You are on page 1of 11

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN PANGAN

KONVERSI OTOT MENJADI DAGING

DISUSUN OLEH :
MEYTA CHITA S : 1233010029

TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAWA TIMUR
2013-2014

I. DASAR TEORI
Konversi Otot Menjadi Daging
Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang
dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya
(Soeparno, 1998). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), daging didefinisikan sebagai urat
daging (otot) yang melekat pada kerangka, kecuali urat daging bagian bibir, hidung dan
telinga yang berasal dari hewan sehat sewaktu dipotong.
Menurut Gaman dan Sherrington (1992), daging merupakan bahan makanan
berprotein yang berharga serta sumber penting vitamin B (terutama asam nikotinat) dan zat
besi. Komposisi daging sangat bervariasi. Kadar lemak berkisar antara 10% sampai 50%.
Kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak, artinya daging dengan kadar lemak tinggi
mempunyai kadar air yang rendah.
Tabel 1. Komposisi Nutrien Daging Sapi Mentah
Nutrien

Jumlah (%)

Protein

20

Lemak

11

Karbohidrat

Air

68

Vitamin dan mineral

kurang dari 1

Sumber : Gaman dan Sherrington (1992)


Postmortem pada Daging Sapi
Menurut Soeparno (1998), perubahan biokimia dan biofisis pada konversi otot
menjadi daging diawali pada saat penyembelihan ternak. Faktor yang mempengaruhi kondisi
ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan
juga mempengaruhi kualitas daging yang dihasilkan. Penimbunan asam laktat dan
tercapainya pH ultimat otot tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat
pemotongan. Penimbunan asam laktat akan berhenti setelah cadangan glikogen otot menjadi
habis atau setelah kondisi yang tercapai, yaitu pH cukup rendah untuk menghentikan aktivitas
enzim-enzim glikolitik di dalam proses glikolisis anaerobik. pH ultimat normal daging
postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein
daging termasuk protein miofibril. Menurut Lawrie (2003), glikogen tidak ditemukan pada
pH antara 5,4 5,5.

Menurut Soeparno (1998), faktor yang mempengaruhi laju dan besarnya penurunan
pH postmortem dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik, antara lain adalah spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas
di antara ternak, sedangkan faktor ekstrinsik, antara lain adalah temperatur lingkungan,
perlakuan aditif sebelum pemotongan dan stress sebelum pemotongan. Penurunan pH karkas
postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan (penyimpanan).
Temperatur yang tinggi akan meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah
menghambat laju penurunan pH. pH daging mempunyai hubungan yang erat dengan warna,
tekstur serta daya ikat air oleh protein daging.
Daya ikat air oleh protein daging atau water holding capacity (WHC) adalah
kemampuan daging untuk mengikat airnya atau air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan dari luar, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan dan tekanan.
Periode pembentukan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH otot postmortem,
menurunkan daya ikat air dan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot akan bebas
meninggalkan serabut otot. Penurunan pH yang cepat, misalnya karena pemecahan ATP yang
cepat, akan meningkatkan kontraksi aktomiosin dan menurunkan daya mengikat protein.
Temperatur tinggi juga mempercepat penurunan pH otot postmortem, dan meningkatkan
penurunan daya ikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya
perpindahan air ke ruang ekstraselular (Soeparno, 1998).
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk
menjelang ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama
sekali dan pada saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak
ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:
1.Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudianmenjadi
asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2.Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO2 dan atom H. Atom H kemudian masuk
ke rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H2O serta 30
mol ATP.
3.Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O2 dari suplai darah akan menghasilkan H2O dan 4
mol ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa
mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.

Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa
ionCa2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.
Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung
pada sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak yang
kurang istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau
kecapaian/kelelahan akan mempercepat terbentuknya rigor mortis.

Gambar Produksi ATP melalui tiga jalur

Rigor Mortis
Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase
prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada
otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering
diterjemahkan dengan istilah kejang mayat (Abustam, 2009).
Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan biofisika yang
ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan glikolisis secara
anaerobik. Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak mendapatkan lagi oksigen
akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot masih tetap hidup dengan
menghabiskan cadangan energinya (Abustam dan Ali, 2004).
Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses
relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase yang dialami
jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis, rigor mortis, dan pascarigor
mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak karena daya ikat air dari jaringan otot
masih tinggi, lama fase pre rigor mortis berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan.
Penemuan baru menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena itu
bertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada temperatur 20 oC
pada fase prerigor mortis (Abustam, 2009).

Darah yang keluar dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme


pengendalian temperatur didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam tubuh tidak ada
lagi yang diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan
temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan, kenaikan temperatur dalam tubuh
tergantung pada laju produksi panas metabolik dan lama produksi serta pelepasan panas.
Faktor yang menyebabkan kenaikan temperatur otot postmortem, juga menyebabkan pH otot
pacamerta (Soeparno, 2005).
Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku. Fase ini sangat
tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan
fase rigor mortis berlangsung cukup lama. Sedangkan fase pascarigor adalah fase
pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi lunak dan empuk karena daya ikat
air dalam otot kembali meningkat. Lama pelayuan daging berhubungan dengan selesainya
proses rigor mortis (proses kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum
selesai dan daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging
mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor (kekakuan akibat
pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan menghasilkan daging yang tidak empuk
(alot) (Abustam, 2009).
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP
yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah
glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami
kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan menghasilkan
persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian
pula suhu yang tinggi pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat
perombakan oleh enzim ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat (Abustam,
2009).
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih
tinggi (diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >
5.5 5.8 pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal
maka kualitas daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan
strukturnya merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu
dingin (Abustam, 2009).
Ternak yang telah disembelih, akan terjadi ikatan kimia antara filament tebal dan
filament tipis yang akan merubah sifat-sifat kontraktil dari jaringan muskuler menjadi
struktur tidak ekstensibel dan kompak, dikenal sebagai rigor mortis dan daging menjadi keras
(Locker dan Hagyard, 1963). Marsh dan Leet (1966) dalam Lawrie (2003) menyatakan
bahwa kekerasan maksimal otot dicapai pada saat tingkat kontraksi otot mncapai 40 % dari
panjang semula. Kontraksi diatas 40% sampai 60% kekerasan menurun. Ini dikonfirmasikan
oleh Marsh dan Carse (1974) yang memperlihatkan bahwa kekerasan maksimal pada daging
dicapai pada saat otot memendek antara 35 40% dari panjang semula. (Abustam dan Ali,
2004).
Fase Rigor Mortis

Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase
pascarigor. Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat
pada gambar.
Pada gambar terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis
pada otot yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan waktu proses rigor
mortis yang berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase
cepat 3 jam. Waktu yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b
memperlihatkan waktu rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan
dimana waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c
adalah proses rigor mortis yang terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi
pada ternak kelinci yang sudah sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini
(a, b, c) menunjukkan bahwa waktu terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis
ternak dan kondisi ternak sebelum mati; makin terkuras energi maka makin cepat
terbentuknya rigor mortis.

Waktu pascamerta (jam)


Gambar Proses rigor mortis pada kelinci (a=normal, b=kecapaian/kelelahan, c=sangat
terkuras stamina)
Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis
Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis
(aktin) pada organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya
kekakuan otot. Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan
tipis) berlangsung secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua
miofilamen bergesek maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan
memenedek sebaliknya pada saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan)
maka disebut terjadi relaksasi ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis
dan aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak

ekstensible; pada ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa
alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis
mengakibatkan daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan
ini secara perlahan akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna
protein diantaranya cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi)
didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening
dimana serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot
dan kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot
masih dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika
dikonsumsi pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca+2 dependence
protease (CaDP) atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna
protein jika ada ion Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa
pascakontraksi otot.
pH akhir otot menjadi asam akan terjadi setelah rigor mortis terbentuk secara
sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah terbentuk tetapi pH otot
masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang tinggi pada saat rigor
mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang dibutuhkan dalam
pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor, dimana otot
masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan mengakibatkan
daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir tinggi akan
memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik
mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini
bisa terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang
disembelih dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit
pada ternak babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5
5.8) pada saat terbentuknya rigor mortis.

Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis


Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung
pada:

1.Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale
soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada
kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama
24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum
disembelih dan suhu ruangan sekitar 15C.
2.Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda
dari jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat
sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor
mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat
menjelang disembelih.
3.Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni
serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang
tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot
dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan
aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian
pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor
mortis.
Maturasi (aging) Pada Daging
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan
dingin (2 5C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan
palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh
enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib
dan loin. Pada suhu 2 C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15
hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan
penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging
yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat
menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa
didistribusikan ke pasar swalayan atau toko daging, dengan harapan proses aging akan
berlangsung selama display produk daging tersebut.

Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12
hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan
oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua

kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium
dependence protease (CaDP) atau nama lainnya calpain ( dan m-calpain) yang intens
bekerja pada saat prarigor dan kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor.
Keduanya berperan dalam mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan
dihambat oleh enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap
perbaikan keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:

Pada suhu + 1 C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada
minggu kedua (Dumont, 1952).

Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima


dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15
sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)

Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4 C


sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith
(1929)

Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan


tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 %
diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)

Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi
penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)

Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.

Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen


intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan
ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari
maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.

3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan
flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.

5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan
berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan
yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan
diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti
terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.

II.PENUTUP
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah
perubahan biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor
mortis dan dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn
daging setelah melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan
biokimia berupa proses glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan
mengakibatkan kekakuan otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan
proses aging untuk memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik
yang terjadi selama proses rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut
yang berkaitan dengan kualitas daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis
ternak, individu ternak dan jenis serat.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi
pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik
otot menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk
terutama daerah loin dan rib.

DAFTAR PUSTAKA

Abustam dan Ali. 2004. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.
Abustam, E. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging. www//:http/konversi-otot-menjadidaging.html Diakses tanggal 10 Oktober 2013.
Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2
Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

You might also like