You are on page 1of 24

SYOK HIPOVOLEMIK

A.

Definisi
Syok hipovolemik merujuk keapa suatu keadaan di mana terjadi
kehilangan cairan tubuh dengan cepat sehingga terjadinya multiple organ
failure akibat perfusi yang tidak adekuat (Smeltzer, 2001)
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ,
disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi
yang tidak adekuat.

B.

Etiologi
1. Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda
tumpul. Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai
berikut: laserasi dan ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan
perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada
tengkorak.
2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan
darah antara lain aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
3. Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik
antara lain: perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum,
Mallory-Weiss tears, dan fistula aortointestinal.
4. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik
terganggu, plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik umum terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi, tetapi
pernah dilaporkan.

Tabel 1. Kondisi Pasien Syok Hipovolemik


Kondisi-kondisi yang Menempatkan Pasien pada Risiko Syok Hipovolemik

kehilangan cairan eksternal

Trauma
Pembedahan
Muntah-muntah
Diare
Diuresis
Diabetes Insipidus

Perpindahan cairan internal

Hemoragi internal
Luka bakar
Asites
Peritonitis

Sumber : Smeltzer, 2001


C.

D.

Manifestasi Klinis
1. Agitasi
2. Akral dingin
3. Penurunan konsentrasi
4. Penurunan kesadaran
5. Penurunan atau tidak ada keluaran urine
6. Lemah
7. Warna kulit pucat
8. Napas cepat
9. Berkeringat

Tahapan Syok Hipovolemik


Perbeadaan antara kelas-kelas syok hemoragik mungkin tidak terlihat jelas
pada seorang penderita, dan penggantian volume harus diarahkan pada respon
terhadap terapi semula dan bukan dengan hanya mengandalkan klasifikasi
awal saja. System klasifikasi ini berguna untuk memastikan tanda-tanda dini
dan patofisiologi keadaan syok. (ATLS, 2001)

Klasifikasi
Kelas I : kehilangan

Penemuan Klinis
Hanya takikardi minimal,

Pengelolaan
Tidak perlu penggantian

volume darah < 15 % EBV nadi < 100 kali/menit


volume cairan secara IVFD
Kelas II : kehilangan
Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah
volume darah 15 30 %

takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan

EBV

penurunan pulse pressure,

kristaloid (RL atau NaCl

penurunan produksi urin

0,9%) sejumlah 3 kali

Kelas III : kehilangan

(20-30 cc/jam)
volume darah yang hilang
Takikardi (>120 kali/menit), Pergantian volume darah

volume darah 30 - 40 %

takipnea (30-40 kali/menit), yang hilang dengan cairan

EBV

perubahan status mental

kristaloid (NaCl 0,9% atau

(confused), penurunan

RL) dan darah

Kelas IV : kehilangan

produksi urin (5-15 cc/jam)


Takikardi (>140 kali/menit), Pergantian volume darah

volume darah > 40 % EBV takipnea (35 kali/menit),

yang hilang dengan cairan

perubahan status mental

kristaloid (NaCl 0,9% atau

(confused dan lethargic),

RL) dan darah

Bila kehilangan volume


darah > 50 % : pasien tidak
sadar, tekanan sistolik sama
dengan diastolik, produksi
urin minimal atau tidak
keluar
Beberapa faktor akan sangat mengganggu penilaian respon hemodinamis terhadap
perdarahan, antara lain :
1. Usia penderita
2. Parahnya cedera, dengan perhatian khusus bagi jenis dan lokasi
anatomis cederanya
3. Rentang waktu antar cedera dan permulaan terapi
4. Terapi cairan pra-rumah sakit dan penerapan pakaian anti syok
pneumatic (PSAG)

5. Obat-obat yang sebelumnya sudah diberikan karena ada penyakit


kronis
E.

Patofisiologi Syok Hipovolemik


Saat sel-sel tubuh kekurangan pasokan darah dan oksigen, maka
kemampuan metabolisme enrgi pada sel-sel tersebut akan terganggu.
Metabolisme energi terjadi di dalam sel tempat nutrien secara kimiawi dipecah
dan disimpan dalam bentuk ATP (adenosin tripospat). Sel-sel menggunakan
simpanan energi ini untuk melakukan berbagai fungsi penting seperti traspor
aktif, kontraksi otot, sintesa biokimia, dan melaukan fungsi selular khusus
seperti konduksi impuls listrik. ATP dapat disintesa secara aerob (pada adanya
oksigen)atau secara anaerob (tanpa adanya oksigen). Meskipun begitu,
metabolisme aerob akan menghasilkan jumlah ATP yang jauh lebih besar per
mol glukosa dibanding metabolisme anaerob, dan karenanya adalah cara yang
lebih efisien dan lebih efektif dalam penghasil energi. Selain itu, metabolisme
anaerob mengakibatkan akumulasi produk akhir yang toksik, asam laktat, yang
harus dibuang dari sel dan ditranspor ke hepar untuk pengubahan menjadi
glukosa dan glikogen.
Pada keadaan syok, sel-sel tidak mendapat pasokan darah yang adekuat
dan kekurangan oksigen dan nutrien; karenanya, sel-sel harus menghasilkan
energi melalui metabolisme anaerob. Metabolisme ini menghasilkan tingkat
energi yang rendah dari sumber nutrien, dan lingkungan intraseluler, yang
bersifat asam. Karena perubahan ini, fungsi normal sel menurun. Sel
membengkak

dan

membrannya

menjadi

lebih

permeabel,

sehingga

memungkinkan elektrolit dan cairan untuk merembes dari dan ke dalam sel.
Pompa kalium-natrium menjadi terganggu. Struktur sel (mitokondria dan
lisosom) menjadi rusak dan terjadi kematian sel (Hardaway, 1988).

Defisit volume cairan

Oksigen menurun dan karbondioksida meningkat

Hipoperfusi alveoli

F.

PATHWAYS

G.

Nafas cepat
Pola nafas tidak efektif

H.

Kehilangan cairan eksternal :


Trauma (Multiple Vehicle Trauma)
Pembedahan
Cardiac filling
Muntah-muntah
Diare
Diuresis
Diabetes Insipidus

Cardiac Output

Perpindahan cairan internal :


Hemoragi internal
Luka (bersifat
bakar
Menghasilkan energy tingkat rendah
asam)
Asites
Peritonitis

hipovolemia

I.
J.
K.

Metabolism anaerob

L.
M.
N.

O.
P.
Q.

R.
S.
T.

U.
V.
W.

X.

TD

Angiotensin I

Y.
Tonus simpatik

Peningkatan nadi

Sel membengkak

Iskemia gastro

Renin

Angiotensin II

ulserasi akibat stress lambung

Membrane sel lebih permeable

Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan


Vasokonstriksi pembuluh darah Pelepasan aldosteron dari korteks adrenal
Hipoksia
Perubahan perfusi jaringan
Elektrolit dan cairan mudah merembes

Gangguan perfusi serebral

kulit

perubahan perilaku Akral dingin

Retensi Na + air

Kematian sel

Pelepasan ADH oleh kelenjar pituitari

pelepasan toksin
letargi

Ginjal menahan air lebih banyak


Resiko tinggi infeksi

koma

Oliguri 20 ml/jam

Gangguan eliminasi urin

Z.

Pemeriksaan Penunjang
AA.Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara
lain: analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl,
HCO3, BUN, kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, urinalisis (pada
pasien yang mengalami trauma), dan tes kehamilan. Darah sebaiknya
ditentukan tipenya dan dilakukan pencocokan.
AB.........................................Pemeriksaan Penunjang lainnya:
1. Langkah diagnosis pasien dengan trauma, dan tanda serta gejala
hipovolemia langsung dapat ditemukan kehilangan darah pada sumber
perdarahan.
2. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan pemeriksaan
ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma aorta
abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya
dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto
polos dada posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau
Sindrom Boerhaave. Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien
tertangani) untuk selanjutnya mencari sumber perdarahan.
3. Tes kehamilan sebaiknya dilakukan pada semua pasien perempuan usia
subur. Jika pasien hamil dan sementara mengalami syok, konsultasi
bedah dan ultrasonografi pelvis harus segera dilakukan pada pelayanan
kesehatan yang memiliki fasilitas tersebut. Syok hipovolemik akibat
kehamilan ektopik sering terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan
ektopik pada pasien dengan hasil tes kehamilan negatif jarang, namun
pernah dilaporkan.
4. Jika dicurigai terjadi diseksi dada karena mekanisme dan penemuan dari
foto polos dada awal, dapat dilakukan transesofageal echocardiography,
aortografi, atau CT-scan dada.
5. Jika dicurigai terjadi cedera abdomen, dapat dilakukan pemeriksaan
FAST (Focused Abdominal Sonography for Trauma) yang bisa dilakukan
pada pasien yang stabil atau tidak stabil. CT-Scan umumnya dilakukan

pada pasien yang stabil.


AC. Penatalaksanaan
AD.

Diagnosis dan terapi syok harusilakukan secara simultan.

Untuk hampir semua penderita trauma, penanganan dilakukan seolah-olah

penderita menderita syok hipovolemi, kecuali bila ada bukti jelas bahwa
keadaan syok disebabkan oleh suatu etiologi yang bukan hipovolemia.
Prinsip pengelolaan dasar yang harus dipegang ialah menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan volume.
AE. Primary Survey
AF.
Pemeriksaan jasmani diarahkan kepada diagnosis cedera
yang mengancam nyawa dan meliputi penilaian dari ABCDE. Mencatat
tanda vital awal (baseline recording) penting untuk memantau respon
penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital,
produksi urin, dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih
rinci akan menyusul bila keadaan penderita mengijinkan.
A. Airway (+ lindungi tulang servikal)
B. Breathing (+ oksigen jika ada)
C. Circulation + kendalikan perdarahan
1. Posisi syok
AG.

Angkat kedua tungkai dengan menggunakan

papan setinggi 45o. 300 500 cc darah dari kaki pindah ke


sirkulasi sentral.
AH.

Gambar 2. Posisi syok

AI.
2. Cari dan hentikan perdarahan
3. Ganti volume kehilangan darah
AJ.

Menghentikan perdarahan (prioritas utama)

a. Tekan sumber perdarahan


b. Tekankan jari pada arteri proksimal dari luka
c. Bebat tekan pada seluruh ekstremitas yang luka
d. Pasang tampon sub fasia (gauza pack)
e. Hindari tourniquet (torniquet = usaha terakhir)

AK.

Perdarahan permukaan tubuh ekstremitas

lakukan penekanan, gunakan sarung tangan atau plastik


sebagai pelindung !
AL.

Gambar 3. Perdarahan dan cara menekan

perdarahan
AM.
AN.

AO.

AQ.
AR.
AT.

AS.
AU.

Perdarahan 20 cc/menit = 1200 cc /

jam
4. Pemasangan infus dan pergantian volume darah dengan
cairan/darah.
5. Cari sumber perdarahan yang tersembunyi
AV.

Rongga perut (hati, limpa, arteri), rongga

pleura, panggul atau pelvis, tulang paha (femur), kulit kepala


(anak)
6. Lokasi dan Estimasi perdarahan
a. Fraktur femur tertutup : 1,5-2 liter
b. Fraktur tibia tertutup : 0,5 liter
c. Fraktur pelvis : 3 liter
d. Hemothorak : 2 liter
e. Fraktur iga (tiap satu) : 150 cc
f. Luka sekepal tangan : 500 cc
g. Bekuan darah sekepal : 500 cc
AW.
AX.

AY. Catatan :
1. Menilai respon pada penggantian volume adalah penting,
bila respon mnmal kemungkinan adanya sumber perdarahan
aktif yang harus dihentikan, segera lakukan pemeriksaan
golongan darah dan cross matched, konsultasi dengan ahli
bedah, hentikan perdarahan luar yang tampak (misalnya
pada ekstremitas)
2.

Penggantian darah dapat digunakan darah lengkap (WBC)


atau komponen darah merah (PRC). Usahakan jangan
memberikan tranfusi yang dingin karena dapat menyebabkan
hipotermi.

D. Disability Pemeriksaan neurologi


AZ.

Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat

untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan


respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat

dalam

menilai

perfusi

otak,

mengikuti

perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.


Perubahan fungsi system syaraf sentral tidak selalu disebabkan
cedera intracranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi dan
oksigenasi otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat
dianggap berasal dari cedera intracranial.
E. Exposure Pemeriksaan lengkap
BA. Setelah

mengurus

prioritas-prioritas

untuk

menyelamatkan jiwanya, penderita harus ditelanjangi dan


diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera. Bila menelanjangi penderita, sangat penting
mencegah hypothermia.
F. Folley Catheter
BB. Kateterisasi

kandung

kencing

memudahkan

penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi


ginjal dengan memantau produksi urin. Darah pada urethra atau

prostat dengan letaktinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh


pada

laki-laki

merupakan

kontraindikasi

mutlak

bagi

pemasangan kateter urethra sebelum ada konfirmasi radiografis


tentang urethra yang utuh.
G. Gastric Cholic Dekompresi
BC. Dilatasi lambung seringkali terjadi pada penderita
trauma, khususnya pada anak-anak, dan dapat mengakibatkan
hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardi dari stimulasi syaraf vagus yang
berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi
sulit. Pada penderita yang tidak sadar, distensi lambung
membesarkan resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu
komplikasi yang bias menjadi fatal. Dekompresi lambung
dilakukan dengan memasukkan selang/pipa kadalam perut
melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot
untuk mengeluarkan isi lambung. Namun walau penempatan
pipa sudah baik, masih memungkinkan terjadi aspirasi.
BD.
BE.

Bidang Kegawatdaruratan
BF.

Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan

syok hipovolemik antara lain:


1. Memaksimalkan penghantaran oksigen
a. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika
perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas,
harus

diperhatikan.

Jika

terjadi

keadaan

patologi

(seperti

pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu


pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah
besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien.
Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien
yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
b. Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum
Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan

panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter.


Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan
diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur
intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau
vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik
Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan
kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat
digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam
melakukannya adalah skill dan pengalaman
c. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring
tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.
d. Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi
adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal.
Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien
anak), dan respon pasien dinilai.
e. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil
dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital
membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan
darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau
tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan
(darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia
subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
f. Jika pasien kritis dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan
cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan
darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi
pasien.
g. Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu
contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan.
Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien
yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan
memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan
sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan

hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg


juga

tidak

memperbaiki

keadaan

kardiopulmonal

dan

dapat

mengganggu pertukaran udara.


h. Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma.
Beberapa alat diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan
retransfusi darah disediakan. Pada penanganan trauma. Darah yang
berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang thorakostomi.
BG.
2. Kontol perdarahan lanjut
a. Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering
memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan
luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara
langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur
tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan
darah.
b. Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau
awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem
menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke
otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di
ruang operasi.
c. Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena
dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan
dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia
miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk
penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu
menguntungkan
d. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya
pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises
dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek
samping yang signifikan.
e. Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan SengstakenBlakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster
dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan
dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan

selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus,
asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut,
penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada
keadaan yang ekstrim.
f. Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi
(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta,
ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.
g. PASG dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah
tulang pelvis atau ekstremitas bagian bawah, namun tidak boleh
mengganggu resusitasi cairan cepat. Cukupnya perfusi jaringan
menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin
diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal
BH.
3. Resusitasi Cairan
BI.
Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik
yang dianjurkan masih menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian.
Banyak cairan telah diteliti untuk digunakan pada resusitasi, yaitu:
larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat, saline hipertonis,
albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch,
pentastarch, dan dextran 70.
a. Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan
tekanan onkotik dengan menggunakan substansi ini akan
menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah pulmonal
memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan
ruang intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner
(< 15 mmHg tampaknya menjadi faktor yang lebih penting dalam
mencegah edama paru)
b. Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk
meningkatkan volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan
akan kebenaran hal ini. Namun, mereka belum menunjukkan
perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan kristaloid.
c. Larutan koloid sintetik, seperti hetastarch, pentastarch, dan dextran
70 mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan koloid
alami seperti fraksi protein murni, fresh frozen plasma, dan

albumin. Larutan ini mempunyai zat dengan volume yang sama,


tetapi karena strukturnya dan berat molekul yang tinggi, maka
kebanyakan tetap berada pada intravaskuler, mengurangi edema
intertisiel. Meskipum secara teoritis menguntungkan, penelitian
gagal menunjukkan perbedaan pada parameter ventilasi, hasil tes
fungsi paru, lama penggunaan ventilator, lama perawatan, atau
kelangsungan hidup.
d. Kombinasi salin hipertonis dan dextran juga telah dipelajari
sebelumnya karena fakta-fakta menunjukkan bahwa hal ini dapat
meningkatkan kontraktilitas dan sirkulasi jantung. Penelitian di
Amerika Serikat dan Jepang gagal menunjukkan perbedaan
kombinasi ini jika dibandingkan dengan larutan natrium klorida
isotonik atau ringer laktat. Selanjutnya, meski ada banyak cairan
resusitasi

yang

dapat

digunakan,

tetap

dianjurkan

untuk

menggunakan Ringer Laktat terlebihdahulu,dan pilihan keduayaitu


Normal Saline 0,9%.
BJ.
Area yang lain yang menarik tentang resusitasi adalah
tujuan untuk mengembalikan volume sirkulasi dan tekanan darah
kepada keadaan normal sebelum control perdarahan.
BK.
BL.
BM.
BN.
BO.

Algoritme penatalaksanaan Syok Hipovolemik

BP.

Penderita perdarahan

BQ.
BR.

Pasang IV line jarum besar +

catat tekanan darah,

nadi,perfusi,
BS.

Ambil sample darah

BT.

produksi urin,
Siap transfusi

darah 500-1000 ml
BU.

Ringer Laktat atau NaCl 0,9%

BV.

1000-2000 ml dalam 30-60 menit,

BW.

Ulangi sampai 2-4 x lost volume

BX.

(kalau perlu 2 IV line)

BY.
BZ.

Hemodinamik naik
Hemodinamik buruk

CA.
CB.

Teka

nan darah >100, nadi <100

teruskan cairan

CC.

Perf

usihangat, kering

2-4 x lost volume

CD.

Urin >1/2 ml/kg/jam

CE.
Hemodinamik baik

Hemodinamik buruk

CF.
CG.

Evaluasi

Evaluasi

Emergency

medikasi
CH.
CI.
CJ.
CK.
CL.
CM.
CN.
CO.
CP.
CQ.
CR.

DAFTAR PUSTAKA

CS.
CT.

Hudak & Gallo, 1994, Keperwatan Kritis: Pendekatan Holistik, edk. 6,


vol. 2, trans. Sumarwati, M. dkk., EGC, Jakarta.

CU.

Cole, Elaine. 2009. Trauma Care. UK : Wiley-Blackwell

CV.

Huether. McCance & Brashers. Rote. Understanding Patophysiology.


2008. Missouri: Mosby

CW.

Urden, linda D.dkk. 2008. Priorities in critical care nursing. Canada:


Mosby Elseveir

CX.

Zimmerman J L, Taylor R W, Dellinger R P, Farmer J C, Diagnosis and


Management of Shock, dalam buku: Fundamental Critical Support.
Society of Critical Care Medicine, 1997

CY.

Duane

lynn,

2008.

Types

of

Shock.

Diakses

dari

www.mnhealthandmedical.com
CZ.

Advance Trauma Life Support. 2001. Edisi keenam. American Collage of


Surgeons.

DA.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Brunner & Suddart. Jakarta : EGC.

DB.

Bewes, Petter. 2001. Bedah Primer : Trauma. Jakarta : EGC


DC.
DD.

DE.
DF.
DG.
DH.
DI.
DJ.
DK.
DL.
DM.
DN.
DO.

DP. LAPORAN PENDAHULUAN


DQ. SYOK HIPOVOLEMIK

DR.

DS.
DT.
DU.
DV.
DW.

EB.

Oleh :

Tri Gunandar
106112053

DX.
DY.
DZ.
EA.
D-III KEPERAWATAN
EC.

ED. STIKES AL-ARSYAD AL-ISLAMIYYAH


CILACAP
EE.

TAHUN 2015/2016

You might also like