You are on page 1of 25

PRESENTASI KASUS

EPILEPSI

Oleh:
Vidi Aditya Pamori Wibowo Putra
G99141103

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U RAK AR TA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang
Epilepsi adalah suatu kondisi neurologik yang mempengaruhi system saraf.
Epilepsi juga dikenal sebagai penyakit kejang. Epilepsi dapat didiagnosis paling tidak
setelah mengalami dua kali kejang yang tidak disebabkan oleh kondisi medis seperti
kecanduan alkhohol atau kadar gula yang sangat rendah (hipoglikemi). Terkadang
menurut International League Against Epilepsy, epilepsi dapat didiagnosis setelah
mengalami satu kali kejang, jika seseorang berada dalam kondisi dimana mereka
memiliki risiko tinggi untuk menderita kejang lagi. Kejang pada epilepsi mungkin
berhubungan dengan trauma otak atau kecenderungan keluarga tetapi kebanyakan
penyebab epilepsi tidak diketahui (Carold,2008).
Lebih dari 5% populasi didunia mungkin mengalami satu kali kejang dalam hidup
mereka. Kurang lebih sebanyak 60 juta orang didunia menderita epilepsi. Anak-anak dan
remaja lebih cenderung menderita epilepsi dengan sebab yang tidak diketahui atau murni
genetik daripada orang dewasa. Epilepsi dapat mulai terjadi pada semua usia. Pada
penelitian terbaru memperlihatkan bahwa 70% kejang yang terjadi pada anak-anak dan
dewasa yang baru terdiagnosis epilepsi dapat dikontrol dengan baik oleh pengobatan dan
30% orang yang mengalami kejang tidak memberikan respon yang baik dengan
pengobatan yang tersedia (steven,2006).

II.

Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme terjadinya epilepsi
sehingga diagnosis dapat ditegakan lebih dini serta mendapat penanganan yang adekuat
dan tepat agar dapat mengontrol gejala dengan baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.

Definisi

Epilepsi adalah sebuah kondisi dimana terjadi kejang berulang. Kejang diartikan
sebagai adanya gangguan pelepasan muatan listrik abnormal pada sel saraf diotak yang
menyebabkan gangguan sementara pada fungsi motorik, sensorik dan mental
(Stephen,2005).
Ada banyak tipe kejang, tergantung pada bagian utama otak yang terlibat. Syarat
epilepsi tidak dilihat dari tipe kejang atau penyebab kejang, hanya menandakan adanya
kejang yang terjadi lagi dan lagi.
II.

Etiologi
Berdasarkan penyebabnya epilepsi dibagi menjadi dua tipe yaitu epilepsi primer dan
epilepsi sekunder (Stephen,2005). Epilepsi primer adalah epilepsi yang penyebabnya
tidak diketahui secara pasti. Epilepsi primer juga disebut dengan idiopatik epilepsi.
Beberapa hal yang berhubungan dengan epilepsi primer yaitu:
Adanya episode aktivitas listrik yang abnormal didalam otak yang menyebabkan

kejang
Ada beberapa area tertentu pada otak yang dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang

abnormal yang menyebabkan beberapa tipe kejang


Jika semua area otak dipengaruhi oleh aktivitas listrik yang abnormal maka
kejang menyeluruh mungkin terjadi. Hal ini berarti bahwa kesadaran mungkin
hilang atau berkurang. Seringnya semua tangan dan kaki akan menjadi kaku

kemudian menyentak secara berirama.


Satu tipe kejang mungkin berkembang menjadi kejang tipe lain. Sebagai contoh,
kejang mungkin berawal sebagian meliputi muka atau tangan. Kemudian
aktivitas otot akan menyebar keseluruh tubuh. Pada saat ini, kejang akan menjadi

menyeluruh.
Kejang yang disebabkan oleh demam tinggi pada anak mungkin tidak
dipertimbangkan sebagai epilepsi.
Epilepsi sekunder adalah kejang yang penyebabnya telah diketahui. Epilepsi

sekunder disebut juga sebagai epilepsi simtomatik. Ada beberapa penyebab yang biasa di
temukan pada epilepsi sekunder yaitu:
Tumor
Ketidakseimbangan metabolism seperti hipoglikemi
Trauma kepala
Penggunaan obat-obatan
Kecanduan alkhohol

III.

Stroke termasuk perdarahan


Trauma persalinan

PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari
pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan
aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos
membran neuron.
Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks
mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi
Ca2+ secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan sel-sel piramidal pada daerah tertentu di korteks,
termasuk pada hippocampus, yang bisa dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk
terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang
kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian mengajak
neuron-neuron yang terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak
apabila cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak.

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda


(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang
sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya
dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya
epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED
dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsy
pada penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF
dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah : Membran
neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi
sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang
tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium
ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong
ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan
ion kalsium.
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang
tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi
ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori
sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang
optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat

dan Aspartat)

berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.


Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (
gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi
ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi

potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor
GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptik disebabkan oleh hilang atau
kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama
pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka
semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu komponennya bisa
menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah rangsangan.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok besar atau
seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini
menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron
eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan
antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia,
infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah
timbul epilepsi bila ada rangsangan yang memadai.
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan
eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu
tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus
temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan
(Rahardjo, 2007)

IV. KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Commission on classification and terminology of the
international Leauge against Epilepsy :
1. Kejang parsial (fokal, lokal)
a. Kejang parsial sederhana (kesadaran tidak terganggu)
1) Dengan gejala motorik
a) Fokal motorik tidak menjalar

b) Fokal motorik menjalar (epilepsy Jackson)


c) Versif
d) Postural
e) Disertai gangguan fonasi
2) Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial (halusinasi sederhana)
a) Somatosensoris
b) Visual
c) Auditoris
d) Olfaktoris
e) Gustatoris
f) Vertigo
3) Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat,
berkeringat, memberat, piloereksi, dilatasi pupil)
4) Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)
a) Disfasia
b) Demensia
c) Kognitif
d) Afektif
e) Ilusi
f) Halusinasi kompleks (berstruktur)
b. Kejang parsial kompleks (disertai gangguan kesadaran)
1) Awitan parsial sederhana diikuti penurunan kesadaran
a) Dengan gejala parsial sederhana
b) Dengan automatisme
2) Dengan penurunan kesadaran sejak awitan
a) Hanya dengan penurunan kesadaran
b) Dengan automatisme
c. Kejang parsial yang berkembang menajdi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik,
klonik)
1) Kejang parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum
2) Kejang parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum
3) Kejang parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu
berkembang menjadi bangkitan umum
2. Kejang umum (konvulsif atau nonkonvulsif)
a. Bangkitan lena (absence)
1) Hanya penurunan kesadaran
2) Dengan komponen klonik ringan
3) Dengan komponen atonik
4) Dengan komponen tonik
5) Dengan automatisme
6) Dengan komponen otonom
b. Lena tidak khas (atypical absence), dapat disertai :
1) Gangguan tonus yang lebih jelas
2) Awitan dan handekan yang tidak mendadak
c. Kejang mioklonik, kejang mioklonik sekali atau berulang

d. Kejang klonik
e. Kejang tonik
f. Kejang tonik klonik
g. Kejang atonik
3. Kejang tidak tergolongkan (Shih, 2007)
D. DIAGNOSIS
1. Anamnesa
A. Epilepsi umum :
- Major : grand mal (meliputi 75% kasus) meliputi tipe primer dan sekunder. Epilepsi
grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-klonik.
Manifestasi klinik : kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura, yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang. Pada epilepsi grand mal simptomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai letak fokus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa
perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara
gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala, dan sebagainya. Bangkitan dimulai dengan
hilang kesadaran sehingga aktivitas pasien terhenti. Kemudian pasien mengalami
kejang tonik. Otot berkontraksi sangat hebat, pasien jatuh, lengan fleksi dan tungkai
ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan
yang disebut jeritan epilepsi. Kejang tonik disusul dengan kejang klonik yang seolaholah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh ke tanah. Kejang tonikklonik berlangsung 2-3 menit. Selain kejang, telihat aktivitas vegetatif seperti
berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih, dan sianosis.
Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan pasien bangun, termenung dan jika tidak
diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai
setahun sekali.

Minor :
Epilepsi petit mal : yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik, meliputi kira-kira 3-4% kasus. Umumnya timbul pada anak sebelum
pubertas (4-5 tahun).

Manifestasi klinis : bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tidak


lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan
kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak, dan bola mata. Setelah sadar biasanya
pasien dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa
ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak diatasi 50% akan menjadi grand
mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan
berdasarkan 4 ciri, yaitu apabila kejang timbul pada usia 4-5 tahun dengan taraf
kecerdasan normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah
ditanggulangi hanya dengan satu macam obat. Pola EEG khas berupa gelombang
runcing dan lambat dengan frekuensi 3/detik.
-

Bangkitan mioklonus : bangkitan berupa gerakan involunter, misalnya anggukan


kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepat
sehingga sulit diketahui adakah kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat

peka terhadap rangsang sensorik.


Bangkitan akinetik : bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga pasien jatuh atau mencari
pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali.
Ketiga bangkitan di atas (petit mal, mioklonus, akinetik) dapat terjadi pada seorang
pasien dan disebut trias Lennox-Gastaut.

Spasme infantil (sindroma West) : timbul pada bayi 3-6 bulan dan lebih sering pada
anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, tapi selalu dihubungkan dengan
kerusakan otak yang luas seperti degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi, dan
gangguan pertumbuhan. Bangkitan berupa gerakan kepala ke depan atau ke atas,
lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis

atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.


Bangkitan motorik : fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang
pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran.
Pasien sering dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari
tangan, kemudian ke lengan bawah dan kahirnya seluruh lengan. Manifestasi ini
disebut jacksonian marche.

B. Epilepsi parsial (20% kasus)

- Bangkitan sensorik : bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen
pada korteks sensorik. Bangkitan somatosensorik dengan fokus terletak di gyrus post
sentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan
posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik
pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan mencapai korteks
motorik sehingga terjadi kejang.
- Epilepsi lobus temporalis : jarang terjadi pada usia sebelum 10 tahun; memperlihatkan
gejala fokalitas khas dan kompleks karena fokus terletak di lobus temporalis dan
bagian otak ini meliputi daerah pengecap, pendengar, penghidu, dan asosiatif antara
ketiga indera tersebut dengan daerah penglihatan. Manifestasi yang komples ini
bersifat psikomotorik. Bangkitan psikis berupa halusinasi dan bangkitan motoriknya
berupa automatisme. Manifestasi klinisnya sebagai berikut : kesadaran hilang
sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini pasien masuk ke alam pikiran antara
sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang
terdiri atas halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai
beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul berupa halusinasi
dengan automatisme pengecap, membaca, penglihatan, pendengaran, atau perasaan
aneh.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pada bayi
Pada pemeriksaan diselidiki apakah ada kelainan bawaan, asimetri pada badan,
ekstremitas, dicacat ukuran dan bentuk kepala dan keadaan fontanel. Auskultasi dan
transluminasi kepala. Kelainan yang mungkin ditemukan : makrosefali, mikrosefali,
hidrosefalus. Fontael akan menonjol bila tekanan dalam rongga kepala meningkat.
Pada pemeriksaan neurologis harus diperiksa refleks moro, hisap, pegang, dan tonik
leher.
b. Pada anak dan dewasa

Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa; mencari kelainan


bawaan, asimetri kepala, muka, tubuh, ekstremitas. Pada kulit dicari adanya tanda
neurofibromatosis berupa bercak coklat, putih, dan adenoma sebaseum pada muka
pada sklerosi tuberose. Hemangioma pada muka dapat menjadi tanda penyakit SturgeWeber. Pada toksoplasmosis, fundus okuli mungkin menunjukkan tanda-tanda korio
renitis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, K, Ca, Mg, Na, bilirubin, ureum dalam darah. Yang
memudahkan timbul kejang adalah keadaan hipoglikemia, hipokalemia, hipomagnesemia,
hipo/hipernatremia, hiperbilirubinemia, uremia. Penting pula diperiksa pH darah karena
alkalosis mungkin pula disertai kejang. Pemeriksaan LCS dapat mengungkapkan adanya
radang otak atau meningennya, toksoplasmosis SSP, leukemia yang menyerang otak,
metastase Ca, adanya perdarahan otak atau subarakhnoid.
4. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsy dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua

hemisfer

otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya
misal gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat
yang timbul secara paroksimal.

Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalny spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang
paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG
gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak
(sinkron).
V. PENATALAKSANAAN
Tujuan pokok terapi epilepsi adalah membebaskan pasien dari serangan epilepsi, tanpa
mengganggu fungsi normal SSP agar pasien dapat menjalani kehidupannya tanpa gangguan.
Terapi dapat dibagi dalam 2 golongan (Utama dan Gan, 2007):
1. Terapi kausal
Terapi kausal dilakukan pada epilepsi simptomatik yang sebabnya dapat ditemukan
(sekunder), misalnya :
a. Pada meningoensefalitis, diberikan antibiotik
b. Pada neoplasma dan perdarahan intrakranial diperlukan tindakan operatif
c. Pada gangguan vaskularisasi otak diberi oksigen untuk mengatasi hipoksia
2. Terapi medikamentosa antikejang
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada
beberapa faktor, antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek
inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Beberapa obat
antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain :
a. Golongan hidantoin
Fenitoin merupakan

yang

sering

dipakai.

Fenitoin

bekerja

menginhibisi

hipereksitabilitas kanal natrium yang berperan dalam memblok loncatan listrik


sehingga mencegah penjalaran ke bagian otak yang lain.
Indikasi : epilepsi umum khusunya grandmal tipe tidur, epilepsi fokal, dan dapat juga
untuk epilepsi lobus temporalis.
Dosis :
dewasa 300-600 mg/hari
Anak 4-8 mg/hari, maksimal 300 mg/hari
b. Golongan barbiturat
Fenobarbital merupakan golongan barbiturat yang long acting. Merupakan agonis
reseptor GABA, sehingga meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan
kerja reseptor GABA.

Indikasi : epilepsi umum khusus epilepsi grand mal tipe sadar, epilepsi fokal.
Dosis :
dewasa 200 mg/hari
Anak 3-5 mg/kgBB/hari
c. Golongan benzodiazepin
Diazepam dikenal sebagai obat penenang, tetapi merupakan obat pilihan utama status
epileptik. Memiliki cara kerja yang sama dengan golongan barbiturate.
Dosis :
dewasa 2-10 mg im/iv, dapat diulang stiap 4 jam
Anak > 5 tahun 5-10 mg im/iv
Anak 1 bulan-5 tahun 0,2-2 mg im/iv
d. Golongan suksinimid
Etosuksimid
Indikasi : epilepsi petit mal murni
Dosis : 20-30 mg/kgBB/hari

e. Golongan lain
Sodium valproat
Indikasi : epilepsi petit mal murni, dapat pula untuk epilepsi pada lobus temporalis
yang refrakter, sebagai kombinasi dengan obat lain.
Dosis :
dewasa 0,8-1,4 g/hari dimulai dengan 600mg/hari
Anak 20-30 mg/kgBB/hari
Asetazolamid : dikenal sebagai diuretik, tetapi pada pengobatan epilepsi mempunyai
cara kerja menstabilkan keluar masuknya Na pada sel otak.
Indikasi : epilepsi petit mal, grand mal, dimana serangannya sering berhubungan
dengan siklus menstruasi
Dosis : sehari total 8-30 mg/kgBB
f. Karbamazepin
1 Sediaan : 200 mg/tab
2 Indikasi : epilepsi parsial dengan gejala kompleks dan sederhana
3 Farmakokinetik :
a. Kecepatan absorbsi berbeda-beda antar pasien, tetapi umumnya dapat terabsorbsi
secara sempurna. Obat lambat diabsorpsi jika diberikan setelah makan.
b. Kadar puncak tercapai setelah 6-8 jam.
c. Waktu paruh 36 jam untuk pasien dosis tunggal pertama, kemudian turun 20 jam
4

untuk yang mendapatkan terapi berlanjut.


Farmakodinamik :
Pada membran permeabilitas menunjukkan bahwa CBZ menutup saluran Na pada
konsentrasi terapi dan dapat menstabilkan membran neuron yang hiperaktif,

menghalangi kerusakan neuron berulang dan mengurangi perambatan sinaptik


impuls yang berasal dari luar.
5

Efek samping
Efek sedasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah dan ataksia, yang bersifat
sementara. Efek samping lainnya seperti anoreksia, demam, dermatitis (perubahan
pigmentasi kulit, eritema multiformis, SJS, TEN, reaksi fotosensitivitas, urtikaria)
dan gangguan psikis. Selain itu, obat ini juga dapat mempengaruhi kardiovaskular,
GIT, hepar, neuromuskular, tulang, mata, dan telinga, menyebabkan gangguan darah
seperti anemia aplastik dan agranulositosis, hepatitis, dan SLE. Oleh karena itu,

perlu dilakukan pemeriksaan darah setiap minggu atau per bulan.


Dosis :
Awal
anak : 15-25 mg/kgBB/hari
Dewasa : 1000-2000mg/hari
Maintenance anak 6-12 tahun
Dewasa

: 400-800 mg/hari
: 800-1000 mg/hari

Berikut adalah pemilihan obat AED berdasarkan jenis epilepsinya :


Jenis
Bangkitan

Pilihan
Pertama

Pilihan Kedua

Parsial
Sederhana
Kompleks
Umum
Sekunder

Fenitoin
Karbamazepi
n
Fenobarbital

Klobazam,Gabapentin,
Lamotrigin,Primidon,
Tiagabin,Topiramat,
Vigabatrin,Valproat

Serangan
Umum
Tonik-klonik

Fenitoin
Fenobarbital
Valproat
Karbamazepi
n

Vigabatrin,Klobazam,
Gabapentin,Lamotrigin
,
Primidon,Tiagabin,
Topiramat

Absans/Lena

Valproat
Etosuksimid

Asetazolamid,
Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat

Tonik,
atonik,klonik

Valproat

Klobazam,Felbamat,
Lamotrigin,Topiramat.

Mioklonik

Valproat

Asetazolamid,
klobazam,klonazepam,

felbamat,lamotrigin,
topiramat.
Juvenile
Myoclonic

Valproat

Topiramat,lamotrigin

Sindrom
LennoxGestaut

Topiramat
Felbamat
Lamotrigin

Valproat,fenobarbital,
BZDs,ZNS

Sindrom West

Hormonal
Valproat
Vigabatrin

Topiramat,lamotrigin,
ZNS,BZDs,piridoksin

(Ropper, 2005)

BAB III
STATUS PASIEN
A IDENTITAS
Nama

: Tn. Z

Umur

: 24 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Kadipiro, RT03/ RW 02, Surakarta

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Status Perkawinan

: Menikah

Pekerjaan

: Karyawan

No. RM

: 01 89 86 53

B ANAMNESIS
1 Keluhan utama
:
Kejang berulang
2 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli saraf RSDM bersama istrinya dengan keluhan kejang
berulang. Pasien telah mendapat serangan kejang untuk yang kelima kalinya dalam
setahun. Kejang terjadi saat pasien sedang bekerja di depan komputer. Pasien mengaku
pusing dan berkeringat dingin sebelum kejang. Kelima serangan kejang tersebut diikuti
dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit. Kemudian pasien sadar kembali dan dapat
beraktivitas seperti biasanya. Pasien tidak menderita demam sebelumnya. Pasien belum
pernah memeriksakan diri ke dokter ataupun minum obat setelah serangan kejang yang
pertama.

Sebelum berumur dua tahun, pasien sering mengalami kejang pada saat badannya
panas. Pada saat SD pasien sering pingsan saat mengikuti upacara atau olahraga.

3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat hipertensi

: disangkal

Riwayat sakit jantung

: disangkal

Riwayat DM

: disangkal

Riwayat alergi/asma

: disangkal

Riwayat batuk lama

: disangkal

4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat merokok
Riwayat minum jamu
Riwayat minum minuman keras
Riwayat olah raga teratur

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

C PEMERIKSAAN FISIK
1
Keadaan Umum :
Keadaan umum
: Keadaan umum sakit sedang, compos mentis, gizi
Derajat kesadaran
Tanda vital
Nadi
Respirasi
Suhu
Tensi
3
4
5

cukup.
: compos mentis
: 80x/menit, reguler, kuat, isi dan tegangan cukup
: 18x/menit, reguler
: afebris
: 120/80 mmHg
Leher : limfonodi tidak membesar, JVP tidak meningkat.
Thoraks
: retraksi (-), pelebaran sela iga (-)
Cor
: Bunyi jantung I II intensitas normal, reguler, ictus cordis
di SIC IV-V, bising (-)
Pulmo : pengembangan dada kanan/kiri sama, fremitus taktil
kanan/kiri sama, perkusi sonor/sonor, suara tambahan (-), ronchi
(-)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

: dinding perut // dinding dada, venektasi (-)


: peristaltik (+) normal
: timpani, shifting dullness (-)
: supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

8 Ekstremitas :
- edema
- Status Neurologis
Kesadaran : GCS E4V5M6
Akral dingin

N
N

Fx luhur

: dalam batas normal

Fx vegetatif

: dalam batas normal

Fx sensorik

N
N

sianosis

A.

Fx motorik
Kekuatan
5 5
5 5

Tonus

Ref. Fisiologis

Ref. Patologis

- - -

Nervus Cranialis
N. II

: dbn

N. III : RC (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)


N.VII : dbn
N.XII : dbn
Tanda meningeal
Fx koordinasi

: (-)
: dismetria (-), disdiadokokinesia (-)

D PEMERIKSAAN PENUNJANG
Elektroensefalografi (EEG)
Didapatkan hasil : latar belakang berupa irama alfa 10-11 spd, amplitudo sedang, bereaksi
dengan buka dan tutup mata. Tampak seringkali muncul kompleks paku ombak 3 spd
amplitudo tinggi bilateral sinkron terutama terlihat di daerah frontal kanan depan (Fp2-F4)
dan didahului di kanan depan. Tampak pula gelombang tajam diikuti gelombang lambat
delta-teta 3-4 spd, amplitudo tinggi di daerah frontal kanan depan 9Fp2-f4).
Kesan : EEG abnormal berupa aktivitas epileptiform bilateral sinkron dengan fokus di
frontal kanan depan

E DIAGNOSIS KERJA
Epilepsi lobus frontal
F PLANNING
Cek darah rutin, gula darah, kolestrol, ureum, kreatinin, elektrolit
CT scan kepala
G PENATALAKSANAAN
Terapi
Saat status epileptikus : diazepam 0,2 mg / kg BB dengan kecepatan 5 gr/menit, iv lambat
(2-10 mg selama 2-4 x / hari), ulangi 15 20 menit kemudian. Dosis maksimal 20 30 mg.
Phenytoin

100 mg

H RESEP
R/ inj. Diazepam mg 5 amp. No. I
Cum dispsosible syringe cc 3 no I
imm
R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI
3 dd cap I
Pro : Tn. Z (24 tahun)

PROGNOSIS
Ad vitam
Ad sanam
Ad fungsionam

: dubia ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad bonam

3x1 kapsul

BAB IV
PEMBAHASAN OBAT
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu
diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan

dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.


4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,
maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE
pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak

terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua.


Obat pilihan utama terdiri dari fenobarbital atau fenitoin. Dua-duanya baik sekali
dan murah harganya. Fenitoin mempunyai sifat-sifat yang unggul, yaitu tidak membuat
orang mengantuk, tidak akan menimbulkan manifestasi overdose yang fatal dan bila
dihentikan tidak akan membangkitkan status epileptikus.
Bila serangan grand mal masih belum dapat diberantas dengan obat-obat tersebut
di atas baik secara kombinasi maupun obat tunggal, dapat digunakan primidone (Sidharta,
2009).Primidone efektif untuk semua bangkitan kecuali bangkitan lena. Efeknya baik
untuk bangkitan tonik klonik yang telah refrakter terhadap terapi yang lazim, dan lebih
efektif lagi dalam kombinasi dengan fenitoin (Utama dan Gan, 2007).Dosis untuk anak
dibawah umur 6 tahun ialah 10-25 mg/kgBB/hari. Sedangkan orang dewasa 300-600
mg/hari. Dosis permulaan harus rendah misalnya 100-150 mg/hari. Efek samping
primidone dapat berupa ngantuk, vertigo, ataksia, dermatitis, dan anemia (Sidharta,
2009).
Di bawah ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai fenobarbital dan
fenitoin:
1. Fenobarbital
Fenobarbital sebagai antiepilepsi bekerja dengan membatasi penjalaran aktivitas dan
bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital merupakan obat antikonvulsi

pilihan karena cukup efektif dan murah. Dosis efektifnya relatif rendah. Efek samping
yang terjadi adalah efek sedatif.
Fenobarbital merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada
anak. Dosis anak ialah 100-300 mg/hari sedangkan dewasa dua kali 120-250 mg/hari.
(Utama dan Gan, 2007)
2. Fenitoin
Obat yang dipilih sebagai antiepilepsi pada kasus diatas adalah fenitoin. Fenitoin
merupakan golongan hidantoin yang merupakan obat utama untuk hampir semua jenis
epilepsi, kecuali bangkitan lena. Fenitoin diindikasikan terutama untuk bangkitan tonik
klonik dan bangkitan parsial.
Farmakodinamik
Sifat antikonvulsi fenitoin didasarkan pada penghambatan penjalaran rangsang dari fokus
ke bagian lain di otak. Fenitoin juga mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran
sel, dalam hal ini, khususnya menggiatkan pompa Na+, K+, Ca2+ neuron dan mengubah
neurotranmitor NEPI, asetilkolin, dan GABA.
Farmakokinetik
Pemberian secara per oral mengalami absorpsi secara lambat dan sesekali tidak lengkap.
Pemberian secara IM menyebabkan fenitoin mengendap ditempat suntikan kira-kira 5
hari dan absorpsi berlangsung lambat. Fenitoin terikat kuat pada jaringan saraf sehingga
kerjanya bertahan lebih lama, tetapi mula kerjanya lebih lambat daripada fenobarbital.
Metabolit fenitoin akan di ekskresi melalui ginjal.
Interaksi obat
Interaksi fenitroin dengan fenobarbital atau karbamazepin akan menyebabkan fenitoin
menurun kadarnya karena fenobarbital atau karbamazepin menginduksi enzim mikrosom
hati, tetapi kadang-kadang kadar fenitoin dapat meningkat akibat inhibisi kompetitif
dalam metabolisme.
Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan dari fenitoin adalah keracunan pada SSP, saluran
cerna, gusi dan kulit, sedangkan yang lebih berat mempengaruhi kulit, hati, dan sumsum
tulang.
Dosis

Kadar plasma untuk terapi fenitoin terdapat antara 10-20g/ml. Ketika terapi oral sudah
dimulai, dosis dewasa biasanya 300 mg/hari tanpa memperlihatkan berat badan. Jika
kejang berlanjut, dosis yang lebih tinggi biasanya diperlukan untuk mendapatkan kadar
plasma dalam batas-batas terapi yang lebih tinggi. (Utama dan Gan, 2007)
Sedangkan di bawah ini adalah alternatif obat yang digunakan untuk epilepsi tonik klonik
1. Karbamazepin
Karbamazepin efektif terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik klonik.
Efek samping karbamazepin cukup sering terjadi. Efek samping yang terjadi setelah
pemberian obat jangka lama berupa pusing, vertigo, ataksia, diplopia, dan penglihatan
kabur. Frekuensi bangkitan dapat meningkat akibat dosis berlebih.
Dosis anak di bawah 6 tahun 100 mg/hari, 6-12 tahun 2x 100 mg/hari, dewasa: dosis awal
2x 200 mg sehari pertama, selanjutnya dosis ditinggkat secara bertahap. Dosis
pemeliharaan 800-1200 mg.hari. (Utama dan Gan, 2007)
2. Asam valproat
Asam valproat terutama untuk terapi epilepsi umum dan kurang efektif terhdap epilepsi
fokal. Efek antikonvulsi valproat didasarkan meningkatnya kadar GABA di dalam otak.
Valproat efektif terhadap epilepsi umum yakni bangkitan lena yang disertai oleh
bangkitan tonik klonik. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya kurang
memuaskan. Terapi dimulai dengan dosis awal 3x 200 mg/hari dengan dosis harian
berkisar 0,8-1,4 g. Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena,
tetapi bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. (Utama dan
Gan, 2007)
3. Diazepam
Diazepam digunakan untuk terapi konvulsi rekuren, misalnya status epileptikus. Untuk
mengatasi bangkitan status epileptikus pada orang dewasa disuntikkan 0,2 mg/kgBB
dengan kecepatan 5 mg/menit diazepam IV secara lambat. Dosis ini dapat diulang
seperlunya dengan tenggang waktu 15-20 menit sampai beberapa jam. Dosis maksimal
20-30 mg.
Efek samping berat dan berbahaya yang menyertai penggunakan diazepam IV ialah
obstruksi saluran napas oleh lidah akibat relaksasi otot. Disamping itu dapat terjadi

depresi napas sampai henti napas, hipotensi, henti jantung, dan kantuk. (Utama dan Gan,
2007)
Termasuk golongan benzodiazepin. Mekanismenya:
Potensiasi inhibisi neuron dengan GABA sebagai mediatornya diazepam
berikatan dengan reseptor GABA
Pembukaan kanal klorida
Cl- masuk ke dalam sel
meningkatnya potensial elektrik sepanjang membran
sel sukar tereksitasi
Sediaan : 10 mg/ml (injeksi) valium
5 mg/ml (injeksi) valdimex

ampul

BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1 Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan listrik abnormal,
berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks serebri, yang berupa serangan
2

paroksismal berulang dan timbul tanpa provokasi.


Pengobatan epilepsi terdiri atas pengobatan kausatif (terapi penyebab primer) dan
antikonvulsi. Pengobatan dilakukan dalam jangka panjang (tergantung kondisi dan
kepatuhan pasien) dan dihentikan setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang. Terapi farmaka

harus dipantau karena efek samping dan reaksi hipersensitivitas obat yand dapat terjadi
pada pasien yang sensitif.
B. Saran
1. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan CT scan kepala untuk mengetahui
penyebab kejang (menyingkirkan penyebab sekunder karena penyakit lain, misalnya
neoplasma, perdarahan intrakranial, metabolik)
2. Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai penyakit, terapi, dan prognosis
3. Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur
4. Melakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tes fungsi hepar karena efek samping
pengobatan dapat menyebabkan gangguan hepar dan kelainan darah.

DAFTAR PUSTAKA

Adrian T. Carbamazepin dalam Terapi Epilepsi Sebagai Penyebab Eritema Multiformis Mayor.
Skripsi. Medan : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2009.
Budiarto.I. Beberapa Karateristik Kejang Demam Sebagai Faktor Risiko
Terjadinya Epilepsi. Tesis. Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu
Penyakit Saraf. FK UNDIP, Semarang. 2007
Harsono. Buku Ajar Neurologis Klinis . Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah
Mada University Press. 2006
Ropper AH, Brown RH. Epilepsy and other seizure disorders In Adams and Victors principles of
neurology. 8th ed. USA: McGraw-Hill, 2005.
Shih T. Epilepsy and seizures. In: Brust JCM. Current diagnosis and treatment in neurology.
International ed. USA: McGraw-Hill,2007.
Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat
Sudomo A. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surakarta: BEM FK UNS Press

Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi
5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI
Oktaviana F. Epilepsi : Permasalahan di Reseptor atau Neurotransmitter. Medicinus. 2008. Vol.21
(4) : 121-2.
World Health Organization. Epidemiology, Prevalence, Incidence, Mortality of
Epilepsy. 2001. Fact Sheet. URL http : // www. who.in/ inf-fs/ en/ fact 165.
html.

You might also like