Professional Documents
Culture Documents
PSIKOGERIATRI
Disusun oleh:
Anindita Putri H.
G99141012
Siska Dewi A.
G99141013
Candra Aji S.
G99141014
Avamira Rosita P.
G99141015
Elizabeth Puji Y.
G99141016
Pembimbing:
Istar Yuliadi, dr., M.Si
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
refrat yang berjudul: Psikogeriatri. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan
penyusunan refrat ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa bimbinan
dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan refrat ini.
Semoga refrat ini bermanfaat bagi kita semua.
Februari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
ii
Daftar isi
iii
BAB I Pendahuluan
B. Proses Penuaan
11
14
15
15
B. Penyakit Kronis
17
18
D. Kemandirian Fisik
18
E. Religi
18
F.
18
Dukungan Sosial
G. Status Gizi
19
19
20
20
22
28
30
A. Demensia
30
B. Gangguan Depresif
35
C. Gangguan Bipolar
37
D. Skizofrenia
38
E. Gangguan Delusional
41
F.
42
Gangguan Kecemasan
G. Gangguan Somatoform
44
H. Gangguan Tidur
45
I.
47
49
55
55
56
58
D. Perubahan Minat
58
59
60
A. Terapi Psikofarmakologis
60
B. Psikoterapi
61
BAB IX Kesimpulan
63
Daftar Pustaka
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari dan menangani
masalah kesehatan pada usia lanjut. Psikiatri geriatrik atau psikogeriatri adalah
psikiatri mengenai orang usia lanjut (Maramis, 2009). Pada psikogeriatri
dipelajari mengenai pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologik atau psikiatri pada lanjut usia. Saat ini disiplin ini sudah berkembang
menjadi suatu cabang psikiatri, analog dengan psikiatri anak. Usia lanjut bukanlah
sebuah penyakit melainkan sebuah fase dalam siklus kehidupan yang memiliki
karakter tersendiri pada setiap fase perkembangan. Usia lanjut terkait dengan
matangnya pemikiran yang bijak yang bisa diwariskan kepada generasi
berikutnya, salah satu tugas pada usia lanjut yang dikemukakan oleh Erik Erikson
tentang usia lanjut yang sehat yaitu integritas dan bukan putus asa.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan hasil
dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes RI pada
tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun dan pada
laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun 2015 sampai
2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia mencapai 24 juta
jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk.
Beberapa masalah khusus dalam usia lanjut
(penyakit) yang berhubungan dengan usia lanjut, kehilangan dalam bidang sosial
ekonomi (pensiun dari pekerjaan), masalah seks pada usia lanjut bila terdapat
anggapan-anggapan yang keliru, dll (Maramis, 2009). Masalah-masalah tersebut
dapat mempengaruhi kondisi psikologis pada orang usia lanjut.
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang berlaku
pada dewasa muda. Namun dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien
mengerti sifat dan tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan
kognitif pada pasien lanjut usia. Diagnosis dan terapi gangguan mental pada lanjut
usia memerlukan pengetahuan khusus, karena kemungkinan perbedaan dalam
manifestasi klinis, patogenesis dan patofisiologi gangguan mental antara
patogenesis dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia
juga perlu dipertimbangkan, antara lain sering adanya penyakit dan kecacatan
medis kronis penyerta, pemakaian banyak obat (polifarmasi) dan peningkatan
kerentanan terhadap gangguan kognitif.
Referat ini membahas secara singkat mengenai macam-macam gangguan
psikiatri yang mungkin terjadi pada pasien lanjut usia, berhubungan dengan
proses penuaan yang terjadi. Pemeriksaan psikiatri yang baik diperlukan untuk
dapat mendiagnosis gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia dan pengetahuan
akan
proses
penuaan
berpengaruh
terhadap
direncanakan.
penatalaksaan
yang
akan
BAB II
PROSES PENUAAN PADA LANJUT USIA
A. BATASAN LANJUT USIA
WHO (1989) telah mencapai konsensus bahwa yang dimaksud dengan
lanjut usia (elderly) adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih.
Menurut Departemen Kesehatan RI, batasan lanjut usia adalah seseorang
dengan usia 60-69 tahun. Sedangkan usia lebih dari 70 tahun dan lanjut usia
berumur 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan seperti kecacatan
akibat sakit disebut lanjut usia resiko tinggi.
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah membuahkan
hasil dengan meningkatnya populasi penduduk lanjut usia. Menurut Depkes
RI pada tahun 2005 tentang umur harapan hidup pada perempuan 68,2 tahun
dan pada laki-laki 64,3 tahun. Harapan hidup orang Indonesia pada tahun
2015 sampai 2020 mencapai 70 tahun atau lebih. Jumlah penduduk lanjut usia
mencapai 24 juta jiwa bahkan lebih atau sekitar 9,77% dari total penduduk.
Diperkirakan pada akhir tahun 2030, populasi penduduk lanjut usia
keseluruhan mencapai jumlah 70 juta dan pada tahun 2050 mencapai 82 juta.
B.
PROSES PENUAAN
Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi
seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan
kematian (Setiati et al., 2007).
Dalam beberapa dekade terakhir, perhatian dunia medis terhadap
proses penuaan dan permasalahan yang timbul pada orang usia lanjut
meningkat. Banyak penelitian dilakukan untuk lebih memahami proses
penuaan baik dari segi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Para peneliti
menyadari pentingnya membedakan proses penuaan yang fisiologis dan
penuaan yang bersifat patologis. Efek proses penuaan yang fisiologis penting
untuk dipahami sebagai dasar respons terhadap pengobatan atau terapi serta
komplikasi yang timbul.
Variabel-variabel fisiologis seperti kardiovaskuler, sistem imun,
endokrin, ginjal, dan paru, menunjukan penurunan fungsi dan perubahan
seiring dengan meningkatnya usia. Namun, perubahan pada salah satu organ
akibat usia tidak menjadikannya sebagai prediktor atau tolak ukur bahwa
akan terjadi perubahan-perubahan pada organ yang lainnya. Sebagai contoh,
seseorang yang tampak sehat pada usianya yang ke-60 ternyata ditemukan
curah jantungnya menurun. Hasil pemeriksaan tersebut tidak bernilai dalam
memprediksikan kapan ginjal, kelenjar tiroid, sistem saraf simpatis, atau
organ lain orang tersebut mengalami perubahan.
Perubahan fisiologis dengan tidak disertainya suatu penyakit yang
terjadi pada individu yang lebih tua merupakan hal yang tidak berbahaya dan
bukan merupakan suatu faktor risiko yang signifikan. Perubahan fisiologis
pada usia normal yang tidak disertai dengan penyakit sangat bervariasi.
Akan tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik seperti gaya hidup, diet,
aktivitas, nutrisi, paparan lingkungan, dan komposisi tubuh memegang peran
yang penting.
Perjalanan dari perubahan fisiologis
atau psikologis
dengan
tepat sasaran dan tidak membahayakan. Beberapa teori tentang menua yang
dapat diterima saat ini, antara lain :
1. Teori radikal bebas menyebutkan bahwa produk hasil
metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas) dapat
bereaksi dengan berbagai komponen penting selular, termasuk
protein, DNA dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak
berfungsi namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel
lainnya. Proses menua normal merupakan akibat kerusakan
jaringan oleh radikal bebas.
2. Teori glikosilasi yang menyatakan bahwa proses glikosilasi
nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein dapat
menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang
ermodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada hewan atau manusia
yang menua.
3. Teori DNA repair menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju
perbaikan kerusakan DNA yang diinduksi sinar UV pada berbagai
fibroblas yang dikultur.
Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dari
pengenalan
konsep
homeostenosis.
Homeostenosis
yang
merupakan
C.
Aspek Biologis
Penurunan postur
Aspek Psikologis
Penurunan daya
Aspek Sosial
Menjadi kakek-
Aspek Kognitif
Kemampuan
nenek
meningkatkan
pikir
fungsi intelektual
Penurunan massa
Penurunan
Merasakan
berkurang
Disorientasi
kemampuan
kematian dari
mengambil risiko
Peningkatan +/-
Berusaha
teman
Pensiun dari
Lambat dalam
mempertahankan
pekerjaan
mengingat kembali
lemak tubuh
gairah seksual
memori-
meskipun
memorinya
performa sudah
Atrofi kulit
Katarak
menurun
Rigiditas
Upaya
Mengalami
memperbanyak
tabungan
Mulai menarik diri
mengingat
Motivasi berubah
menjadi kebutuhan
keterlibatan
Eksentrik
Mulai kenal akan
Penebalan otot
kematian
Berbicara lebih
venrikel jantung
Penurunan
blak-blakan.
Lebih tergangtung
pada lingkungan
dan kekakuan
rambut silia
Perubahan irama
Takut untuk
sikardian
Aspek Biologis
Atrofi sel lambung
tinggal sendirian
Aspek Psikologis
Mudah cemas dan
Kerusakan
panik
Afek labil
selubung mielin
Penurunan
imunitas tubuh
Penurunan
kemampuan
perfusi ginjal
Menopause
Penurunan
produksi hormon
testosteron
Penurunan
performa seksual
Aspek Sosial
Aspek Kognitif
Tabel 1.
Tidak normal
Afek labil/ mudah emosi
Disorientasi
mengingat
Pikiran hipokondriasis ringan
Kewaspadaan yang sedikit berlebihan
Lambat dalam mengingat kembali
memorinya
Pembicaraan yang tampak seperti
penyampaian cerita
Tabel 2. Perubahan Normal dan Tidak Normal pada Lansia (Sakauye, 2008)
D.
BAB III
FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN
GANGGUAN MENTAL EMOSIONAL PADA LANSIA
A. Faktor Sosial Demografi
1. Umur
Menurut Koenig dan Blazer (2003) menjelaskan bahwa resiko
gangguan mental emosional pada pasien seseudah berusia 50 tahun lebih
disebabkan faktor biologi yang mungkin disebabkan perubahan pada
sistem syaraf pusat. Hal ini yang mungkin menyebabkan terjadinya
depresi. Menurut penelitian Marini (2008) umur lansia yang berusia diatas
70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental emosional.
2. Jenis Kelamin
Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis
kelamin, namun wanita lebih rentan terkena gangguan mental emosional
karena disebabkan perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara
laki-laki dan perempuan, selain perubahan hormonal, karakteristik wanita
yang lebih mengedepankan emosional dibandingkan rasional juga
memiliki peranan. Ketika menghadapi suatu masalah wanita cenderung
menggunakan perasaan (Marini, 2008).
3. Status Perkawinan
Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia
yang hidup sendiri baik karena bercerai atau memang tidak menikah.
Menurut Stuart dan Sandra (2001) bahwa orang yang cerai, pisah,
janda/duda atau belum kawin cenderung beresiko tinggi melakukan bunuh
diri dibanding yang sudah kawin.
4. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang makin tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial ekonomi
yang makin baik dan kemandirian yang makin mantap. Berdasarkan
penelitian Darmojo (1992) di Semarang didapatkan bahwa tingkat
pendidikan seorang usia lanjut berbanding positif langsung dengan tingkat
Status Pekerjaan
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia, ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses
belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat.
Sementara fungsi psikomotor (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi,
yang mengakibatkan lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009).
Tuckman dan Lorge (dikutip dari Stieglitz, 1954) menemukan
bahwa pada waktu menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara
orang-orang tua tersebut yang masih betul-betul ingin pensiun, sedangkan
sisanya sebenarnya masih ingin bekerja terus (Tamher dan Noorkasiani,
2009).
Pensiun setelah bertahun-tahun bekerja dapat membahagiakan dan
memenuhi harapan, atau hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan
fisik dan mental. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat
menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami
hari
yang
panjang.
Beberapa
lansia
tidak
termotivasi
untuk
Lansia yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar
BAB IV
PEMERIKSAAN PSIKIATRIK PADA PASIEN LANJUT USIA
Format pemeriksaan psikiatri pada pasien lanjut usia sama dengan yang
berlaku pada dewasa muda. Pasien yang lebih tua yang tidak memiliki riwayat
kejiwaan sebelumnya mungkin tidak nyaman dengan semacam pemeriksaan
psikiatri dan mengharapkan suatu pendekatan yang lebih bersifat medis. Beberapa
pasien orang tua kemungkinan justru menyampaikan keluhan fisik daripada
psikologis, terutama jika pasien mempunyai kondisi depresi atau cemas.
Dokter harus lebih teliti agar dapat memastikan pasien mengerti sifat dan
tujuan pemeriksaan dikarenakan tingginya prevalensi gangguan kognitif pada
pasien lanjut usia. Jika pasien mengalami gangguan kognitif, riwayat tersendiri
harus didapatkan dari anggota keluarga atau pengasuhnya. Namun, penderita juga
tetap harus diperiksa tersendiri (walaupun terlihat adanya gangguan yang jelas)
untuk mempertahankan privasi hubungan dokter dan penderita dan untuk
menggali adakah pikiran bunuh diri atau gagasan paranoid dari penderita yang
mungkin tidak diungkapkan dengan kehadiran sanak saudara atau seorang perawat
(Kaplan et al., 2009).
A. HISTORY TAKING
Prinsip-prinsip dalam history taking serupa dengan pada orang
dewasa umumnya: Membangun hubungan, membuat pasien merasa nyaman,
dan menjaga privasi serta kerahasiaan. Pendekatan medis sering diharapkan
dan disegani oleh pasien yang lebih tua. Banyak pasien lanjut usia yang tidak
akan mengungkapkan keluhan yang sebenarnya kecuali jika jelas ditanya
(Kaplan et al., 2009).
1. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien harus didorong untuk menggambarkan riwayat penyakit
dan gejala saat ini dalam sebuah wawancara terbuka, dengan pertanyaanpertanyaan yang lebih terstruktur. Onset dan perjalanan gejala harus
dievaluasi dalam kaitannya dengan perubahan lain termasuk kehilangan
ini
dapat
dijelaskan
dalam
istilah
benign
senescent
forgetfulness.
2. RIWAYAT PSIKIATRI
Evaluasi riwayat psikiatri harus mencakup perjalanan penyakit,
jenis pengobatan (psikoterapi, obat-obatan, terapi electroconvulsive) dan
respon
terhadap
perawatan
tersebut.
Riwayat
depresi,
gangguan
BAB V
EPIDEMIOLOGI GANGGUAN MENTAL PADA PASIEN LANJUT USIA
.
Data prevalensi untuk gangguan mental pada pasien lanjut usia bervariasi,
namun secara konservatif diperkirakan sebanyak 25% memiliki gejala psikiatri
yang signifikan. Angka morbiditas gangguan psikiatri pada pasien lanjut usia
diperkirakan meningkat hingga 20 juta pada pertengahan abad 20 nanti.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi
penduduk yang mengalami gangguan mental emosional berdasarkan Self
Reported Questionnarie secara nasional adalah 6,0% (37.728 orang dari subyek
yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental emosional tertinggi
adalah Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%).
Prevalensi gangguan mental emosional menurut umur pada laporan Riskesdas
2007 dan 2013 disajikan dalam grafik berikut.
memiliki pendidikan rendah (paling tinggi pada kelompok tidak sekolah, yaitu
21,6%), kelompok yang tidak bekerja (19,6%), tinggal di pedesaan (12,3%), serta
pada kelompok tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita terendah.
Riskesdas 2013 juga mengumpulkan data mengenai gangguan jiwa berat
(psikosis). Pada hasil riset, prevalensi psikosis tertinggi adalah di DI Yogyakarta
dan Aceh (masing-masing 2,7%), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat
(0,7). Prevalensi gangguan jiwa berat nasional sebesar 1,7 permil (Rikesdas,
2013).
BAB VI
GANGGUAN MENTAL PADA LANJUT USIA
Program Epidemiological Catchment Area (ECA) dari National Institude
of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mental yang paling sering
pada lanjut usia adalah gangguan depresi, gangguan kognitif, fobia dan gangguan
pemakaian alkohol (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b). Hal
ini juga diutarakan oleh WHO pada tahun 2013 bahwa masalah neuropsikiatri
yang banyak terjadi pada usia lanjut adalah demensia dan depresi dan gangguan
kecemasan (WHO, 2013).
WHO juga mengutarakan mengenai faktor risiko masalah kesehatan
mental pada usia lanjut. Banyak faktor sosial, psikologis, dan biologis yang
menentukan kesehatan mental seseorang pada beberapa keadaan tertentu. Perlu
diketahui bahwa banyak orang lanjut usia merasa kehilangan kemampuannya
untuk hidup secara bebas karena keterbatasan gerak, nyeri kronis, kelemahan atau
masalah mental dan fisik lainnya dan membutuhkan beberapa bentuk perhatian
dalam jangka panjang (WHO, 2013). Faktor resiko psikososial diantaranya adalah
hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian teman atau sanak saudara,
penurunan kesehatan, peningkatan isolasi, keterbatasan finansial dan penurunan
fungsi kognitif (Kaplan et al., 2010b). Lanjut usia juga memiliki resiko tinggi
untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat. Banyak gangguan mental pada
lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan atau bahkan dipulihkan namun jika tidak
didiagnosis dengan akurat dan diobati tepat waktu, kondisi tersebut dapat
berkembang menjadi keadaan ireversibel yang membutuhkan institusionalisasi
pasien (Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Kaplan et al., 2010b).
A. DEMENSIA
Demensia merupakan suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif
dan ireversibel, semakin meningkat prevalensinya seiring dengan bertambahnya
usia. Sekitar 5% dari penduduk Amerika yang masih berusia kurang dari 65 tahun
mengalami demesia yang parah dan sekitar 15% mengalami demensia ringan.
Sekitar 20% dari penduduk Amerika yang berusia lebih dari 80 tahun mengalami
demensia yang parah (Goldberg, 2015; Passmore, 2014).
Berbeda dengan retardasi mental, gangguan intelektual pada demensia
terjadi dengan berjalannya waktu yaitu fungsi mental yang sebelumnya telah
tercapai secara bertahap akan hilang. Perubahan karakteristik dari demensia
melibatkan fungsi kognisi, daya ingat, bahasa dan fungsi visuospasial, tetapi
gangguan perilaku adalah sering. Gangguan perilaku dapat berupa agitasi,
kegelisahan, berkelana, penyerangan, kekerasan, berteriak, disinhibisi sosial dan
seksual, impulsivitas, gangguan tidur dan waham. Waham dan demensia terjadi
selama perjalanan demensia pada hampir 75% dari semua pasien (Goldberg, 2015;
Passmore, 2014).
Walaupun demensia yang berhubungan dengan lanjut usia biasanya
disebabkan oleh penyakit degenerative primer sistem saraf pusat dan penyakit
vascular, banyak faktor berperan dalam gangguan kognitif, pada lanjut usia,
penyebab campuran dari demensia sering ditemukan (Goldberg, 2015; Passmore,
2014).
Demensia telah diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal,
tergantung pada letak lesi serebral. Suatu demensia subkortikal adalah ditemukan
pada penyakit Huntington, penyakit Parkinson, hidrosefalus tekanan normal,
demensia multi-infark, dan penyakit Wilson. Demensia subkortikal adalah disertai
dengan gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati
dan mutisme akinetik yang dapat dikacaukan dengan katatonia. Demensia kortikal
adalah ditemukan pada demensia tipe Alzheimer dan penyakit Pick, yang sering
menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Dalam praktek klinis, dua jenis
demensia ini tumpang tindih, dan diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan
otopsi (Goldberg, 2015; Passmore, 2014).
DEMENSIA TIPE ALZHEIMER
Dari semua pasien dengan demensia, 50-60% nya memiliki demensia tipe
Alzheimer, yang merupakan tipe demensia tersering. Prevalensi demensia tipe
Alzheimer adalah lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.
penyakit Alzheimer
adalah
tidak
diketahui,
walaupun
294.11
DEMENSIA VASKULAR
Demensia vaskular adalah tipe demensia kedua yang tersering. Demensia
ini ditandai oleh defisit kognitif yang sama seperti demensia tipe Alzheimer, tetapi
demensia ini memiliki tanda gejala neurologis fokal, seperti meningkatnya refleks
tendon dalam, respon plantar ekstensor, palsi pseudobulbar, kelainan gaya
berjalan, dan kelemahan pada anggota gerak. Dibandingkan dengan demensia tipe
Alzheimer, demensia vaskular memiliki onset yang tiba-tiba dan merupakan
penyebab pemburukan yang bertahap. Demensia vaskular mungkin dapat dicegah
dengan menurunkan factor resiko yang diketahui, seperti hipertensi, diabetes,
merokok, dan aritmia. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pencitraan resonansi
magnetik (MRI) dan pemeriksaan aliran darah serebral (Goldberg, 2015;
Passmore, 2014).
DEMENSIA VASKULAR 290.4X
A. Perkembangan defisit kognitif multipel yang dimanifestasikan oleh kedua hal
berikut:
1. Gangguan memori (gangguan kemampuan untuk belajar informasi
baru atau mengingat informasi yang sudah dipelajari sebelumnya)
2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut :
a.
afasia (gangguan bahasa)
b.
apraksia (gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas
c.
korteks
dan
substansia
putih
yang
mendasari)
yang
D.
Defisit tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu delirium.
Penulisan kode tambahan didasarkan pada gambaran yang predominan :
290.41
290.42
290.43
290.40
9.
B.
C.
gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi bidang penting lainnya.
D.
Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (misalnya
E.
hipotiroidisme).
Gejala tidak lebih baik dijelaskan oleh berduka yaitu setelah kehilangan
orang yang dicintai, gejala menetap lebih lama dari 2 bulan atau ditandai oleh
gangguan fungsional yang nyata, preokupasi morbid dengan perasaan tidak
berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik, atau retardasi psikomotor.
Tabel 5. Episode Depresi Mayor (APA, 2000)
C. GANGGUAN BIPOLAR
Gangguan bipolar I biasanya dimulai pada masa dewasa pertengahan,
walaupun prevalensi seumur hidup sebesar 1% adalah stabil sepanjang hidup.
Kerentanan akan rekurensi tetap, sehingga pasien dengan riwayat gangguan
bipolar I mungkin datang dengan periode manik di kemudian hari.
Tanda dan gejala mania pada lanjut usia adalah serupa dengan tanda dan
gejala pada orang dewasa yang lebih muda dan berupa mood yang meninggi,
ekspansif,
atau
mudah
tersinggung;
penurunan
kebutuhan
akan
tidur;
disorientasi,
atau
tingkat
kesadaran
yang
berfluktuasi
harus
Efek neurotoksik juga lebih sering pada lanjut usia dibandingkan pada dewasa
yang lebih muda (Robinson et al., 2014).
GANGGUAN BIPOLAR I, EPISODE MANIK TUNGGAL 296.0X
A. Terdapat hanya satu Episode Manik dan tidak ada Episode Depresi Mayor
sebelumnya. Rekurensi didefinisikan sebagai suatu perubahan polaritas dari
depresi atau suatu interval paling kurang 2 bulan tanpa gejala manik.
B. Episode Manik tidak lebih baik dijelaskan oleh Gangguan Skizoafektif dan
tidak bertumpang tindih dengan Skizofrenia, Gangguan Skizofreniform,
Gangguan Waham, atau Gangguan Psikotik Yang Tidak Ditentukan.
Tabel 5. Gangguan Bipolar I, Episode Manik (APA, 2000)
D. SKIZOFRENIA
Skizofrenia biasanya mulai pada masa remaja akhir atau masa dewasa
muda dan menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia onset
lambat dibandingkan laki-laki. Prevalensi skizofrenia paranoid tinggi pada tipe
onset lambat.
dan Gangguan Mood Dengan Ciri Psikotik disingkirkan karena salah satu dari
(1) tidak ada Episode Depresi Mayor, Manik, atau Campuran yang terjadi
secara bersamaan dengan gejala fase aktif; atau (2) jika episode mood terjadi
selama gejala fase aktif, durasi seluruhnya relatif singkat dibandingkan durasi
periode aktif dan residual.
E.
Penyingkiran kondisi medis umum/ zat: Gangguan bukan karena efek
fisiologis langsung dari zat (misalnya penyalahgunaan zat atau pengobatan)
atau suatu kondisi medis umum.
F.
Hubungan dengan Gangguan Perkembangan Pervasif: Jika terdapat
riwayat Gangguan Autistik atau Gangguan Perkembangan Pervasif lainnya,
diagnosis tambahan Skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi yang
menonjol juga timbul selama paling kurang satu bulan (atau kurang jika
berhasil diobati).
295.30 Skizofrenia Tipe Paranoid
Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:
1. Preokupasi dengan satu atau lebih waham atau halusinasi dengar yang
berulang kali.
2. Tidak ada yang menonjol berikut ini : bicara kacau, perilaku kacau atau
katatonik, atau afek datar atau tidak sesuai.
295.10 Skizofrenia Tipe Disorganisasi/ Hebefrenik
Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:
1. bicara kacau
2. perilaku kacau
3. afek datar atau tidak sesuai
295.20 Skizofrenia Tipe Katatonik
Suatu tipe Skizofrenia dimana memenuhi kriteria berikut:
1. imobilitas motorik seperti yang dibuktikan oleh katapleksi (termasuk
fleksibilitas lilin) atau stupor
2. aktivitas motorik yang berlebihan (tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh
stimulus eksternal)
3. negativisme yang ekstrim (suatu resistensi tanpa motif terhadap seluruh
instruksi atau mempertahankan sikap tubuh yang kaku melawan upaya
untuk digerakkan) atau mutisme
4. gerakan volunter yang aneh seperti yang dibuktikan oleh posturing
(dengan sengaja mengambil sikap tubuh yang tidak sesuai atau aneh),
gerakan stereotik, mannerisme yang menonjol, atau meringis yang
menonjol
5. ekolalia atau ekopraksia
295.90 Skizofrenia Tipe Tidak Terinci (Undifferentiated)
Suatu tipe Skizofrenia dimana gejala yang terjadi memenuhi Kriteria A, tetapi
tidak memenuhi kriteria untuk Tipe Paranoid, Disorganisasi, atau Katatonik.
295.60 Skizofrenia Tipe Residual
1. Tidak ditemukan waham, halusinasi, bicara kacau yang menonjol, dan
perilaku kacau atau katatonik yang nyata.
2. Terdapat bukti yang berlanjut adanya gangguan, seperti yang ditunjukkan
oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tercantum pada
Kriteria A yang timbul dalam bentuk yang kurang jelas (misalnya,
keyakinan aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).
Tabel 6. Skizofrenia (APA, 2000)
E. GANGGUAN DELUSIONAL
Usia onset gangguan delusional biasanya antara usia 40 dan 55 tahun;
tetapi, gangguan ini dapat terjadi kapan saja dalam periode geriatrik. Gangguan
delusional terjadi dibawah stress fisik dan psikologis pada orang yang rentan dan
mungkin dicetuskan oleh kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, pensiun,
isolasi sosial, keadaan finansial yang tidak baik, penyakit medis atau pembedahan
yang menimbulkan kecacatan, gangguan penglihatan, dan ketulian.
Waham yang tersering adalah waham kejar dan gangguan delusional
dengan onset lambat yang ditandai dengan waham kejar, disebut parafrenia.
Gangguan ini timbul selama beberapa tahun dan tidak disertai dengan demensia.
Sindroma delusional mungkin juga diakibatkan oleh medikasi atau merupakan
tanda awal tumor otak.
Prognosis cukup baik pada sebagian besar kasus, dengan hasil terbaik
dicapai melalui kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi (Kaplan et al., 2010a;
Busse dan Blazer, 1997; Sadock BJ dan Sadock VA, 2007; Moran dan Lawlor,
2005).
GANGGUAN DELUSIONAL 297.1
A. Waham tidak aneh (yaitu melibatkan situasi yang ada dalam kehidupan nyata,
seperti sedang diikuti, diracun, terinfeksi, dicintai dari jarak jauh, atau
yang sering menggangu tidur pada lanjut usia adalah nyeri, nokturia, sesak nafas,
dan nyeri perut.
Alkohol dalam jumlah kecil sekalipun dapat mengganggu kualitas tidur,
melalui fragmentasi tidur dan terbangun saat dini hari. Alkohol juga dapat
mencetuskan atau memperberat apnea tidur obstruktif. Banyak lanjut usia
menggunakan alkohol, hipnotik, dan depresan sistem saraf pusat lain untuk
membantu tertidur, tetapi data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien lebih
banyak mengalami terbangun dini hari dibandingkan gangguan dalam tertidur.
Perubahan dalam struktur tidur di lanjut usia adalah tidur gerakan mata
cepat (rapid aye movement, REM) sepanjang malam, peningkatan jumlah episode
REM, penurunan lama episode, penurunan tidur REM total. Perubahan tidur
gerakan mata lambat (non rapid eye movement, NREM) yaitu penurunan
amplitudo gelombang delta. Orang lanjut usia juga mengalami bertambahnya
terjaga setelah onset tidur (Kaplan et al., 2010b; Sadock BJ dan Sadock VA,
2004).
INSOMNIA PRIMER 307.42
A. Keluhan yang predominan adalah kesulitan untuk mulai atau tetap tertidur,
atau tidur yang tidak menyegarkan, selama paling kurang 1 bulan.
B. Gangguan tidur (atau berkaitan dengan kelelahan di siang hari) menyebabkan
penderitaan secara klinis yang bermakna atau gangguan pada fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan Narkolepsi,
Gangguan Tidur Berhubungan Pernafasan, Gangguan Tidur Irama Sirkadian,
atau Parasomnia.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama perjalanan suatu gangguan
mental lain (misalnya, Gangguan Depresif Mayor, Gangguan Kecemasan
Umum, delirium).
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,
penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum (APA,
2000).
Tabel 10. Insomnia Primer (APA, 2000)
I.
menetap
atau
berulang
yang
disebabkan
atau
dengan
penurunan
kemampuan
untuk
memusatkan,
291.0 Alkohol
10.
11.
awal
yang
tepat
terhadap
gejala
perilaku
ini
adalah
Sensory Enhancement/
Relaxation
Massage and touch
or Stimulated
Individualized
music
Pet therapy
White noise
1:1 social
Controlled
social contact
Individualized
multisensory
Behaviour Therapy
Differential
reinforcement
Stimulus
control
interction
Stimulated
stimulatin
interactions/
(Snoezelen)
family videos
Art therapy
Aroma therapy
Structured activities
Environtmental
Training and
modifications
Wandering areas
development
Staff education
Recreational
activities
natural/ enhanced
Staff support
Training
Outdoor walks
Environments
Physical activities
Reduced
program for
stimulation
family
Light therapy
farmakologis GPPD
Caregivers
3. Terapi
Non-
Keluyuran
ii.
iii.
Aktivitas berulang
iv.
v.
vi.
vii.
Tugging at seatbelts
viii.
Inappropriate volding
ix.
Dosis awal
Frekuensi
Dosis rata-rata/
hari (mg)
12.5
2-3x/ hari
150
0.25
2x/ hari
1
1.25
2x/ hari
5
2.5
2-3x/ hari
25
0.25
2x/ hari
2
Tabel 14. Terapi Farmakologis GPPD (Ward)
Wawancara caregiver
Esesmen psikometrik
5. Algoritme GPPD
(1)
Gangguan tidur ALGORITME GPPD Depresi
Curiga GPPD
Tidur < 5 jam
Esesmen:
Tidur > 5 jam
Obat
Normal?
Diakui dengan CG
CG stress
Non-obat
Ya
Antidepresi
Tidak
Depresi
Tidak
Behavioural approach :
Gerak badan
Sleep hygiene
Kurangi kopi
Hindari tidur siang
Wawancara caregiver
Esesmen psikometrik
Wandering
Curiga GPPD
Ya
Tidak
Esesmen:
Hanya waktu tertentu?
Antipsikotik
Ya
Dini hari
Ya
Tidak
Tidak
Hanya malam
Depresi?
Berhubungan dengan perawatan?
Terapi penyebab nyeri, delirium, dll
Problem fisik?
Ya
Tidak
Hanya situasi tertentu
Tidak
BAB VIII
PERMASALAHAN DALAM ASPEK SOSIAL, EKONOMI,
DAN PSIKOLOGI PADA USIA LANJUT
Pada lansia umumnya terjadi beberapa hal/ perubahan dalam hidupnya
yang berpengaruh dalam kehidupan sosial, ekonomi, serta psikologisnya sebagai
seorang lansia, perubahan yang terjadi antara lain;
A. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami
penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan
reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik
(konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak seperti
gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang
cekatan. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami
perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
Menurut Kuntjoro (dalam Azizah, 2011) ada enam tipe kepribadian pada lanjut
usia sebagai berikut:
1.
2.
3.
menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit dari kedukaannya. Tipe
ini pada saat mengalami pensiun biasanya tidak mempunyai inisiatif,
pasif tetapi masih tahu diri dan dapat diterima masyarakat.
4.
5.
6.
Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe
ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu
orang lain atau cenderung membuat susah dirinya. Selalu menyalahkan
diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban dari keadaan.
kegiatan untuk mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja
atau tidak dengan memperoleh gaji penuh.
Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah
bagi masing-masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment
untuk menentukan arah minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan
positif. Untuk merencanakan kegiatan setelah pensiun dan memasuki masa lansia
dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya memantapkan arah minatnya masingmasing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat
banyak jenis dan macamnya.
Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya
sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang
selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam
menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah
pensiun mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan
sebagainya.
Perlu diketahui bahwa seorang lansia yang di pensiun akan mengalami
kehilangan-kehilangan antara lain sebagai berikut (Budi-Darmojo dan H Martono,
2011) :
1. Kehilangan finansial, pada umumnya dimanapun pemasukan uang
seorang lansia akan menurun kecuali orang yang sangat kaya raya dengan
tabungan melimpah.
2. Kehilangan status, terutama bila sebelumnya orang tersebut memiliki
jabatan dan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan fasilitasnya.
3. Kehilangan teman/ kenalan, mereka akan jarang bertemu dan
berkomunikasi dengan teman sejawat yang sebelumnya tiap hari
dijumpainya sehingga hubungan sosialnya pun akan hilang/berkurang.
4. Kehilangan kegiatan/ pekerjaan yang teratur dilakukan setiap hari yang
berarti rutinitasnya hilang.
C.
jika
keterasingan
terjadi
akan
semakin
menolak
untuk
berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak
berguna serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga
perilakunya seperti anak kecil.
Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia
yang memiliki keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat
beruntung karena anggota keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan
kerabat umumnya ikut membantu memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan
pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak punya keluarga atau sanak saudara
karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup namun tidak punya anak
dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan sendiri,
seringkali menjadi terlantar.
Disinilah pentingnya adanya Panti Werdha sebagai tempat untuk
pemeliharaan dan perawatan bagi lansia di samping sebagai long stay
rehabilitation yang tetap memelihara kehidupan bermasyarakat. Disisi lain perlu
dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwa hidup dan kehidupan dalam
lingkungan sosial Panti Wreda adalah lebih baik dari pada hidup sendirian dalam
masyarakat sebagai seorang lansia (Azizah, 2011).
D. Perubahan Minat
Lanjut usia juga mengalami perubahan pada minat, yang pertama adalah
minat terhadap diri makin bertambah, kedua minat terhadap penampilan semakin
berkurang, ketiga yaitu minat terhadap uang semakin meningkat dan terakhir
BAB IX
PENATALAKSANAAN GANGGUAN PSIKIATRI
PADA PASIEN LANJUT USIA
A. TERAPI PSIKOFARMAKOLOGIS
Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas dan
menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
Prinsip dasar psikofarmakologi geriatri adalah individualisasi dosis, karena
berhubungan dengan perubahan fisiologis pada proses penuaan. Penurunan klirens
obat dapat terjadi pada gangguan ginjal, gangguan kardiovaskular dan penurunan
curah jantung. Penyakit hati menyebabkan penurunan kemampuan metabolisme
obat.
Penyakit
gastrointestinal
dan
penurunan
sekresi
asam
lambung
mempengaruhi absorpsi obat. Massa tubuh yang tidak berlemak (lean body mass)
menurun pada lanjut usia dan lemak tubuh meningkat mempengaruhi distribusi
obat.
Pada lanjut usia, pedoman tertentu tentang pemakaian semua obat harus
diikut. Pemeriksaan medis praterapi adalah penting, termasuk elektrokardiogram
(EKG). Seluruh obat-obatan yang sedang diminum penting untuk dievaluasi efek
sampingnya dan efek interaksi dengan obat psikotropika yang akan diberikan.
Sebagian besar obat psikotropika harus diberikan dalam dosis terbagi yang
sama tiga atau empat kali selama periode 24 jam. Pasien lanjut usia mungkin tidak
mampu mentoleransi peningkatan kadar obat dalam darah yang tiba-tiba yang
disebabkan dari dosis sekali sehari yang besar. Klinisi harus sering memeriksa
kembali semua pasien untuk menentukan perlunya medikasi pemeliharaan,
perubahan dalam dosis dan perkembangan efek samping. Jika pasien sedang
menggunakan obat psikotropika saat pemeriksaan, klinisi harus mengentikan
medikasi tersebut jika dimungkinan dan setelah periode pembersihan (washout
period), periksa ulang pasien selama keadaan dasar yang bebas dari obat.
B. PSIKOTERAPI
Intervensi psikoterapi standar seperti psikoterapi berorientasi tilikan,
psikoterapi suportif, terapi kognitif, terapi kelompok dan terapi keluarga harus
tersedia bagi pasien lanjut usia. Menurut Freud, orang berusia lebih dari 50 tahun
tidak cocok untuk psikoanalisi karena tidak adanya elastisitas pada proses mental
mereka.
Menurut Gunadi (2001), proses kejiwaan dasar pada orang-orang tua tidak
jauh berbeda dengan orang yang lebih muda. Bagaimanapun, proses penuaan dan
perubahan
patologi
mengakibatkan
persoalan-persoalan
kejiwaan
yang
harga
diri
dan
keyakinan
diri,
menurunkan
perasaan
60
61
BAB X
KESIMPULAN
1. Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan telah meningkatkan
populasi penduduk lanjut usia hingga mencapai 9,77% dari total penduduk
di Indonesia.
2. Perubahan fisiologis dan psikologis terjadi pada lanjut usia, proses tersebut
dipengaruhi oleh faktor penuaan intrinsik dan ekstrinsik.
3. Pemeriksaan psikiatri pada lanjut usia sama dengan yang berlaku pada
dewasa muda, namun perlu adanya peningkatan fokus dalam gangguan
kognitif karena tingginya prevalensi gangguan kognitif pada lansia.
4. Prevalensi gangguan mental pada lanjut usia menunjukkan peningkatan
pada lanjut usia yang berusia lebih dari 75 tahun, berjenis kelamin wanita,
berpendidikan rendah, tidak bekerja, dan tinggal di pedesaan.
5. Gangguan mental pada lanjut usia dapat berupa demensia, gangguan
depresif, gangguan bipolar, skizofrenia, gangguan delusional, gangguan
kecemasan, gangguan somatoform, gangguan tidur, dan gangguan alkohol
serta zat lain.
6. Gejala perilaku dan psikologis pada demensia merujuk pada gejala nonkognitif dari gangguan persepsi, isi pikir, alam perasaan (mood) atau
perilaku yang sering terjadi pada pasien dengan demensia.
7. Tujuan utama terapi farmakologis pada lanjut usia adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup, mempertahankan mereka dalam komunitas,
dan menunda atau menghindari penempatan mereka di rumah perawatan.
8. Permasalahan yang dialami lansia meliputi aspek psikogeriatri seperti
kesepian, aspek psikososial, perubahan peran sosial di masyarakat, dan
perubahan-perubahan yang diakibatkan karena kehilangan pekerjaan.
9. Seluruh stresor pada pasien lanjut usia baik yang bersifat fisik dan
psikososial harus dapat dinilai agar penatalaksanaan yang holistik dapat
tercapai dengan tujuan utama untuk meningkatkan kualitas hidup,
62
63
DAFTAR PUSTAKA
APA (2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4th Edition,
Text Revision. Washington, DC: Author.
Azizah L (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Brocklehurs JC, Allen SC (1987). Sociological and psychological gerontology.In
Brocklehurs JC and Allen SC (eds). Geriatric Medicine for Students.
Edisi ke-3. Churchill Livingstone.
Busse EW, Blazer DG (1997). Textbook of Geriatry Psychology. Edisi ke-2.
Washington: The American Psychiatric Press. Hal 155-263.
Covino
(2006).
Depression
in
Geriatric
Patients.
http://www.medscape.com/viewarticle/520534.
Diunduh
Diakses
tanggal
dari:
10
Februari 2015.
Darmojo B, Martono H (2011). Gerontologi Sosial. Dalam: Budi-Darmojo dan
Martono, H., Buku Ajar Boedhi-Darmojo: Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal 14-33.
Darmojo RB (2004). Gerontologi sosial : masalah sosial dan psikologik golongan
lanjut usia dalam geriatri (Ilmu kesehatan usia lanjut. Edisi ke-3.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Departemen Kesehatan (2004). Buku pedoman upaya pembinaan kesehatan jiwa
usia lanjut. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat.
Folstein MF, Folstein SE, McHugh PR (1975). Mini-mental state A practical
method for grading the cognitive state of patients for the clinician. J
Psychiatr Res. 12(3):189-98.
Goldberg J (2015). Alzheimer's Disease and Other Forms of Dementia. WebMD.
http://www.webmd.com/alzheimers/guide/alzheimers-dementia. Diakses
tanggal 10 Februari 2015.
64
Gunadi H (2001). Problematik usia lanjut ditinjau dari sudut kesehatan jiwa. Jiwa.
XVII (4): 89-97.
Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri.
Jilid 1. Alih bahasa: Wijaya Kusuma. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hal
116-134.
Kaplan HI, Sadock BJ and Grebb JA. (2010). Kaplan-Sadock Sinopsis Psikiatri.
Jilid 1. Alih bahasa : Wijaya Kusuma. Jakarta : Bina Rupa Aksara. Hal
867-891.
Koenig HG, Blazer DG (2003). Dalam Cassel CK et al. Deppresion, Anxiety and
other mood disorders in geriatric medicine an evidence based approach.
Fourth edition. New York: Springer.
Kolb LC, Brodie HK (1982). Modern clinical psychiatry. Philadelphia: WB
Saunders Co.
Maramis (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga
Press.
Maramis WF, Maramis A (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press. Hal 576.
Maramis WF, Maramis A (2009). Ilmu kedokteran Jiwa Edisi ke 2. Surabaya:
Airlangga University Press.
Marini (2006). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian depresi pada
usia lanjut di Poli Geriatri RSU Ciptomangunkusumo, Tahun 2006-2008.
Tesis. UI.
Moran M, Lawlor B (2005). Late-life Schizophrenia. Psychiatry. 4:11. The
Medicine Publishing Company Ltd.
Murti B (1997). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Passmore P (2014). What is vascular dementia?. Alzheimer's Society.
http://alzheimers.org.uk/site/scripts/documents_info.php?
categoryID=200137&documentID=161&pageNumber=1.
65
Diakses
Kesehatan
Kementerian
Kesehatan
RI.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%202013.pdf. Diakses Februari 2015.
Robinson L, Smith M, Segal J (2011). Depression in Older Adults and Elderly.
http://www.helpguide.org/articles/depression/depression-in-older-adultsand-the-elderly.htm. Diakses tanggal 10 Februari 2015.
Sadock BJ, Sadock VA (2007). Synopsis of Psychiatry. Edisi kesepuluh.
Philadelphia: The William-Wilkins. Hal 1348-1358.
Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P (2009). Kaplan-Sadock Comprehensive Textbook
of Psychiatry. Ninth Edition. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins.
Setiati S, Harimurti K dan Roosheroe G (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III : Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. Hal
1336-1339.
Soedjono CH, Probosuseno, Sari NK (2006). Depresi Pada Pasien Usia Lanjut
Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam , Edisi Keempat Jilid III. Jakarta:
Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam FK UI.
Stanley M, Beare PT (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Stuart GW, Sandra S (2001). Principles and practice of psychiatric nursing, USA,
St. Louis.
Sutarto JT, Cokro CI (2009). Pensiun Bukan Akhir Segalanya. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
66
67