You are on page 1of 10

Konversi Otot Menjadi Daging

MODUL II
JUDUL: KONVERSI OTOT MENJADI DAGING
BAB 1. PENDAHULUAN
1.

Latar Belakang

Otot semasa hidup ternak merupakan alat pergerakan tubuh yang tersusun atas unsur-unsur kimia
C, H, dan O sehingga disebut sebagai energi kimia yang berfungsi sebagai energi mekanik (untuk
pergerakan tubuh) ditandai dengan kemampuan berkontraksi dan berelaksasi Setelah ternak
disembelih dan tidak ada lagi aliran darah dan respirasi maka otot sampai waktu tertentu tidak
lagi berkontraksi. Atau dikatakan instalasi rigor mortis sudah terbentuk, ditandai dengan
kekakuan otot (tidak ekstensibel).
Proses biokimia yang berlangsung sebelum dan setelah ternak mati sampai terbentuknya rigor
mortis pada umumnya merupakan suatu kegiatan yang besar perannya terhadap kualitas daging
yang akan dihasilkan pascarigor. Kesalahan penanganan pascamerta sampai terbentuknya rigor
mortis dapat mengakibatkan mutu daging menjadi rendah ditandai dengan daging yang berwarna
gelap (dark firm dry) atau pucat (pale soft exudative) ataupun pengkerutan karena dingin (cold
shortening) atau rigor yang terbentuk setelah pelelehan daging beku (thaw rigor).
Kelainan-kelainan mutu yang terjadi pascamerta ternak dapat dihindari jika pengetahuan tentang
mekanisme rigor mortis dan perubahan pascarigor daging dapat diterapkan dengan baik pada
penanganan pascapanen ternak.
Secara ilmiah otot baru dapat dikatakan daging jika proses rigor mortis telah terbentuk dan
dilanjutkan dengan proses pematangan otot (aging) sehingga otot menjadi lebih ekstensibel dan
mebrikan kualitas yang lebih baik dibanding pada saat prarigor.
1.

Ruang Lingkup Isi

Modul ini membahas tentang sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot, fase rigor mortis
dan proses pematangan daging (aging).
1.

Kaitan Modul

Modul ini merupakan urutan kedua dari enam modul Ilmu Daging; diawali dengan
pembahasan modul pertama tentang Pengertian dan Mekanisme Penyediaan Daging. Setelah
pembahasan modul kedua ini, dilanjutkan dengan modul ketiga tentang Sifat-sifat Daging, modul
keempat tentang Struktur Otot, modul kelima tentang Karakteristik Kualitas Daging dan diakhiri
dengan modul keenam tentang Hubungan Antara Struktur Otot Dengan Kualitas Daging.
1.

Sasaran Pembelajaran Modul

Setelah mengikuti modul ini melalui metoda SCL pembelajar diharapkan mampu untuk
menjelaskan konversi otot menjadi daging.
BAB II. PEMBAHASAN

1.

Sumber Energi Otot

Untuk mempertahankan kehidupan dan aktivitas ternak, makanan merupakan kebutuhan mutlak
yang harus dipenuhi. Kelebihan karbohidrat yang berasal dari pakan yang dikonsumsi akan
dirubah dalam tubuh ternak menjadi glikogen (pati hewan) yang akan disimpan didalam hati dan
otot. Glikogen ini akan dirombak menjadi asam laktat (anaerob) atau asam piruvat (aerob) dan
akan menghasilkan ATP (adenosine tri fosfat). Pada otot ATP akan digunakan untuk proses
kontraksi dan relaksasi sehingga memungkinkan ternak untuk bergerak atau beraktivitas. Dengan
demikian otot strip (otot skelet=rangka tubuh) disebut sebagai alat pergerakan tubuh atau sebagai
eneriy mekanik. Karena otot terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) maka disebut juga sebagai
energi kimiawi. Pada saat ternak telah mengalami kematian maka otot yang semasa hidup ternak
disebut sebagai energi mekanik dan energi kimiawi akan disebut sebagi energi kimiawi saja
karena setelah rigor mortis terbentuk maka akativitas kontraksi tidak tejadi lagi.
Sesaat setelah ternak mati maka sisa-sisa glikogen dan khususnya ATP yang terbentuk menjelang
ternak mati akan tetap digunakan untuk kontraksi otot sampai ATP habis sama sekali dan pada
saat itu akan terbentuk rigor mortis ditandai dengan kekakuan otot (tidak ekstensibel lagi).
Produksi ATP dari glikogen melalui tiga jalur (Gambar 1) yakni:
1. Glikolisis; perombakan glikogen menjadi asam laktat (produk akhir) atau melalui
pembentukan terlebih dahulu asam piruvat (dalam keadaan aerob) kemudianmenjadi
asam laktat (anaerob). Pada kondisi ini akan terbentuk 3 mol ATP
2. Siklus asam trikarboksilat (siklus krebs); sebagian asam piruvat hasil perombakan
glikogen bersama produk degradasi protein dan lemak akan masuk kedalam siklus
asam trikarboksilat yang menghasilkan CO 2 dan atom H. Atom H kemudian masuk ke
rantai transport elektron dalam mitochondria untuk menghasilkan H 2O serta 30 mol
ATP.
3. Hasil glikolisis berupa atom H secara aerob via rantai transport elektron dalam
mitochondria bersama dengan O 2 dari suplai darah akan menghasilkan H 2O dan 4 mol
ATP.
Dengan demikian melalui tiga jalur ini glikogen otot pertama-tama dirubah menjadi glukosa
mono fosfat kemudian dirombak menjadi CO2 dan H2O serta 37 mol ATP.
Adenosin tri fosfat (ATP) akan digunakan sebagai sumber energi untuk kontraksi, memompa
ionCa2 pada saat relaksasi, dan mengatur laju keseimbangan Na dan K.
Cepat lambatnya waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada
sedikit banyaknya ATP yang tersedia pada saat ternak disembelih. Kondisi ternak yang kurang
istirahat menjelang disembelih dan terutama pada kondisi stress atau kecapaian/kelelahan akan
mempercepat terbentuknya rigor mortis.

Gambar 1. Produksi ATP melalui tiga jalur

1.

Rigor Mortis

Rigor mortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih diawali fase prarigor
dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan terjadinya kekakuan pada otot. Padas sat
kekakuan otot itulah disebut sebagai terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan
istilah kejang mayat.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada jumlah ATP yang
tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah glikogen yang
tersedia pada saat menjelang ternak mati. Pada ternak yang mengalami kecapaian/kelelahan atau
stress dan kurang istirahat menjelang disembelih akan mengjhasilkan persediaan ATP yang
kurang sehingga proses rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi
pada saat ternak disembelih akan mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim
ATPase sehingga rogor mortis akan berlangsung cepat.
Waktu yang singkat untuk terbentuknya rigor mortis mengakibatkan pH daging masih tinggi
(diatas pH akhir daging yang normal) pada saat terbentuknya rigor mortis. Jika pH >5.5 5.8
pada saat rigor mortis terbentuk dengan waktu yang cepat dari keadaan normal maka kualitas
daging yang akan dihasilkan menjadi rendah (warna merah gelap, kering dan strukturnya
merapat) dan tidak bertahan lama dalam penyimpanan sekalipun pada suhu dingin.
Fase Rigor Mortis
Ada tiga fase pada proses rigor mortis yakni fase prarigor, fase rigor mortis dan fase pascarigor.
Pada fase prarigor dibedakan atas fase penundaan dan fase cepat seperti terlihat pada gambar 2.
Pada gambar 2 terlihat waktu pascamerta yang dibutuhkan untuk proses rigor mortis pada otot
yang berasal dari ternak kelinci. Pada grafik a memperlihatkan waktu proses rigor mortis yang
berlangsung sempurna; fase penundaan membutuhkan waktu 8 jam dan fase cepat 3 jam. Waktu
yang dibutuhkan terbentuknya rigor mortis adalah 11 jam. Pada grafik b memperlihatkan waktu
rigor mortis pada kelinci yang mengalami kecapaian/kelelahan dimana waktu yang dibutuhkan

untuk terbentuknya rigor mortis adalah 5 jam. Pada grafik c adalah proses rigor mortis yang
terjadi sangat cepat kurang dari 1 jam (30 menit) yang terjadi pada ternak kelinci yang sudah
sangat kelelahan (kehabisan sumber energi). Ketiga grafik ini (a, b, c) menunjukkan bahwa waktu
terbentuknya rigor mortis sangat tergantung pada jenis ternak dan kondisi ternak sebelum mati;
makin terkuras energi maka makin cepat terbentuknya rigor mortis

Waktu pascamerta (jam)

Gambar
2.
Proses
rigor
mortis
pada
b=kecapaian/kelelahan, c=sangat terkuras stamina)

kelinci

(a=normal,

Perubahan Fisik Pada Proses Rigor Mortis


Aktomiosin
Aktomiosin adalah pertautan antara miofilamen tebal (myosin) dan miofilamen tipis (aktin) pada
organisasi miofibriler otot (Modul Struktur Otot) dan mengakibatkan terjadinya kekakuan otot.
Pada saat ternak masih hidup maka pertautan kedua miofilamen ini (tebal dan tipis) berlangsung
secara reversible (ulang alik) yakni kontraksi dan relaksasi. Ketika kedua miofilamen bergesek
maka dikatakan terjadi kontraksi dan sarkomer (panjang serat) akan memenedek sebaliknya pada
saat kedua miofilamen saling melepas (tidak terjadi pergesekan) maka disebut terjadi relaksasi
ditnadai dengan sarkomer memanjang.
Sesaat setelah ternak mati maka kontraksi otot masih berlangsung sampai ATP habis dan
aktomiosin terkunci (irreversible). Otot menjadi kaku (kejang mayat) dan tidak ekstensible; pada
ssat ini tidak dibenarkan untuk memasak daging karena akan sangat terasa alot.
Perubahan Karakter Fisikokimia
Kekakuan (kejang mayat) yang terjadi pada saat terbentuknya rigor mortis mengakibatkan
daging menjadi sangat alot dan disarnkan untuk tidak dikonsumsi. Kekakuan ini secara perlahan

akan kembali menjadi ekstensibel akibat kerja sejumlah enzim pencerna protein diantaranya
cathepsin (lihat proses maturasi).
Pemendekan otot dapat terjadi akibat otot yang masih prarigor (masih berkontraksi)
didinginkan pada suhu mendekati titik nol. Kejadian ini disebut sebagai cold shortening dimana
serat otot bisa memendek sampai 40% dan mengakibatkan otot tersebut menjadi alot dan
kehilangan banyak cairan pada saat dimasak (lihat modul V). Pada saat prarigor, otot masih
dibenarkan untuk dikonsumsi sekalipun tingkat keempukannya tidak sebaik jika dikonsumsi
pada fase pascarigor. Ini dimungkinkan karena adanya enzim Ca +2 dependence protease (CaDP)
atau calpain yang berperan sebagai enzim yang aktif bekerja mencerna protein jika ada ion
Ca+2 Ion ini diperoleh pada saat reticulum sarkoplasmik dipompa pascakontraksi otot.
pH
akhir
otot
menjadi
asam akan
terjadi
setelah
rigor mortis terbentuk secara sempurna. Tapi kebanyakan yang terjadi adalah rigor mortis sudah
terbentuk tetapi pH otot masih diatas pH akhior yang normal (pH>5.5 5.8). pH akhir otot yang
tinggi pada saat rigor mortis terbentuk memberikan sifat fungsional yang baik pada otot yang
dibutuhkan dalam pengolahan daging (bakso, sosis, nugget). Demikian pula pada saat prarigor,
dimana otot masih berkontraksi sangat baik digunakan dalam pengolahan. pH asam akan
mengakibatkan daya ikat air (water holding capacity) akan menurun, sebaliknya ketika pH akhir
tinggi akan memberikan daya ikat air yang tinggi.
Denaturasi protein miofibriler dapat terjadi pada pH otot dibawah titik isoelektrik
mengakibatkan otot menjadi pucat, berair dan strukturnya longgar (mudah terurai). Hal ini bisa
terjadi pada ternak babi atau ayam yang mengalami stress sangat berat menjelang disembelih
dan akibatnya proses rigor mortis berlangsung sangat cepat; bisa beberapa menit pada ternak
babi.
Warna daging menjadi merah cerah pada saat pH mencapai pH akhir normal (5.5 5.8) pada
saat terbentuknya rigor mortis.
Faktor-faktor penyebab variasi waktu terbentuknya rigor mortis
Jangka waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bervariasi dan tergantung pada:
1. Spesis; pada ternak babi waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis
lebih singkat, beberapa jam malahan bisa beberapa menmeit pada kasus PSE (pale
soft exudative) dibanding dengan pada sapi yang membutuhkan waktu 24 jam pada
kondisi rigor mortis sempurna. Dikatakan sempurna jika rigor mortis terjadi selama
24 jam pada ternak dengan kondisi cukup istirahat dan full glikogen sebelum
disembelih dan suhu ruangan sekitar 15C.
2. Individu; terdapat perbedaan waktu terbentuk rigor mortis pada individu berbeda dari
jenis ternak yang sama. Sapi yang mengalami stress atau tidak cukup istirahat
sebelum disembelih akan memebutuhkan waktu yang lebih cepat untuk instalasi rigor
mortis dibanding dengan sapi yang cukup istirahat dan tidak stress pada saat
menjelang disembelih.

3. Macam serat; ada dua macam serat berdasarkan warena yang menyusun otot yakni
serat merah dan serat putih. Rigor mortis terbentuk lebih cepat pada ternak yang
tersusun oleh serat putih yang lebih banyak dibanding dengan serat merah. Pada otot
dengan serat merah yang lebih banyak memperlihatkan pH awal lebih tinggi dengan
aktivitas ATP ase yang lebih rendah. Aktivitas ATP ase yang lemah akan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghabiskan ATP. Dengan demikian
pada otot merah membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuknya rigor
mortis.
1.

Maturasi (aging) Pada Daging

Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama penyimpanan dingin (2
5C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging
tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler oleh enzim-enzim
alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada bagian rib dan loin. Pada
suhu 2 C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan
alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi 7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang
cepat dan berkembangnya pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai
pendingin maka waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor
mortis terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan atau
toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display produk daging
tersebut.
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi adalah 12 hari untuk
daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh
terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna protein. Ada dua kelompok enzim
proteolitik yang berperan dalam proses pengempukan ini yakni calcium dependence protease
(CaDP) atau nama lainnya calpain ( dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan
kelompok cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam
mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh enzim
calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan keempukan akan
sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti berikut:

Pada suhu + 1 C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan khususnya pada
minggu kedua (Dumont, 1952).
Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari kelima dan
hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya 6,2 % dari hari ke 15 sampai
hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4 C sebesar
10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari (Moran dan Smith (1929)

Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan tradisional) :
peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging dimana 8,90 % diantaranya
diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)
Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan sapi
penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.
Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen intramuskuler
juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi. Peningkatan ikatan silang
termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer
dkk, 1972).
Jenis Aging
Ada dua jenis aging pada karkas/daging

dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa ditutupi atau
dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 01,11C (32-34F), kelembaban
relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5 m/det, selama 21 28 hari

wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-1,11C (32-34C)
Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan keharusan yang diperlukan pada maturasi
tertutup (wet aging).
Faktor Pembatas Aging

Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan mikroba yang


berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban
relative 85% memperlambat pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan namun
pertumbuhan mikroba juga meningkat
Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan kondensasi air
berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma dan flavor yang menyimpang (offflavor), dan pembusukan. Sedang pada kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan
permukaan karkas yang berlebihan
Efektivitas Aging

Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta yang


mempengaruhi keempukan daging
Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya mengalami
pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya terjadi secara perlahan
Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada umumnya
tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana frgagmentasi jaringan ikat tidak
cukup selama aging

Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi daging sapi 3
90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28 hari, nilai tambahnya sedikit
terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba
yang tidak diinginkan dan perubahan flavor
Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang diperlukan untuk
aging tidak terlalu lama.
Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi, jumlah
jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the round (semitendinosus0 yang
merupakan otot kurang empuk dimana fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen)
yang lebih banyak.
Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima konsumen
melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian perbaikan besar dalam
keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang tepat daripada melalui aging.
Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya keempukan),
namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan dan persiapan, semuanya
berperan penting dalam pemenuhan akhir dari kesukaan konsumen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah
pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan penyimpanan
pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan dan pemeliharaan ruangan tsb.
Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang lebih
mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai melakukan aging yang tidak
terlalu lama 2-6 hari pascamerta.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan bau dan
flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan pengkerutan
yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi. Pengeringan dan
diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan. Penyiangan ini dapat berarti
terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.
1.

Indikator Penilaian

Melalui pendekatan SCL indicator penilaian didasarkan pada kemampuan komunikasi,


menganalisis, kreavitas, kedisiplinan, kerjasama team, dan kejelasan tentang konversi otot
menjadi daging.
2.

Tugas

TUGAS Ke : 2 (dua)
1.

TUJUAN TUGAS : Menjelaskan mekanisme rigor mortis

2.

URAIAN TUGAS :

a. Obyek garapan : Daging merah dan putih (ayam)


b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan : Membuat suatu portofolio tentang
mekanisme rigor mortis pada daging merah dan daging putih. Proses biokimia
menyangkut produksi ATP sebagai sumber energi untuk kontraksi dan relaksasi otot.
Waktu yang dibutuhkan dalam instalasi rigor mortis pada ke dua jenis daging tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi lama waktu yang diperlukan pada terbentuknya rigor
mortis. Hubungan antara fase rigor mortis dengan kualitas daging. Peran fase rigor dalam
pengolahan daging. Cara mengetahui/mengukur rigor mortis.
c. Metodologi / cara pengerjaan, acuan yang digunakan : Metode pembelajaran kuliah
dan project base learning (Pj.BL). Setiap individu dalam kelompok mencari bahan-bahan
melalui perpustakaan (text book dan jurnal), internet, kerja laboratorium jika diperlukan,
diskusi kelompok dan presentasi dipantau fasilitator (tutor), yang pada akhirnya
menghasilkan suatu laporan dalam bentuk portofolio
d. Kriteria luaran tugas yang dihasilkan/ dikerjakan : mampu menjelaskan dengan
tepat melalui komunikasi, kerjasama team dalam kelompok dan kreativitas dalam
membuat portofolio bekaitan dengan penyediaan daging untuk kebutuhan masyarakat
1.

KRITERIA PENILAIAN :

a. Kognitif: kemampuan ilmu pengetahuan melalui ujian


b. Afektif: sikap setiap individu melalui kemampuan komunikasi, leadership, kreativitas,
kedisiplinan dan kerjasama team
c. Psikomotorik: kemampuan skill dalam kegiatan laboratorium dan perilaku
BAB III. PENUTUP
Konversi otot menjadi daging diawali pada saat ternak setelah mati dimana sejumlah perubahan
biokimia dan bifisk terjadi pada rangkaian kegiatan proses terbentuknya rigor mortis dan
dilanjutkan pada kegiatan pascarigor. Secara ilmiah otot baru dapat dikatakn daging setelah
melalui perubahan-perubahan biokimia dan biofisik tersebut. Perubahan biokimia berupa proses
glikolisis yakni perombakan glikogen menjadi asam laktat yang akan mengakibatkan kekakuan

otot dikenal sebagai instalasi rigor mortis dan dilanjutakn dengan proses aging untuk
memperbaiki tingkat keempukan daging. Sejumlah perubahan biofisik yang terjadi selama proses
rigor mortis dan pasca rigor seperti perubahan-perubahan atribut yang berkaitan dengan kualitas
daging: warna, citarasa, bau, dan keempukan.
Proses rigor mortis yang berlangsung tidak sempurna karena pengaruh sebelum ternak disembelih
dan penanganan pascapanen yang tidak tepat dapat mengakibatkan kelainan mutu pada daging
seperti DFD, DCB, PSE, cold shortening dan thaw rigor.
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bisa bervariasi karena jenis ternak,
individu ternak dan jenis serat.
Aging merupakan proses alami yang biasanya memperbaiki keempukan pada kondisi
pendinginan. Enzim alami seperti calpain dan cathepsin akan memecahkan protein spesifik otot
menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan akibatnya daging menjadi empuk terutama daerah
loin dan rib.
Jika aging pascamerta besar peranannya terhadap perubahan-perubahan protein miofibriler, maka
pada protein jaringan ikat (kolagen) hampir tak berarti.
Ada perubahan solubilitas dan ikatan silang kolagen (peningkatan thermolabil) dan yang lainnya
menyatakan tidak ada perubahan pada jaringan ikat intramuskuler selama maturasi
Effektivitas maturasi, dari segi ekonomi dapat dipertimbangkan untuk menurunkan lama maturasi
dari 7-10 hari menjadi 2-6 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Abustam, E dan H. M. Ali. 2005. Dasar Teknologi Hasil Ternak. Buku Ajar. Program A2
Jurusan Produksi Ternak Fak. Peternakan Unhas
2.

Bechtel, P.J. 1986. Muscle As Food. Academic Press, Inc., Orlando

3.
Cross, H.R. and A.J. Overby 1988. World Animal Science : Meat Science, Milk Science
and Technology. Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam
4.

Lawrie, R.A. 1979. Meat Science. Pergamon Press, Oxford

5.

Soeparno 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

6.
Swatland, H.J. 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-Hall, Inc.,
New Jersey

http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadidaging.html

You might also like