You are on page 1of 19

BAB I

LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama

: Tn.A

Umur

: 19 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki


Pekerjaan

: kernet bus

Alamat

: Bagan pete

Agama

: Islam

MRS

: 1 September 2012

ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Kedua kaki tidak dapat digerakkan
Riwayat Perjalanan penyakit :
Tn.A di bawa ke IGD RSUD Raden mattaher dengan keluhan tidak dapat
menggerakkan ke dua kakinya setelah mengalami kecelakaan lalulintas di
Cikampek menggunakan bus sebagai kernet. Bus menabrak tronton pada tanggal
28 agustus 2012. Tn. A sempat dibawa ke RS di Jakarta dan dirawat di Jakarta
selama 3 hari. Saat kejadian Tn.A tidak sadarkan diri. Luka robek disepanjang
tulang kepala bagian kiri dan daerah leher bagian kiri dan luka sudah di jahit.
Luka lecet pada tangan kiri. Saat ini yang dirasakan Tn.A pusing (+), mual (+),
muntah(+)

PEMERIKSAAN FISIK
-

Keadaan Umum: lemah

Kesadaran : compos mentis

GCS: E: 4, M: 6, V: 515

Vital Sign :
Nadi: 80x/menit
Pernafasan: 30x/menit
TD: 130/80mm/Hg

Status General:
Kepala

: normocephali, VL region fronto, parietal-temporal sinistra dan telah

di hecting
Mata

: CA -/-, SI -/-, pupil isokor

THT

:otorhea(-), rhinorea(-)

Leher

: VL diregio sinistra dan telah di hecting.

Thorax

Paru;
Inspeksi

: Simetris ka/ki, jejas (-), retraksi (-)

Palpasi

: Stem fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan (-)

Perkusi

: Sonor seluruh lapangan paru

Auskultasi : Suara dasar vesikuler paru kanan dan kiri


Jantung;
Inspeksi

: Ictus Cordis tidak tampak

Palpasi

: Thrill (-),

Perkusi

: Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : BJ I/II normal, regular


Abdomen :
Inspeksi

: jejas (-)

Auskultasi : Peristaltik (+)


Palpasi

: Nyeri tekan (-), hepar-lien tidak teraba

Perkusi

: timpani

Ekstremitas: Superior: akral hangat


Inferior: akral hangat, plegia (+/+)
Status lokalis:
-VL di region fronto-parietal-temporal sinistra
-VL di region sternocledomastoideus sinistra
-VL di region antebrachii sinistra
-Tes sensori (-) setinggi umbilicus

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1
2

Laboratorium : belum dilakukan pemeriksaan


Radiologi

X Photo lumbosacral:

DIAGNOSIS KERJA :
Spinal cord injury
PENATALAKSANAAN
-IVFD RL 20 gtt/menit
-Cefotaxim 2X1 gr
-Ranitidin 2X1 ampl
-Citicolin 3X500 mg
PROGNOSIS:
Quo ad vitam: ad bonam
Quo ad fungsionam: ad malam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi medulla spinalis

Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Spinal nerve
Dorsal root ganglion
Dorsal root sensory
Ventral root motor
Central canal
Grey matter
White matter

2.2 Sensory tubuh

2.3 Definisi
Spinal cord injury adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis.
2.4 Etiologi
Spinal cord injury

terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak

mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi,


hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak
banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.Fraktur dapat berupa
patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi.
2.5 Klasifikasi spinal cord injury

Spinal cord injury dapat diklasifikasikan sesuai dengan level, beratnya


defisit neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.
1. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang
masih dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal di kedua
sisi tubuh. Apabila level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian
segmen kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada ke
dua bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah
paling kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada
lesi komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris maupun
motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah dengan
preservasi parsial. Penentuan dari level cedera pada dua sisi adalah penting.
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1. Cedera
pada segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan quadriplegia
dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang
vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla
spinalis. Level kelainan neurologist dari cedera ini ditentukan hanya dengan
pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat ketidakcocokan antara level
tulang dan neurologis disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis spinalis
melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalis sebelum benarbenar masuk kedalam medulla spinalis. Ketidakcocokan akan lebih jelas
kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level kerusakan
menunjuk pada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level neurologist.
2. Beratnya Defisit Neurologis
Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai
a. Paraplegia inkomplit ( torakal inkomplit)
b. Paraplegia komplit( torakal komplit)
c. Tetraplegia inkomplit( servikal inkomplit)
d. Tetraplegia komplit (cidera servikal komplit)
Sangat penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang
masih tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera
merupakan cedera yang tidak komplit. Yang termasuk dalam cedera tidak

komplit adalah : Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada
ekstremitas bawah. Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal,
kontraksi sphincter ani secara volunter atau fleksi jari kaki volunter. Refleks
sacral seperti reflex bulbokavernosus, atau kerutan anus, tidak termasuk
dalam sacral sparing.
3. Sindrom medulla spinalis
Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologist kadang-kadang dapat
dilihat pada penderita dengan cedera medulla spinalis.
a. Pada sentral cord syndrome yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga
pada ekstremitas atas, lebih besar dibanding ekstremitas bawah, dengan
tambahan adanya kehilangan adanya sensasi yang bervariasi. Biasanya hal
ini terjadi cedera hiperekstensi pada penderita dengan riwayat adanya
stenosis

kanalis

sevikalis

(sering

disebabkan

oleh

osteoarthritis

degeneratif). Dari anamnesis umumnya ditemukan riwayat terjatuh ke


depan yang menyebabkan tumbukan pada wajah yang dengan atau tanpa
fraktur atau dislokasi tulang servikal. Penyembuhannya biasanya
mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan pertama pada kekuatan
ekstremitas bawah. Kemudian fungsi kandung kemih lalu kearah
proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan. Prognosis
penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik dibandingkan cedera
lain yang tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga disebabkan karena
gangguan vaskuler pada daerah medulla spinalis pada daerah distribusi
arteri spinalis anterior. Arteri ini mensuplai bagian tengah medulla spinalis.
Karena serabut saraf motoris ke segmen servikal secara topografis
mengarah ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang paling terkena.
b. Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan
dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi kolumna
posterior (kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan.
Biasanya anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medulla spinalis
pada daerah yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Sindrom ini
mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera inkomplit.

c. Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis


dan akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup
sering ditemukan. Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari
kehilangan motoris ipsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan
kesadaran posisi (kolumna posterior)

yang berhubungan

dengan

kehilangan disosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu atau dua level
dibawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini
disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla spinalis, penyembuhan
(walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.
4. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera
penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil
dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak
selalu sederhana dan ahlipun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu
terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita dengan
deficit neurologist,harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang yang
tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap diimobolisasi sampai ada
konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortopedi.
a. Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera:Pembebanan aksial (axial loading), fleksi,ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi. Cedera yang mengenai kolumna spinalis
akan diuraikan dalam urutan anatomis, dari cranial mengarah keujung
kaudal tulang belakang.
b. Dislokasi atlanto oksipita (atlanto occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi dan
distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena kerusakan
batang otak. Kerusakan neurologist yang berat ditemukan pada level saraf
karanial bawah.kadang kadang penderita selamat bila resusitasi segera
dilakukan ditempat kejadian.
c. Fraktur atlas (C-1)

Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang lebar.
Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur Jefferson).
Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala tertimpa
secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatu dengan puncak
kepala terlebih dahulu. Fraktur jefferson berupa kerusakan pada cincin
anterior maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral.
Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1
dan C-2 dan dapat dikomfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus
ditangani secara awal dengan koral sevikal.
d. Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak anak. Dapat terjadi spontan
setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau
penderita dengan rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala
yang menetap. .pada cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak
sama, jangan dilakukan rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini,
sebaiknya dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
e. Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk yang
istimewah karena itu mudah mengalami cedera.
1. Fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini daoat diidentifikasi dengan foto ronsen
servikal lateral atau buka mulut.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis
20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini.
Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam
imobilisasi eksternal.
f. Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan letaknya
berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik

10

penunjang tulang servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana
terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal terbesar.
g. Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori :
cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior, cedera bursi, fraktur
Chance,

fraktur

dislokasi. Axial

loading

disertai

dengan

fleksi

menghasilkan cedera kompresi pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur
torakal adalah cedera burst disebabkan oleh kompresi vertical aksial.
Fraktur dislokasi relative jarang pada daerah T-1 sampai T-10.
h. Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1) fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang servikal,
tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali atau
terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian dan
pengemudi mobil memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi
mempunyai resiko mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis
berakhir pada level ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina
bermula pada daerah torakolumbal.
2.6 Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
whiplash/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash
terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah
misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian
berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan
masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari
tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada
T12 sampai L2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat

11

sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis
dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat
sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa
edema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medulla spinalis yang menetap secara makroskopis kelainannya dapat
dilihat pada lesi kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medulla
spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan
/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa
medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,
hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam
medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.
Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan
oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan
tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.
Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat
tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi
dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami
jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat
hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang,
maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan
terputusnya arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yang akan menimbulkan
defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan
sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.
2.7 Kecurigaan Cedera Spinal
1. Kecelakaan kecepatan tinggi
12

2. Pasien tidak sadar


3. Cedera ganda
4. Defisit neurologis
5. Nyeri di spinal
2.8 Tingkat keparahan Spinal Cord
Complete : tidak ada gangguan motorik or sensorik dibawah level cedera
Incomplete :Fungsi motorik or sensorik masih tersisa dibawah level jelas
Sisa Sacral sparing
2.9 Pemeriksaan sensoris, motoris dan neurologis
Cervical

Thoracic

Lumbosacral

C-5 Deltoid

T-4

L-4 Medial Leg

C-6 Thumb

T-8

Nipple
Xiphoid

C-7 Middle
T-10
Cervical / Thoracic
finger
Umbilicus
C-8 Little

st

nd

L-5 1 /2 toes

Pemeriksaan
motorik

S-1 Lateral foot


Lumbosacral
S-4 Perianal

T-12

C-5 ShoulderSymphysis
finger
abduction
C-6 Wrist Extension
C-7 Elbow extension
C-8 Middle finger
flexion
T-1 Little finger
Abduction

L-2 Hip flexion


L-3 Knee extension
L-4 Ankle
dorsiflexion
L-5 Big toe
extension
S-1 Big toe / ankle
plantar flexion

Neurologic Assessment
Neurogenic Shock
Hipotensi dihubungkan dengan cedera servikal/torakal tinggi
Bradycardia
Pengobatan: Pertahankan cairan, atrofin dan vasopresor
Spinal Shock
Masalah neurologis buka hemodinamik
Timbul segera setelah trauma spinal cord
13

Flaccid
Hilang refleks
Efek terhadap organ lain
Ventilasi yang lemah
Gangguan pada abdominal
Compartment syndrome terselubung
2.10

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan

apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma :
1. Antara C1 sampai C5 Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien
meninggal.
2. Antara C5 dan C6 Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan
fleksi siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3. Antara C6 dan C7 Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan
bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4. ntara C7 dan C8 Paralisis kaki dan tangan
5. C8 sampai T1 Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki
Antara T1 sampai T10
Antara T11 dan T12 Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
T12 sampai L1 Paralisis di bawah lutut
Cauda equina Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan

6.
7.
8.
9.

usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder


10. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1 Kehilangan kontrol bowel
dan bladder secara total
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas
reflex.
2.11

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:


1. X-Ray spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi)

14

2. CT Scan: untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan


struktural.
3. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika
faktor patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang
subarakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
7. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.

2.12 Skrining trauma spinal


1. Pasien sadar Adanya Paraplegia/quadriplegia tapi Spinal instability
maka lakukan Identifikasi fraktur/Subluksasi atau konsul ke SpOT/SpBS
2. Sadar, neurologis normal
Tidak ada nyeri leher, tidak nyeri bila digerakkan, lepas c-collar
Bila ada nyeriProteksi dengan C-collar dan minta Xray
3. Gangguan kesadaran
Pencitraan seluruh vertebraFoto polos
CT scan daerah yang dicurigai
4. Pencitraan normal Klinis normal dan nyeri tulang belakang hati-hati pada
pemakai narkoba, alkohol dapat mengelabuhi ada trauma
2.13

Penatalaksanaan spinal cord injury (Fase Akut)


Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah spinal cord injury lebih

lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan

15

resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan


kardiovaskuler.
1. Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan
jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher. Dalam hal ini, dapat dilakukan chin lift atau jaw thrust sambil
merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan
maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction
jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan
pemasangan pipa orofaring.
2. Breathing
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat
diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan
oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi
endotrakheal.
3. Sirkulasi
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah
mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur
kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh,
dan

lambat

biasanya

menunjukkan

status

sirkulasi

yang

relatif

normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik


sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi
ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba

16

maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis
yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan
bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik
hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan
dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer
Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian
cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih
berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala
dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena
dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intracranial.
Farmakoterapi: Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan
edema medulla Steroids
Methylprednisolone IV

Pastikan trauma spinal cord

Mulai dalam 1-8 jam pertama

30 mg/kg dalam 15 menit

5.4 mg/kg dalam 23 jam kemudian

Pastikan trauma tidak terbuka


Rujuk
Fraktur unstable
Defisit neurologis
Hindari penundaan
Imobilisasi dengan baik
Bantuan nafas bila diperlukan
2.14
1.
2.
3.
4.

Komplikasi
Neurogenik shock.
Hipoksia.
Gangguan paru-paru
Instabilitas spinal

17

5.
6.
7.
8.
9.

Orthostatic Hipotensi
Ileus Paralitik
Infeksi saluran kemih
Kontraktur
Dekubitus

18

BAB III
Kesimpulan

19

You might also like