Professional Documents
Culture Documents
BAB I
PENDAHULUAN
Kekerasan pada anak merupakan sebuah kejahatan yang masih menjadi
permasalahan di seluruh dunia. Kejahatan ini ditemukan di seluruh tingkatan
masyarakat, tidak memandang usia ataupun jenis kelamin. Hal yang menjadi sorotan
adalah terjadinya kekerasan seksual pada anak yang merupakan salah satu bentuk dari
kekerasan anak. Kekerasan seksual pada anak-anak umumnya berpotensi untuk
menimbulkan efek jangka panjang terhadap kesehatan fisik dan psikis.1,2
Kekerasan seksual pada anak sangat jarang dilaporkan saat kekerasan tersebut terjadi,
dan sebagian besar kasus justru tidak pernah dilaporkan. Data prevalensi mengenai
kekerasan seksual pada anak, umumnya didapatkan melalui orang dewasa yang
dahulu pernah menjadi korban kekerasan seksual saat berusia kanak-kanak. Beberapa
penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, dapat ditarik kesimpulan bahwa
kejadian kekerasan seksual pada anak, memperkirakan bahwa 7%-36% anak
perempuan dan 3%-29% anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.
Kekerasan seksual pada anak perempuan, 1,5-3 kali lebih banyak daripada anak lakilaki.3 Dalam studi Essen terhadap kekerasan anak-anak yang melibatkan penyelidikan
forensik pada periode antara 1996-2005 meliputi 148 kasus, hampir dua per tiga anak
laki-laki (62,2%) dan sepertiga anak perempuan (37,8%). Tingkat kekerasan seksual
pada anak perempuan adalah sekitar 12%, anak laki-laki sekitar 5%.4
Dampak kekerasan seksual pada anak-anak sangat beragam. Seorang anak yang
menjadi korban kekerasan seksual berkepanjangan, cenderung akan tumbuh menjadi
pribadi yang rendah diri, merasa tidak berharga dan memilki pandangan yang
abnormal tentang seks, atau perilaku seks yang menyimpang. Anak akan menarik diri
dan curiga pada orang dewasa, bahkan bisa bunuh diri. Beberapa anak-anak yang
telah mengalami pelecehan seksual menjadi pelaku kekerasan anak, pelacur, atau
memiliki masalah serius lainnya ketika mereka mencapai usia dewasa.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam aktivitas seksual yang tidak
sepenuhnya ia pahami, sehingga tidak mampu memberi persetujuan, atau pada anak
yang belum siap dan tidak bisa memberikan persetujuan, atau hal tersebut melanggar
hukum dan norma sosial masyarakat. Kekerasan seksual pada anak dapat dibuktikan
melalui adanya kegiatan antara anak dan orang dewasa atau dengan anak lain yang
dimaksudkan untuk memuaskan atau memenuhi hasrat seksual orang lain. Hal di
bawah ini mungkin termasuk kekerasan seksual namun tidak bisa dijadikan sebagai
pembatas:3
- Pembujukan atau pemaksaan anak untuk terlibat dalam setiap kegiatan seksual
yang tidak sesuai hukum.
- Eksploitasi anak dalam tindakan pelacuran atau lainnya yang tidak sesuai hukum.
- Eksploitasi anak dalam pembuatan pornografi.
Kekerasan seksual dapat berupa banyak bentuk dan berlangsung pada keadaan yang
berbeda. Seseorang dapat dianiaya secara seksual oleh satu individu atau beberapa
orang (misalnya geng-perkosaan); kejadian tersebut dapat direncanakan atau serangan
mendadak. Meskipun kekerasan seksual paling sering terjadi di dalam rumah korban
(atau dalam rumah pelaku), juga terjadi pada keadaan lain, seperti tempat kerja, di
sekolah, di penjara, mobil, jalan-jalan atau ruang terbuka (misalnya taman, lahan
pertanian).4
2.2 Epidemiologi
Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang melibatkan semua
kelompok umur. Menurut Convention on the Rights of the Child seorang anak adalah
seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun. Kasus kekerasan seksual pada anak
dilaporkan mencapai 80.000 kali dalam setahun, namun jumlah kasus yang tidak
dilaporkan jauh lebih besar, karena anak-anak takut untuk memberitahu siapapun
mengenai apa yang terjadi.5
Beberapa penelitian yang dilakukan pada beberapa negara, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kejadian kekerasan seksual pada anak, memperkirakan bahwa 7%-36% anak
perempuan dan 3%-29% anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual. 4
Berdasarkan catatan tahunan Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pada 2012 jumlah
korban anak yang mengalami kekerasan seksual ada 256 orang. Pada 2013 jumlahnya
meningkat menjadi 378 orang. Tahun 2014, korban kekerasan seksual di Indonesia
meningkat, 4 bulan pertama terhitung dari awal tahun 2014 didapatkan bahwa korban
kekerasan seksual pada anak mencapai lebih dari 200 orang. Pantauan sebuah
lembaga
milik
Sekretaris
Jenderal
Komisi
Perlindungan Anak
Indonesia,
2. Penis
Penis dibentuk oleh tiga jaringan fibroelastik berbentuk silinder yang terdiri
dari dua corpora cavernosa penis dan satu corpus spongiosum penis.
Ketiganya merupakan jaringan erektil yang ditutupi oleh fascia dan kulit.
Penis terbagi atas 3 bagian, yaitu akar, batang, dan gland penis. Penis
mempunyai kulit tipis , halus, dan berwarna gelap. Kulit ini tidak melekat erat
pada jaringan subkutan dan di bagian distal membentuk preputium yang
menutupi gland penis. Fascia superfisialis dari pens merupakan lanjutan dari
fascia superfisialis dinding abdomen. Fascia ini melekat dengan longgar pada
tunica albuginea di lapisan dalamnya dan tidak membungkus gland penis.
Corpora cavernosa penis dan corpus spongiosum penis berisi darah yang
tersebar di dalam ruang-ruang kecil yang disebut cavernae dengan banyak
trabekulae diantaranya. Jaringan erektil penis mendapat darah dari cabang
arteria pudenda interna yaitu arteria bulbi urethrae, arteria profunda penis,
arteria dorsalis penis, dan arteria helicinae.7
Gambar
2.3.
Anatomi
Permukaan
Organ Genital Pria
Penganiayaan fisik tersering dilakukan oleh pengasuh atau keluarga dan dapat pula
oleh orang asing bagi si anak. Manifestasi yang biasanya ditemukan meliputi memar,
luka bakar, patah tulang, trauma kepala, dan cedera pada perut. Kekerasan psikis atau
emosi adalah perilaku yang menimbulkan trauma psikologis pada anak (menghina,
merendahkan, mengancam, dan sebagainya). 8
2.6 Pemeriksaan pada Anak yang Dicurigai Korban Kekerasan Seksual
Untuk memastikan kecurigaan mengenai adanya kekerasan seksual perlu dilakukan
anamnesis pemeriksaan fisik pada anak yang dicurigai menjadi korban kekerasan
seksual, terutama pemeriksaan fisik pada bagian genital dan anal anak tersebut untuk
menemukan tanda-tanda yang dapat menguatkan kecurigaan.9
2.6.1 Anamnesis
Pada kasus kekerasan seksual anak, perlu dilakukan anamnesis terhadap keluarga
atau pengasuh korban, dan kepada korban sendiri. Apabila usia anak sudah
cukup untuk dilakukan wawancara terpisah, maka disarankan agar anak
diwawancara terpisah dengan keluarga atau pengasuhnya. Ada dua aspek yang
berbeda untuk pengumpulan informasi dari keluarga korban maupun korban
sendiri, yaitu riwayat medis dan wawancara.
Fungsi dari riwayat medis atau kesehatan adalah untuk mencari tahu mengapa
anak tersebut dibawa untuk mendapatkan perawatan kesehatan pada saat ini dan
untuk memperoleh informasi tentang gejala-gejala fisik atau emosional pada
anak. Hal ini dapat berguna sebagai data awal untuk mengarahkan pada
diagnosis.
Tahap wawancara dapat menjadi alat pengumpulan data melebihi dari hasil
riwayat medis. Hal ini bertujuan untuk mendapat informasi forensik secara
langsung terhadap dugaan kekerasan seksual. Pada wawancara dapat dicari
informasi mengenai kejelasan tentang proses penyerangan meliputi waktu dan
tempat, frekuensi, deskripsi pakaian yang dikenakan dan sebagainya. Wawancara
forensik pada anak butuh keterampilan khusus, dan jika mungkin, harus
dilakukan oleh yang terlatih (misalnya pekerja pada badan perlindungan anak,
seorang polisi ataupun teanga medis dengan keterampilan wawancara yang
terlatih).
2.6.2 Pemeriksaan Fisik pada Bagian Genital dan Anal
Hal-hal yang perlu diperiksa dan dicatat dari pemeriksaan genital meliputi :
Struktur yang diamati : Kepala penis and frenulum, batang penis, skrotum,
Hal-hal yang perlu diperiksa dan dicatat dari pemeriksaan anal yaitu
menemukan tanda-tanda luka pada:
Temuan tanda-tanda trauma seperti luka robek abrasi, memar, dan skar pada
perianal, ditambah dengan tidak masuk akalnya penyebab atau riwayat kejadian
yang diberikan akan memperkuat keperhatian tenaga kesehatan terhadap
kemungkinan
kekerasan
seksual.
Oleh
karena
itu,
penting
untuk
10
seksual pada anak. Ketika ditemukan adanya luka-luka tanda kekerasan, disertai
dengan ketidaksesuaian hasil anamesis dengan temuan pemeriksaan, kasus dapat
segera dilaporkan untuk penyidikan lebih lanjut. Keduanya dapat dibedakan
berdasarkan hasil anamesis untuk menemukan latar belakang kekerasan pada anak
tersebut, apakah karena adanya dorongan seksual yang disertai paksaan atau karena
hukuman atau luapan emosi pada anak.8
Kekerasan Seksual
Jenis Luka
Lokasi Luka
Pendarahan
Tanda inflamasi
Pendarahan
Tanda inflamasi
akut
Tanda inflamasi
akut
Tanda inflamasi
kronik
Genital
Anus
Anggota tubuh
lain
Kekerasan
Penyebab
Luka
tumpul/tajam
Upaya pentrasi
Dorongan
Penyebab lain
Kekerasan Fisik
seksual
kronik
Anggota tubuh
Genital
dan
upaya paksaan
Kekerasan
Kelainan Kongenital
Alat Kelamin
Tanda inflmasi
akut
kemerahan,
bengkak, dll)
tumpul/tajam
Luapan emosi
Hukuman fisik
(nyeri,
Genital
Kelainan
anatomi
Kelainan
genetik/pembent
ukan
11
BAB III
KESIMPULAN
Kekerasan seksual pada anak-anak kini sudah marak terjadi di seluruh negara,
termasuk Indonesia. Berdasarkan catatan tahunan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia, pada 2012 jumlah korban anak yang mengalami kekerasan seksual ada 256
orang. Pada 2013 jumlahnya meningkat menjadi 378 orang. Semakin meningkatnya
angka kekerasan seksual pada anak, maka setiap tenaga medis harus mengenali tandatanda kekerasan seksual pada anak laki-laki yang umumnya sulit dibedakan dengan
kelainan bawaan anatomi atau malformasi.
12