You are on page 1of 30

CASE-BASED DISCUSSUION

SEORANG LAKI-LAKI 18 TAHUN DENGAN KELUHAN KEPALA PUSING

Oleh :
Radit Hartantyo Mayangkara
01.207.5412

Pembimbing:
Dr. Zulfachmi Wahab, Sp.PD-FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. ADYATHMA TUGUREJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2014

HALAMAN PENGESAHAN

Nama
NIM
Universitas
Pembimbing

: Radit Hartantyo Mayangkara


: 012075412
: Universitas Islam Sultan Agung Semarang
: Dr. Zulfachmi Wahab, Sp.PD-FINASIM

Judul

: SEORANG LAKI-LAKI 18 TAHUN DENGAN KELUHAN KEPALA


PUSING
Pembimbing,
Dr. Zulfachmi Wahab, Sp.PD-FINASIM

DAFTAR MASALAH

No

Masalah aktif

Tanggal

1.

Lemas

07 Februari 2014

2.

Dyspepsia

07 Februari 2014

3.

Kepala pusing

07 Februari 2014

No
1.

Masalah inaktif
Jamkesmas

Tanggal

07 Februari 2014

STATUS PASIEN
STATUS PENDERITA
I. ANAMNESIS
A. Identitas

Keterangan

Nyeri perut disertai mual

Keterangan

Nama

: Tn. Juni Catur

Umur

: 18 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alamat

: Kalialam Baru RT 03 / RW 07

No. CM

Tanggal Masuk

: 07 Februari 2014

Tanggal pemeriksaan

: 07 Februari 2014

Ruang

: Anggrek

B. Keluhan Utama

Kepala Pusing

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dari IGD RS Tugurejo dengan keluhan nyeri perut. Keluhan
sudah dirasakan pasien sejak 1 hari SMRS.
Satu hari SMRS pasien mengeluhkan nyeri perut. Pasien akan muntah jika
pada saat menkonsumsi makanan atau minuman. Pasien merasakan perut
seperti penuh. Nyeri yang dirasakan pasien menjalar sampai ulu hati. Mual
dirasa ketika menjalani aktifitasnya sebagai pelajar. Hal tersebut berlangsung selama
30 menit. Pasien mengaku tidak bisa melakukan aktifitas karena merasa badan
lemas. Mual bertambah jika beraktifitas dan berkurang dengan beristirahat.
Pasien juga merasakan pusing dan leher kenceng-kenceng sejak 1 minggu
SMRS. Pasien juga merasakan berat badannya mengalami penurunan dari 40 kg
menjadi 35 kg dalam waktu kurang lebih 2 minggu. Pasien juga merasakan
sering haus dan sering BAK terutama di malam hari. Pasien sering lemas setelah
bangun tidur, sering merasa haus dan lapar, dan hampir setiap malam sering BAK > 4
kali. Air kencing berbusa, warna kuning.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat tekanan darah tinggi

: Disangkal

Riwayat sakit gula

: Disangkal

Riwayat sakit jantung

: Disangkal

Riwayat sakit asma

: Disangkal

Riwayat alergi

: Disangkal

Riwayat operasi

: Disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


-

Riwayat tekanan darah tinggi


Riwayat sakit gula
Riwayat asma
Riwayat sakit jantung

: Disangkal
: Diakui
: Disangkal
: Disangkal

F. Riwayat Kebiasaan
-

Riwayat minum jamu

: Disangkal

Riwayat minum obat-obatan

: Disangkal

Riwayat minum-minuman suplemen

: Diakui, minuman soda 2-3 botol/hari

Riwayat merokok

: Disangkal

G. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien sebagai pelajar. Saat ini, pasien berobat dengan biaya dari
JAMKESMAS.
H. Riwayat Gizi
Sebelum sakit pasien mengaku makan tidak teratur dan sering membeli
makanan di pinggir jalan. Nafsu makan tidak mengalami perubahan setelah di rawat
di rumah sakit.
I. Anamnesis Sistem

Keluhan utama

Nyeri Perut

Kepala

Sakit kepala (-), pusing (+), nggliyer (+), jejas (-), leher
kaku (+)

Mata

Penglihatan kabur (-), pandangan ganda (-),


pandangan berputar (-), berkunang-kunang (-).

Hidung

Pilek (-), mimisan (-), tersumbat (-)

Telinga

Pendengaran berkurang (-), berdenging (-),


keluar cairan (-), darah (-).

Mulut

Sariawan (-), luka pada sudut bibir (-), bibir pecah-pecah


(-), gusi berdarah (-), mulut kering (-).

Tenggorokan

Sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-).

Sistem respirasi

Sesak nafas (-), batuk (-), mengi (-), tidur mendengkur (-)

Sistem kardiovaskuler :

nyeri dada (-), berdebar-debar (-),


keringat dingin (-)

Sistem gastrointestinal :

Mual (+), muntah (-), perut mules (-), diare (-), nafsu
makan menurun (-), BB turun (+).

Sistem muskuloskeletal :

Nyeri otot (-), nyeri sendi (-), kaku otot (-).

Sistem genitourinaria

Sering kencing (+), nyeri saat kencing (-),

keluar darah (-), berpasir (-), kencing nanah (-), sulit


memulai kencing (-), warna kencing kuning jernih,
anyang-anyangan (-), berwarna seperti teh (-).

Ekstremitas: Atas

Luka (-), kesemutan (-), bengkak(-), sakit sendi (-), panas


(-), berkeringat (-), palmar eritema (-)

Bawah

Luka (-), gemetar (-), ujung jari dingin (-),


kesemutan di kaki (-), sakit sendi (-), bengkak (-) kedua
kaki

Sistem neuropsikiatri

Kejang (-), gelisah (-), kesemutan (-), mengigau (-), emosi


tidak stabil (-)

II.

Sistem Integumentum :

Kulit kuning (-), pucat (-)

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 11 Februari 2014 :
1. Keadaan Umum
Baik, kesadaran compos mentis
2. Status Gizi
Cukup

3. Tanda Vital
Tensi

: 110/70 mmHg

Nadi

: 88 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup

Respirasi : 21 x/menit
Suhu

: 37 C (peraxiller)

4. Kulit
Ikterik (-), petekie (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-), kulit kering (-), kulit
hiperemis (-), vesikel (+)
5. Kepala
Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah dicabut (-), luka (-)
6. Wajah
Simetris, moon face (-)
7. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-/-), perdarahan
subkonjungtiva (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+) normal, arcus
senilis (-/-), katarak (-/-)
8. Telinga
Sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), gangguan fungsi pendengaran
(-/-)
9. Hidung
Napas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-), fungsi pembau baik
10. Mulut
Sianosis (-), bibir kering (-), sianosis (-), stomatitis (-), mukosa basah (-) gusi
berdarah (-), lidah kotor (-), lidah hiperemis (-), lidah tremor (-), papil lidah
atrofi (-)
11. Leher
Simetris, deviasi trachea (-), KGB membesar (-),
tiroid membesar (-), nyeri tekan (-).

12. Thoraks
Normochest, simetris, retraksi supraternal (-), retraksi intercostalis (-), spider nevi
(-), sela iga melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening aksilla (-), rambut
ketiak rontok (-)
Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis kuat angkat di ICS V, 2 cm ke medial linea


midclavicularis sinistra.

Perkusi

: batas jantung

kiri bawah

: ICS V, 2 cm ke medial linea midclavicularis

sinistra
kiri atas

: ICS II linea sternalis sinistra

kanan atas

: ICS II linea sternalis dextra

pinggang jantung

: SIC III linea parasternalis sinistra

Kesan

: konfigurasi jantung normal

Auskultasi

BJ I-II reguler, bising (-), gallop (-)


Pulmo:
Depan
Inspeksi:
Statis

: normochest, simetris kanan kiri, retraksi (-)

Dinamis : simetris, retraksi (-)


Palpasi:
Statis

: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak ada


yang tertinggal

Dinamis : Pengembangan paru simetris, tidak ada yang


tertinggal
Fremitus : Sterm fremitus kiri=kanan
Perkusi:
Kanan

: sonor

Kiri

: sonor

Auskultasi:
Kanan

: Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan Wheezing (-),


ronki basah kasar (-), ronki basah

Kiri

halus (-)

: Suara dasar vesikuler (+) normal, suara

tambahan

wheezing (-), ronki basah kasar(-), ronki basah halus(-)


Belakang:
Inspeksi:
Statis

: normochest, simetris kanan kiri, retraksi (-)

Dinamis : simetris, retraksi (-), pergerakan paru simetris


Palpasi:
Statis

: simetris, sela iga tidak melebar, retraksi (-), tidak ada


yang tertinggal

Dinamis : Pengembangan paru simetris, tidak ada yang


tertinggal
Fremitus : stem fremitus kiri=kanan
Perkusi:
Kanan

: sonor

Kiri

: sonor

Auskultasi:
Kanan

: Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan


Wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki basah

halus

(-)
Kiri

: Suara dasar vesikuler (+), suara

tambahan

wheezing (-), ronki basah kasar(-), ronki basah halus(-)


13. Punggung
Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok costovertebra (-)
14. Abdomen
Inspeksi

: dinding perut sejajar dinding dada,


spider nevi (-), sikatriks (-), striae (-)

Auskultasi : peristaltik (+) normal, Bising usus (+) normal


Perkusi

: pekak beralih (-), pekak sisi (-), timpani di semua kuadran


abdomen

Palpasi

: supel, nyeri tekan epigastrik (+), hepar tidak teraba, lien tidak
teraba, nyeri menjalar ke punggung (-), turgor kembali cepat

15. Genitourinaria
Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
16. Kelenjar getah bening
Tidak membesar
17. Ekstremitas
Akral dingin ektremitas atas (-/-) ektremitas bawah (-/-)
Oedem ektremitas atas (-/-) ektremitas bawah (-/-)
18. Integumen
gatal (-), papul eritem disertai vesikel skuama (-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A.

Pemeriksaan Hematologi
Darah Rutin (08-02-2014)

Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Lekosit

7.91

3.8 10.6

Eritrosit

H 6.64

4.4 5.9

Hemoglobin

16.90

13.2 17.3

Hematokrit

45.90

40 52

MCV

L 69.10

80 100

MCH

L 25.50

26 34

MCHC

H 36.80

32 36

351

150 440

RDW

14.90

11.5 14.5

Eosinofil absolute

L 0.01

0.045 0.44

Basofil absolute

0.03

0 0.02

Neutrofil absolute

4.82

1.8 8

Limfosit absolute

2.44

0.9 5.2

Monosit absolute

0.61

0.16 1

Eosinofil

0.10

24

Basofil

0.40

01

Neutrofil

61.00

50 70

Limfosit

30.80

25 40

Monosit

7.70

28

Trombosit

Kimia Klinik (Serum)


Pemeriksaan
Glukosa Puasa

Hasil

Nilai Normal

H 350

<125

Ureum
Creatinin

17

10-50

L 0.69

0,6-0,9

IV. Daftar Abnormalitas


Anamnesis
1. Nyeri perut
2. Mual
3. Leher kenceng-kenceng
4. Polifagia
5. Poliuri
6. Nocturia
7. Penurunan berat badan
Pemeriksaan Fisik
8. Nyeri tekan Epigastrium
Pemeriksaan Penunjang
9. Eritrosit (H 6.64)
10. MCV (L 69.10)
11. MCH (H 36.80)
12. Eusinofil absolute (L 0.01)
13. Pemeriksaan darah serum GDP >125 mg/dl (350)
14. Pemeriksaan darah serum Creatinin ( L 0.69 )
1.

Abnormalitas 4,5,6,7,9,10,11,12,13,14 DM tipe 1

2.

Abnormalitas 1,2,8 Dyspepsia

DAFTAR MASALAH
1.
2.

Diabetes Melitus tipe 1


Dyspepsia

Rencana Pemecahan Masalah


Problem I. Diabetes Melitus Tipe 2
Assesment

Ass. Etiologi :
kerusakan sel beta pankreas
Ass. Faktor Resiko:
Riwayat keturunan keluarga yang menderita DM
Obesitas
Hipertensi
Hiperlipidemia ( HDL >35 mg/dl)
Kurang Olahraga

Ass. Komplikasi

Komplikasi mikrovaskular (retinopati, nefropati, neuropati)


Komplikasi makrovaskular ( penyakit jantung koroner, stroke)
Nonvaskular komplikasi (diare, gastroparesis)
Ulcus diabetikum
Ass. Penatalaksanaan :
Edukasi pasien tentang penyakitnya
Perencanaan makan
Latihan jasmani
Obat

Ip Dx :
Kadar gula darah puasa (126 mg/dl)
Kadar gula darah sewaktu (200 mg/ dl)
Kadar gula darah 2jam post pandrial ( 200 mg/dl)
Ip Tx :
Non medkamentosa.
Kebutuhan kalori
Perempuan 48 tahun, BB=80kg, TB=165cm, bekerja sebagai ibu rumah tangga
Kalori basal = 25 kal/kgBB (Wanita)
BMI = 29,38 kg/m2
BBI = (165-100)-10% = 65-6,5 = 58,5 kg

Jumlah kebutuhan kalori per hari


-

Kebutuhan kalori basal : 58,5 x 30

= 1755 kal

Koreksi
-

Umur (-5%)

Aktifitas fisik dan pekerjaan (+10%)

Berat badan (-20%)


Total = 1755-87,75+175,5-351=1491,5 kal

Makanan dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), sore
(25%), dan 2-3 porsi makanan ringan (10-15%).
Diet dan gaya hidup
Komposisi : Karbohidrat 60- 70%
Protein 10 15 %
Lemak 20 25 %
Prinsip : - anjuran makan seperti makan sehat empat sehat 5 sempurna
- Anjuran mengurangi makanan tinggi kalori,lemak, dan gula
- Teratur dalam jumlah jadwal dan jenis makan
Jumlah kalori disesuaikan dengan : pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut,
kegiatan jasmani.
Latihan jasmani
Latihan jasmani dengan prinsip CRIPE (continous, rhythmical, interval. Progressive,
endurance)
Medikamentosa
Infus RL 20 tpm
Metformin tab 500 mg 3x1
IpMx :
Cek KU dan tanda Vital
Cek GDS tiap harinya
Ip Ex
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita

Memberi penjelasan tentang pentingnya menjaga pola makan dan olah raga secara
teratur.

Problem II. Dyspepsia


Asessment

Ass. Etiologi
Infeksi

bakteri

H.pylori,duodenitis,tukak

peptic,gastritis,NSAID

Ass. Faktor Risiko


Stress(meningkatkan HCL), konsumsi makanan asam serta pedas dalam

jangka waktu yang cukup lama


Ass. Komplikasi
Perdarahan,anemia kronis.
Ass. Penatalaksanaan
Laboratorium(darah)
widal
UBT
USG
EGD
Ip. Dx.
Ip.Tx

Pemeriksaan Lab KOH

Inj Ranitidin
Domperidon tab 3 x 10 mg
Ip.Mx
KU
TTV
Ip.Ex
Makan teratur jangan telat makan
istirahat yang cukup
jangan stress

V.

ALUR KETERKAITAN MASALAH

Anamnesis

1. Nyeri perut
2. Mual

Pemeriksaan
Penunjang
Gula Darah
Puasa : 350

3. Muntah
4. Leher kenceng-kenceng

DM Tipe I

5. Polifagia
6. Poliuri
7. Nocturia
8. Penurunan berat badan

Dyspepsia

Pemeriksaan
fisik:

Nyeri tekan
ulu hati

Terapi

PEMBAHASAN

DIABETES TIPE I

Definisi
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai
macam etiologi, disertai dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin
atau gangguan kerja dari insulin, atau keduanya. Sedangkan Diabetes Mellitus tipe 1 lebih
diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan sel -pankreas yang
didasari proses autoimun.
Istilah diabetes mellitus berasal dari bahasa Yunani yaitu diabetes yang berarti sypon
menunjukan pembentukan urine yang berlebihan, dan mellitus berasal dari kata meli yang
berarti madu.

Etiologi

Etiologi DM tipe 1 diakibatkan oleh kerusakan sel beta pankreas karena paparan agen infeksi
atau lingkungan, yaitu racun, virus (rubella kongenital, mumps, coxsackievirus dan
cytomegalovirus) dan makanan (gula, kopi, kedelai, gandum dan susu sapi).
Beberapa teori ilmiah yang menjelaskan penyebab diabetes mellitus tipe 1 sebagai berikut:
1. Hipotesis sinar matahari
Teori yang paling terakhir adalah "hipotesis sinar matahari," yang menyatakan
bahwa waktu yang lama dihabiskan dalam ruangan, dimana akan mengurangi paparan
sinar matahari kepada anak-anak, yang akan mengakibatkan berkurangnya kadar vitamin
D. Bukti menyebutkan bahwa vitamin D memainkan peran integral dalam sensitivitas dan
sekresi insulin (Penckofer, Kouba, Wallis, & Emanuele, 2008). Berkurangnya kadar
vitamin D, dan jarang terpapar dengan sinar matahari, dimana masing-masing telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes mellitus tipe 1.
2. Hipotesis higiene "Hipotesis kebersihan"
Teori ini menyatakan bahwa kurangnya paparan dengan prevalensi patogen, dimana
kita menjaga anak-anak kita terlalu bersih, dapat menyebabkan hipersensitivitas autoimun,
yaitu kehancuran sel beta yang memproduksi insulin di dalam tubuh oleh leukosit. Dalam
penelitian lain, peneliti telah menemukan bahwa lebih banyak eksposur untuk mikroba dan
virus kepada anak-anak, semakin kecil kemungkinan mereka menderita penyakit reaksi
hipersensitif seperti alergi. Penelitian yang berkelanjutan menunjukkan bahwa "pelatihan"
dari sistem kekebalan tubuh mungkin berlaku untuk pencegahan tipe 1 diabetes (Curry,
2009). Kukrija dan Maclaren menunjukkan bahwa pencegahan diabetes tipe 1 mungkin
yang akan datang melalui penggunaan imunostimulasi, yakni memaparkankan anak-anak
kepada bakteri dan virus yang ada di dunia, tetapi yang tidak menyebabkan efek samping
imunosupresi.
3. Hipotesis Susu Sapi
Teori ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap susu sapi dalam susu formula pada 6
bulan pertama pada bayi dapat menyebabkan kekacauan pada sistem kekebalan tubuh dan
meningkatkan risiko untuk mengembangkan diabetes mellitus tipe 1 di kemudian hari.

Dimana protein susu sapi hampir identik dengan protein pada permukaan sel beta pankreas
yang memproduksi insulin, sehingga mereka yang rentan dan peka terhadap susu sapi
maka akan direspon oleh leukosit, dan selanjutnya akan menyerang sel sendiri yang
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas sehingga terjadi dibetes mellitus tipe 1.
Peningkatan pemberian ASI di 1980 tidak menyebabkan penurunan terjadinya diabetes
tipe 1, tetapi terjadi peningkatan dua kali lipat diabetes mellitus tipe 1. Namun, kejadian
diabetes tipe 1 lebih rendah pada bayi yang diberi ASI selama 3 bulan (Ekoe, Zimmet, &
Williams, 2001).

4. Hipotesis POP

Hipotesis ini menjelaskan bahwa eksposur terhadap polutan organik yang persisten
(POP) meningkatkan risiko kedua jenis diabetes. Publikasi jurnal oleh Institut Nasional
Ilmu Kesehatan Lingkungan menunjukkan peningkatan yang signifikan secara statistik
dalam tingkat rawat inap untuk diabetes dari populasi yang berada di tempat Kode ZIP
yang mengandung limbah beracun (Kouznetsova, Huang, Ma, Lessner, & Carpenter,
2007).

5. Hipotesis Akselerator
Sebuah teori yang menunjukkan bahwa tipe 1 diabetes merupakan bagian
sederhana dari kontinum yang sama dari tipe 2, tetapi muncul lebih dulu. Hipotesis
akselerator menyatakan bahwa peningkatan berat dan tinggi anak-anak pada abad terakhir
ini telah "dipercepat", sehingga kecenderungan mereka untuk mengembangkan tipe 1
dengan menyebabkan sel beta di pankreas di bawah tekanan untuk produksi insulin.
Beberapa kelompok mendukung teori ini, tetapi hipotesis ini belum merata diterima oleh
profesional diabetes (O'Connell, Donath, & Cameron, 2007).

Patogenesis
DM tipe 1 adalah penyakit autoimun kronis yang berhubungan dengan kehancuran
selektif sel beta pankreas yang memproduksi insulin. Timbulnya penyakit klinis
merupakan tahap akhir dari kerusakan sel beta yang mengarah ke tipe 1 DM. Berbagai
lokus gen telah dipelajari untuk menentukan hubungan mereka dengan DM tipe 1. Pada

awalnya diduga bahwa antigen B8 dan B15 HLA kelas I sebagai penyebab diabetes karena
meningkat pada frekuensi di penderita diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Namun, baru-baru fokus telah bergeser ke lokus HLA-DR kelas II dan ditemukan bahwa
DR3 dan DR4 lebih menonjol daripada HLA-B pada DM tipe 1. Akhirnya lokus alel HLA
DQ telah terlibat dalam kerentanan penyakit, melalui analisis Pembatasan fragmen
panjang polimorfisme (RFLP) dan disekuensi langsung, dengan menggunakan polymerase
chain reaction (PCR) untuk memperkuat urutan DNA spesifik, telah meningkatkan
pemahaman kami tentang kompleks HLA dan keterlibatan alel HLA dalam kerentanan
penyakit. Bukti diajukan menunjukkan bahwa kemampuan untuk memberikan kerentanan
atau resistensi terhadap DM tipe 1 berada dalam residu asam amino tunggal dari rantai bHLA-DQ.
Penggunaan lokus spesifik oligonukleotida untuk menyelidiki derivat dari rantai bHLA urutan DQ telah membantu untuk memperjelas hubungan antara subtipe DR4 dan
jenis DM tipe 1 terkait DQ alel. Ditemukan bahwa hanya mereka positif DR4 haplotipe
yang membawa alel DQW8 pada lokus HLA DQ yang terkait dengan DM tipe 1.
Perbandingan urutan rantai-b-DQ dari DM tipe 1 dan kontrol menunjukkan bahwa
haplotype yang positif dengan penyakit ini berbeda dengan yang secara negatif
berhubungan dengan asam amino dari posisi 57 dalam domain pertama rantai b-HLA-DQ.
Pada haplotype yang positif memiliki alanin, valin atau serin pada posisi 57,sedangkan
haplotype negatif memiliki asam aspartat ditemukan pada posisi 57 tapi beberapa
pengamatan tidak mendukung hipotesis "posisi 57". Yang terpenting adalah ditemukan
DQW4 dan DQW9 spesifik yang memiliki asam aspartat pada posisi 57, di Jepang pasien
DM tipe 1 sangat berhubungan dengan DQW4 dan DQW9, ini menunjukkan bahwa
mekanisme lain harus terlibat untuk menjelaskan kerentanan terhadap DM tipe 1 di
beberapa kelompok. Hubungan yang diamati antara DM tipe 1 dan HLA telah ditafsirkan
sebagai konsekuensi dari keterlibatan fungsional molekul HLA kelas II pada DM tipe 1.
Keterlibatan rantai b-DQ itu sendiri atau sebuah heterodimer DQ a/b dapat menunjukkan
bahwa fungsi presentasi antigen molekul kelas II adalah relevan untuk kerentanan DM tipe
1. Setelah pendekatan "seleksi epitop" untuk menjelaskan fenomena autoimun Nepons
telah menyarankan model dimana alel HLA kelas II mempengaruhi kerentanan IDDM
sebagai berikut: a). susunan dimer kelas II yang dikode oleh beberapa kompleks HLA
setiap individu, bervariasi afinitasnya untuk peptida tertentu yang dapat menimbulkan
autoimun ke sel beta; b). hanya dimer kelas II tertentu, produk dari gen rentan yang benarbenar mempromosikan autoimunitas untuk sel beta setelah mengikat peptida, c). individu

rentan jika produk dari gen kerentanan mengikat peptida lebih kuat dari produk-produk
gen tidak rentan yang ada dalam individu tersebut. Dengan demikian, dalam model ini
produk-produk dari alel HLA tertentu yang berkaitan dengan DM tipe 1 karena mereka
mengikat dan menyajikan peptida khusus untuk merangsang respon imun terhadap sel beta
pankreas.
Antigen yang terlibat dalam tipe 1 DM meliputi antigen 64kD, asam glutamat
dekarboksilase (GAD) dan antigen sitoplasma sel islet. Antibodi sel islet (ICA) mengikat
komponen sitoplasma sel islet pada bagian pankreas manusia dan endapan antibodi 64kDa
merupakan protein 64kDa dari ekstrak sel islet. Sedangkan antibodi 64kDa yang
ditampilkan untuk menjadi sel beta tertentu di dalam islet, beberapa sera ICA positif telah
dijelaskan untuk bereaksi dengan semua sel islet. Antigen target dari Antibodi 64kDa
diidentifikasi sebagai GAD enzim. Sel Islet tertentu pada baris sel beta memproduksi
antibodi IgG yang terikat ke antigen sitoplasma sel islet yang ditemukan. Anehnya semua
monoklonal antibodi yang diproduksi oleh baris, dikenali GAD target autoantigen. Dengan
demikian, GAD mungkin target antigen utama pada DM tipe 1, makanya antibodi untuk
GAD dijadikan penanda sensitif untuk perkembangan diabetes, walaupun antibodi GAD
ada dalam individu yang rentan secara genetik tetapi yang tidak mungkin untuk
mengembangkan disease.
Antibodi juga bereaksi dengan insulin dapat juga dideteksi dalam klinis pada periode
prediabetik yang laten, tetapi autoantibodi insulin memiliki sensitivitas lebih rendah
sebagai penanda untuk perkembanagn diabetes dibandingkan antibodi GAD atau ICA.
Kontribusi dari autoantigens disebutkan di atas untuk induksi dan atau kelangsungan
penyakit masih harus diklarifikasi. Jelas, bahwa identifikasi dari autoantigens dalam DM
tipe 1 adalah penting baik untuk tujuan diagnostik dan untuk potensi intervensi terapi imun
dalam proses penyakit.
Berikut ini dijelaskan mekanisme penurunan pengaturan yang telah dianalisis dalam
model hewan DM tipe 1, melalui tiga model hewan untuk tipe DM 1, yaitu tikus BB, tikus
NOD dan tikus MLD STZ dengan diabetes yang diinduksi, telah meningkatkan
kemampuan kita untuk memahami proses yang menyebabkan kerusakan sel beta. Namun,
karena semua kesimpulan yang diambil dari model hewan didasarkan pada asumsi analogi
dengan penyakit manusia, maka analogi perlu divalidasi lebih teliti.

Aktivasi antigen islet kepada sel T CD4+ spesifik menunjukan prasyarat mutlak bagi
perkembangan diabetes di semua model hewan DM tipe 1. Sel T CD4+ spesifik untuk islet
yang berasal dari tikus NOD diabetes, saat disuntikkan ke tikus prediabetes atau
nondiabetes, menginduksi insulitis dan diabetes. Dilaporkan juga bahwa sel T CD4+
cukup untuk menimbulkan insulitis sedangkan sel T CD8+ berkontribusi pada kerusakan
yang lebih parah. Temuan ini bersama dengan bukti bahwa insulitis di pencangkokan kronis
dibandingkan penyakit pada host dapat terjadi dengan tidak adanya sel T CD8+ menunjukkan
bahwa sel T CD4+ mungkin hanya sel imunokompeten yang diperlukan dalam proses
penyakit. Namun, tampaknya hanya satu subset sel T CD4+ yang bertanggung jawab untuk
induksi penyakit. Penurunan regulasi respon autoimun diabetogenik oleh sel limpa berasal dari
hewan yang dirawat dengan adjuvan juga dapat dijelaskan oleh subset sel T CD4+ saling
mempengaruhi.
Hasil awal oleh kelompok Lafferty (akan diterbitkan) menunjukkan bahwa perlakuan
awal dengan ajuvan tidak menghalangi respon autoimun, melainkan dapat menyimpang
respon dari profil sitokin Th-1 ke Th-2. Bahkan, tingkat tinggi sitokin tipe Th-1 yaitu IL-2 dan
interferon gamma ditemukan berkorelasi atau dan untuk meningkatkan induksi diabetes
autoimun model eksperimental. Sel Th-1 menghasilkan produk yaitu IFN-gamma yang akan
mengaktifkan makrofag. Pada penelitian dengan model hewan DM tipe 1 menggunakan
mikroskopis elektron untuk mengamati pankreas menunjukkan bahwa makrofag adalah sel
pertama yang menyerang islets.
Dalam penelitian in vitro dan studi pada perfusi pankreas menunjukkan bahwa
Interleukin 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF-), dua sitokin terutama diproduksi oleh
makrofag, menyebabkan perubahan struktural sel beta pankreas dan menekan kapasitas sel
beta pankreas untuk melepaskan insulin. Namun, tampaknya bahwa IL-1 dan TNF tidak
berkontribusi dengan aktivitas sitotoksik makrofag. Interferon gamma merupakan aktivator
kuat untuk makrofag dalam mensintesis nitrat oksida. Pada saat ini, ada bukti yang
menunjukkan bahwa aktivitas sintesis Nitrat oksida terlibat dalam perkembangan diabetes DM
tipe 1, dimana data ini menunjukkan untuk pertama kalinya, bahwa nitrat oksida dapat
menjadi faktor patogen dalam autoimunitas dan disarankan kemungkinan adanya kelas baru
pada agen immunofarmakologi, dimana mampu memodulasi sekresi nitrat oksida untuk dapat
diuji dalam pencegahan perkembangan DM tipe 1.
Meskipun bukti yang kuat untuk hubungan dengan faktor genetik, tingkat kesesuaian
untuk DM tipe 1 adalah mengherankan rendah pada anak kembar identik. Kesesuaiannya

kurang dari 100% pada kembar identik untuk DM tipe I telah memberikan kontribusi ke
sebuah penelusuran faktor lingkungan yang terkait dengan penyakit. Satu-satunya yang jelas
bahwa faktor lingkungan meningkatkan risiko untuk perkembangan diabetes tipe 1 adalah
infeksi rubella congenital, dimana sampai 20% dari anak-anak tersebut di kemudian hari
mengembangkan diabetes.
Pengamatan ini menunjukan bahwa selain temuan bahwa urutan asam amino dari rantai
DQ-b juga ditemukan di protein envelope virus rubella yang akan mendukung mimikri antigen
virus sebagai faktor etiologi dalam DM tipe I. Peran faktor lingkungan juga disarankan oleh
analisis respon imun terhadap protein susu sapi, dimana hampir semua pasien DM tipe 1
memiliki antibodi ke peptida serum albumin sapi dan menunjukkan respon sel T untuk peptida
serum albumin sapi yang sama dengan protein yang ada di permukaan sel beta di pankreas,
dibandingkan dengan hanya sekitar 2% dari kontrol.
Pada saat terjadi kekurangan insulin akibat kerusakan dari sel beta di pankreas, maka
hiperglikemia berkembang sebagai hasil dari tiga proses: (1) peningkatan glukoneogenesis
(pembuatan glukosa dari asam amino dan gliserol), (2) glikogenolisis dipercepat (pemecahan
glukosa disimpan) dan (3) pemanfaatan glukosa oleh perifer jaringan.

Glycolysis vs Gluconeogenesis

Gluconeogenesis

Gejala Klinis
Polidipsi, poliuria, polifagia, berat badan turun
Hiperglikemia ( 200 mg/dl), ketonemia, glukosuria
Anak dengan DM tipe 1 cepat sekali menjurus ke dalam ketoasidosis diabetik yang
disertai atau tanpa koma dengan prognosis yang kurang baik bila tidak diterapi dengan
baik. Oleh karena itu, pada dugaan DM tipe 1, penderita harus segera dirawat inap.

Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Laboratorium :

Kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.

Ketonemia, ketonuria.

Glukosuria

Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa
oral (oral glucosa tolerance test).

Kadar C-peptide.

Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin autoantibody), Anti GAD (Glutamic decarboxylase auto-antibody).

Penatalaksanaan
Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.
Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala
hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase honeymoon.
Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg
BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.

Diet
o Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia
pubertas dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut : 1000 + (usia dalam tahun
x 100) = ....... Kalori/hari
o Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55%
karbohidrat, 10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 3035% lemak.
o Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali m
akanan kecil sebagai berikut :
20% berupa makan pagi.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan siang.
10% berupa makanan kecil.
25% berupa makan malam.
10% berupa makanan kecil.
Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

Komplikasi
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati,
dan retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe 1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk
identifikasi penderita resiko tinggi untuk nefropati diabetik. Mikroalbuminuria mendahului
makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai
terjadinya nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).

Pemantauan
Ditujukan untuk mengurangi morbiditas akibat komplikasi akut maupun kronis, baik dilakukan
selama perawatan di rumah sakit maupun secara mandiri di rumah, meliputi :

Keadaan umum, tanda vital.

Kemungkinan infeksi.

Kadar gula darah (juga dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan glukometer)
setiap sebelum makan utama dan menjelang tidur malam hari.

Kadar HbA1C (setiap 3 bulan).

Pemeriksaan keton urine (terutama bila kadar gula > 250 mg/dl).

Mikroalbuminuria (setiap 1 tahun).

Fungsi ginjal.

Funduskopi untuk memantau terjadinya retinopati (biasanya terjadi setelah 3-5 tahun
menderita DM tipe-1, atau setelah pubertas).

Tumbuh kembang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Mortensen HB, et al. Multinational study in children and adolescents with newly diagnosed
type 1 diabetes: association of age, ketoacidosis, HLA status, and autoantibodies on residual
beta-cell function and glycemic control 12 months after diagnosis. Pediatric Diabetes 2010:
11: 218226.
2. Thomas RC, et al. Autoimmunity and the Pathogenesis of type 1 Diabetes. McGill
University Medical School, Montreal, Canada; 2010; 47(2): 5171
3. Irland NB. The story of type 1 diabetes. Nursing for womens health, volume 14, 2010;
327-338
4. Al Homsi MF, Lukic ML. An Update on the pathogenesis of Diabetes Mellitus. Faculty of
Medicine and Health Sciences, UAE University, Al Ain, United Arab Emirates; 2000
5. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan
Remaja. Diajukan pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR/RSUD Dr. Soetomo Surabaya. February 13, 2002.

You might also like