You are on page 1of 18

MAKALAH

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK

NAMA KELOMPOK:

ROFIQOTUL ADAWIYAH (201210340311106)


AYU ANDILA
(201210340311120)
MAZUIN IRAWAN
(201210340311139)

TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN 2014/2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakhmat dan
hidayah-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah ini,
dengan tepat pada waktunya yang berjudul Muhammadiyah sebagai gerakan
politik.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua
tentang apa yang dimaksud dengan Muhammadiyah sebagai gerakan politik.
Serta kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Srmoga Allah SWT senantiasa
meridhai segala usaha kita. Amin

Malang, 5 November 2014

Penulis

DAFTAR ISI
KATA

PENGANTAR

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK..
2.1.

Pengertian

politik
2.2.
Pergumulan Muhammadiyah dalam Berpolitik..
.
Perkembangan

2.3.

Politik

Muhammadiyah..
2.4.
Landasan
Operasional

Politik

Muhammadiyah
High
Politics

2.5.

dan

Politics.........................................................................
BAB III PENUTUP
1.1.

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA ..

Low

BAB I
PENDAHULUAN
Muhammadiyah sebagai gerakan politik (political movement) maksudnya
adalah pergumulan dan keterlibatan muhammadiyah dikancah perpolitikan bangsa
Indonesia sejak zaman penjajahan hingga zaman sekarang ini. Sebagai gerakan islam
mau tidak mau muhammadiyah harus terlibat dalam strategi-strategi perjuangan dan
dakwah islam di tengah-tengah masyarakat yang terjajah dan pemerintah yang
dianggap tidak islami. Di dalam sejarah, tokoh-tokoh muhammadiyah banyak terlibat
dalam politik praktis. Sebagai contoh, K.H. Mas Mansur pernah menjadi tokoh SI
dan mendirikan partai islam Indonesia (PII) dan diikuti oleh kader-kader lain
erikutnya seperti Amin Rais. Namun demikian, mereka tidak pernah melibatkan
muhammadiyah dalam perjuangan politik praktis, sehingga dalam sejarahnya
muhammadiyah tidak pernah menjadi partai politik.
Bentuk keterlibatan politik muhammadiyah sekarang ini adalah high politics,
yakni lebih mengedepankan moral daripada sekedar

memperoleh kekuasaan

sebagaiman pada umumnya perjuangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku low


politics (politik praktis kepartaian). Lalu apa yang ingin didapatkan muhammadiyah
dengan high politicsnya? Berpolitik tentu ada tujuan sebagaiman yang dikatakan
sebagai Harold Laswell mengenai pengertian politik, who gets what, when and
how politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.
Muhammadiyah bukanlah organisasi yang mempunyai kepentingan yang berkaitan
dengan aspiring for power, apakah itu untuk menduduki jabatan dalam bidang
eksekutif, misalnya presiden, wakil presiden dan mentri, ataupun dalam jabatan
dibidang legislative, apakah anggota DPR apalagi menjadi ketua dan wakil ketua di
lembaga tersebut. Kalau ada orang-orang muhammadiyah yang menghendakinya
maka itu merupakan urusan pribadinya karena muhammadoyah tidak akan
merekomendasikannya, namun juga tidak akan melarangnya. Akan tetapi kalau yang

bersangkutan

membawa

nama

muhammadiyah,

tentusaja

muhammadiyah

menentangnya.
Sekalipun demikian, muhammadiyah mempunyai kepentingan yang sangat
besar agar supaya bagaiman mereka yang berada dalam kekuasaan (those who are in
power) menjalankan kekuasaannya dengan sebaik-baiknya, dengan memperhatikan
nilai-nilai moral, memegang amanah kedudukan dan jabatannya. Muhammadiyah
akan berusaha dalam batas kemampuan yang ada untuk mengingatkan mereka
yang memiliki kedudukan dalam jabatan untuk tidak menyalahgunakan kedudukan
dan jabatannya. Itulah yang secara popular di kalangan islam kita mengenalnya
dengan amar maruf nahi munkar. Dan inilah yang sebenarnya disebut dengan
Amin Rais sebagai high politics.

BAB II
MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN POLITIK
2.1. Pengertian Politik
Politik (siasah-bahasa arab; politics-bahas inggris) memiliki pengertian
yang sangat luas. Kata politik mengundang kontroversi terutama bagi mereka yang
tidak memahaminya. Akan tetapi apakah itu politik? Mungkin ada baiknya
diungkapkan mengenai apa makna politik. Ilmuan politik yang sanagat terkenal,
David Easton, menyatakn politik tidak lain daripada bagaiman mengalokasikan
sejumlah nilai secara otoritatif bagi sebuah masyarakat authoratitative allocation of
values for a society.
Artinya dalam kehidupan sehari-hari ada sejumlah nilai yang selalu dicari,
dikejar-kejar, dan tentu saja dipertaruhkan orang dalam hidup bermasyarakat serta
bernegara. Nilai-nilai tersebut tentu saja merupakan sesuatu yang sanagat berharga
atau bermakna dalam kehidupan sehingga orang dapat melakukan apa saja untuk
memperolehnya. Apakah nilai-nilai tersebut? Seorang ahli ilmu politik lainnya, Karl
W. Deutsch, mengelompokkan nilai-nilai tersebut dalam delapan kategori, termasuh
didalamnya
(enlightment),

kekuasaan,
kebebasan,

kekayaan,
keamanan,

kehormatan,
dan

kesehatan,

lain-lainnya.

kesejahteraan

Nilai-nilai

ersebut

dialokasikan secara otoritatif, artinya sekali diputuskan oleh Negara bagaimana


mengalokasikannya,

maka

akan

mengikat

(binding)

semua

pihak

yang

berkepentingan dengan nilai-nilai tersebut, sehingga negara memiliki hak untuk


memberikan paksaan fisik agar orang tunduk dan patuh terhadap keputusan yang
mengikat dalam rangka alokasi nilai tersebut.
Di dalam konteks masyarakat Indonesia sering terjadi kesenjangan antara ilmu
politik yang dipelajari dengan politik-politik yang terjadi. Ilmu politik adalah ilmu
social yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara sejauh Negara
merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat tujuan dari gejala-gejala kekuasaan

lain yang resmi, yang dapat mempengaruhi Negara. Di dalam praktiknya, pengrtian
politik menjadi deterministic yakni segara urusan dan tindakan (kebijaksannan,
siasat, dan sebagainya) mengenai pengertian sesuatu Negara atau terhadap Negara
lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah
disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. Segala aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan bermaksud mempengaruhi, dengan jalan
mengubah atau mempetahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat. Pada
umumnya dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam egiatan dalam suatu
system politik atau Negara yang bekenan dengan proses menentukan tujuan-tujuan
dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Dengan demikan maka seringkalai persoalan politik adalah persoalan
bagaimana menerapkan dan menfsirkan konsep-konsep atau teori-teori politik
terhadap fenomena di masyarakat yang mendekati kebenaran. Atas dasar tiu maka di
dalam menjalankan politik akan tergantung pada perspektif dan paradigma apa yang
dipakai. Di dalam konsep islam, politik memiliki banyak arti antara lain; kegiatan
mendidik, memimpin, mengurus, menjaga kepentingan, menyuruh melakukan
kebaikan, menjalankan tugas dan sebaginya. Semua itu bertujuan untuk
mendatangkan kebaikan dan manfaat kepada masyarakat.
2.2.

Pergumulan Muhammadiyah Dalam Berpolitik


Sejak berdirinya tahun 1912, muhammadiyah bukan partai politik, meskipun

pendirny, Ahmad Dahlan (1868-1923), mengenal dari dekat tokoh-tokoh politik


indoesia seperti dr. Wahidin Sudirohusodo, pendiri budi utomo (Ahmad Dahlan
pernah menjadi anggota dan penasehat budi utomo), H. Samanhudi, H.O.S.
Cokroaminoto dan H. Agus Salimketiganya pendiri dan pemuka syarikat islam (SI)
(Ahmad Dahlan pernah menjadi anggota dan penasehat SI). Ketika

H.O.S.

Cokroaminoto mengadakan kongres islam di Cirebon pada tahun 1921,


muhammadiyah ikut membantu penyelenggaraannya. Bahkan dalam kongres
tersebut, Ahmad Dahlan menyampaikan prasaran tentang pembaharuan pemikiran
islam dan konsep pendidikan islam.

Mas Mansur, tokoh puncak muhammadiyah (1937-43), juga pernah menjadi


anggota dan penasehat SI pada tahun 1915, selesai studinya dari timur tengah. Pada
tahun 1925, Mas Mansur sebagai tokoh muhammadiyah sekaligus sebagai tokoh SI,
H.O.S. Cokroaminoto , sebagai tokoh puncak SI, menjadi delegasi resmi Indonesia
yang menghadiri kongres dunia islam tentang khilafah islam di mekkah . namun
setahun kemudian, pada 1926, SI mengeluarkan disiplin partai yang melarang
keanggotaan rangkap, dan muhammadiyah terkena disiplin partai ini, termasuk Mas
Mansur.
Ketika partai syarikat islam melakukan politik hijrah atau noncooperation
dengan pemerintah Hindia-Belanda muhammmadiyah menyadari sustu keharusan
adanya politik tidak hijrah atau cooperation. Oleh karena itu melalui Mas Mansur
dan Wiwoho, muhammadiyah mendirikan partai islam Indonesia PII pada tahun
1938, meskipun sebelumnya Mas Mansur

menemui pemimpin partai

SI agar

disiplin partai yang dikenakan kepada muhammadiyah bis adicabut. Namun harapan
muhammadiyah

tidak

terwujud.

Jika

terwujud

keadaannya

akan

lain;

muhammmadiyah akan memperioritaskan saluran politiknya pada SI.


Setahun sebelumnya, pada September 1037, telah berdiri lembaga
permusyawaratan islam Indonesia bernama majelis Ala islam Indonesia (MIAI) yang
diprakarsai tokoh islam empat serangkai; Mas Mansur (Muhammadiyah), Wiwoho
Wondoamiseno (SI) Ahmad Dahlan dan Abdul Wahab (NU). Peleksanaan lembaga
ini diserahkan kepada tokoh empat serangkai tersebut. Di lembaga ini bertemu
berbagai organisasi islam, yang tercemin saat organisasi ini berdiri, yaitu
muhammadiyah, SI, Persatuan Islam, Al-Itsyad (Surabaya), Hidayatul Islamiyah
(Banyuwangi), dan Khairiyah (Surabaya).
Data

sejarah

di

atasm

menunjukkan

peran

dan

kontribusi

aktif

muhammadiyah dalam perjuangan politik. Dan ini merupakan bagian dari


perjuangan muhammadiyah untuk mewujudkan cita-citanya muhammadiyah
menyalurkan perjuangan politik pada partai politik islam, tanpa harus menjadikan
muhammadiyah sebagai partai politik. Perjuangan politik ini dilakukan dengan
melibatkan seluruh ekuatan umat islam dengan satu tujuan, yaitu kemenangan islam.
Dengan kata lain, perjuangan politik bagi muhammadiyah didasarkan pada dua

prinsip. Pertama, muhammadiyah memerlukan aspirasi politik dan ini dilakukan di


luar organiasi muhammadiyah. Kedua, penyaluuran kemenangan islam dan umatnya
secar keseluruhan. Karen aitu, upanya untuk melibatkan dan memperdayajkan
seluruh kekuatan umat islam merupakan suatu keniscayaan.
Dua prinsip inilah yang dipegang teguh muhammadiyah ketika bersam tokohtokoh islam lainnya mempelopori berdirinya partai majelis syura muslimin Indonesia
(Masyumi) pada 7-8 nopember 1945,

di madrasah muallimin muhammdiyah

Yogyakarta. Saat pembentukan partai masyumi ini, ada pengakuan bahwa


muhammadiyah memerlukan saluran aspirasi dan perjuangan politik islam bagi
seluruh organisasi islam Indonesia. Meskipun demikian, pada 1947 SI keluar dari
masyumi, dan pada 1952 Nahdatul Ulama (NU) mengikutinya.
2.3.

Perkembangan Politik Muhammadiyah


Tidak seperti halnya dengan Nahdatul Ulama (NU) , muhammadiyah

merupakan persyarikatan yang tidak pernah terlibat langsung dengan politik praktis.
Kalau NU pernah menjadi partai politik yakni partai NU (1955), maka
muhammadiyah tidak ernah mengakaminya, kecuali sempat melakukan pernikahan
dengan parpol. Persyarikatan yang didirikan di kampong kauman, Yogyakarta pada
18 november 1912 atau bertepatan dengan 8dzulhijah 1330 hijriah itu pernah
melakukan pernikahan resmi dengan parpol ketika menjadi anggota istimewa dari
masyumi.
Namun, gerakan islam modernis yang diirikan KH Ahmad Dahlan atau
Muhammad Darwis itu juga pernah melakukan pernikahan siri dengan parpol
ketika pendiri armusi (tanwir ponorogo). Selain itu, muhammadiyah pernah
melakukan nikah mutah (kontrak) ketika sebagaian pengurusnya terlibat dalam
pendirian PAN, tapi akhirnya ditinggalkan parpol bentukan Amin Rais itu. Model
paling akhir justru bukan pernikahan, melainkan perceraian organisasi
pemurnian dan pembaruan islam itu dengan parpol sebagaiman dirumuskan dalam
Tanwir Denpasar (2001).
Relasi muhammadiyah dengan parpol itu sebenarnya sudah cukup jelas,
karena muhammadiyah secara historis tidak boleh berpolitik praktis. Muhammadiyah

sebagai gerakan dakwah itu mencangkup seluruh bidang kehidupan, ermasuk politik.
Politik dan partai politik itu berbeda. Sejak sidang tanwir di Denpasar pada tahun
2001, muhammadiyah bertekad mengintensifkan politikkebagsaan, sehingga
muhammadiyah tetap terlibat dalam politik.
Secara historis, politik yang melekat pada muhammadiyah adalah politik
kebangsaan yang sering disebut dengan politik amar maruf nahi munkar
(mengajak ke kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bahkan, para pemimpin
terdahulu di muhammadiyah sangat akif berpolitik seperti KH Ahmad Dahlan di
budi utomo atau KH Mas Mansur dalam BPUPKI. Artinya, muhammadiyah itu tidak
segan-segan menjadi pengeritik paling depan jika pemerintah bertindak salah, tapi
muhammadiyah juga menjadi pendukung terdepan jika pemerintah memang benar.
2.4.

Landasan operasional Politik Muhammadiyah


Secara normatif, gerak perjuangan Muhammdiyah dijelaskan dalam

Muqqodimmah

Anggaran

Dasar

Muhammadiyah,

Kepribadian

Muhammadiyah,Matan keyakinan dan cita-cita hidup muhammadiyah (MKCH)


bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar maruf nahi mungkar.
Sementara secara operasional, bahwa muhammadiyah memilih lahan dakwah
dibidang

kemasyarakatan

ditegaskan

dalam

khittah(garis)

perjuangan

diantarannya ;Khittah Ponorogo 1969, khittah Surabaya 1978, khittah Denpasar


2002. Berikut ini adalah kutipan panjang tentang khittah perjuangan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara
merupakan salah satu aspek dari ajaran islam dalam urusan keduniawian (al-umur
ad-dunyawiyat ) yang harus selalu dimotivasi,dijiwai da dibingkai oleh nilai-nilai
luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang
positif dari seluruh warga muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik dari
seluruh warga muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun
kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan plitik maupun melalui

pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak


diperlukan untuk membangun kehidupan dimana nilai-nilai ilahiah melandasi dan
tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan,
perdamaian , ketertiban ,kkebersamaan dan keadaban untuk terwujudnya Baldatun
thayyibatun wa rabbun Ghafur.
Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupa berbangsa dan
bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau perbedayaaan masyarakat guna
terwujudnya masyarakat yang madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan
muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya.
Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai
proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahab akan ditempuh melalui pendekatanpendekatan secara tepat dan kebijakan sesuai prinsp-prinsip perjuangan kelompok
kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara demokratis.
Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang besifat
praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics ) untuk dijalankan oleh partaipartai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya
menuju terciptannya sistem politik yang demikratis dan berkeadaban sesuai dengan
cita-cita luhur bangsa dan negara . dalam hal ini nperjuangan politik yang dilakukan
oleh

kekuatan-kekuatan

politik

hendaknya

benar-benar

mengendepankan

kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi


semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik indinesia yang
diproklamasikan tahun 1945.
Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud
dari dakwah amar maruf nahi mungkar dengan jalan mempengaruhi proses dan
kebajiakan negara agar tetap berjalan dengan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita
luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan
berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional
yang damai dan beradaban.
Muhammadiyah
organisatoris

dengan

tidak

berafiliasi

kekuatan-kekuatan

dan

tidak

politik

atau

mempunyai

hubungan

organisasi

manapin.

Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang


perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar maruf
nahi mungkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan
berkeadaban.
Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota persyarikatan
untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politiksesuai hati urani masingmasing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggung jawab sebagai
warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis ,sejalan dengan misi dan
kepentingan muhammmadiyah demi kemaslahatan baangsa dan negara.
1. Kebebasan Beraspurasi dalam politik praktis
Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotannya yang aktif dalam
politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara
sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), dan
perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya
memperjuangkan misi persyarikatan dalam melaksanakan dawah amar
maruf nahi mungkar. Setiap anggota dbebaskan menyalurkan aspirasi
politiknya kepada salah satu partai,politik yang dipandang dapat menyarakan
misi islam untuk menegakkan keadilan sesuai dengan primsip-prinsip ajaran
islam.
2. Metamorfose sikap politik muhammadiyah
a. Tahun 1912 1926, muhammmadiyah dinyatakan buakn sebagai
organisasi politik, meskipun bvanyak anggota muhammadiyah yang
menjadi anggota aktif dalam organisasi budi utomo, sarikat islam, partai
sarikat islam indonesia.
b. Tahun 1927-1938, muhammadiyah memantapkan diri sebagai organisasi
islam dan amal. Anggota muhammadiyah yang memasuki partai sarikat
islam indonesia (PSII) terkena disiplin organisasi tidak boleh merangkap
keanggotaan dengan muhammadiyah.
c. Tahun 1938-1942, pada tahun 1923 para pemuka joung islami ten bond
(JIB) dan para anggota muhammadiyah berhasil mendirikan partai islam
indonesia (PII), tetapi muhammadiyah sebagai organisasi tetap tidak
menetapkan secara resmi terhadap eksistensi partai itu.

d. Tahun 1942 1945, muhammadiyah bersama dengan organisasi


organisasi islam mendirikan majelis islam akla indonesia (MIAI) dan
muhammadiyah sebagai organisasi, tetap tidak merupakan bagian dari
majelis ini.
e. Tahun 1945 1960, pada tahun 1945 MIAI berubah menjadi majelis
syuro muslimin indonesia (masyumi) dan muhammadiyah sebagai
anggota istimewa dan dinyatakan sebagai bagian struktural dari partai itu.
Pada tahun 1950, muhammadiyah tidak lagi menjadi anggota istimewa
masyumi.
f. Tahun 1960 1965, muhammadiyah dalam posisi yang sulit sebab situasi
politik kenegaraan yang semakin panas, dan dominasi kekuatan komunis
sangat menentukan.
g. Tahun 1965 1971, muhammadiyah dinyatakan oleh pemerintah sebagai
organisasi masyarakat atau ormas yang berfungsi sebagai politik real.
Artinya muhammadiyah berhak mempunyai wakil-wakil dalam legislatif.
Pada periode ini ada usaha dari orang islam yang aspirasi politiknya
belum tertampung dalam partai politik yang ada. Akhirnya menetapkan
membentuk partai muslimin indonesia meskipun muhammadiyah masih
tetap memiliki independentsinya.
h. Tahun 1971 sekarang, dalam bidang politik muhammadiyah berusaha
sesuai dengan hittah (garis) perjuangannya dengan dakwah amar makruf
nahi munkar dalam arti dan proporsi yang sebenar benarnya,
muhammadiyah harus dapat membuktikan baik secara teoritis konseptual,
secara operasional, secara real bahwa ajaran islam mampu mengatur
masyarakat dalam negara republik indonesia yang berpancasila dan UUD
1945 menjadi masyarakat yang adil makmur serta sejahtera.
3. Moral Politik Muhammadiyah
Pemahaman terbalik(mafhum mukhalafah) dari diusungkannya materi
diatas dengan penekana pada dua khittah meskipuan sebenarnya masih ada
khittah surabaya 1978 yang perlu diusung seakan ingin mengamini bahwa
swlama ini muhammmadiyah memang belum atau tidak serius berjalan diatas
rel khittahnya yaitu sebagai ormas keagamaan. Selama ini ,muhammadiyah
kerap membuat putusan yang secara sadar atau tidak telah menyeret
muhammadiyah pada kubangan politik praktis . karena itu, tidak heran bila

selama perjalanan sejarahnya muhammmadiyah lebih banyak bersinggungan


dengan politik praktis.
Dua khittah ujung pandang dan denpasar sama-sama menegaskan
netralitas muhammadiyah terhadap kekuatan politik mana pun. Hanya yang
membedakan ,sebagai khittah trasisi ,khittah ujung pandang masih
belum,bisa membebaskan dari kungkungan khittah ponorogo,1969 yang
nuansa politiknya lebih kuat , sehingga masih menyebut kata parmosi untuk
lebih memantapkan muhammmadiyah sebagai gerakan dakwah islam setelah
pemilu 1971, muhammadiyah melakukan amar maruf nahi minkar secara
konstruktif dan positif terhadap parmusi seperti halnya terhadap partai-partai
politik dan oraganisasi-organisasi lainnya(point 3). Bila dikaji dalama
konteks jamannya ,keluarnya rumusan khittah tersebut menarik untuk
dikritik,khittah ujung pandang misalnya selepas munculnya kebijakan
politik berupa khittah ponorogo yang begitu partisan .
Setelah menyadari bahwa selain khittah ponorogo tidak membawa
maslahah yang bertentangan dengan jati diri muhammmadiyah, juga realitas
politik saat itu yang mulai tidak kondusif lantaran negara militer mulai tampil
serba dominan melalui golkar dan juga pelaksanaan pemilu 1971 yqng sarat
dengan kecurangan ,keluarlah khittah ujung pandang yang menegaskan
netralitas politik muhammadiyah.
Begitu juga khittah denpasar diputuskan selepas muhammadiyah melalui
tanwir semarang 1998,memberikan rekomendasi dukungan atas berdirinnya
partai amanat nasional(PAN). Kerika PAN dinilai juga tidak membawa
maslahah,bahkan cenderung membebani ,karena muhammmadiyah selalu
saja diidentifikasika dan dikaitkan dengan PAN muhammadiyah pun
mengeluarkan rumusan khittah denpasar.
Varian politik keluarnya rumusan khittah ponorogo,khittah ujung
pandang,khittah surabaya,khittah denpasar dan muhammmadiyah yang
ambigu,juga menegaskan adannya tarik menarik dan terfragmentasiinya sikap
politikwarga muhammadiyah. Dan bila berkaca pada doktrin mainstream
dikalangan umat islam bahwa islam terfragmentasinnya sikap politik warga
muhammmadiyah cukup bisa dipahami. Apalagi ,sejarah muhammmadiyah
juga menunjukkan dominasi dalam relasinnya dengan politik.

Dominasi relasi ini setidaknya tergambar dari kedekatan KH Ahmad


Dahlan dengan Budi Utomo dan PSII . relasi i i boleh dikatakan sebagai titik
awal muhammadiyah bersinggungan dengan politik. Ketika dikomandoi KH
Mas Mansyur ,wajah politi muhammadiyah bahkan begitu dominan. KH Mas
Mansur misalnya,menjadi oenggagas berdirinnya oartai islam Indonesia
(PII),penggagas lahirnya MIAI dan Masyumi. Pasca orde lama ,ketika upaya
rehabilitas Masyumi gagal,Muhammmadiyah juga oenggagas lahirnya
parmusi.
Sewaktu rezim orde baru menerapkan kebijakan

depolitisasi partai

politik,Muhammadiyah yang terpresentasikan lewat parmusi (MI) memfusi


ke dalam PPP . melalui rekomendasi Tanwir semarang 1998,Muhammadiyah
juga ikut membudani lahirnya PAN . Tahun 2004 melalui Tanwir Mataram ,
Muhammadiyah mengeluarkan rumusan politik yang cenderung vis a vis
khittah denpasar yang memberikan lampu hijau kepada AMM untuk
mengkaji kemungkinan berdirinnya partai baru. Keputusan Tanwir ini
kemuduan disikapi ditafsiri secara kritis oleh eksponen AMM dengan
2.5.

mendirikan partai matahari bangsa (PMB).


High Politics and low Politics
Paparan diatas menggambarkan bahwa kebijakan politik muhammmadiyah

tampak

sangat

dipengaruhi

situasi

praksismpoltik

(low

politics)

nyang

melingkupinnya ketimbang idealitas politik muhammmadiyah (high politics).


Dengan begitu ,mengesankan tidak konsisitennya sikap dan posisi politik
muhammdiyah. Sebagai ormas keagamaan, muhammadiyah tidak seharusya terlibat
pada wilayah politik praktis . meski begitu,sebagai organisasi dakwah amar maruf
nahi minkar , muhammmadiyah byang dimaksud adalah bagaimana diamanatkan
khittah denpasar poin berwajah high politics.
Sesunggguhnya yang dimaksud atau terjemahan yang tepat bagi high politics
bukan politik tinggi,tetapi politik yamg lihur,adiluhur dan bedimensi moral etis.
Sedangkan low politics bukan berarti politik remdah, tetapi politik yang terlalu
praktis dan seringkali cenderung nista. Bila sebuah organisasi menunjukkan sikap
yang tegas terhadap kurpsi ,mengajak luas untuk terus menggelinding proses
demokratisasi dan keterbukaan , maka organisasi tersebut sedang memainkan high
politics.

Sebaliknya ,bila sebuah organisasi melakukan geraka dan manuver politik


untuk memperebutkan kursi DPR,minta bagian dilebaga eksekutuf, membuat
kelompok penekan , membangun lobi serta berkasak-kusuk untuk mempertahankan
atau memeperluas vested interests, maka organisasi tersebut sedang melakukan
lowpolitocs. Ungkapan yang ,engatakan bahwa muhammmadiyah tidak ikut bermain
politiks praktis perlu diterjemahkan dalam konteks itu. Sampai kapanpun,
muhammmmadiyah tidak pernah tejun kedalam kancah power politics yang dapat
membahyakan kelangsungan hidupnya. Bermain langsung atau sekedar menjadi pion
kekuatan-kekuatan eksternal dalam gelanggang poltiks praktis ,tidak pernah
terbayamgkan dalam pikiran muhammmadiyah.
Dengan mengambil posisi politis organisators , kedepan sudah semestinnya
muhammmadiyah tidak lagi emmbuat putusan sejenis khittah ponorogo ,tanwir
semarang , dan tanwir makasar 2003 yang begitu partisan,termasuk sidang pleno
2004 yang mendukung kader terbaik amien rais sebagai calon presiden atau juga
surat keputusan seperti SK 149 tentang kebijakan mengenai konsolidasi organisasi
dan amal usaha muhammmadiyah, yang beberapa pointnya cenderung tidak
proporsional.
Dalam SK tersebut misalnya, sampai menyebut nama partai keadilan
sejahtera (PKS). Meski cukup bisa memahami konteks keluarnya SK tersebut,
penyebutan nama PKS cenderung bertentangan dengan semangat khittah unung
pandang,dan khittah denpasar,dalam SK tersebut juga ditegaskan kembali keputusan
muktamar muhammadiyah malang 2005 yang menolak upaya-upaya mendirikan
partai yang emnggunakan nama.atau simbol- simbol persyarikatan muhammmadiyah
.yang tidak semestinnya dikeluarkan menjadi ketetapan forum seperti muktamar.
Andaikan SK tersebut dibuat sebelum berdirinnya PAN pada 1998 atau tidakk
disaat teman-teman PMB sedang menyosialisaikan partai barunnya,dua partai ini
sama-sama menggunakan simbol matahari ,tentu tidak terlalu menjadi persoalan.
Alih-alih mencoba mengambil posisi netral politik,dengan keluarnya SK Tersebut
justru menunjukkan sikap keberpihakan muhammmadiyah dan cenderung tidak
proporsional. Bila muhammadiyah secara serius ingin melakukan pertaubatan
politik dengan tidak lagi menyeret muhammmadiyah pada wilayah politik
praktis,segala sikap dan posisi politik muhammmadiyah harus sejalan dengan segala

sikap dan posisi poltik muhammmadiyah harus sejalan dengan semangat khittah
ujung pandang dan khittah denpasar.

BAB III
PENUTUP
3.1.

Kesimpulan
Muhammadiyah sebagai gerakan politik lebih mengedepankan moral
daripada sekedar memperoleh kekuasaan sebagaimana pada umumnya

perjuangan yang dilakukan oleh pelaku-pelaku politik praktis kepartaian.


Dalam arti islam politik merupakan kegiatan untuk mendidik, memimpin,
mengurus, menjaga kepentingan, menyuruh melakukan kebaikan,

menjalankan tugas dengan dasar konsep islam.


Perkembangan politik muhammadiyah tidak melibatkan langsung dengan

politik praktis.
High politics bukan bermaksud politik tinggi, namun politik yang
berbudi luhur, adiluhung dan berdimensi moral etis. Sedangkan low

politics bukan berarti politik rendah namun politik yang cenderung


terlalu praktis dan seringkali cenderung nista.

DAFTAR PUSTAKA
Widiagdo, Bambang, Prof.Dr.MM. 2012. AIK 3 KEMUHAMMADIYAHAN. Umm
Press: Malang.

You might also like