You are on page 1of 9

MOBILISASI LANJUT SEBAGAI TERAPI REHABILITASI JANTUNG

SAAT DISCHARGE PLANNING PADA PASIEN KARDIOVASKULER


BAB I
LATAR BELAKANG
Penyakit Jantung terutama penyakit jantung koroner tidak hanya penyakit
yang persebarannya tinggi, tapi juga merupakan penyakit yang sangat mematikan.
Hanya sedikit jenis penyakit jantung lain yang mempunyai dampak serupa dengan
penyakit jantung koroner. Gejala-gejala utama dari penyakit ini adalah sakit dada
hebat, myocardiac infark (myocardial infraction/MI), arrhythmia, dan serangan
jantung (Haslett, 2002).
Penyakit jantung jumlahnya naik pesat dalam 20 tahun belakangan dan
telah menjadi salah satu penyebab kematian utama di dunia. Di Amerika Serikat,
ditemukan fakta 25 % laki-laki dan 38 % wanita meninggal dalam waktu satu
tahun setelah serangan pertama kegagalan Myocardial. Persentase resiko
pasiennya 15 kali lipat mengalami morbiditas dan kematian. Dalam 6 tahun
setelah MI, sebanyak 18 % laki-laki dan 35% wanita mengalami kembali serangan
jantung, 6% laki-laki dan 7% wanita mengalami kematian mendadak, kemudian
22% laki-laki dan 46 % wanita mengalami gagal jantung serta 8% laki laki dan
11% wanita menderita stroke. Selain itu, 2/3 pasien MI tidak dapat kembali ke
keadaan semula dan menderita cacat permanen yang premature (American heart
association 2004). Demikian pula di Britannia raya, 6 tahun setelah MI ditemukan
sejumlah 23% laki laki dan 31% perempuan mengalami MI lanjutan, 41% lakilaki dan 34 % wanita menderita sakit hebat di dada serta 20 % pasien menderita
cacat sebagai akibat gagal jantung. (McMurray, 1998).
Penanganan klinis terhadap penyakit ini seperti angina pectoris dan
myocardial infark seringkali memberikan beban fisiopsikososial tersendiri kepada
penderita. Untuk itu diperlukan strategi penanganan yang tearah kepada proses
penyembuhan dan pencegahan yang mampu menanggulangi dampak lanjutan atau

bahkan kematian serta meningkatkan status kesehatan pasien dan membantu


pasien mengembangkan perilaku positif.
Oleh karena itu, perlu diberikan informasi kepada pasien agar mampu
mengenali tanda bahaya untuk dilaporkan kepada tenaga medis. Sebelum
pemulangan pasien dan keluarga harus mengetahui bagaimana cara memanajemen
pemberian perawatan di rumah dan apa yang diharapkan di dalam memperhatikan
masalah fisik yang berkelanjutan karena kegagalan untuk mengerti pembatasan
atau implikasi masalah kesehatan (tidak siap menghadapi pemulangan) dapat
meningkatnya komplikasi pada pasien (Perry & Potter, 2006).
Orem (1985 dalam Alligood & Tomey, 2006) mengatakan bahwa
intervensi keperawatan dibutuhkan karena adanya ketidak mampuan untuk
melakukan perawatan diri sebagai akibat adanya keterbatasan. Salah satu bentuk
intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah discharge planning
(perencanaan pemulangan pasien)

untuk mempromosikan tahap kemandirian

tertinggi kepada pasien, teman-teman dan keluarga dengan menyediakan,


memandirikan aktivitas perawatan diri (The Royal Marsden Hospital, 2004).
Discharge planning yang tidak baik dapat menjadi salah satu faktor yang
memperlama proses penyembuhan dirumah (Wilson-Barnet & Fourdhan, 1982
dalam Torrance, 1997). Kesuksesan tindakan discharge planning menjamin pasien
mampu melakukan tindakan perawatan lanjutan yang aman dan realistis setelah
meningggalkan rumah sakit (Hou, 2001 dalam Perry & Potter, 2006). Mobilisasi
atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia yang harus terpenuhi, sehingga intervensi mobilisasi di rumah sakit bisa
dilanjutkan di rumah.

BAB II
LITERATURE PENUNJANG
A. Pengertian
Rehabilitasi jantung adalah program pemulihan setelah serangan jantung
atau setelah tindakan invasif pada jantung yang berupa evaluasi medis,
penyusunan program latihan, modifikasi faktor resiko, edukasi dan konseling
mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu
kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Tujuan mobilisasi adalah memenuhi
kebutuhan dasar (termasuk melakukan aktifitas hidup sehari-hari dan aktifitas
rekreasi), mempertahankan diri (melindungi diri dari trauma), mempertahankan
konsep diri, mengekspresikan emosi dengan gerakan tangan non verbal. Immobilisasi
adalah suatu keadaan di mana individu mengalami atau berisiko mengalami
keterbatasan gerak fisik. Mobilisasi dan immobilisasi berada pada suatu rentang.
Immobilisasi dapat berbentuk tirah baring yang bertujuan mengurangi aktivitas fisik
dan kebutuhan oksigen tubuh, mengurangi nyeri, dan untuk mengembalikan
kekuatan. Individu normal yang mengalami tirah baring akan kehilangan kekuatan
otot rata-rata 3% sehari (atropi disuse).

Kozier (2004) mendefinisikan discharge planning sebagai proses


mempersiapkan pasien untuk meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit
yang lain di dalam atau di luar suatu agen pelayanan kesehatan umum.
Sedangkan Jackson (1994, dalam The Royal Marsden Hospital, 2004)
menyatakan bahwa discharge planning merupakan proses mengidentifikasi
kebutuhan pasien dan perencanaannya dituliskan untuk memfasilitasi
keberlanjutan suatu pelayanan kesehatan dari suatu lingkungan ke lingkungan
lain.

Rondhianto

(2008)

mendefenisikan

discharge

planning

sebagai

merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien


dan keluarganya tentang hal^hal yang perlu dihindari dan dilakukan
sehubungan dengan kondisi/penyakitnya pasca bedah.

Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima di


suatu agen pelayanan kesehatan, terkhusus di rumah sakit dimana rentang
waktu pasien untuk menginap semakin diperpendek. Discharge planning yang
efektif seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan
informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah-ubah,
pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan kebutuhan
pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan
(Kozier, 2004).
B. Pemberi Layanan Discharge planning
Proses discharge planning harus dilakukan secara komprehensif dan
melibatkan multidisiplin, mencakup semua pemberi layanan kesehatan yang
terlibat dalam memberi layanan kesehatan kepada pasien (Perry & Potter,
2006). Discharge planning tidak hanya melibatkan pasien tapi juga keluarga,
teman-teman, serta pemberi layanan kesehatan dengan catatan bahwa
pelayanan kesehatan dan sosial bekerja sama (Nixon et al, 1998 dalam The
Royal Marsden Hospital, 2004).
Seseorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator asuhan
berkelanjutan (continuing care coordinator) adalah staf rtunah sakit yang
berfungsi sebagai konsultan untuk proses discharge planning

bersamaan

dengan fasilitas kesehatan, menyediakan pendidikan kesehatan, dan


memotivasi staf mmah sakit untuk merencanakan dan mengimpiementasikan
discharge planning

(Discharge Planning Association, 2008).

C. Proses Pelaksanaan Discharge Planning


Proses discharge planning mencakup kebutuhan fisik pasien, psikologis,
sosial, budaya, dan ekonomi. Perry dan Potter (2006) membagi proses discharge
planning atas tiga fase, yaitu akut, transisional, dan pelayanan berkelanjutan. Pada
fase akut, perhatian utama medis berfokus pada usaha discharge planning .
Sedangkan pada fase transisional, kebutuhan pelayanan akut selalu terlihat, tetapi
tingkat urgensinya semakin berkurang dan pasien mulai dipersiapkan untuk
pulang dan merencanakan kebutuhan perawatan masa depan. Pada fase pelayanan
berkelanjutan, pasien mampu untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan

pelaksanaan

aktivitas

perawatan

berkelanjutan

yang

dibutuhkan

setelah

pemulangan. Perry dan Potter (2005) menyusun format discharge planning


sebagai berikut :
a) Pengkajian
b) Diagnosa Keperawatan
c) Perencanaan
Hasil yang diharapkan jika seluruh prosedur telah lengkap dilakukan
adalah sebagai berikut :
1) Pasien atau keluarga sebagai care giver mampu menjelaskan bagaimana
keberlangsungan pelayanan kesehatan di ntmah (atau fasilitas lain),
penatalaksanaan atau pengobatan apa yang dibutuhkan, dan kapan
mencari pengobatan akibat masalah yang timbul.
2) Pasien mampu mendemonstrasikan aktivitas perawatan diri (atau anggota
keluarga mampu melakukan aturan perawatan).
3) Rintangan kepada pergerakan pasien dan ambulasi telah diubah dalam
setting mmah. Hal-hal yang dapat membahayakan pasien akibat kondisi
kesehatannya telah diubah.
d) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

dapat

dibedakan

dalam

dua

bagian,

yaitu

penatalaksanaan yang dilakukan sebelum hari pemulangan, dan penatalaksanaan


yang dilakukan pada hari pemulangan. Pada saat

discharge planning

diinformasikan mengenai penatalksaan mobilisasi lanjut yang dapat dilakukan


dirumah.
Program latihan :
1.
Menghitung denyut nadi awal, untuk mengetahui kondisi kardiovaskuler
2.

saat itu.
Senam pemanasan berupa latihan peregangan disertai latihan pernafasan

3.

yang berlangsung sekitar 5-10 menit.


Latihan utama berupa jalan kaki, jogging, lari, bersepeda sekitar 20-30

4.

menit, sesuai dengan dosis latihan.


Senam pendinginan berupa latihan pernafasan ataupun teknik-teknik

5.

relaksasi selama 5-10 menit.


Menghitung nadi akhir latihan

Latihan minimal dilakukan 3 kali seminggu dengan teratur, dengan


ketaatan latihan tiadak boleh kurang dari 70% dalam sebulan.
Program Rehabilitasi Lanjutan
Fase I
Tujuan: mempersiapkan pasien agar dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara
mandiri dirumah setelah keluar dari rumah sakit.
Pada pasien yang tidak dioperasi, program rehabilitasi akan diberikan
sesegera mungkin di Ruang Perawatan Intensif Kardiovaskuler begitu kondisi
jantung pasien sudah dinyatakan stabil oleh dokter. Sedangkan untuk pasien yang
akan menjalani operasi, program rehabilitasi mulai diberikan minimal satu hari
sebelum hari operasi dan dilanjutkan satu hari kemudian setelah operasi. Program
yang diberikan akan ditingkatkan secara bertahap setiap harinya, sesuai
kemampuan pasien serta dievaluasi secara medis.
Fase II
Tujuan: Mempersiapkan pasien untuk kembali bekerja atau kembali pada aktivitas
semula. Lama : 4 - 8 minggu
Program rehabilitasi fase II dimulai sesegera mungkin setelah pasien
pulang ke rumah. Program latihan dilaksanakan 3 kali seminggu. Pada awal
latihan pasien dipasang alat monitor Telemetri untuk mengetahui respon jantung
terhadap dosis latihan awal yang diberikan. Apabila respon dari jantung selama
latihan normal, maka pada kunjungan berikutnya tidak diperlukan pemasangan
alat monitor Telemetri. Pada akhir fase II keseluruhan program yang telah
diberikan akan evaluasi, antara lain dengan menggunakan treadmil atau sepeda
ergometer. Hasil tes ini nantinya akan dipakai sebagai pedoman dasar untuk
latihan selanjutnya di fase III
Fase III
Tujuan: Untuk mempertahankan kondisi yang telah dicapai sekarang dan
mencegah terjadinya serangan berulang.
Berbeda dengan latihan sebelumnya, pada fase ini pasien dapat melakukan
latihannya sendiri di rumah atau bergabung dengan Klub Jantung Sehat.
Disamping itu diperlukan pula sarana yang memadai, diantaranya:
1. Ruangan latihan
2. Alat latihan (ergocycle, treadmill,dll)
3. Dokumen untuk monitoring dan evaluasi.
e) Evaluasi

GAMBARAN DIRUANGAN
Cardiac Intensive Care Unit merupakan ruang untuk perawatan pasien
dengan masalah jantung. Rata-rata lama rawat di R. CICU adalah
Perawat ruangan seringkali mengingatkan pasien yang akan pulang untuk
memenuhi jadwal control rutin ke pelayanan kesehatan dan rutin meminum obat
sesuai jadwalnya serta membatasi aktivitas yang berat.
Selain itu, perawat juga melengkapi surat-surat yang diperlukan pasien
seperti surat control, obat-obat yang telah diresepkan dan dokumen pemeriksaan
penunjang pasien seperti foto rontgen, hasil laboratorium dan lain-lain.
KESESUAIAN DENGAN LITERATURE
Selama 6 hari kami dinas di ruang CICU, perawat ruangan sudah
melakukan discharge planning tetapi pemberian informasi mengenai mobilsasi
lanjut yang harus dilakukan dirumah belum dilakukan.
PERMASALAHAN
Saat discharge planning di ruang CICU belum dilakukan pemberian
informasi mengenai mobilisasi lanjut yang harus dilakukan dirumah.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Rehabilitasi jantung adalah program pemulihan setelah serangan jantung
atau setelah tindakan invasif pada jantung yang berupa evaluasi medis,
penyusunan program latihan, modifikasi faktor resiko, edukasi dan konseling
mobilisasi atau kemampuan seseorang untuk bergerak bebas merupakan salah satu

kebutuhan dasar manusia yang harus terpenuhi. Rehabilitasi jantung tidak hanya

harus dilakukan dirumah sakit tetapi sangat dianjurkan untuk dilakukan dirumah
pasca perawatan. Sehingga perlu ditambahkan dalam program discharge planning
mengenai mobilisasi lanjut yang dapat dilakukan dirumah.
Perawat adalah salah satu anggota tim disharge planning dan sebagai
discharge planner perawat mengkaji setiap pasien dengan mengumpulkan dan
menggunakan data yang berhubungan untuk mengidentifikasi masalah aktual dan
potensial, menentukan tujuan dengan atau memulihkan kembali kondisi pasien
secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan asuhan keperawatan.
Berdasarkan hasil studi literature ditemukan bahwa pada pasien
kardiovaskuler di London yang hanya melakukan latihan saja, angka kematian
menurun hingga 27 %. Sedangkan pasien kardiovaskuler yang melakukan latihan
dan rehabilitasi jantung yang komprehensif angka kematiannya menurun hingga
31 % (Jollieff and Rees, 2009). Selain itu, berdasarkan hasil penelitian di Jepang
bahwa fase 3 dari rehabilitasi jantung meiliki keuntung yang efktif untuk
mengurangi serangan jantung berulang pada pasien lansia dengan CAD (Onishi
dkk, 2010)
Saran
1. Ruangan bisa mempraktekan dan melaksanakan discharge planning secara
optimal
2. Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk membuat
media informasi yang dapat di gunakan saat perawatan di rumah terutama
mengenai mobilisasi lanjut pada pasien kardiovaskuler untuk dilakukan
dirumah

DAFTAR PUSTAKA
Adiantoro, Heru. 2010. Discharge Planning dan Rehabilitasi pada Pasien
Kardiovaskuler. Jombang: Insan Cendikia Medika
Bowles, Kathryn H. 2000. Patient Problem and Nurse Interventions During Acute
Care and Discharge Planning. Available at http://proquest.umi.com/pqdweb
(diakses tanggal 25 Juli 2010 jam 22.00 WIB)
Perry & Potter. 2006. Dasar-Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

You might also like