo selaku aktivis serikat pekerja.
Jelas, pemecatan dan kekerasan yang dialami Bambang Wisudo terkait dengan aktivitasnya
sebagai aktivis Serikat Pekerja Perkumpulan Karyawan Kompas. Karena itu ini merupakan
masalah publik dan bukan soal internal.
Dan, amatlah sulit dipungkiri, bahwa mutasi saudara Wisudo yang diakhiri dengan kekerasan dan
pemecatan pada Jumat (8/12/2006) malam lalu, terkait dengan kegiatan Bambang Wisudo
sebagai aktivis serikat pekerja saat ia menyebarkan leaflet yang berisi surat penolakannya
dimutasi.
Sebab, jelas mutasi itu dilakukan sebagai upaya balas dendam manajemen Kompas karena selaku
Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas, sebuah serikat pekerja yang resmi terdaftar di
Dapnaker, Bambang Wisudo dkk berhasil memaksa manajemen Kompas menjelaskan saham
kepemilikan karyawan sebesar 20 persen.
Apalagi seorang pimpinan Kompas lebih dari sekali mengatakan bahwa ini adalah upaya
rehabilitasi terhadap saudara Bambang Wisudo. Apalagi mutasi itu dilakukan mulai 1 Desember
2006, sementara masa kepengurusan Bambang Wisudo sebagai sekretaris PKK baru berakhir

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

15 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

Februari 2007.
Bambang sadar dalam pasal 28 UU No 21/2000 Serikat Pekerja disebutkan: Siapapun dilarang
menghalang-halangi atau memaksa pekerja untuk tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja
dengan cara (a) melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara atau
melakukan mutasi dan (c) melakukan intimidasi dalam bentuk apapun.
Sementara sanksi hukuman atas pelanggaran pasal 28 seperti diatur dalam Pasal 43 UU Serikat
Pekerja adalah pidana penjara dengan ancaman maksimal 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Dengan sejumlah pelanggaran yang secara telanjang dilakukan manajemen Kompas baik secara
pidana, ketenagakerjaan, UU Serikat Pekerja, UU Pers, maka Komite Aksi Pemberangusan Serikat
Pekerja (KOMPAS) dengan ini menegaskan:
1. Mengecam keras penolakan hak jawab dan upaya pemblokadean berita oleh pemimpin redaksi
Kompas
2.Mengutuk kekerasan dan penyanderaan yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang
Wisudo.
3.Mengutuk tindakan anti demokrasi dan anti serikat pekerja yang dilakukan manajemen Kompas
terhadap Bambang Wisudo.
4. Mendesak aparat kepolisian untuk mengusut dan menangkap pelaku kekerasan terhadap
Bambang Wisudo, termasuk para pimpinan Kompas yang memberi instruksi aksi kekerasan
tersebut
5. Menolak PHK sepihak yang dilakukan manajemen Kompas terhadap Bambang Wisudo karena
aktivitasnya sebagai pengurus serikat pekerja di Harian Kompas.
6. Mendesak aparat kepolisian untuk menindak secara hukum sikap antiserikat pekerja yang
dipraktikkan manajemen Kompas.
7. Menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk bergabung melawan kesewenangwenangan yang dilakukan oleh manajemen Kompas.
Sebelum semua tuntutan ini dipenuhi, Komite Anti Pemberangusan Serikat Pekerja (KOMPAS)
akan tetap meneruskan aksi. Baik itu berupa aksi massa, mengadukan kasus ini ke Dewan Pers,
DPR, Depnaker, serta melakukan gugatan hukum baik itu gugatan pidana, perdata dan Pengadilan
Perselisihan Hubungan Industrial.
Jakarta, 16 Desember 2006
Edy Haryadi
Kordinator
posted by KOMPAS @ 11:56 PM

0 comments

Thursday, December 14, 2006

Wisudo: "Saya Mencintai Kompas"


Rabu, 13 Desember 2006,
Pukul: 16:43:14 WIB

"Saya Mencintai Kompas"


"Sampai umur saya 50 tahun saya akan tetap memperjuangkan pencabutan PHK ini,"kata
wartawan Kompas yang baru di-PHK tersebut.
Jakarta, Rakyat Merdeka. Bambang Wisudo wartawan Kompas yang baru di-PHK menegaskan
sikapnya.
"Saya ini mencintai Kompas, sampai hari ini saya bukan tergolong orang yang membenci
Kompas," kata Wisudo dalam testimoni atas kasus PHK yang menimpa dirinya, di kantor LBH
Jakarta, Rabu (13/13).
Wisudo menambahkan, meski sudah di-PHK, dirinya masih merasa sebagai orang Kompas. Dia
tidak merasa bahwa PHK terhadap dirinya adalah keputusan final, melainkan sebagai sebuah
keputusan dari segelintir pimpinan perusahaan yang tidak mengerti nilai-nilai Kompas.
"Bukan institusi Kompas secara keseluruhan yang salah, tetapi segelintir orang saja di dalam
manajemen perusahaan. Oleh karena itu, saya harus mengingatkan Pak Jacob Oetama soal itu,"
kata Wisudo kepada wartawan.
Wisudo menambahkan, Kompas dibawah kendali orang-orang yang salah semakin menjadi
institusi yang tidak demokratis. "Setiap hari yang dikembangkan di ruang redaksi adalah rasa
ketakutan. Orang mau ngomong (soal hak-haknya) saja harus bisik-bisik," tukasnya.
Hal itu disebabkan karena Kompas sudah kental kepentingan bisnisnya, ketimbang kepentingan
mengemban amanat hati nurani rakyat. "Ini berbeda dengan Kompas era 1980-an, dimana
bisnisnya jalan, tapi juga pro rakyat," kata anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tersebut.
Wisudo menegaskan, dirinya akan terus memperjuangkan agar keputusan PHK terhadap dirinya
dicabut. Tawaran "jalan tengah" atau win-win solutions yang menjadi khas dalam penyelesaian
sengketa perburuhan di Kompas, kata Wisudo, akan ditolaknya.
"Sampai umur saya 50 tahun saya akan tetap memperjuangkan pencabutan PHK ini," kata
Wisudo. Kamis besok (14/12), wartawan Kompas yang berjam terbang lebih dari 15 tahun itu
akan menuliskan kisahnya di situs ini. adi
posted by KOMPAS @ 9:41 PM

0 comments

Lily: "Wisudo Pernah Menolong Saya..."


(pengantar redaksi: seorang mantan wartawan Kompas dengan segala ketulusan dan
keberaniannya menyatakan dukungan atas Bambang Wisudo di sebuah milis. Bambang sendiri kini
tengah diserang kanan-kiri di berbagai milist, terutama oleh mereka yang merasa terganggu dan
terancam kemapanannya. Surat dukungan ini merupakan setetes air segar di tengah upaya
disinformasi yang dilakukan beberapa orang untuk membenarkan tindak kekerasan manajemen
Kompas terhadap Bambang Wisudo).
Salam,
Saya Lily Yulianti Farid, mantan wartawati Kompas di Makassar (1996-2000), memilih keluar dari
Kompas setelah mendapat SK Karyawan penuh, dengan alasan: mendapat beasiswa ke Australia
sementara Pihak Manajemen tidak mengijinkan bersekolah ke luar negeri. Alasannya karena
dianggap terlalu muda dan masih karyawan baru (menurut ucapan lisan seorang petinggi Kompas
waktu itu kepada saya, saat menanyakan alasannya). "Anda kalau bekerja lama di sini nanti juga
akan bisa disekolahkan oleh perusahaan.. .tapi kalau dapat beasiswa wah itu lain lagi.." (kalimat
ini saya catat baik-baik di tahun 2000)
Waktu itu Mas Wisudo yang mengangkat persoalan kasus saya ini lewat serikat pekerja. Mas Wis
juga yang membahasnya di milis internal karyawan Kompas secara panjang lebar.
Seingat saya hanya Mas Wis dan segelintir orang yang memberi dukungan terbuka dan
mempertanyakan soal aturan wartawan bersekolah ke luar negeri (well, dalam kasus saya lebih
tepatnya: wartawan daerah yang sekolah ke luar negeri). Beberapa wartawan senior lain
menunjukkan simpati. Di hari terakhir bekerja, kebetulan saat itu saya bertugas di Jakarta, Mas
Wis mendatangi saya dan bertanya apakah keputusan saya sudah bulat meninggalkan Kompas,
dan mengatakan tidak seharusnya Kompas bersikap sekaku ini dalam kasus wartawan yang ingin
sekolah ke luar negeri dengan beasiswa yang sama sekali tidak membebani perusahaan satu sen

4/2/2015 6:51 PM

KOMPAS INSIDE: December 2006

16 of 16

http://kompasinside.blogspot.com/2006_12_01_archive.html

pun. Waktu itu tawaran saya cuti di luar tanggungan selama sekolah pun tidak dipertimbangkan.
Pilihannya: tetap bersama Kompas atau memilih tawaran beasiswa itu.
Saya memilih sekolah. Dan ini membuat teman-teman seangkatan saya waktu itu terperangah. Di
zaman saya, menjadi wartawan daerah itu penuh penderitaan. Kami meniti karir dari calon
koresponden, lalu menjadi koresponden, baru kemudian diangkat wartawan/karyawan penuh.
Saya mulai bergabung dengan Kompas di Makassar Oktober 1996 baru diangkat karyawan penuh
tahun 2000. Nasib wartawan daerah ini pun menjadi agenda perjuangan Mas Wisudo. Berbeda
dengan teman-teman di Jakarta yang jenjang karirnya jelas, nasib kami terkatung-katung serba
tak jelas. Dengar-dengar sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik, karyawan baru diangkat pun
sudah bisa ikut short-course ke luar negeri...Syukurlah kalau memang benar begitu.
Waktu itu saya katakan ke Mas Wis, bila saya disuruh memilih, saya ingin sekolah, saya ingin
tumbuh sebagai manusia, tidak ingin sekadar menjadi kode di akhir berita, di halaman surat kabar
paling berpengaruh di Indonesia dan berpuas diri dengan itu. Saya ingin berkembang. Dan untuk
itu saya memilih melanjutkan sekolah. Apakah saya kecewa terhadap Kompas? Saya kecewa tapi
tidak dendam :)
Waktu mengambil keputusan itu ya, saya sedih luar biasa bukan karena harus keluar dari Kompas
(padahal baru diangkat sebagai karyawan penuh setelah mengabdi 5 tahun sbg karyawan lepas!),
tapi lebih karena citra Kompas yang waktu itu saya anggap pasti mendorong setiap wartawannya
mengembangkan diri, memperdalam ilmu, dan betul-betul mewujudkan sosok wartawanintelektua l, yang rasanya makin sulit dilahirkan dalam kondisi kerja industri pers di Indonesia
seperti sekarang ini. Tidak diizinkan bersekolah adalah sesuatu yang tidak pernah terpikir dalam
benak saya, waktu itu.
Jadi betul kata Mas Satrio, ini soal image, soal citra KOMPAS. Kasus Mas Wis kembali akan
menggarisbawahi lagi persoalan citra ini. Saya tentu berusaha melihat persoalan Mas Wis dengan
jernih. Kita harus melihat perkembangan kasusnya, Mas Tom (Suryopratomo) sudah bicara ke
pers membantah semua tudingan Mas Wis. Dan kemarin sore saya menelepon Mas Wis memberi
dukungan moral atas pilihannya untuk terus melawan, ia mengeluh: "Saya diisukan melakukan ini
semua demi uang, demi pesangon yang besar..apa iya saya semurah itu?"
Untuk kabar miring seperti itu, saya akan membantu Mas Wis membantah dugaan murahan
seperti itu. Saya kenal Mas Wis sebagai wartawan senior idealis yang masih mau rela
berlelah-lelah menyisihkan waktu menyuarakan hak pekerja, di saat kami semua, wartawan
lainnya lebih senang tidur nyaman di "comfort zone" : cukuplah menjadi kode (eh sekarang sudah
by line ya..) di koran terkemuka dan paling berpengaruh di tanah air. Kalau pun ingin menggerutu
soal manajemen dan segala sengkarutnya, ya cukup gerutuan lirih yang jangan sampai
menimbulkan resiko dan menghambat karir serta promosi jabatan.
Teman-teman Kompas tentu terbelah-belah, ada yang menyalahkan sikap keterlaluan Mas Wis
yang membagi-bagikan foto copy suratnya ke Pak JO, ada yang mendukung tapi dalam hati saja,
ada yang diam saja ikut arah angin. Jadi untuk orang-orang di luar Kompas, melihat persoalan ini
sangat tergantung dari mana anda mendapatkan informasi. Saya mendapat masukan dari
karyawan yang tidak mengikuti jejak jatuh bangunnya serikat pekerja di Kompas, dan
celotehannya adalah: "Lah..dipindah tugas ke Ambon kok gak mau, sekarang malah menjelekjelekkan perusahaan.. kan Mas Wis sendiri yang harus patuh pada kontrak kerja karyawan..."
Tapi dari sejumlah wartawan senior yang diam-diam dan terang-terangan mendukung Mas Wis,
saya mendapat komentar "Drama hari Jumat itu memang luar biasa. Rasanya tidak percaya
manajemen harus bertindak sejauh ini..."
Dari pihak manajemen Kompas sendiri, mereka sudah punya setumpuk alasan mengapa tiba pada
keputusan memecat Mas Wis. Kita baca di media massa: masalah internal biasa, masalah
ketidakdisiplinan dan ketidakpatutan.
Untuk Mas Wis, selamat berjuang. Untuk Manajemen Kompas: Mata hati, kata hati, (mengutip
mottonya..hehehe)
salam,
ly
Tokyo
posted by KOMPAS @ 9:31 PM

0 comments

Copyrights @ Kompas Inside 2006

http://rpc.technorati.com/rpc/ping <

4/2/2015 6:51 PM

You might also like