Professional Documents
Culture Documents
BAB II
HUKUM WARIS DALAM ISLAM
A.
Definisi Waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada halhal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non
harta benda.1
Kata adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam alQuran.2 Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita
temukan dalam al-Quran, yang antara lain:
a. Mengandung makna mengganti kedudukan (QS. an-Naml, 27:16).
b. Mengandung makna memberi atau menganugerahkan (QS. az-Zumar,
39:74).
c. Mengandung makna mewarisi atau menerima warisan (QS. alMaryam, 19: 6).3
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan
sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang
Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syariatil Islamiyyah Ala Dhau AlKitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, hlm. 33
2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4,
2000, hlm. 355
3
ibid
18
Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan
orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli
waris serta cara pembagiannya. 5
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris
adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup. 6
Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi
syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang
berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan.
4
ibid
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th. hlm. 1
6
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
5
19
7
8
20
Artinya: Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 10
Dengan redaksi yang berbeda, Oemar Salim mendefinisikan faraidl
sebagai berikut, faraidl adalah bagian-bagian tertentu yang mesti diberikan
kepada para ahli waris tambahan.11 Adapun yang di maksud para ahli waris
tambahan disini adalah semua ashobah.
Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th, hlm. 9
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Almaarif, 1975, hlm.32
11
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet.
Ke-3, 2000, hlm. 56
10
21
:
( )
Artinya: dari Abdullah bin masud, Rasulullah bersabda: Pelajarilah alQuran dan ajarkannya kepada orang-orang dan pelajarilah
ilmu faroidl serta ajarkanlah kepada orang-orang. Karena
saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu
itu bakal diangkat. hampir-hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua
tidak menemukan seorangpun yang sanggup menfatwakannya
kepada mereka. (Hadis Riwayat: an-Nasai).12
Dalam hadis tersebut beliau dengan tegas memerintahkan kepada
umatnya untuk belajar dan mengajarkan ilmu faroidl. Kewajiban belajar dan
12
Imam Abi Abdurrahman Ahmad Bin Syuaib An-Nasai, Kitab As-Sunan Al-Kubra ,
juz-4, Libanon: Darul Kitab Al Ilmiah, t.th, hlm. 63
22
mengajarkan ilmu faroidl disini penulis pahami sebagai fardlu kifayah, yang
artinya kewajiban mempelajari ilmu faroidl itu gugur ketika sebagian orang
telah melaksanakannya dan menguasai ilmu faroidl tersebut.
Akan tetapi jika tidak ada seorangpun yang mempelajari ilmu faroidl
dan melaksanakannya maka semua orang Islam di dunia ini menanggung
dosa seperti halnya kewajiban-kewajiban kafai lainnya. Begitu pentingnya
ilmu faroidl, sehingga dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa ilmu
waris disebut sebagai separoh ilmu.
B.
13
Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hlm. 129
23
14
24
muwaris
dinyatakan
sudah
meninggal
meskipun
terdapat
15
25
Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah
(nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam
serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam pasal 173.
Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat
mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal
173 telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan si mati dan ada juga yang hubungannya lebih jauh
dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya
16
26
waris
nasabiyah,
yaitu
ahli
waris
yang
hubungan
18
27
()
()
19
hlm 34
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Ed. Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2001,
28
14) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman yang
sebapak ()
15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak. ().
20
Jika ahli waris semua ada dan tidak ada halangan mewarisi, maka
yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga saja, yaitu :
a. Anak laki-laki()
b. Bapak ()
c. Suami ( ).
21
20
21
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th, hlm. 41
ibid
29
Apabila seluruh ahli waris yang berjumlah dua puluh lima orang
(laki-laki dan perempuan) semua ada, maka hanya lima orang saja yang
berhak mendapatkan bagian, mereka adalah:
1) Suami atau istri ( / )
2) Anak laki-laki ()
3) Anak perempuan ()
4) Bapak ()
5) Ibu ( ).24
2. Hajib dan Mahjub
Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu ahli waris hajib dan ahli waris mahjub :
a. Ahli waris hajib
22
ibid, hlm. 43
ibid
24
ibid
23
30
31
dalam
27
28
32
29
33
34
Anak laki-laki
Dua orang atau lebih anak perempuan jika tidak ada yang
menariknya menjadi ashobah.
Bapak
QS. an-Nisa ayat 11 menentukan bagian bapak menjadi 3 macam,
yaitu:
a) 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari
anak laki)
b) 1/6+Ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan,
dan tidak ada faru waris (keturunan) laki-laki.
c) Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada farun)
Ibu
QS An Nisa ayat 11 menentukan bagian ibu menjadi 2 macam,
yaitu:
a) 1/6, jika ada anak atau cucu (ada faru waris) atau lebih dari
seorang saudara.
b) 1/3, jika ada anak atau cucu (ada faru waris) atau lebih dari
seorang saudara.
Kakek dan Nenek
Bagian kakek apabila tidak termahjub oleh bapak ialah seperti
(bagian bapak), yaitu :
35
a) 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari
anak laki).
b) 1/6+Ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan,
dan tidak ada faru waris laki-laki.
c) Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada farun).
d) Muqosamah.
Adapun bagian nenek apabila tidak termahjub oleh ibu, yaitu ;
a) 1/6, jika nenek seorang diri.
Saudara Perempuan Sekandung
QS. an-Nisa ayat 176 menentukan bagian saudara perempuan
sekandung, jika tidak mahjub bagiannya yaitu:
a) , jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sekandung yang menariknya menjadi ashobah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sekandung dua orang atau lebih,
tanpa ada saudara sekandung laki-laki.
c) Ashobah, jika ada saudara sekandung laki-laki.
d) Ashobah maa al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki.)
Saudara Sebapak
Kedudukan saudara sebapak adalah dibawah kedudukan saudara
sekandung (sebagaimana kedudukan cucu dibawah kedudukan anak)
sehingga bagiannya juga sama jika tidak termahjub. Jika tidak
termahjub, maka bagiannya yaitu:
36
a) , jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sebapak yang menariknya menjadi ashobah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih, tanpa
ada saudara sebapak laki-laki.
c) Ashobah, jika ada saudara sebapak laki-laki.
d) Ashobah maa al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
e) Tanpa ada saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan sebapak
mendapat 1/6, jika ada seorang saudara perempuan sekandung
sebagai pelengkap 2/3, sebagaimana cucu perempuan (dari anak
laki-laki) bersama dengan anak perempuan.
Saudara Seibu
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya
adalah sama, jika tidak termahjub maka bagian yang diterima adalah:
a) 1/6, jika hanya seorang.
b) 1/3, jika dua orang atau lebih baik laki-laki maupun perempuan,
bagiannya dibagi rata diantara mereka.
c) Merupakan pengecualian apabila ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara seibu. 30
Dari bagian-bagian ahli waris yang kami uraikan diatas, terdapat
juga bagian yang belum jelas ketentuannya yang sering disebut
dengan ashobah. Menurut bahasa ashobah berarti pembela,
30
37
31
38
32
ibid., hlm. 48
ibid., hlm. 49
33
39
:
.() . :
36
34
ibid, hlm. 51
Wahbah Al Zuhaily, al Fiqh al Islmy wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, t.th, hlm. 7709
36
Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syuaib an-Nasai, op. cit., hlm. 79
35
40
41
itu
dilakukan
tanpa
ada
alasan
yang
dapat
37
T.M. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, t.th, hlm. 41
42
43
Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
:
.( )
Artinya: Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi
s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta
orang Islam. (Hadis Riwayat an-NasaI dengan isnad yang
sahih) "41
Dengan demikian secara mutlak maka dalam masalah ini para
fuqoha telah sepakat, karena tidak ada perdebatan yang menonjol
dikalangan para fuqoha tentang seorang yang berbeda agama tidak bisa
saling mewarisi. Walaupun ada sebab kekerabatan dan juga adanya
sebab perkawinan.
Demikian juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 172, yang berbunyi:
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang belum
lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya. (KHI BAB II Ahli Waris pasal 172).42
c. Perbudakan
Dalam era millenium seperti pada masa sekarang, untuk
membahas dan berbicara tentang perbudakan tampaknya sudah tidak
relevan. Perbudakan telah lama dihapuskan dari muka bumi ini, dan
41
Al Bayan
Ditbinbapera Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Departemen Agama, 1999/2000, hlm.82
42
44
...
Artinya: Allah telah membuat perumpamaan dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun(QS. an-Nahl ayat 75). 43
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara
yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak
kebendaannya dikuasai oleh tuannya.
Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak
berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga
merupakan harta dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu
bisa diwariskan.
d. Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan
negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
43
Al Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 413
45
46
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.45
Sedangkan
penghalang
mewarisi
yang
berupa
pembunuhan,
45
Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
ibid. hlm. 82
47
ibid.
46