You are on page 1of 7

LATAR BELAKANG

Gambut adalah tanah organik (organik soil) tetapi belum tentu tanah organik
merupakan tanah gambut. Istilah lain untuk lahan gambut juga sering digunakan
yaitu rawa gambut yang terkadang diartikan sebagai lahan basah. Tanah gambut
merupakan tanah organik yang terbagi atas gambut berserat dan gambut tidak
berserat (Endah, 2002). Dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikelompokan
kedalam ordo Histosol atau sebelumnya dinamakan Organosol yang mempunyai
ciri dan sifat yang berbeda dengan jenis tanah mineral. Tanah gambut sebagai
tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 20% (bila tanah tidak
mengandung liat) atau lebih dari 30% (bila tanah mengandung liat 60% atau
lebih) dan tebalnya secara kumulatif lebih dari 40 cm. Berdasarkan
pembentukannya, gambut dibedakan atas : gambut ombrogen, yaitu gambut yang
pembentukannya dipengaruhi curah hujan. Gambut ini tergolong kurang subur,
karena terbentuk dari tanaman pepohonan yang kadar kayunya tinggi. Selain itu
karena pengaruh pasang surut air sungai atau laut yang tidak mencapai wilayah
ini, maka kondisi lahan miskin hara dan gambut topogen, yaitu gambut yang
pembentukannya dipengaruhi keadaan topografi dan air tanah. gambut ini berada
dikawasan tropik dan mempunyai kesuburan lahan relatif lebih baik. Susunan
kandungan senyawa organik dan hara mineral dari tanah gambut sangat beragam.
Tergantung pada jenis jaringan penyusun gambut, lingkungan pembentukan dan
perlakuan reklamasi. Senyawa organik utama terdapat dalam gambut antara lain
hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Selain senyawa tersebut jugat terdapat senyawa
tanin dan resin dalam jumlah kecil. Karakteristik gambut adalah sifat-sifat dari
badan alami yang terdiri dari atas sifat fisika, kimia, dan biologi serta macam
sedimen dibawahnya, yang akan menentukan daya dukung wilayah gambut,
menyangkut kapasitasnya sebagai media tumbuh, habitat biota, keanekaragaman
hayati, dan hidrotopografi (Peraturan Menteri Pertanian, 2009).

Sumber keasaman atau yang berperan dalam menentukan keasaman pada


tanah gambut adalah pirit dan asam asam organik. Sifat kimia dan fisika tanah
gambut merupakan sifat-sifat tanah gambut yang penting diperhatikan dalam
pengelolaan lahan gambut. Sifat kimia seperti pH, kadar abu, kadar N, P, K,
kejenuhan basa (KB), dan hara mikro merupakan informasi yang perlu
diperhatikan dalam pemupukan di tanah gambut. Diperkirakan 85-95% sumber
kemasaman tanah gambut disebabkan karena kedua gugus karboksil dan fenol
tersebut. Kemasaman tanah gambut cenderung menurun seiring dengan
kedalaman gambut. Dekomposisi tanah gambut kayu-kayuan kaya lignin dalam
keadaan anaerob selain menghasilkan asam-asam alifatik juga menghasilkan
asam-asam fenolat.

PERMASALAHAN
Sifat kimia tanah gambut seperti tingkat keasaman tinggi merupakan
kendala yang harus dihadapi dalam usaha menjadikan lahan gambut sebagai
sumber lahan pertanian baru. Serta cara mengurangi pemanasan global tanah
gambut.
PEMBAHASAN
Kerberhasilan usaha pertanian dari lahan gambut sangat dipengaruhi oleh
berbagai sifat tanah gambut dan cara pengelolaan air, tanah dan lingkungannya.
Teknologi pengelolaan air harus disesuaikan dengan karakteristik gambut dan
jenis tanaman. Untuk mendukung pertumbuhan tanaman pangan pada lahan
gambut diperlukan pembuatan saluran drainase mikro sedalam 10-50 cm
sedangkan untuk tanaman padi sawah di tanah gambut membutuhkan parit
sedalam 10-30 cm. Tujuan dari pembuatan parit/drainase adalah untuk membuang
kelebihan air sehingga akan tercipta keadaan tidak jenuh untuk pernapasan akar
tanaman, dan mencuci sebagian asam-asam organik. Pengelolaan tanah dalam
upaya pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian harus berdasarkan pada
konsep menyehatkan tanah terlebih dahulu (Sinartani, 2011). Amelioran adalah

bahan yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik
dan kimia (Najiyati, 2003). Kriteria amelioran yang baik bagi lahan gambut
adalah memiliki kejenuhan basa (KB) yang tinggi, mampu meningkatkan derajat
Ph secara nyata, mampu memperbaiki struktur tanah, memiliki kandungan unsur
hara yang lengkap, dan mampu mengusir senyawa beracun terutama asam-asam
organik. Amelioran dapat berupa bahan organik maupun anorganik. Untuk
menghemat biaya, upaya petani dalam meningkatkan kesuburan tanah dengan
membakar seresah tanaman dan sebagian lapisan gambut kering sebelum
bertanam. Dengan pembakaran tersebut petani mendapatkan bahan amelioran
berupa abu yang dapat memperbaiki produktivitas gambut (Susilawati, 2011).
Namun abu hasil pembakaran mudah hanyut dan efektivitasnya terhadap
peningkatan kesuburan tanah tidak berlangsung lama. Akan tetapi upaya tersebut
meningkatkan emisi karbondioksida. Kriteria lahan gambut yang dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian yakni: berada dalam kawasan budidaya, ketebalan lapisan
kurang dari tiga meter, lapisan mineral di bawah gambut dan tingkat kematangan
gambut (Peraturan Menteri Pertanian, 2009). Pengaturan drainase untuk lahan
gambut sebagai berikut:
Jenis Saluran
Lebar Atas (m)
Lebar Bawah (m)
Primer
3-6
1,2-1,8
Sekunder
1,8-2,5
0,6-0,9
Tersier
1-1,2
0,5-0,6
Sumber: Peraturan Menteri Pertanian, 2009.

Kedalaman (m)
1,8-2,5
1,2-1,8
0,9-1,0

Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan energi serta untuk


mengimbangi meningkatnya permintaan bahan baku industri kertas banyak lahan
gambut dialihfungsikan. Tahapan yang dilakukan dalam rangka perubahan fungsi
lahan gambut terdiri atas drainase dan penanaman. Drainase dapat mengakibatkan
subsiden, dengan atau tanpa pembakaran merupakan sumber emisi gas rumah
kaca yang sangat besar. Besarnya emisi ditentukan oleh macam konversi lahan
gambut dan tingkat kematangan gambut. Konversi lahan yang memerlukan
drainase lebih besar akan meningkatkan emisi. Makin matang gambut emisi yang
dilepaskan makin rendah. Disamping itu, emisi juga ditentukan oleh lapisan

substratum gambut. Gambut yang di bawahnya berupa lapisan tanah mineral yang
mengandung basa polivalen tinggi akan makin kecil dalam melepaskan emisi.
Ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga dapat memacu
emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan akan memacu
dekomposisi gambut (Widyati, 2011). Hasil pengamatan Hidayanti dan Riwandi
(2011) berdasarkan kedalaman saluran drainase diketahui bahwa rata rata laju
subsiden gambut 6,87 mm/3bulan, bulan pada kedalaman 0,75 m, sehingga secara
umum laju subsiden gambut Fibrik akibat kombinasi perlakuan drainase dan
pengapuran adalah 3,52 cm/tahun, dengan kisaran pH 5,79 6,79, kadar air 74,4
% 132,27 %, Penurunan kadar air dan peningkatan pH gambut yang semakin
matang dengan nilai BV yang cenderung meningkat, dapat mempercepat
terjadinya laju subsiden. Pemanfaatan tanah gambut mempunyai kendala dari
gambut itu sendiri (inherent) dan akibat reklamasi tanah sehingga terjadi
perubahan sifat fisik, kimia, dan biologis gambut. Untuk mengatasinya dengan
cara reklamasi, diantaranya membuat saluran drainase yang berfungsi untuk
membuang kelebihan air, mengendalikan tinggi permukaan air, atau konservasi
air. Cara yang lain, pengapuran berfungsi untuk meningkatkan pH tanah dan
aktivitas jasad renik tanah sehingga mempercepat dekomposisi bahan organik
(Nurzakilah dan Achmadi, 2001).
KESIMPULAN

Dalam mempertahankan sumberdaya gambut untuk pertanian pengendalian


tata air gambut sangat penting, ketinggian air tanah harus disesuaikan dengan
kebutuhan dari rhizospher tanaman. Semakin dalam jangkauan perakaran tanaman
maka permukaan air tanah semakin dalam pula. Kesadaran bahwa gambut
merupakan media tanam yang harus dilestarikan perlu disampaikan kepada
masyarakat, pembakaran yang berlebihan pada waktu penyiapan lahan sedapat
mungkin dihindari, tehnologi pembuatan abu bakar melalui pembakaran sampah
kebun dan gulma dapat dilakukan secara terkendali. Pembakaran semak dan
gulma langsung di kebun akan menyebabkan terbakarnya gambut. Pembakaran
tidak terkendali akan menyebabkan hilangnya gambut secara cepat. Pembukaan

lahan gambut untuk pertanian memberikan dampak pada lingkungan disebabkan


oleh rendahnya kualitas pengelolaan drainase sehingga air yang keluar dari lahan
gambut terjadi secara berlebihan dan menyebabkan keringnya lahan sekitar lokasi
pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Endah, N. 2002. Tinjauan Teknis Tanah Gambut Dan Prospek Pengembangan


Lahan Gambut Yang Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Guru Besar ITS
Surabaya.
Hidayanti, N., dan Riwandi. 2011. Laju subsiden pada drainase dan pengapuran
tanah gambut fibrik dengan penanaman jagung. Program Studi Ilmu Tanah
Fakultas Bengkulu. Prosiding Seminar Nasional Budidaya Pertanian.
Najiyati. 2003. Mengenal Perilaku Lahan Gambut. Seri Pengelolaan Hutan dan
Lahan Gambut, Bogor.
Nurzakiah, S. dan Achmadi J. 2004. Potensi dan kendala pengelolaan lahan
gambut untuk pertanian. Balai Penelitian Pertanin Lahan Rawa (Balitra).
Kalimantan Selatan. Agroscientiae. 11(1) : 37 42.
Peraturan Menteri Pertanian. 2009. Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk
Budidaya Kelapa Sawit. No. 14/Permentan/PL 110/2/2009.
Sinartani. 2011. Ameliorasi Tanah Gambut Meningkatkan Produksi Padi dan
Menekan Emisi Gas Rumah Kaca. Agroinovasi Edisi 6-12 Maret 2011 No.
3400 Tahun XLI.
Susilawati. 2011. Pengamatan GRK Dengan Penambahan Bahan Amelioran di
Kalimantan Selatan. Badan Lingkungan Hidup Pertanian, Bogor.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan
iklim. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.

PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT SEBAGAI LAHAN


PERTANIAN

Oleh:
SUSANTI

MAGISTER ILMU TERNAK


FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013

You might also like