You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN
Pemberian

anestesi

pada

sectio

sesarea

memerlukan

beberapa

pertimbangan yang tidak seperti pada bedah umumnya. Ahli anestesi secara
bersamaan harus memberikan obat yang aman terhadap 2 individu yaitu ibu dan
anak sekaligus. Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologis pada hampir semua
sistem organ tubuh ibu seperti kardiovaskular, pernapasan, hematologi, dan sistem
gastrointestinal. Perubahan ini disebabkan oleh sekresi hormon yang dikeluarkan
oleh korpus luteum dan plasenta. Contohnya volume darah, detak jantung, dan
curah jantung meningkat, sedangkan tahanan pembuluh nadi menurun. Volume
tidal dan ventilasi semenit meningkat dan kapasitas residu fungsional menurun.1
Obat-obat anestesi yang diberikan kepada pasien harus dapat melewati
plasenta.

Pemberian

obat-obatan

diusahakan

seminimal

mungkin

untuk

menghindari efek yang merugikan pada uterus, ibu, dan anak.1


Anestesi spinal atau subarachnoid adalah anestesi regional dengan tidakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal
atau subarachnoid juga disebut sebagai analgesik atau blok spinal intradural atau
blok intratekal. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis
obat yang digunakan, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen,
lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas,
kehamilan, dan penyebaran obat.2
Sectio sesarea adalah suatu cara untuk melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina atau suatu
histerektomia untuk janin dari dalam rahim. Sectio sesarea juga adalah suatu cara
untuk melahirkan janin dengan menggunakan insisi pada perut dan uterus. Pada
sesctio sesarea anestesi spinal adalah pilihan utama untuk kebanyakan seksio
sesarea berencana dan emergensi. Keuntungan anestesi spinal untuk seksio
sesarea adalah mudah, blok yang mantap, dan kinerja cepat. Bupivakain 12 mg

memberi anestesia 1-2 jam. Anestetik lokal yang digunakan untuk anestesia spinal
biasanya dalam bentuk cairan hiperbarik.1,3
Berikut ini akan dilaporkan kasus pada pasien seorang wanita usia 35
tahun yang didagnosis dengan G4P3A0 gravid aterm + suspect Cephalopelvic
Disproportion (CPD) yang akan dilakukan seksio sesarea dengan teknik anestesi
spinal di RSU Anutapura Palu.

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PENDERITA
Nama

: Ny. Z

Umur

: 35 tahun

Jenis Kelamin : Wanita


Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk: 19 Januari 2015


Tanggal Operasi : 20 Januari 2015
II.

ANAMNESIS

A. Keluhan Utama :
Sakit perut tembus belakang kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit.
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien baru datang dengan keluhan sakit perut tembus belakang kurang
lebih sejak 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Sakit perut yang dirasakan
berintensitas jarang dan terjadi saat beraktivitas maupun saat tidak beraktivitas. 2
hari sebelum masuk rumah sakit pasien merasakan gerak janin berkurang. Mual
tidak ada, muntah tidak ada, sakit kepala tidak ada dan pasien juga tidak
mengeluhkan keluar air, lendir maupun darah dari jalan lahir.
C. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat operasi sebelumnya tidak ada.
D. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
N

Tahun

Usia

Jenis

Tempat

Kehamilan

Persalina

persalinan

Aterm
Aterm
Aterm

Normal
Normal
Normal

Penolong

Jenis

Keadaan

kelamin

1
2
3

2002
2004
2012

Rumah
Rumah
RS
Undata

E. Riwayat Penyakit Keluarga:

bidan
bidan
bidan

P
L
L

Sehat
Sehat
Sehat

Riwayat penyakit asma tidak ada, hipertensi tidak ada, diabetes mellitus tidak
ada.
F. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi :

III.

Riwayat alergi obat dan makanan tidak ada.


Riwayat asma tidak ada.
Riwayat kencing manis tidak ada.
Riwayat hipertensi tidak ada.
Riwayat penyakit jantung tidak ada.
Riwayat penyakit ginjal tidak ada.
Gigi palsu tidak ada.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik, kesadaran compos mentis
Tanda Vital

: T : 110/70 mmHg

RR : 28x/menit
: 36,7oC

N : 90x / menit

BB : 63 kg

ASA : I

Kepala

: Normosephal

Kulit

: Sianosis tidak ada

Mata

: Konjungtiva palpebra anemis tidak ada, sklera ikterik


tidak ada.

Telinga

: Discharge tidak ada.

Hidung

: Discharge tidak ada, nafas cuping tidak ada.

Mulut

: Gigi palsu tidak ada, sianosis tidak ada.

Leher

: Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada, deviasi


trakea tidak ada.

Tenggorok

: T1-1, faring hiperemis tidak ada.

Pemeriksaan Fisik Paru :


Inspeksi : Simetris, Retraksi dinding dada tidak ada. Pernapasan thoracoabdominal.
Palpasi

: Vocal fremitus sama kanan dan kiri.

Perkusi

: Sonor seluruh lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, suara tambahan tidak ada.


Pemeriksaan Fisik Jantung :

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak


Palpasi

: Ictus cordis teraba di intercostal V

Perkusi

: Batas jantung Normal

Auskultasi : BJ I-II murni reguler, bising tidak ada.


Pemeriksaan Fisik Abdomen :
Inspeksi

: Tampak gravid

Auskultasi

: Bising usus normal

Perkusi

: Pekak pada seluruh abdomen.

Palpasi

: Hepar dan lien tak teraba

Ekstremitas :

IV.

Superior

Inferior

Akral dingin

-/-

-/-

Oedema

-/-

-/-

Sianosis

-/-

-/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah :

WBC : 7 x 103/L
RBC

: 4,1 x 106/ L

HGB : 12 g/dL
HCT

: 34,6 %

PLT

: 239 x 103/L

HbsAg : Non Reaktif


Glukosa Sewaktu : 108 mg/dl
V.

DIAGNOSIS
G4P3A0 gravid aterm + suspect CPD.

VI.

PENATALAKSANAAN
-

Oksigen 4 Lpm
IVFD Ringer Laktat
Inj. Piracetam 1 gr/8 jam/iv
Rencana section caesaria
Informed consent operasi
Konsul ke bagian anestesi
Informed consent pembiusan

VIII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi
: Regional Anestesi

A.
1.
2.
3.

Teknik anestesi
: Sub-arachnoid blok
Induksi
: Bupivacaine Hyperbaric 0,5% sebanyak 15 mg
Anestesi mulai
: 12:00 WITA
Anestesi selesai
: 12.50 WITA
Operasi mulai
: 12.10 WITA
Operasi selesai
: 12.50 WITA
Anestesiologis
: dr. Taufik Imran Sp.An
Ahli Bedah
: dr. Abd. Faris, Sp.OG/ dr. Iin
Pre-operatif
Pasien puasa 8 jam pre-operatif.
Infus RL 24 tpm.
Keadaan umum dan tanda vital dalam batas normal.

B. Intra operatif
Menit ke0 (12.00)

Sistole (mmHg)
110

Diastole (mmHg)
70

Pulse (x/m)
75

5 (12.05)

110

70

80

10 (12.10)

100

70

70

15 (12.15)

120

70

80

20 (12.20)

120

70

70

25 (12.25)

120

70

40

30 (12.30)
35 (12.35)
40 (12.40)

120
120
110

70
70
60

40
40
60

45 (12.45)

110

70

60

50 (12.50)

110

70

60

Tabel 1. TTV selama operasi


Terapi cairan :
BB
Estimated Blood Volume (EBV)
Jumlah perdarahan

63 kg

70 cc/kgBB x 63 kg = 4410 cc

300 cc

% perdarahan : 300/4410 x 100% = 6 %


Kebutuhan cairan :
Maintenance

: 2 cc x 63 kg = 126 cc/jam

Defisit puasa

: 8 jam x 126 cc = 1008 cc

Stress operasi (besar) : 8 x 63 kg = 504 cc/jam


6

Perdarahan

: 300 cc (6 %)
Kristaloid 300 cc x 3 = 900 cc

C. Post operatif
Pemantauan di Recovery Room :
1. Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
2. Beri O2 2L/menit nasal canul.
3. Berikan antibiotik profilaksis, antiemetic, H2 reseptor bloker dan
analgetik
4. Bila Skor Bromage 2 boleh pindah ruangan.
5. Bila mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan
minum sedikit sedikit.

BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini wanita hamil usia 35 tahun didiagnosis dengan G4P3A0
dan suspect Cephalopelvic disproportion. Cephalopelvic Disproportion adalah
ukuran pelvis yang tidak proporsional dengan ukuran besar kepala bayi untuk
dilalui bayi pada proses persalinan. Disproporsi bisa terjadi akibat pelvis sempit
dengan kepala bayi normal, atau pelvis normal dengan bayi besar, atau kombinasi
antara bayi besar dan pelvis sempit.1

Pada CPD menyebabkan kepala janin terhalang masuk ke pintu alas


panggul, maka jalan persalinan akan berlangsung lama dan sering tidak timbul
persalinan spontan yang efektif. Pelvis yang ukurannya tidak proporsional dapat
mengakibatkan terjadinya ketuban pecah dini serta infeksi intrauterin pada saat
proses persalinan, maka resiko terhadap bayi meningkat demikian juga pada ibu.
Komplikasi lain yang terjadi adalah presentasi janin yang abnormal, hal ini
mengakibatkan robekan jalan lahir yang lebih luas pada saat proses persalinan,
sedangkan pada bayi dapat mengakibatkan mortalitas agak tinggi. Jika terjadi
amnionitis, maka bayi yang dilahirkan dapat mempunyai resiko mengalami
pneumonia dan kemudian septikemia. Partus lama dan traumatis, pada bayi dapat
mengakibatkan perdarahan pada intracranial dan memberi resiko yang tinggi
terjadi defisit syaraf pada otak. Apabila persalinan dengan CPD dibiarkan
berlangsung sendiri tanpa pengambilan tindakan yang tepat, menimbulkan bahaya
bagi ibu dan janin.1
Perubahan yang terjadi selama kehamilan dan pertimbangan fisiologi
kehamilan atau persalinan pada anestesi obstetri akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Perubahan Kardiovaskular dan Hemodinamik
Tekanan darah selama masa kehamilan meningkat hingga 45-50 %.
Peningkatan ini ditandai dengan meningkatnya volume sel darah merah dan
volume plasma yang akhir-akhir ini meningkat yang biasa disebut dengan anemia
fisiologis pada kehamilan. Cardiac output, detak jantung, dan stroke volume juga
meningkat selama kehamilan. Cardiac output meningkat hingga 40-50% pada usia
kehamilan 20 minggu. Peningkatan alirah darah didistribusikan menuju uterus,
dimana aliran darah meningkat hingga 50 ml permenit pada usia kehamilan 10
minggu hingga 850 ml permenit pada aterm. Aliran darah ke ginjal meningkat
hingga 80% terutama pada trimester kedua. Filtrasi glomerulus dan kreatinin
meningkat hingga 50% selama kehamilan.2
Resistensi vaskular sistemik yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh
darah perifer yang disebabkan oleh progestron, prostasiklin, dan estrogen.
Kejadian ini mengakibatkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun
diastolik.2
8

2. Perubahan Pernapasan
Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi, dan pertukaran gas. Kapasitas
fungsi residual menurun sampai 15-20%, cadangan oksigen juga berkurang. Pada
saat persalinan, kebutuhan oksigen meningkat sampai 100%. Menjelang atau
dalam persalinan dapat terjadi gangguan atau sumbatan jalan napas pada 30%
kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat pada waktu dilakukan induksi
anestesi.

Ventilasi

per

menit

meningkat

sampai

50%,

memungkinkan

dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.2


3. Perubahan Gastrointestinal
Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan
perubahan sudut gastroesophageal junction sehingga meningkatkan kemungkinan
terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Sementara itu juga
terjadi peningkatan sekresi asam lambung, penurunan tonus sfingter esofagus
bawah serta perlambatan pengosongan lambung. Enzim-enzim hati pada pada
kehamilan sedikit meningkat. 4
4. Sistem Saraf Pusat
Akibat peningkatan endorfin dan progesteron pada wanita hamil
mengakibatkan konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai
analgesia. Kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran
32%. Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal
yang diperlukan untuk mencapai anestesia juga lebih rendah. Hal ini karena
pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang subarachnoid
dan ruang epidural menjadi lebih sempit. Faktor yang menentukan yaitu
peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat meningkatnya kemampuan difusi zatzat anestetik lokal membran reseptor.2,4
5. Transfer Obat dari Ibu ke Janin melalui Sirkulasi Plasenta
Hal ini juga menjadi pertimbangan karena obat-obatan anestesia yang
umumnya merupakan depresan, dapat juga menyebabkan depresi pada janin.
Harus ditanggapi bahwa semua obat dapat melintasi plasenta dan mencapai
sirkulasi janin.2,4
Anestesi yang dilakukan pada pasien ini adalah anestesi regional yang
biasa disebut sub Arachnooid Blok (SAB) atau anestesi spinal. Teknik ini mudah,
awitannya cepat, dah harganya murah. Selain itu, pemilihan jenis anestesi regional
anestesi dengan teknik sub-arachnoid block (SAB) karena pembedahan dilakukan
9

didaerah abdomen, berada dibawah bagian yang dipersarafi oleh T4, yang
merupakan indikasi dilakukannya anestesi SAB.

Gambar 1. Saraf pada thorakal XII-Lumbal IV

Gambar 2. Saraf pada Lumbal IV-Sacral IV

10

Anestesi spinal atau biasa disebut blokade subarachnoid atau intratekal


merupakan anestesia blok yang luas. Anestesia spinal yang pertama kali
dikerjakan pada manusia pada tahun 1899 oleh Bier, tetapi karena angka kematian
yang tinggi, teknik tersebut tidak populer. Tetapi setelah diketahui efek fisiologis
dari anestetik lokal didalam ruang subarakhnoid, kini bahaya tersebut dapat
dicegah. Sesudah penyuntikan intratekal yang dipengaruhi lebih dahulu yaitu saraf
simpatis dan parasimpatis diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan
tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar,
dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit
tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan yang
sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali pulih kembali.5
Anestesi spinal atau subarakhnoid adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anestesi
spinal atau subarakhnoid disebut juga sebagai analgesik blokspinal intradural atau
blok intratekal. Untuk mencapai cairan serebrospinal maka jarum suntik akan

11

menembus

kutis,

subkutis,

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, kemudian paling


akhir adalah ruang subarakhnoid.6

Gambar 3. Tempat Penyuntikan


Anestetik lokal biasanya disuntikan ke dalam ruang subarakhnoid di
anatara konus medularis dan bagian akhir dari ruang subarakhnoid untuk
menghindari kerusakan medula spinalis. Pada orang dewasa, obat anestetik lokal
disuntikkan ke dalam ruang subarakhnoid antara L 2dan L5 dan biasanya antara L3
dan L4. Untuk mendapatkan blokade yang luas, obat harus berdifusi ke atas dan
hal ini bergantung pada banyak faktor, antara lain posisi pasien dan berat jenis
obat.5
Obat

Konsentrasi
Berat Jenis
1,5% dalam air
1,0052
2,5% dalam Dextrosa 5%
1,0203
Lidokain
2% plain
1,0004-1,0066
8% dalam 7,5% dekstrosa
1,0262-1,0333
Tetrakain
0,5% dalam dekstrosa 5%
1,0133-1,0203
0,5% dalam air
0,9977-0,9997
Bupivacain
0,5% dalam 8,25% dekstrosa
1,0277-1,0278
0,5% plain
0,9990-1,0058
Tabel 2. Konsentrasi dan Berat Jenis obat Anestetik Spinal
Prokain

Berat jenis cairan anestetik lokal dapat diubah-ubah dengan menukar


komposisinya. Berat jenis normal cairan serebrospinal adalah 1,007. Larutan

12

anestetik lokal dengan berat jenis yang lebih besar dari 1,007 disebut larutan
hiperbarik, hal ini dapat dicapai dengan jalan menambahkan glukosa ke dalam
larutan. Sebaliknya bila anestetik lokal dilarutkan ke dalam larutan NaCl
hipotonis atau air suling akan didapatkan larutan hipobarik.5
Distribusi anestesia dapat diatur dengan mengatur posisi pasien dan
dengan memperhatikan berat jenis obat yang digunakan. Misalnya, bila
diperlukan anestesia bagian bawah tubuh, pasien harus dalam sikap duduk selama
penyuntikan larutan hiperbarik dan 5 menit sesudahnya atau dengan posisi lateral
decubitus, atau pasien dalam posisi berbaring dengan kepala lebih rendah daripada
kaki selama penyuntikan dengan larutan hipobarik.5

Gambar 4. Posisi lateral decubitus

Gambar 5. Posisi duduk


Indikasi anestesi spinal :6

13

1. Bedah ekstremitas bawah


2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah Obstetrik-Ginekologi
5. Bedah Urologi
6. Bedah abdomen bawah
Kontraindikasi absolut anestesi spinal:6
1)
2)
3)
4)
5)

Pasien menolak
Infeksi pada tempat suntikan
Tekanan intrakranial meningkat
Fasilitasi resusitasi minim
Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi
Kontraindikasi relatif anestesi spinal:6

1)
2)
3)
4)
5)
6)

Infeksi sistemik
Infeksi sekitar tempat suntikan
Kelainan psikis
Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemia ringan
Pada pasien ini dilakukan anestesi spinal dengan posisi lateral dekubitus.

Pemilihan posisi tersebut dikarenakan akan lebih membuat pasien terasa nyaman
dan dapat meningkatkan aliran darah uterus pada wanita hamil
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada
anestesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sekali sehingga tak teraba tonjolan prosessus spinosus. Selain itu perlu
diperhatikan hal di bawah ini :7
1. Informed consent.

14

2. Pemeriksaan fisik meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk


menyingkirkan adanya kontraindikasiseperti infeksi. Perhatikan juga
adanya skoliosis atau kifosis.
3. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah penilaian hematokrit.
Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan
bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah. Sebelum dilakukan
operasi, dilakukan pemeriksaan pre-op yang meliputi anamnesa,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan status
fisik ASA dan resiko.
Peralatan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan
operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan
tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestesi spinal disiapkan. Jarum spinal
memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumernya dan ukuran 16G
sampai dengan 30G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain,
tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis
yang ujungnya runcing sperti ujung bambu runcing (Quincke-Babcock atau
Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil
banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri pasca penyuntikan spinal.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan duk steril
juga harus disiapkan.
Tehnik anestesi spinal:7
1. Posisi duduk atau posisi lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di
atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
2. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus.
Beri bantal kepala, selain memberikan kenyamanan pada pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosessus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

15

3. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis krista iliaka,


misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya beresiko
trauma terhadap medulla spinalis.
4. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
5. Beri anestesi lokal (jika perlu) pada tempat suntikan, misalnya dengan
lidokain 1-2% 2-3 ml.
6. Cara tusukan media atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit kearah
sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock), irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah ke atas atau kebawah, untuk menghindari
kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri pasca spinal.
Setelah resensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar
likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik.
7. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemorroid dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum
dewasa kurang lebih 6 cm.
Komplikasi anestesi spinal adalah sebagai berikut :7
1. Hipotensi berat akibat blok simpatis terjadi venous pooling. Pada dewasa
dicegah dengan meberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500
ml sebelum tindakan.
2. Bradikardia dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia.
3. Hipoventilasi akibat paralisis saraf frenikus atau hipoperfusi pusat kendali
nafas.
4. Trauma pembuluh saraf.
Pada pasien ini obat anestesi yang digunakan adalah bupivakain
hyperbaric dengan dosis 15 mg. Bupivacain adalah obat anastetik local yang

16

termasuk dalam golongan amino amida. Bupivacain diindikasikan pada anestesi


local termasuk anestesi infiltrasi, blok serabut saraf, anestesi epidural dan anestesi
intratekal.
Bupivacain adalah obat anestetik lokal epidural yang umum digunakan
selama proses persalinan. Struktur mirip dengan lidokain dan merupakan anestetik
lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek blokade terhadap
sensorik lebih besar daripada motorik.5
Bupivacain bekerja dengan cara berikatan secara intraseluler dengan
natrium dan memblok influk natrium ke dalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut saraf yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin,
maka bupivacain dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal. Bupivacain mempunyai
lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anestesi lokal yang
lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toksik pada
jantung dan sistem saraf pusat. Pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel, dan
henti jantung. Selain itu, kontraktilitas miokard dan depresi vasodilatasi perifer
terjadi, menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. Efek
pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP (gugup, kesemutan di sekitar mulut,
tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur, dan kejang) diikuti oleh mengantuk,
hilangnya kesadaran, depresi pernapasan, dan apneu.5
Bupivakain empat kali lebih kuat dibandingkan lidokain. Sekitar 90%95% obat ini berada dalam protein plasma maternal. Hal ini menyebabkan obat ini
lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan lidokain. Bupivakain merupakan agen
masuk cepat, keluar lambat. Hal inilah yang menjadi keuntungan yaitu
durasinya yang panjang dan blok motorik lama ketika kita memberikannya
sebagai konsentrasi analgesia. Penggunaan bupivacain untuk anestesi spinal

17

adalah 2-3 jam, dan memberikan reaksasi otot derajat sedang (moderate). Efek
blockade motorik pada otot perut menjadikan obat ini sesuai untuk digunakan
pada operasi-operasi perut yang berlangsung 45-60 menit. Lama blockade motorik
ini tidak melebihi durasi anelgesiknya.5,8
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana
perkiraan berat badan pasien adalah 63 kg, maka estimated blood volume = 70
cc/kgBB x 63 kg = 4410 cc (estimated blood volume untuk orang dewasa 6070cc/KgBB). Jumlah perdarahan yang terjadi durante operasi adalah sekitar 300
cc (6%). Pemberian transfusi darah diberikan sesuai dengan banyaknya darah
yang hilang. Diberikan apabila terjadi kehilangan darah 15-20% EBV. Pada pasien
ini didapatkan EBV sekitar 6% sehingga tidak dilakukan transfusi darah
Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini 126 cc/jam ditambah defisit
puasa 1008 cc, ditambah stress operasi (besar) 504 cc/jam, ditambah perdarahan
300 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan kristaloid) sehingga total cairan
pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 2538 cc.
Selama operasi pasien diberikan oksitosin intravena dan pospargin untuk
meningkatkan kontraksi uterus dan mengurangi perdarahan. Antibiotik profilaksis
berupa antibiotik spectrum luas Cefotaxim 1 gr/iv, antiemetic berupa ondansetron
4 mg/iv; H2 reseptor bloker Ranitidine 50 mg/iv; dan analgetik Ketorolac 30 mg.
Setelah masa pasca bedah pasien perlu mendapatkan pemantauan di ruang
pulih sadar. Masalah pulih sadar pada anestesi tidak hanya dinilai asal pasien telah
sadar, tetapi ada hal-hal yang penting yang perlu diperhatikan. Pada pasien yang
dilakukan spinal anestesi, kriteria pemindahan pasien jika Skor Bromage pasien
2 maka pasien boleh pindah ke ruangan perawatan.

18

Pengukuran yang paling sering digunakan untuk mengukur blok motor


adalah bromage skor. Pada skala ini intensitas blok motorik dinilai dengan
kemampuan pasien untuk menggerakkan ekstremitas bawah.
Kriteria

Nilai

Dapat memfleksikan kaki dan lutut

(None)
hanya dapat menekuk lutut tetapi tidak

dapat mengangkat kaki (Partial)


Hanya dapat menggerakkan

kaki

(Almost Complete)
Tidak dapat mengangkat kaki sama

Skor

sekali (Complete)
TOTAL
Keterangan : Pasien dapat dipindahkan ke bangsal atau ruang perawatan jika skor
kurang dari atau sama dengan 2.
Tabel 3. Penilaian Skor Bromage

Gambar 6. Skor Bromage

DAFTAR PUSTAKA
19

1. Prawirohardjo S, Winkjosastro H. Ilmu kebidanan. 4 thed. Jakarta: PT Bina


Pustaka; 2010.
2. Yentis S, May A, Malhotra S, Bogod D, Brighouse D, Elton C. Analgesia
Anaesthesia and Pregnancy. 2nded. New York: Cambridge University
Press; 2007.
3. Available from: URL : www.digilibunismus.ac.id diakses tanggal 24
Januari 2015.
4. Datta S. Obstetric Anesthesia Handbook. 4 thed. New York: Springer
Science and Business Media; 2006.
5. Syarif A, Estuningtyas A, Setiawati A, Muchtar A, Arif A, Bahry B et all.
Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.
6. Latief S A, Suryadi K A, Dachlan M R. Anestetik Inhalasi Petunjuk Praktis
Anestesiologi. 2nded. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
FKUI; 2002.
7. Mangku G. AnestesiInhalasi dan Buku Standar Pelayanan dan Tatalaksana
Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif. Denpasar: Bagian Anestesiologi
dan Reanimasi FK UNUD; 2002.
8. Boulton, BT. Blogg, CE. Anestesiologi. 10thed. Jakarta: EGC; 1994.

20

You might also like