You are on page 1of 30

17

BAB II
HUKUM WARIS DALAM ISLAM

A.

Definisi Waris
Pengertian waris menurut bahasa ini tidak terbatas hanya pada halhal yang berkaitan dengan harta, akan tetapi mencakup harta benda dan non
harta benda.1
Kata adalah kata kewarisan pertama yang digunakan dalam alQuran.2 Kata waris dalam berbagai bentuk makna tersebut dapat kita
temukan dalam al-Quran, yang antara lain:
a. Mengandung makna mengganti kedudukan (QS. an-Naml, 27:16).
b. Mengandung makna memberi atau menganugerahkan (QS. az-Zumar,
39:74).
c. Mengandung makna mewarisi atau menerima warisan (QS. alMaryam, 19: 6).3
Sedangkan secara terminologi hukum, kewarisan dapat diartikan
sebagai hukum yang mengatur tentang pembagian harta warisan yang

Muhammad Ali ash-Sahabuni, Al-Mawaris Fisy Syariatil Islamiyyah Ala Dhau AlKitab wa Sunnah. Terj. A.M. Basalamah Pembagian Waris Menurut Islam, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, hlm. 33
2
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. Ke-4,
2000, hlm. 355
3
ibid

18

ditinggalkan ahli waris, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari


peninggalan untuk setiap ahli waris yang berhak menerimanya.4
Sedangkan menurut para fuqoha, pengertian ilmu waris adalah
sebagai berikut:


Artinya: Ilmu yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan
orang yang mewaris, kadar yang diterima oleh ahli
waris serta cara pembagiannya. 5
Adapun dalam istilah umum, waris adalah perpindahan hak
kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang masih
hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris
adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup. 6
Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu
perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang
meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup dengan memenuhi
syarat dan rukun dalam mewarisi.
Selain kata waris tersebut, kita juga menemukan istilah lain yang
berhubungan dengan warisan, diantaranya adalah:
1. Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan.
4

ibid
Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th. hlm. 1
6
Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
5

19

2. Muwaris, adalah orang yang diwarisi harta bendanya (orang yang


meninggal) baik secara haqiqy maupun hukmy karena adanya penetapan
pengadilan.
3. Al-Irsi, adalah harta warisan yang siap dibagikan kepada ahli waris yang
berhak setelah diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang dan
menunaikan wasiat.
4. Warasah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris.
5. Tirkah, yaitu seluruh harta peninggalan orang yang meninggal dunia
sebelum diambil untuk pemeliharaan jenazah, melunasi hutang,
menunaikan wasiat.7
Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum
Islam (KHI) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).
Dalam fiqih mawaris ada ilmu yang digunakan untuk mengetahui
tata cara pembagian dan untuk mengetahui siapa-siapa saja yang berhak
mendapat bagian, siapa yang tidak mendapat bagian dan berapa besar
bagiannya adalah ilmu faroidl.
Al-Faraaidh ( )adalah bentuk jamak dari kata Al-Fariidhoh

( )yang oleh para ulama diartikan semakna dengan lafazh mafrudhah,


yaitu bagian-bagian yang telah ditentukan kadarnya.8 Diartikan demikian

7
8

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 4


Asymuni A. Rahman, et al., Ilmu Fiqh 3, Jakarta: IAIN Jakarta , 1986, Cet. Ke-2, hlm. 1

20

karena dalam hukum kewarisan Islam bagian-bagian yang telah ditentukan


kadarnya tersebut dapat mengalahkan bagian-bagian yang belum ditentukan
kadarnya dan bagian yang telah menjadi hak ahli waris telah dibakukan
dalam al-Quran.
Jadi secara terminologi pengertian faraidl adalah suatu cara yang
digunakan untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh bagian-bagian
tertentu, maka ditetapkan terlebih dahulu ahli-ahli waris dari orang yang
meninggal. Selanjutnya baru dapat diketahui siapa diantara ahli waris yang
mendapatkan bagian dan yang tidak mendapat bagian tertentu.9
Sebagian ulama Faradhiyun mendefinisikan faraidl sebagai berikut :


Artinya: Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta pusaka,
pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka. 10
Dengan redaksi yang berbeda, Oemar Salim mendefinisikan faraidl
sebagai berikut, faraidl adalah bagian-bagian tertentu yang mesti diberikan
kepada para ahli waris tambahan.11 Adapun yang di maksud para ahli waris
tambahan disini adalah semua ashobah.

Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th, hlm. 9
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bandung : PT Almaarif, 1975, hlm.32
11
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet.
Ke-3, 2000, hlm. 56
10

21

Sedangkan hukum belajar atau mengajarkan ilmu faraidl bagi setiap


muslim baik laki-laki maupun perempuan, yang memahami atau sama sekali
tidak mengerti ilmu faroidl hukumnya adalah wajib.
Kewajiban belajar dan mengajarkan ilmu faroidl ini dimaksudkan
agar dikalangan kaum muslimin khususnya dalam lingkungan keluarga
muslim tidak terjadi perselisihan dalam pembagian harta warisan yang
nantinya akan mendatangkan keretakan dan perpecahan hubungan
kekeluargaan serta memutuskan hubungan tali silaturrahmi dengan anggota
keluarganya sendiri yang dikarenakan tidak adanya seorang muslim yang
menguasai ilmu faraidl.
Dasar hukum Perintah belajar dan mengajarkan ilmu faraidl dapat
dijumpai dalam hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:

:


( )
Artinya: dari Abdullah bin masud, Rasulullah bersabda: Pelajarilah alQuran dan ajarkannya kepada orang-orang dan pelajarilah
ilmu faroidl serta ajarkanlah kepada orang-orang. Karena
saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu
itu bakal diangkat. hampir-hampir saja dua orang yang
bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua
tidak menemukan seorangpun yang sanggup menfatwakannya
kepada mereka. (Hadis Riwayat: an-Nasai).12
Dalam hadis tersebut beliau dengan tegas memerintahkan kepada
umatnya untuk belajar dan mengajarkan ilmu faroidl. Kewajiban belajar dan

12

Imam Abi Abdurrahman Ahmad Bin Syuaib An-Nasai, Kitab As-Sunan Al-Kubra ,
juz-4, Libanon: Darul Kitab Al Ilmiah, t.th, hlm. 63

22

mengajarkan ilmu faroidl disini penulis pahami sebagai fardlu kifayah, yang
artinya kewajiban mempelajari ilmu faroidl itu gugur ketika sebagian orang
telah melaksanakannya dan menguasai ilmu faroidl tersebut.
Akan tetapi jika tidak ada seorangpun yang mempelajari ilmu faroidl
dan melaksanakannya maka semua orang Islam di dunia ini menanggung
dosa seperti halnya kewajiban-kewajiban kafai lainnya. Begitu pentingnya
ilmu faroidl, sehingga dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa ilmu
waris disebut sebagai separoh ilmu.
B.

Syarat dan Rukun Waris


Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan
perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari
pewaris kepada ahli warisnya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan
harta warisan didasarkan pada asas ijbari, yaitu harta warisan berpindah
dengan sendirinya menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada
kehendak pewaris atau ahli waris.13 Pengertian tersebut akan terwujud jika
syarat dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian harta
warisan. Syarat-syarat tersebut selalu mengikuti rukun, akan tetapi sebagian
ada yang berdiri sendiri.
Dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah
disepakati oleh para ulama, tiga syarat tersebut adalah:

13

Muhammad Daud Ali, Asas Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, 1990, hlm. 129

23

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy


(misalnya dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris
meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.14
Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta
warisan. Rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga
macam, yaitu :
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang
yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia.
Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3
macam :
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini
tanpa membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut
disaksikan oleh orang banyak dengan panca indera dan dapat
dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan nyata.
b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)
Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu
kematian yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya
beberapa pertimbangan. Maka dengan putusan hakim secara yuridis

14

Muhammad Ali Ash-Sahabuni , op. cit. hlm. 40

24

muwaris

dinyatakan

sudah

meninggal

meskipun

terdapat

kemungkinan muwaris masih hidup.


Menurut pendapat Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama
meninggalkan tempat itu berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat
dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab lain, terserah
kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai
macam segi kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian
(muwaris) berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu
hamil yang dipukul perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika
bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan dugaan keras
kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.15
2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya
adalah pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang
masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus
dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling
mewarisi.

15

Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 21-22

25

3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi


biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.16
C.

Bagian-bagian Ahli Waris


Pada bagian ini, kita akan membicarakan tentang bagian-bagian ahli
waris, namun ada baiknya terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa
saja ahli waris yang berhak menerima warisan ashabul furudl, ashobah, dan
dzawil arham dan meneliti lebih lanjut apakah terdapat penghalang didalam
menerima harta warisan.
1. Ahli Waris dan Macam-Macamnya
Adapun kriteria sebagai ahli waris tercantum didalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c , yang berbunyi:
Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam
dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.17

Jadi menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah seseorang yang
dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik hubungan darah
(nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan dan beragama Islam
serta tidak terhalang mewarisi seperti yang disebutkan dalam pasal 173.
Meskipun demikian tidak secara otomatis setiap anggota keluarga dapat
mewarisi harta peninggalan pewarisnya, meskipun kriteria dalam pasal
173 telah terpenuhi. Karena ada ahli waris yang lebih dekat
hubungannya dengan si mati dan ada juga yang hubungannya lebih jauh
dengan si mati. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengingat urutannya
16

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. cit , hlm. 29


Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam, Departemen Agama RI, Jakarta, 1999/2000, hlm. 81
17

26

masing-masing. Dan dalam urut-urutan penerimaan harta warisan


seringkali yang dekat menghalangi yang jauh, atau ada juga yang dekat
hubungannya dengan pewaris akan tetapi tidak tergolong sebagai ahli
waris karena dari garis keturunan perempuan (dzawil arham).
Apabila dicermati, hukum waris Islam membagi ahli waris
menjadi dua macam, yaitu:
1) Ahli

waris

nasabiyah,

yaitu

ahli

waris

yang

hubungan

kekeluargaannya timbul karena adanya hubungan darah. Maka sebab


nasab menunjukkan hubungan kekeluargaan antara pewaris dengan
ahli waris.
2) Ahli waris sababiyah, yaitu: hubungan kewarisan yang timbul karena
sebab tertentu.
a. Perkawinan yang sah (al-musoharoh)
b. Memerdekakan hamba sahaya (al-wala) atau karena adanya
perjanjian tolong menolong.18
Macam-macam ahli waris dapat di golongkan menjadi beberapa
golongan yang ditinjau dari segi jenis kelaminnya, dan dari segi haknya
atas harta warisan. Jika ditinjau dari jenis kelaminnya, maka ahli waris
terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris
perempuan. Dan jika ditinjau dari segi hak atas harta warisan, maka ahli

18

Ahmad Rafiq, Fiqh Mawaris, op. cit , hlm. 59

27

waris terbagi menjadi tiga golongan, yaitu dzawil furudl, ashobah,


dzawil arham.19
Para ahli waris perempuan dan laki-laki jika semua masih hidup
jumlahnya ada 25 orang. Sepuluh orang ahli waris perempuan dan lima
belas orang ahli waris laki-laki.
Jika ahli waris laki-laki (al-warisun) semuanya ada, maka uruturutannya adalah sebagai berikut:
1) Anak laki-laki ()
2) Bapak ()
3) Suami ()
4) Cucu laki-laki dari anak laki-laki ()
5) Kakek dari bapak ()
6) Saudara laki-laki sekandung ()
7) Saudara laki-laki sebapak ()
8) Saudara laki-laki seibu

()

9) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sekandung()


10) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sebapak

()

11) Saudara laki-laki bapak (paman) sekandung ()


12) Saudara laki-laki bapak (paman) sebapak ()
13) Sepupu (misan) laki-laki sekandung, yaitu anak laki-laki paman yang
sekandung. ()

19

hlm 34

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Ed. Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2001,

28

14) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman yang
sebapak ()
15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak. ().

20

Jika ahli waris semua ada dan tidak ada halangan mewarisi, maka
yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga saja, yaitu :
a. Anak laki-laki()
b. Bapak ()
c. Suami ( ).

21

Jika ahli waris perempuan (al-warisat) semuanya ada, maka


urutannya adalah sebagai berikut :
1) Anak Perempuan ()
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki ()
3) Ibu ()
4) Istri ()
5) Saudara perempuan sekandung ()
6) Nenek dari garis ibu()
7) Nenek dari garis bapak()
8) Saudara seayah ()
9) Saudara seibu ()

20
21

Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris (Asas Mawaris), Semarang, t.th, hlm. 41
ibid

29

10) Orang yang memerdekakan budak ().22


Ahli waris diatas jika semuanya ada (masih hidup dan tidak ada
halangan), maka yang mendapatkan warisan hanya lima orang, yaitu:
a. Anak Perempuan ()
b. Cucu perempuan dari anak laki-laki ()
c. Ibu ()
d. Istri ()
23

e. Saudara perempuan sekandung () .

Apabila seluruh ahli waris yang berjumlah dua puluh lima orang
(laki-laki dan perempuan) semua ada, maka hanya lima orang saja yang
berhak mendapatkan bagian, mereka adalah:
1) Suami atau istri ( / )
2) Anak laki-laki ()
3) Anak perempuan ()
4) Bapak ()
5) Ibu ( ).24
2. Hajib dan Mahjub
Dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu ahli waris hajib dan ahli waris mahjub :
a. Ahli waris hajib

22

ibid, hlm. 43
ibid
24
ibid
23

30

Secara bahasa hijab artinya dinding atau penutup atau penghalang


dari mendapatkan bagian warisan menjadi tidak mendapat atau
berkurang karena masih ada ahli waris yang lebih dekat.25
Maka ahli waris hajib adalah ahli waris yang dekat hubungan
kekerabatannya menghalangi hak waris ahli waris yang jauh
hubungan kekerabatannya. Perbuatan menutupnya disebut hijab.
Contoh: Bapak menjadi penghalang bagi saudara perempuan.
Hijab (penghalang mendapatkan warisan) ada dua macam, yaitu :
a) Hijab Nuqson, yaitu: mengurangi bagian ahli waris tertentu yang
seharusnya diterima ahli waris karena adanya ahli waris lain yang
lebih dekat.
Contoh: Bagian suami menjadi berkurang karena ada anak.
Suami berhak mendapatkan setengah dari harta
almarhum istrinya, akan tetapi karena adanya anak yang
ditinggalkan bersama, maka bagian suami berkurang
menjadi seperempat bagian saja.
b) Hijab Hirman (menghalangi secara total), yaitu: dinding yang
menyebabkan ahli waris tidak mendapat bagian sama sekali
karena ada ahli waris yang lebih dekat.
Contoh: Cucu laki-laki tidak mendapatkan bagian sama sekali
karena ada anak laki-laki.26
b. Ahli waris mahjub
25
26

Muslich Maruzi, op. cit., hlm. 43


op.cit., hlm. 44

31

Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang jauh hubungan


kekerabatannya, dan terhalang untuk mewarisi.27
c. Bagian-bagian Masing-masing Ahli Waris
Dalam hukum kewarisan banyak mengandung persoalan yang
sensitif, terutama pada saat pembagian harta warisan. Karena pada
saat pembagian harta tidak jarang mengakibatkan konflik antar
anggota keluarga yang berkepanjangan hingga putusnya tali
silaturrahmi. Maka untuk menghindari konflik antar anggota
keluarga, hukum kewarisan Islam telah memberikan pedomanpedoman bagi pelaksanaan pembagian harta waris. Dan

dalam

pembagian harta waris ini harus dilakukan dengan cermat, penuh


kehati-hatian dan seadil-adilnya.
Keistimewaan yang terkandung dalam ketentuan bagian bagi ahli
waris dalam konsep hukum waris Islam ialah bagian untuk seorang
ahli waris sering tidak tetap atau berubah-ubah menurut keadaan dan
kedudukan ahli waris. Maka dalam hal ini perlu diperhatikan dengan
baik dan ketelitian agar tidak terjadi kekeliruan dalam pembagian
harta warisan. 28
Dalam konsep waris Islam, apabila dilihat dari segi bagian-bagian
yang diterima, maka dapat dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:
ashabul furudl, ashobah dan zawil arham.

27
28

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, op. cit., hlm.385


Ahmad Azhar Basyir, op. cit., hlm. 42

32

Adapun yang dimaksudkan dengan Ashab al-furudl, yaitu ahli waris


yang menerima bagian yang besar kecilnya telah ditentukan dalam
al-Quran, seperti 1/2, 1/4, 1/6, 1/8, 2/3, atau 1/3.
Ahli waris Ashobah, yaitu ahli waris yang bagian yang diterimanya
adalah sisa setelah harta warisan dibagikan kepada ashab al-furudl.
Ahli waris Dzawil Arham, yaitu ahli waris yang sesungguhnya
memiliki hubungan famili dengan mayit (pewaris), akan tetapi
menurut ketentuan al-Quran tidak berhak menerima bagian
warisan.29 Karena ahli waris dzawil arham tidak termasuk golongan
ahli waris Ashab al-furudl ataupun ashobah.
Ketentuan bagian masing-masing ahli waris Ashab al-furudl
diperoleh dari al-Quran dan hadis. Sebagaimana telah disebutkan
dalam al-Quran, ahli waris Ashab al-furudl terdiri dari 12 orang,
yaitu: suami, istri, anak perempuan, cucu perempuan dari anak lakilaki, bapak, ibu, nenek, kakek, saudara perempuan sekandung,
saudara perempuan sebapak, saudara laki-laki dan perempuan seibu.
Bagian masing-masing ahli waris Ashab al-furudl, sebagai
berikut:
Suami
QS. an-Nisa ayat 12, yang menentukan bagian suami menjadi 2
macam, yaitu:
a) , jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.

29

Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, op. cit., hlm. 60

33

b) , jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.


Istri
QS. an-Nisa ayat 12 menentukan bagian suami menjadi 2 macam,
yaitu:
a) , jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
b) 1/8, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki.
Anak Perempuan
QS. an-Nisa ayat 11 menentukan bagian anak perempuan ada 3
macam, yaitu :
a) , jika anak perempuan hanya seorang dan tidak bersamaan
dengan anak laki-laki yang menariknya menjadi ashobah.
b) 2/3, jika anak perempuan dua orang atau lebih dan tidak ada anak
laki-laki.
c) Ashobah, jika ada anak laki-laki.
Cucu Perempuan
Bagian cucu perempuan dari anak laki-laki jika tidak mahjub adalah:
a) , jika cucu perempuan hanya seorang dan tidak bersamaan
dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki yang menariknya
menjadi ashobah.
b) 2/3, jika cucu perempuan dua orang atau lebih dan tidak ada cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
c) 1/6, jika bersamaam dengan anak perempuan tunggal sebagai
pelengkap 2/3 harta warisan.

34

d) Ashobah, jika ada cucu laki-laki dari anak laki-laki


e) Terhalang (mahjub) oleh:
-

Anak laki-laki

Dua orang atau lebih anak perempuan jika tidak ada yang
menariknya menjadi ashobah.

Bapak
QS. an-Nisa ayat 11 menentukan bagian bapak menjadi 3 macam,
yaitu:
a) 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari
anak laki)
b) 1/6+Ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan,
dan tidak ada faru waris (keturunan) laki-laki.
c) Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada farun)
Ibu
QS An Nisa ayat 11 menentukan bagian ibu menjadi 2 macam,
yaitu:
a) 1/6, jika ada anak atau cucu (ada faru waris) atau lebih dari
seorang saudara.
b) 1/3, jika ada anak atau cucu (ada faru waris) atau lebih dari
seorang saudara.
Kakek dan Nenek
Bagian kakek apabila tidak termahjub oleh bapak ialah seperti
(bagian bapak), yaitu :

35

a) 1/6, jika bersama dengan anak laki-laki atau cucu laki-laki (dari
anak laki).
b) 1/6+Ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan,
dan tidak ada faru waris laki-laki.
c) Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu (tidak ada farun).
d) Muqosamah.
Adapun bagian nenek apabila tidak termahjub oleh ibu, yaitu ;
a) 1/6, jika nenek seorang diri.
Saudara Perempuan Sekandung
QS. an-Nisa ayat 176 menentukan bagian saudara perempuan
sekandung, jika tidak mahjub bagiannya yaitu:
a) , jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sekandung yang menariknya menjadi ashobah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sekandung dua orang atau lebih,
tanpa ada saudara sekandung laki-laki.
c) Ashobah, jika ada saudara sekandung laki-laki.
d) Ashobah maa al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki.)
Saudara Sebapak
Kedudukan saudara sebapak adalah dibawah kedudukan saudara
sekandung (sebagaimana kedudukan cucu dibawah kedudukan anak)
sehingga bagiannya juga sama jika tidak termahjub. Jika tidak
termahjub, maka bagiannya yaitu:

36

a) , jika sendirian, tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) dan
saudara laki-laki sebapak yang menariknya menjadi ashobah.
b) 2/3, jika saudara perempuan sebapak dua orang atau lebih, tanpa
ada saudara sebapak laki-laki.
c) Ashobah, jika ada saudara sebapak laki-laki.
d) Ashobah maa al ghoir, jika ada anak perempuan atau cucu
perempuan (dari anak laki-laki).
e) Tanpa ada saudara laki-laki sebapak, saudara perempuan sebapak
mendapat 1/6, jika ada seorang saudara perempuan sekandung
sebagai pelengkap 2/3, sebagaimana cucu perempuan (dari anak
laki-laki) bersama dengan anak perempuan.
Saudara Seibu
Saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan kedudukannya
adalah sama, jika tidak termahjub maka bagian yang diterima adalah:
a) 1/6, jika hanya seorang.
b) 1/3, jika dua orang atau lebih baik laki-laki maupun perempuan,
bagiannya dibagi rata diantara mereka.
c) Merupakan pengecualian apabila ahli warisnya terdiri dari suami,
ibu, saudara-saudara sekandung dan saudara-saudara seibu. 30
Dari bagian-bagian ahli waris yang kami uraikan diatas, terdapat
juga bagian yang belum jelas ketentuannya yang sering disebut
dengan ashobah. Menurut bahasa ashobah berarti pembela,

30

Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 263-267

37

penolong atau pelindung. Sedangkan menurut istilah, ashobah ialah


ahli waris yang berhak menerima harta warisan sisa dengan tidak
ditentukan bagiannya.31
Adapun macam-macam ahli waris ashobah ada 3 macam yaitu
sebagai berikut:
a) Ashobah binafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan
dirinya sendiri berhak menerima bagian ashobah.
ashobah binafsi semuanya terdiri dari 14 orang, yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki dari anak laki-laki
3) Bapak
4) Kakek dari bapak
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki sebapak
7) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sekandung
8) Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sebapak
9) Saudara laki-laki bapak (paman) sekandung
10) Saudara laki-laki bapak (paman) sebapak
11) Sepupu (misan) laki-laki sekandung, yaitu anak laki-laki
paman yang sekandung.
12) Sepupu (misan) laki-laki sebapak, yaitu anak laki-laki paman
yang sebapak

31

Muslich Maruzi, op. cit, hlm. 47

38

13) Mutiq (Orang laki-laki yang memerdekakan budak).


14) Ashobah dari mutiq. 32
b) Ashobah bil-Ghoir, yaitu: ahli waris yang menerima bagian sisa
karena telah bersama-sama ahli waris yang menerima bagian sisa
(ashobah binafsi). Jadi golongan ahli waris ini menjadi ahli
waris ashobah karena ditarik oleh ahli waris ashobah lain.
Apabila ahli waris penerima bagian sisa tidak ada, maka ia tetap
menerima bagian tertentu (furud al-muqoddaroh). Ahli waris
penerima ashobah bil-ghoir tersebut adalah:
1) Anak perempuan bersama-sama anak laki-laki.
2) Cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu
laki-laki dari anak laki-laki.
3) Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki
sekandung.
4) Saudara perempuan sebapak bersama saudara laki-laki
sebapak.33
c) Ashobah maal-ghoir, yaitu: ahli waris yang menerima bagian
ashobah karena bersama-sama ahli waris lain yang bukan
ashobah. Apabila ahli waris lain tidak ada, maka bagian yang
diterima adalah (furudl al-muqoddaroh). Ahli waris yang
menerima ashobah maal ghoir hanya ada 2, yaitu:

32

ibid., hlm. 48
ibid., hlm. 49

33

39

1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) bersama


dengan anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak
laki-laki) seorang atau lebih.
2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama
dengan anak perempuan atau cucu perempuan (dari anak
laki-laki) seorang atau lebih.34
D.

Hal-hal Yang Menghalangi Waris


Adapun yang dimaksud penghalang mewarisi adalah hal-hal yang
dapat menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan
pewarisnya, orang yang kehilangan hak mewarisi disebut dengan mahrum,
sedangkan penghalangnya disebut hirman.35
Dalam hal ini, banyak perbedaan pendapat tentang hal-hal apa saja
yang dapat menghalangi seorang mendapat hak mewarisi, namun secara
umum hal-hal yang bisa menjadi penghalang mewarisi itu ada tiga macam,
yaitu:
a. Pembunuhan.
Pembunuhan adalah sesuatu perbuatan yang mutlak menjadi
penghalang waris, karena adanya dalil yang kuat dari hadis Rasulullah
SAW, yaitu:

:
.() . :

36

34

ibid, hlm. 51
Wahbah Al Zuhaily, al Fiqh al Islmy wa Adillatuhu, Dar al-Fikr, t.th, hlm. 7709
36
Imam Abi Abdurrahman Ahmad bin Syuaib an-Nasai, op. cit., hlm. 79
35

40

Artinya: Tidak berhak sipembunuh mendapat sesuatupun dari harta


warisan (Hadis Riwayat an-Nasai dengan isnad yang
sahih).
Dari hadis tersebut diketahui bahwa pembunuhan merupakan
suatu perbuatan yang menjadi penghalang mewarisi. Namun kategori
pembunuhan sendiri ada bermacam-macam dan ada golongan ulama
yang berpendapat bahwa tidak semua pembunuhan dapat menggugurkan
hak waris.
Amir Syarifudin mengkategorikan macam-macam pembunuhan
ini menjadi dua, yaitu:
1. Pembunuhan yang hak dan tidak berdosa
Yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang hak dan tidak
berdosa adalah pembunuhan dalam peperangan, petugas qishos
(ekskutor) dan membunuh untuk membela harta, jiwa dan
kehormatannya.
2. Pembunuhan yang tidak hak dan berdosa
Yang termasuk dalam kategori pembunuhan yang tidak hak dan
berdosa adalah pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dan
pembunuhan tidak sengaja.
Pada dasarnya seluruh fuqoha menetapkan, bahwasannya
pembunuhan adalah suatu penghalang mewarisi. Namun yang menjadi
perbedaan dikalangan fuqoha adalah bentuk-bentuk pembunuhan yang
mana saja yang dapat dikategorikan sebagai penghalang mewarisi, dalam
masalah ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:

41

1. Menurut golongan Hanafiyah


Menurut golongan hanafiyah pembunuhan yang dapat menghalangi
hak kewarisan adalah pembunuhan secara langsung (yang disengaja)
karena dapat mengakibatkan qishos, atau pembunuhan yang serupa
dengan sengaja atau tidak disengaja atau dianggap sengaja yang
semuanya diwajibkan membayar kaffarat atau diat, apabila
pembunuhan

itu

dilakukan

tanpa

ada

alasan

yang

dapat

membenarkan perbuatan tersebut dan yang melakukan pembunuhan


adalah orang yang berakal dan cukup umur atau bukan orang gila.
Jadi perbuatan yang tidak dikenai sanksi qishos masih mempunyai
hak untuk mewarisi, seperti pembunuhan yang dilakukan oleh anak
kecil (dibawah umur) dan lain sebagainya.37
2. Menurut golongan Syafiiyah
Setiap pembunuhan secara mutlak dalam bentuk apapun menjadi
penghalang mewarisi, baik langsung maupun tidak langsung, baik
karena ada alasan maupun tidak, dan dilakukan oleh orang yang
cakap bertindak maupun tidak. Oleh karena itu si pembunuh harus di
qishos tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang dibunuh.
Imam Syafii memberikan contoh pembunuhan yang dapat menjadi
penghalang mewarisi sebagai berikut:
a) Hakim yang menjatuhkan hukuman mati, tidak dapat mewarisi
harta orang yang telah dijatuhi hukuman mati.

37

T.M. Hasby ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, t.th, hlm. 41

42

b) Algojo yang menjalankan tugas membunuh tidak dapat mewarisi


harta orang peninggalan pesakitan yang dibunuhnya.
c) Seseorang yang memberikan persaksian (sumpah) palsu, tidak
dapat mewarisi harta peninggalan orang yang menjadi korban
persaksian palsunya.38
Pendapat ulama pendukung syafiiyah ini dikuatkan oleh sebuah
analisa bahwa pembunuhan cara apapun dapat memutuskan tali
perwalian yang menjadi dasar saling mewarisi.39
3. Menurut golongan Malikiyah
Menurut golongan malikiyah hanya pembunuhan yang disengaja saja
yang dapat menghalangi hak waris.
4. Menurut golongan Hambaliyah
Menurut golongan hambaliyah, segala pembunuhan yang berakibat
qishos atau yang berakibat kaffarat dapat menjadi penghalang
mewarisi. Adapun pembunuhan yang tidak mengakibatkan sesuatu,
seperti pembunuhan yang dapat dibenarkan maka tidak menghalangi
dalam menerima warisan.40
b. Berbeda Agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan berbeda agama adalah agama
yang dianut antara waris dengan muwaris itu berbeda. Sedangkan yang
dimaksud dengan berbeda agama dapat menghalangi kewarisan adalah
tidak ada hak saling mewarisi antara seorang muslim dan kafir (non
38

Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 91


Ibid.
40
T.M. Hasby ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 43
39

43

Islam), orang Islam tidak mewarisi harta orang non Islam demikian juga
sebaliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:


:
.( )
Artinya: Diriwayatkan daripada Usamah bin Zaid r.a katanya: Nabi
s.a.w bersabda: Orang Islam tidak boleh mewarisi harta
orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta
orang Islam. (Hadis Riwayat an-NasaI dengan isnad yang
sahih) "41
Dengan demikian secara mutlak maka dalam masalah ini para
fuqoha telah sepakat, karena tidak ada perdebatan yang menonjol
dikalangan para fuqoha tentang seorang yang berbeda agama tidak bisa
saling mewarisi. Walaupun ada sebab kekerabatan dan juga adanya
sebab perkawinan.
Demikian juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Pasal 172, yang berbunyi:
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas
atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang belum
lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau
lingkungannya. (KHI BAB II Ahli Waris pasal 172).42

c. Perbudakan
Dalam era millenium seperti pada masa sekarang, untuk
membahas dan berbicara tentang perbudakan tampaknya sudah tidak
relevan. Perbudakan telah lama dihapuskan dari muka bumi ini, dan

41

Al Bayan
Ditbinbapera Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Departemen Agama, 1999/2000, hlm.82
42

44

Islam juga ikut andil dalam penghapusan segala macam praktek


perbudakan.
Karena pada dasarnya Islam sangat menganjurkan pemerdekaan
budak, karena perbudakan itu tidak sesuai dengan nilai-nilai humanisme
dan kasih sayang (rahmatan lil alamin) yang keduanya merupakan
pokok dari ajaran Islam yang mencintai perdamaian dan kemerdekaan.
Firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat 75 yang berbunyi:

...
Artinya: Allah telah membuat perumpamaan dengan seorang hamba
sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap
sesuatupun(QS. an-Nahl ayat 75). 43
Secara umum, mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak
terhalang menerima warisan, karena budak (hamba sahaya) secara
yuridis tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sedangkan hak
kebendaannya dikuasai oleh tuannya.
Sehingga ketika tuannya meninggal, maka seorang budak tidak
berhak untuk mewarisi, karena pada hakekatnya seorang budak juga
merupakan harta dan sebagai harta maka dengan sendirinya benda itu
bisa diwariskan.
d. Berlainan Negara
Perbedaan negara dilihat dari segi ilmu waris adalah perbedaan
negara jika telah memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:

43

Al Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra, 1989, hlm. 413

45

1. Angkatan bersenjata yang berbeda, artinya masing-masing di bawah


komando yang berbeda.
2. Kepala negara yang berbeda.
3. Tidak ada ikatan satu dengan yang lainnya, artinya tidak ada
kerjasama diplomatik yang terjalin antar keduanya. 44
Namun dalam bab ini penulis tidak akan menfokuskan pada
persoalan beda negara, karena pada perkembangan berikutnya ternyata
seorang muslim yang berlainan negara bisa saling mewarisi. Hal ini
dikarenakan Islam tidak membatasi ajarannya pada satu kaum saja, tapi
juga untuk seluruh alam (QS. al-Anbiya ayat 107) selain itu tidak ada
nash yang melarang seorang yang beda negara saling mewarisi.
Sedangkan yang menjadi penghalang mewarisi dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yaitu beda agama (pasal 171 huruf c dan pasal 172
KHI), membunuh, percobaan pembunuhan, penganiayaan berat terhadap
pewaris dan memfitnah (pasal 173 KHI).
Adapun persoalan agama menjadi sangat esensial sehingga harus ada
penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak waris, namun
hal ini juga tidak kita temukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) buku
kedua. Sedangkan pewaris dalam ketentuan hukum kewarisan Islam adalah
bergama Islam, maka secara otomatis ahli waris juga beragama Islam.
Sebagaimana Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI)
berbunyi:
44

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia,


2002, hlm.35

46

Ahli waris ialah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.45

Dan sebagai indikasi bahwa ahli waris tersebut beragama Islam,


telah dijelaskan dalam pasal 172 KHI yang berbunyi:
Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.46

Sedangkan

penghalang

mewarisi

yang

berupa

pembunuhan,

percobaan pembunuhan, penganiayaan berat pewaris dan memfitnah telah


dijelaskan dalam pasal 173 KHI yang berbunyi:
Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat
pada pewaris.
b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5
tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 47

45

Ditbinbapera Islam Ditjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 81
ibid. hlm. 82
47
ibid.
46

You might also like