You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Longsor berdampak sangat kompleks terhadap perubahan bentuk suatu
lahan maupun pada kondisi lingkungan yang ada pada lahan tersebut. Yudianto
(2006:2) mengemukakan bahwa longsor adalah suatu pergerakan massa tanah
pada bidang kelerengan, dari elevasi tinggi ke elevasi rendah dalam suatu waktu.
Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (dalam Hariyanto, 2009:76) menyatakan
bahwa gerakan tanah (longsoran) adalah suatu produk dari proses gangguan
keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke
tempat yang lebih rendah. Gerakan ini dapat terjadi pada tanah yang hambatan
tanah/batuannya lebih kecil dibanding dengan berat massa tanah/batuan itu
sendiri. Sitanala Arsyad (dalam Nursaban, 2011:3) menyatakan longsor akan
terjadi apabila terdapat tiga keadaan, yaitu (1) terdapat lereng yang cukup curam
sehingga massa tanah dapat bergerak atau meluncur secara cepat ke bawah. (2)
tidak adanya penghambat tanah/batuan untuk bergerak atau meluncur ke bawah.
(3) adanya kandungan massa air yang memberi bobot yang berat pada tanah,
sehingga massa tanah berpotensi untuk mengalami gerakan atau luncuran ke
bawah.
Selain itu, longsor juga dapat terjadi karena pola pemamfaatan lahan yang
tidak mengikuti kaidah kelestarian lingkungan, seperti gundulnya hutan akibat
deforestasi, dan konversi hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman dilahan

berkemiringan lereng yang terjal. Ketidakstabilan lahan terjadi karena dua hal,
pertama hilangnya tumbuhan atau pohon-pohon di dataran tinggi yang memiliki
fungsi mengikat butir-butir tanah sekaligus menjaga pori-pori tanah dibawahnya
sehingga infiltrasi air hujan berjalan lancar. Kedua akibat eksploitasi lahan miring
yang tidak tepat misalnya pembangunan pemukiman dengan memotong tebing
atau pengambilan tanah atau pasir didaerah bawah yang berlebihan.
Salah satu contoh fenomena mengenai permasalahan longsor terjadi pada
daerah kabupaten bulungan khususnya kecamatan tanjung selor. Secara umum
kecamatan tanjung selor memiliki luas 1.277,81 km 2. Secara fisiografis kecamatan
tanjung selor memiliki .
Persebaran daerah rawan longsor dapat diketahui secara mudah melalui
peta. Sebab jika tidak digambarkan kedalam bentuk peta, persebaran daerah rawan
longsor akan hanya bersifat informasi diskriptif, sehingga membuat penerima
informasi baik pemerintah maupun khalayak umum akan kesulitan mengetahui
persebaran daerah-daerah rawan longsor secara pasti. Oleh karena itu
penggambaran secara visual dengan peta sangat perlu dilakukan utuk memberikan
gambaran spasial terhadap daerah kecamatan tanjung selor mengenai persebaran
daerah rawan longsor di kecamatan tanjung selor.

B. Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya proposal penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui daerah rawan longsor di kecamatan tanjung selor

2. Untuk mengetahui akurasi hasil estimasi permodelan wilayah rawan


longsor
3. Untuk mengetahui penggunaan lahan yang terdampak oleh longsor
C. Batasan Masalah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem informasi Geografi atau SIG merupakan suatu sistem untuk
pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan atau manipulasi, analisis, dan penayangan
data yang data tersebut secara spasial (keruangan) terkait dengan muka bumi.
Pendapat lain mengemukakan bahwa sistem informasi geografi atau secara
akrabnya dikenal dengan Geographic Informastion System adalah suatu sistem
komputer

yang

berfungsi untuk memperoleh,

menyimpan,

menghitung,

menganalisis, dan menampilkan data geospasial (Chang, 2008). Sistem informasi


geografi tidak dapat dilepaskan dengan teknologi, khususnya teknologi digital
atau lebih khususnya teknologi komputer. Perkembangan SIG sangat berkorelasi
dengan perkembangan teknologi, karena salah satu komponen yang paling utama
dalam SIG adalah perangkat komputer sebagai alat untu pemrosesa SIG
(Ariyanto, 2012).
Secara teknis SIG mengorganisasikan dan memanfaatkan data dari peta
digital yang tersimpan dalam basis data. Dalam SIG, dunia nyata dijabarkan
dalam data peta digital yang menggambarkan posisi dari ruang (space) dan
klasifikasi, atribut data, dn hubungan antar item data. Kerincian data dalam SIG
ditentukan oleh besarnya satuan pemetaan terkecil yang dihimpun dalam basis
data. Dalam bahasa pemetan kerincian tergantung dari skala peta dan dasar acuan
geografis yang disebut sebagai peta dasar (Budiyanto, 2002).
Sedangkan struktur data SIG ada dua macam yaitu vektor dan raster. Pada
struktur data vektor posisi objek dicatat pada system koordinat. Sedangkan objek

pada raster disimpan pada grid dua dimensi yaitu baris dan kolom. Data atribut
atau tabular merupakan data yang menyimpan informasi mengenai nilai atau
besaran dari data grafis. Untuk struktur data vektor, data atribut tersimpan secara
terpisah dalam bentuk tabel. Sementara pada struktur data raster nilai data
grafisnya tersimpan langsung pada nilai grid atau piksel (Suryadi, 2009).
SIG merupakan sebuah sistem yang saling berangkaian satu dengan yang
lain. BAKOSURTANAL menjabarkan SIG sebagai kumpulan yang terorganisir
dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi, dan personel yang
didesain

untuk

memperoleh,

menyimpan,

memperbaiki,

memanipulasi,

menganalisi, dan menampilkan semua bentuk informasi yang berefrensi geografis.


Dengan demikian, basis analisis dari SIG adalah data spasial dalam bentuk digital
yang diperoleh melalui data satelit atau data lain terdigitasi. Analisis SIG
memerlukantenaga ahli sebagai interpreter, perangkat keras komputer, dan
software pendukung (Budiyanto, 2002).
Ada dua faktor utama yang terkait dengan masalah keberhasilan
implementasi SIG. Kedua hal tersebut yaitu masalah teknologi dan masalah
kondisi pengoperasian SIG itu sendiri. Keduanya berhubungan erat dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Keberhasilan dari implementasi teknologi SIG
sehingga sesuai seperti yang diharapkan akan memberikan dampak yang positif
dalam sistem pengelolaan informasi yang menyangkut antara lain masalah
efisiensi dan efektifitas, komunikasi yang tepat dan terarah, serta data sebagai aset
yang berharga. Efisiensi dan Efektifitas sistem kerja sebagai dampak dari
keberhasilan implementasi teknologi SIG akan semakin terasa. Pada era
globalisasi, setiap institusi pada sektor swasta (private sector) dapat bergerak

dengan efektif dan efisien setelah mereka menerapkan teknologi SIG untuk
membantu pekerjaan mereka di berbagai sektor, bidang atau industri jasa yang
mereka tekuni. Kunci kesuksesan bisnis pada sektor ini di masa depan, terutama
dalam menghadapi persaingan bebas, adalah adanya sistem pengelolaan yang
efisien dan sistem pelayanan yang baik untuk para pelanggan (Pardede dan
Warnars, 2006).
B. Arcgis 13.0

C. Metode Weighted Overlay


Metode weighted overlay , metode analisis ini merupakan analisis spasial
dengan menggunakan teknik overlay beberapa peta yang berkaitan dengan
faktorfaktor yang berpengaruh terhadap penilaian kerentanan. Alat analisis yang
digunakan adalah dengan menggunakan Geographic Information System (GIS)
(Chandra dan Rima, 2013).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survai. Proses
penentuan kesesuaian kawasan tersebut dilakukan dengan menggunakan operasi
spasial dengan memanfaatkan aplikasi SIG. Operasi spasial tersebut merupakan
operasi tumpang susun (overlay), dalam prosesnya operasi tumpang susun adalah
adalah suatu proses penyatuan data spasial dan merupakan salah satu fungsi
efektif dalam SIG yang digunakan dalam analisa keruangan. Sedangkan metode
yang digunakan adalah weighted overlay (ESRI, 2007). Weighted overlay
merupakan sebuah teknik untuk menerapkan sebuah skala penilaian untuk
membedakan dan menidaksamakan input menjadi sebuah analisa yang
terintegrasi. Weighted overlay memberikan pertimbangan terhadap faktor atau

kriteria yang ditentukan dalam sebuah proses pemilihan kesesuaian (Sofyan, dkk.,
2010).

BAB III
METEDOLOGI

You might also like