You are on page 1of 5

Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

Oleh Prof. H. DJUDJU SUDJANA, M.Ed., Ph.D.

ASPIRASI masyarakat pada saat ini menunjukkan arus yang kuat bahwa pimpinan
nasional perlu bertanggung jawab terhadap paradigma baru pembangunan nasional yang
menitikberatkan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk menjadi
subjek pembangunan di berbagai bidang kehidupan dan sekaligus yang paling menerima
manfaat hasil pembangunan. Dalam pengembangan SDM, pendidikan memegang
peranan kunci, yaitu sebagai pendekatan dasar dan bagian penting dalam suprasistem
pembangunan bangsa.
Untuk itulah diperlukan reformasi yang mencakup upaya mereposisi sistem pendidikan
nasional dalam pembangunan nasional, mempercepat implementasi kebijakan pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan penyelenggaraan
pendidikan/pembelajaran jarak jauh, dan mengembangkan sistem pendidikan terpadu.
Mereposisi sistem
Ada dua alasan pokok mereposisi sistem pendidikan nasional dalam pembangunan
nasional ini. Pertama, lebih dari 35 tahun posisi pendidikan dipandang hanya sebagai
bagian dari pembangunan sosial. Kita mengenal bahwa sejak Orde Baru pembangunan
nasional meliputi sejumlah sistem yang terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial
budaya, serta keamanan dan pertahanan (ipoleksosbudhankam). Sementara, pendidikan
tidak diletakkan sebagai sistem yang sama pentingnya dengan sistem-sistem lainnya.
Sehingga, perhatian para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan daerah tidak
memandang bahwa pendidikan menjadi bagian pembangunan yang sama pentingnya
dengan pembangunan ipoleksosbudhankam tersebut. Padahal diakui atau tidak,
perkembangan pada sistem-sistem lain itu menggunakan sumber daya manusia sebagai
hasil sistem pendidikan. Oleh sebab itu sudah saatnya kini pendidikan menjadi sistem
tersendiri sehingga suprasistem pembangunan bangsa Indonesia terdiri atas sistemsistem, pendidikan, ekonomi, pertahanan dan keamanan, politik, ideologi, sosial, agama,
dan budaya.
Kedua, akibat dari pandangan yang keliru itu dirasakan oleh bangsa kita sendiri. SDM
kita amat rendah dibandingkan dengan kebanyakan negara lain. Survei UNDP
menunjukkan bahwa pada tahun 2003, Indeks Pembangunan Manusia-IPM (Human
Development Index-HDI) Indonesia, dengan indikator rata-rata usia harapan hidup dan
lamanya mengikuti pendidikan serta daya beli, berada pada peringkat ke-112 dari 174
negara. Ini dua tingkat di bawah Vietnam yang menduduki peringkat ke-110.
Ketiga, pendidikan belum berperan secara optimal dalam mengembangkan sumber daya
manusia (SDM) melalui pemerataan kesempatan pendidikan, penyelenggaraan
pendidikan secara terpadu, sehingga keluaran (output) pendidikan lebih banyak yang
menjadi masyarakat pencari pekerja (worker society), bukan masyarakat pencipta
lapangan kerja (employee society) atau masyarakat pewirausaha (entrepreneurship
society). Dengan demikian pendidikan belum menjadi pemicu utama dalam

pengembangan sumber daya manusia, tapi justru menjadi kontributor utama dalam
peningkatan jumlah pengangguran.
Dalam pemerintahan yang akan datang, kebijakan dan operasional pembangunan
pendidikan perlu diarahkan untuk terwujudnya SDM yang unggul.
Pemerataan kesempatan
Berikutnya, kita perlu mempercepat implementasi kebijakan tentang pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan. Kebijakan pemerintah tentang pemerataan
kesempatan, peningkatan mutu, efisiensi dan relevansi pendidikan telah lama menjadi
acuan pemerintah RI dalam penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan. Undangundang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam konsiderannya
menyatakan, "Sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen
pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional dan global sehingga diperlukan pembaharuan pendidikan secara
terencana, terarah, dan berkesinambungan".
Pembaharuan pendidikan dapat dilakukan dalam sistem, manajemen, dan daya dukung
pendidikan. Salah satu pembaharuan dalam sistem dan manajemen pendidikan dalam
melayani pemerataan kesempatan pendidikan antara lain, penyelenggaraan sistem
pendidikan/pembelajaran jarak jauh. Dalam hal ini, Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional menjelaskan, dalam ketentuan umum, bahwa, "Pendidikan jarak jauh adalah
pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidikan dan pembelajarannya
menggunakan sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain".
Pasal 31 menjelaskan bahwa pendidikan jarak jauh diselenggarakan pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan; berfungsi untuk memberikan layanan pendidikan kepada
kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau
reguler; diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung
oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai
dengan standar nasional pendidikan.
Kebijakan pemerataan kesempatan pendidikan ini pun telah menjadi komitmen
Konferensi Internasional tentang Pendidikan untuk Semua (Education for All) di Jomtien,
Thailand tahun 1990. Konferensi ini menegaskan pentingnya kegiatan bersama untuk
pemenuhan hak semua warga negara dalam memperoleh akses pendidikan pada semua
jenjang dan tingkatan. Demikian pula Konferensi Dakkar di Senegal tahun 2000,
mempertegas komitmen terhadap gerakan bersama untuk mengimplementasikan
pendidikan untuk semua. Upaya pemerataan pendidikan ini amat urgen, karena lembagalembaga pendidikan yang ada sekarang tidak mampu melayani pemerataan kesempatan
kepada semua penduduk usia sekolah untuk memperoleh pendidikan.
Sebagai fakta, menurut Balitbang Diknas dalam Indonesia - Educational Statistics in
Brief (2000/2002), bahwa anak usia dini yang tidak terlayani pendidikan formal dan
nonformal paling besar jumlahnya (72,05%). Jumlah anak usia sekolah dasar yang belum

tertampung adalah sekira 5,5% yang disebabkan oleh gerakan Wajib Belajar Dikdas 9
Tahun. Sedangkan penduduk usia sekolah yang tidak terlayani pendidikan formal dan
nonformal pada jenjang atau setara SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi, masing-masing
sekira 44,2 85,6 dan 87,9%. Jumlah semua pendudukan usia pendidikan sejak anak usia
dini sampai dengan usia perguruan tinggi yang terlayani oleh pendidikan formal sekira
44,96%; sedangkan yang tidak terlayani jalur pendidikan formal dan nonformal ternyata
lebih besar yaitu sekira 55,04%.
Angka putus sekolah ternyata masih tinggi. Rata-rata jumlah anak putus sekolah dasar
pada kelas 1-3 sekira 200.000 sampai 300.000 orang setiap tahun. Jumlah anak putus
sekolah ini termasuk kepada kelompok penduduk buta aksara yang banyaknya sekira 18,7
juta (Fasli Jalal, 2001). Dalam waktu 23 tahun, sejak tahun 1970 sampai dengan 1993,
diduga 33,8 juta murid SD dan 105 juta siswa SLTP mengalami putus sekolah. Jumlah
anak usia SD yang tidak bersekolah, putus sekolah, dan lulus SD yang tidak melanjutkan
ke jenjang SLTP sejak tahun 1995 sampai dengan 2000, diperkirakan sebesar 12,8 juta,
serta jumlah anak putus SLTP sebesar 4,3 juta (Balitbangdiknas 2000).
Penyebab anak tidak bersekolah atau putus sekolah adalah faktor-faktor klasik seperti
sistem pendidikan sekolah yang kurang fleksibel sehingga banyak anak yang menemui
kesulitan dalam penyesuaian diri, kemiskinan orang tua sehingga tidak mampu
membiayai pendidikan anaknya, hambatan budaya yaitu rendahnya kesadaran masyarakat
lapis bawah tentang pentingnya pendidikan, kondisi geografis, anak harus membantu
ekonomi keluarga, dan pendidikan sekolah dirasakan tidak menarik karena tidak
memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Sehubungan dengan itu
jumlah angkatan kerja yang tidak tamat SD, tidak tamat SLTP, tamat SD dan SLTP sekira
67,5% dari 97 juta angkatan kerja (Simanjuntak, 200).
Jumlah pengangguran terus meningkat dari 18 juta pada tahun 1997 menjadi 38 juta pada
tahun 2000. Kondisi seperti ini tentu mempersulit posisi dan masa depan mereka yang
secara nasional berdampak negatif terhadap pembangunan, terutama pembangunan
ekonomi secara makro dan mikro. Sampai akhir tahun 2003, angka pengangguran
bukannya menurun tetapi malah bertambah. Pengangguran tersebut mencakup
pengangguran terbuka (sama sekali tidak bekerja) dan pengangguran setengah terbuka
(bekerja di bawah 35 jam per bulan).
Menurut LIPI (2003), jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2004 meningkat menjadi
10,7 juta dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 9,5 juta. Faktor penyebabnya ialah
rendahnya penyerapan daya kerja dibandingkan dengan pertumbuhan angkatan kerja.
Dengan pertumbuhan ekonomi 4,8%, maka kesempatan kerja baru tahun 2004 hanya
sekira 1,35 juta (P2E LIPI). Menurut LIPI, pengangguran pada tahun 2004 berjumlah
39,6 juta orang (Republika, 24-12-2003).
Pendidikan jarak jauh
Pengembangan pendidikan/pembelajaran jarak jauh sebagai alternatif program dalam
implementasi pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, juga amatlah penting.
Untuk mengatasi permasalahan di atas diperlukan perubahan paradigma baru pendidikan

yang berorientasi pada kemampuan untuk menciptakan lapangan kerja. Dengan demikian
pendidikan sebagai subsistem pembangunan perlu berorientasi pada pengembangan
kemampuan peserta didik untuk siap bekerja dan atau menciptakan lapangan kerja
dengan memanfaatkan potensi-potensi yang terdapat dalam lingkungan. Pendidikan perlu
mengubah keluaran pendidikan dari worker society ke employee society untuk menjadi
entrepreneur society. Kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh worker society,
melainkan oleh employee society (Druker dalam Sudjana, 2000).
Dari data dan informasi tersebut di atas, jelas diperlukan upaya-upaya terobosan untuk
mengatasi permasalahan pendidikan, khususnya besarnya jumlah penduduk usia sekolah
lanjutan tingkat atas (85,6%) dan usia perguruan tinggi (85,69%) yang tidak terlayani
pendidikan formal dan nonformal. Salah satu upaya untuk mempersiapkan peserta didik
memasuki era globalisasi yaitu dengan mengembangkan berbagai pendekatan
pembelajaran yang berorientasi ke masa depan. Pendekatan yang akan banyak membantu
dalam mengatasi penduduk usia pendidikan menengah dan perguruan tinggi untuk
memperoleh pemerataan kesempatan pendidikan adalah sistem pendidikan/pembelajaran
jarak jauh (SPJJ) atau distance education/learing.
Sistem pendidikan terpadu
Sistem pendidikan nasional, menurut Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, mencakup
jalur atau subsistem pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal,
yang saling berkaitan dan mendukung antara satu dengan yang lainnya baik dalam
komponen, proses dan tujuannya. Namun subsistem pendidikan yang masih dilaksanakan
sekarang pada jalur pendidikan formal (sejak taman kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi) lebih berorientasi pada tujuan untuk menghasilkan keluaran (output)
yaitu lulusan yang memiliki perubahan perilaku dalam ranah (domain) pengetahuan
(kognisi) yang kemudian diikuti oleh ranah afeksi dan psikomotorik.
Unsur-unsur subsistem pendidikan format terdiri atas masukan yaitu input sarana
(kurikulum, guru dan tenaga kependidikan lainnya, sarana), input mentah
(siswa/mahasiswa), proses belajar-mengajar, dan keluaran (output) yaitu lulusan
berdasarkan penilaian terhadap perubahan kognisinya. Kuantitas lulusan inilah yang
berkontribusi terhadap peningkatan angka pengangguran, karena mereka lemah dalam
functional skills untuk menerapkan ilmunya dalam mendayagunakan potensi lingkungan
(alam, sosial, budaya) untuk memasuki dunia kerja, kehidupan mandiri, atau membuka
lapangan kerja.
Di pihak lain subsistem atau jalur pendidikan nonformal yang dilakukan dalam satuan
dan jenis pendidikan (kelompok belajar, kursus dan pelatihan, serta satuan pendidikan
lain yang sejenis) lebih mengutamakan keluarannya pada penguasaan functional, skills
(keterampilan produktif, teknik, sosial, fisikal, artistika, manajerial, atau kecakapan hidup
lainnya), diikuti dengan ranah kognisi dan afeksi sehingga lulusannya mampu memahami
dan mendayagunakan lingkungannya dalam kehidupan mandiri serta diharapkan dapat
membuka lapangan kerja. Unsur-unsur subsistem pendidikan nonformal terdiri atas input
(masukan lingkungan, sarana, peserta didik, dan masukan lain, proses, tujuan yang
mencakup tujuan antara yaitu keluaran (output) dan tujuan akhir (outcome). Subsistem

atau jalur pendidikan informal dilakukan dalam keluarga dan lingkungan yang lebih
menitikberatkan ranah afeksi, yang diikuti ranah skills dan kognisi.
Penyelenggaraan pendidikan perlu direformasi sehingga mewujudkan pendidikan terpadu
yang mencakup jalur, sistem, tujuan, kurikulum, proses pembelajaran, lokasi/wilayah,
dan manajemen pendidikan. Keterpaduan pendidikan ini mengandung misi untuk
menghasilkan SDM yang kuat dalam keimanan dan ketakwaan, nilai-nilai moral serta
kebangsaannya; menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memiliki kecakapan
hidup yang fungsional untuk mengembangkan diri, mampu hidup mandiri, berwirausaha
dan membuka lapangan kerja, serta menjadi subjek yang bertanggung jawab dan berperan
aktif dalam pembangunan lokal, daerah, dan nasional. Strategi pembelajaran perlu
direlevansikan dengan penerapan misi pendidikan dalam gerakan membangunan
masyarakat desa/kota (community development) lapis bawah sehingga pendidikan
berperan dalam menghasilkan SDM yang mampu menumbuhkan pembangunan yang
berakar kuat di masyarakat sebagai fondasi yang kokoh bagi pembangunan daerah dan
nasional.
Keterpaduan pendidikan membutuhkan kebijakan di tingkat pemerintahan pusat untuk
terlaksananya pendidikan untuk semua (education for all) dan semua untuk pendidikan
(all for education). Semua untuk pendidikan dalam arti bahwa semua bidang
pembangunan, semua sektor penyelenggara pembangunan, perusahaan, lembaga swadaya
masyarakat, serta masyarakat secara keseluruhan harus bersama-sama memprioritaskan
perhatian dan upayanya dalam mewujudkan pendidikan yang mampu mengembangkan
SDM yang andal sebagai subjek pembangunan di berbagai bidang kehidupan pribadi,
masyarakat dan bangsa, serta berperan dalam tata kehidupan global.
Selanjutnya perlu pembinaan dan pengadaan tenaga pendidik di masa depan. Tenaga
kependidikan terdiri atas pendidik (guru, pamong belajar, pengampu, pembimbing,
pelatih widyaiswara, dsb), pengelola, peneliti dan pengembang, pengawas, teknisi sumber
belajar, pustakawan, penguji, dsb. (PP No. 38/1991). Banyak pihak berperan dalam
pembelajaran dalam lembaga-lembaga pendidikan seperti kurikulum, peserta didik dan
tenaga kependidikan, namun pemegang peran utama adalah pendidik (guru). Seperti
keberhasilan adegan sinetron atau film yang sangat dipengaruhi oleh kehadiran pemegang
peran utamanya.
Oleh sebab itu keberhasilan pendidikan dalam melahirkan keluaran (output) yang
bermutu dan relevan dengan kebutuhan pembangunan amat dipengaruhi oleh kualitas
pendidik yaitu keunggulan pribadi, tingkat pendidikan dan kesejaheteraan yang
memadai.***
Penulis guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Pikiran Rakyat, Selasa, 15 Februari 2005

You might also like