Professional Documents
Culture Documents
TENTANG
FENOMENA ANTARMUKA DI KULIT PADA SEDIAAN EMULSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Farmasi Fisik yang
diampu oleh Bapak Garnadi Jafar
Disusun Oleh:
Sukmawati (NPM : 21121245)
Taufik Muhammad Fakih (NPM : 21121132)
(KELAS : 2 FA 3)
(PRODI : S1 FARMASI REGULER)
KATA PENGANTAR
menyempurnakan kekurangan didalam tugas mata kuliah farmasi fisik ini. Tetapi
dengan segala keterbatasan yang ada, kami mengharapkan semoga tugas mata
kuliah farmasi fisik ini dapat berguna bagi semua pihak yang terkait.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan tugas mata kuliah farmasi fisik ini.
Bandung, November 2013
DAFTAR ISI
ii
PENDAHULUAN .............................................................................................
I.
1
3
4
4
6
7
7
II.
III.
PEMBAHASAN................................................................................................. 11
A.
B.
C.
D.
E.
F.
11
12
13
15
16
18
PENUTUP........................................................................................................... 20
A. Kesimpulan ................................................................................................ 20
B. Saran .......................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 21
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan
(surface active agent) yang mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala
bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik menyebabkan surfaktan
cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas
dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain
untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan
sangat baik digunakan untuk stimulasi batuan sandstone. Adanya unsur silika
di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan menyebabkan
water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan
turunnya gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas
dan lebih mudah mengalir dan sifat batuan akan berubah menjadi water wet.
Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan positif, penggunaan
surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and
Robert,1993).
Surfaktan kationik dengan muatan gugus hidrofilikya yang positif
akan merubah wettability batuan yang memiliki muatan positif menjadi water
wet seperti batuan karbonat dan akan merubah wettability batuan yang
bermuatan negatif seperti batuan sandstone menjadi oil wet. Berbeda dengan
surfaktan anionik dan kationik, surfaktan nonionik yang tidak memiliki
muatan pada gugus hidrofiliknya menyebabkannya kompatible pada kedua
jenis batuan. Surfaktan nonionik akan menyebabkan water wet baik pada
batuan karbonat maupun sandstone. Sedangkan penggunaan surfaktan
amfoterik pada kedua jenis batuan tersebut tergantung pada pH larutan
dimana surfaktan tersebut bekerja. Pada kondisi pH>7 (basa), gugus hidrofilk
surfaktan amfoterik akan bermuatan positif sehingga akan menyebabkan
water wet pada batuan yang memiliki muatan positif (karbonat). Pada pH<7
(asam), gugus hidrofilik surfaktan amfoterik akan bermuatan negatif sehingga
akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan negatif
(sandstone), sedangkan pada pH=7, gugus hidrofilik surfaktan amfoterik
tidak akan bermuatan. Namun pada aplikasi stimulasi surfaktan, surfaktan
amfoterik digunakan terbatas sebagai pencegah korosi dan agen pembusa
(Allen and Robert, 1993; Mulyadi, 2002)
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat
dibagi menjadi empat kelompok yaitu :
1. Berbasis
minyak-lemak
seperti;
monogliserida,
digliserida,
dan
poligliserol ester.
2. Berbasis karbohidrat seperti; alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.
3. Ekstrak bahan alami seperti; lesitin dan saponin.
surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua cairan yang
berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan
permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan
turunnya tegangan antar muka (Georgiou et al., 1992).
Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi
dari konsentrasi surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada
adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai konsentrasi maksimum dimana
surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas surfaktan dalam
menurunkan tegangan antarmuka minyak air dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan
dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi
larutan surfaktan (Menurisita, 2002).
Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor
penting pada proses enhanced oil recovery (EOR) dalam bidang
pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara
fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan hidrokarbon.
Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi
minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi
terjadinya water blocking dan mengubah sifat kebasahan (wattability)
batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi batuan yang bersifat
water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan
demikian water cut dapat dikurangi.
4. Hydrophile -Lipophile Balance (HLB)
Menurut Suryani et. al. (2002), HLB adalah ukuran empiris untuk
mengetahui hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu
surfaktan. Sistem HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi
minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi, yaitu :
a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Pada
kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB rendah.
b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Pada
kondisi ini diperlukan surfaktan dengan nilai HLB tinggi.
Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air.
Sedangkan bila makin rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut
minyak. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin disajikan
pada Table 2.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Umum
Emulsi adalah suatu sistem yang secara termodinamika tidak stabil,
terdiri dari paling sedikit dua fasa sebagai globul-globul dalam fasa cair
lainnya. Sistem ini biasanya distabilkan dengan emuulgator.
Emulsi yang digunakan dalam bidang farmasi adalah sediaan yang
mengandung dua cairan immiscible yang satu terdispersi secara seragam
sebagai tetesan dalam cairan lainnya. Sediaan emulsi merupakan golongan
penting dalam sediaan farmasetik karena memberikan pengaturan yang dapat
diterima dan bentuk yang cocok untuk beberapa bahan berminyak yang tidak
diinginkan oleh pasien.
Dalam bidang farmasi, emulsi biasanya terdiri dari minyak dan air.
Berdasarkan fasa terdispersinya dikenal dua jenis emulsi, yaitu :
1. Emulsi minyak dalam air, yaitu bila fasa minyak terdispersi di dalam fasa
air.
2. Emulsi air dalam minyak, yaitu bila fasa air terdispersi di dalam fasa
minyak.
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan emulgator merupakan
faktor yang penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu
emulsi banyak dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu
emulgator yang aktif permukaan atau lebih dikenal dengan surfaktan.
Mekanisme kerjanya adalah menurunkan tegangan antarmuka permukaan air
dan minyak serta membentuk lapisan film pada permukaan globul-globul fasa
terdispersinya.
Mekanisme kerja emulgator surfaktan, yaitu :
1.
2.
3.
4.
Emulsi yang digunakan dalam farmasi adalah satu sediaan yang terdiri
dari dua cairan tidak bercampur, dimana yang satu terdispersi seluruhnya
sebagai globula-globula terhadap yang lain. Walaupun umumnya kita
berpikir bahwa emulsi merupakan bahan cair, emulsi dapat dapat
diguanakan untuk pemakaian dalam dan luar serta dapat digunakan untuk
sejumlah kepentingan yang berbeda (3).
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan emulgator yang
Tipe system
36
A/M emulgator
79
8 18
M/A emulgator
13 15
15 18
Makin rendah nilai HLB suatu surfaktan maka akan makin lipofil
surfaktan tersebut, sedang makin tinggi nilai HLB surfaktan akan makin
hidrofil.
Cara menentukan HLB ideal dan tipe kimi surfaktan dilakukan
dengan eksperimen yang prosedurnya sederhana, ini dilakukan jika kebutuhan
HLB bagi zat yang diemulsi tidak diketahui. Ada 3 fase:
a.
Fase I
Dibuat 5 macam atau lebih emulsi suatu zat cair dengan sembarang
campuran surfaktam, dengan klas kimi yang sama, misalnya campuran
Span 20 dan Tween 20. Dari hasil emulsi dibedakan salah satu yang
terbaik diperoleh HLB kira-kira. Bila semua emulsi baik atau jelek maka
percobaan diulang dengan mengurangi atau menambah emulgator.
b.
Fase II
Membuat 5 macam emulsi lagi dengan nilai HLB di sekitar HLB
yang diperoleh dari fase I. dari kelima emulsi tersebut dipilih emulsi yang
terbaik maka diperoleh nilai HLB yang ideal.
c.
Fase III
PEMBAHASAN
Bila pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka
disolusi dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas
obat secara keseluruhan (Joenoes, 2002).
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Obat
a. Ukuran partikel obat
Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas
permukaan yang kontak dengan cairan/pelarut. Bertambah kecil partikel,
bertambah luas permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002).
b. Pengaruh daya larut obat
Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:
ini diberikan untuk mempercepat proses penyembuhan, bila pemberian peroral tidak dapat mencapai superficial epidermis yang sedikit pembuluh darah
kapiler. Efek sistemik tidak diharapkan pada pemberian obat topikal pada kulit
ini. Apabila terjadi kerusakan kulit setelah penggunaan obat topikal pada kulit,
maka kemungkinan besar efek sistemik akan terjadi.
Pemberian obat topikal pada kulit berupa krim, salep, lotion, bubuk
atau powder, spray aerosol. Keuntungan dari pemberian obat secara topikal
bertujuan untuk efek lokal, mencegah first-pass effect serta meminimalkan
efek samping sistemik. Untuk efek sistemik, menyerupai cara pemberian obat
melalui intravena. Dalam pemberian obat secara topikal juga memiliki
kerugian berupa secara kosmetik kurang menarik, absorbsinya tidak menentu.
Pemberian obat secara topikal pada kulit memiliki tujuan yang lokal
dalam proses penyerapannya obat topikal mengalami:
1. Lag phase, hanya di atas kulit, tidak masuk ke dalam darah
2. Rising, dari stratum korneum diserap sampai ke kapiler dermis darah
3. Falling, obat habis di stratum korneum. Jika terus diserap kedalam,
khasiatnya akan semakin berkurang. Kurangnya konsentrasi obat yang
sampai ke tempat sasaran bisa karena proses eksfoliasi (bagian atas kulit
mengelupas), terhapus atau juga karena tercuci.
Faktor-faktor yang berperan dalam penyerapan obat pada kulit secara
topikal, diantaranya adalah:
1. Keadaan stratum korneum yang berperan sebagai sawar kulit untuk obat.
2. Oklusi, yaitu penutup kedap udara pada salep berminyak yang dapat
meningkatkan penetrasi dan mencegah terhapusnya obat akibat gesekan,
usapan serta pencucian. Namun dapat mempercepat efek samping,
infeksi, folikulitis dan miliaria jika penggunaannya bersama obat atau
kombinasinya tidak tepat.
3. Frekuensi aplikasi, seperti pada obat kortikosteroid yang kebanyakan
cukup diaplikasikan satu kali sehari, serta beberapa emolien (krim
protektif) yang akan meningkat penyerapannya setelah pemakaian
berulang, bukan karena lama kontaknya.
4. Kuantitas obat yang diaplikasi. Jumlah pemakaian obat topikal pada kulit
ini harus cukup, jika pemakaiannya berlebihan justru malah tidak berguna
bahkan dapat menyebabkan iritasi kulit. Jumlah yang akan dipakai, sesuai
dengan luas permukaan kulit yang terkena infeksi.
E. Pembentukan dan Kestabilan Emulsi
1. Teori Emulsifikasi
Ada 3 teori tentang pembentukan emulsi , yaitu :
a. Teori Tegangan Permukaan
Teori ini menjelaskan bahwa emulsi terjadi bila ditambahkan
suatu substansi yang menurunkan tegangan antar muka diantara 2
cairan yang tidak bercampur .
b. Teori Orientasi Bentuk Baji
Teori ini menjelaskan fenomena terbentuknya emulsi dengan
dasar adanya kelarutan selektif dari bagian molekul emulgator, ada
bagian yang bersifat suka terhadap air atau mudah larut dalam air
( hidrofil ) dan ada bagian yang suka dengan minyak atau larut dalam
minyak ( Lifofil ) .
c. Teori Film Plastik
Teori ini menjelaskan bahwa emulgator ini mengendap pada
permukan masing-masing butir tetesan fase dispersi dalam bentuk film
yang plastis. ( Farmasetika , 180 )
Surfaktan
dapat
membantu
pembentukan
emulsi
dengan
Jika kita mencampurkan suatu zat dengan zat cair, maka akan terjadi
penyebaran secara merata dari suatu zat tersebut ke dalam zat cair. Hal
inilah yang disebut sebagai sistem dispersi.
Pada umumnya, zat terlarut yang jumlahnya lebih sedikit disebut sebagai
fase terdispersi, sedangkan zat pelarut yang jumlahnya lebih banyak
disebut sebagai medium pendispersi.
3 yaitu :
1. Larutan sejati atau dispersi molekuler
Larutan sejati adalah campuran antara zat padat / zat cair (sebagai
fase terdispersi) dengan zat cair (sebagai medium pendispersi).
Pada larutan sejati, fase terdispersi larut sempurna dengan medium
pendispersi sehingga dihasilkan campuran yang homogen, sehingga antara
fase terdispersi dengan medium pendispersinya tidak dapat dibedakan lagi.
Molekul-molekul fase terdispersi tersebar merata ke dalam
komponen medium pendispersi, sehingga larutan disebut juga dispersi
molekuler.
2. Koloid atau dispersi halus
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tegangan permukaan dapat didefinisikan sebagai gaya yang terjadi pada
permukaan suatu cairan yang menghalangi ekspasi cairan tersebut, hal ini
disebabkan oleh gaya tarik menarik yang tidak seimbang pada antar muka
cairan
Tegangan antar muka (interfasial) adalah tegangan yang diukur pada
bidang batas dua cairan yang saling tidak bisa bercampur. Tegangan
antarmuka ini penting dalam aspek praktik dan teoritis pada masalah
masalah emulsi.
Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul
obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang
budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
University of Indonesia
Martin, Alfred, (1993),Farmasi Fisik, jilid I Edisi III, UI-Press, Jakarta
Anne Collins Abrams, RN, MSN. 2005. Clinical Drug Therapy.
Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press. Jakarta.
Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III . Departemen
Kesehatan RI.Jakarta.
9. Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV . Departemen
Kesehatan RI.Jakarta.
10. Fee, C.J., A Simple but Effective Fluidized-Bed Experiment, Chem. Eng.
Educ., Summer 1994