Professional Documents
Culture Documents
Universitas Indonesia
Sastra Indonesia
dalam Enam Pertanyaan:
Esai-Esai Sastra dan Budaya
Esei-esei sastra dan budaya Ignas Kleden menghasilkan enam pertanyaan bagi
APAKAH IGNAS KLEDEN SEORANG SKEPTIS atau tepatnya seorang skeptis yang kritis?
Seorang skeptis yang kritis selalu memilih posisi, ia seorang pengguna bahasa yang
benar-benar berbicara dan berpikir tentang apa yang ia katakana ia bicarakan dan
pikirkan: ia mendebat, berkomentar, berspekulasi, membuat hipotesa, dan sebagainya.
Seorang yang skeptis kritis selalu penuh kecurigaan, ada saja yang dipertanyakan tentang
totalitas pengetahuan, suatu kecurigaan yang terus-menerus muncul tidak semata-mata
karena keingintahuannya, tapi karena kegairahannya untuk masuk dalam pengalaman
bertanya, mengiluminasi dirinya dengan bahasanya.
Pertanyaan ke-2:
Pemikiran dikotomik?
Pertanyaan ke-3:
Mengapa tidak hermeneutik radikal?
ADA SEGI POSITIF DARI HERMENEUTIK, ia berusaha untuk tetap lengket bersama
Pertanyaan ke-4:
Adakah Standpoint dalam Simbolisme Kesusastraan?
RICHARD RORTY telah berargumentasi bahwa pada suatu saat kita harus mempunyai
common ground untuk semua komunitas karena ada prosedur-prosedur yang perlu
diperiksa. Padahal sastra sebagai bentuk kreatif bahasa tidak memproduksi konsep-
konsep yang diaplikasikan kepada dunia, akan tetapi malah “ide-ide aesthetic”, gambaran
dan simbol-simbol yang memprovokasi untuk melakukan refleksi pada hal-hal yang
transenden tanpa ada determinasi dan korespondensi. Hal ini membuat sastra mempunyai
kuasa untuk tidak diinterpretasikan secara final. Kleden, kesan saya, bolak-balik
mengeksplorasi problem ini. Berkali-kali ia katakan bahwa sastra harus dilihat sebagai
sesuatu yang simbolik. Namun, ketika dihadapkan pada kategori moral, keputusan estetik
tidak berlaku (hlm.392).
Apakah Kleden sangat berpihak pada Kant? Kant melihat asal pemahaman dunia
dan diri kita sebagai agen moral yang terikat pada hokum universal. Nietzche yang
menggugat hal ini: why should we think we can speak for others? Rorty menengahi
dengan mengatakan bukan masalah status pengetahuan dan kehidupan yang harus final,
tetapi bahwa seseorang harus mempunyai posisi yang final dalam pendapatnya (Rorty,
Contingency, Irony, Solidarity, 1989: 8). Membaca ulasan Kleden dalam bab 8 tentang
Catatan Pinggir Goenawan Mohamad memperlihatkan bahwa penuntutan posisi
pengarang haruslah jelas.
Pertanyaan ke-5:
Verifikasi dan falsifikasi karya?
sangat membantu perumusan enam pertanyaan Kleden tentang sastra dan budaya
Indonesia, tetap terbersit pertanyaan mungkinkah Kleden berupaya melakukan verifikasi
dan falsifikasi karya-karya sastra untuk membuktikan teori-teorinya? Bahkan
membuktikan “kebenaran-kebenaran” makna sastra yang dikandung? Para pemikir post-
Nietzschean mengandaikan bahwa “kebenaran’ dan “realitas yang terdapat pada dirinya”
hanyalah ilusi karena realitas dikonstruksi lewat teks-bahasa. Rorty memberi tips bahwa
bila kita setuju tidak adanya pengandaian “kebenaran” maka kita harus terus-menerus
melihat hidup sebagai suatu eksperimen lepas dari keterikatan apa pun. Hanya ada satu
puisi yang tidak jelas mendapatkan verifikasi atau falsifikasi dalam buku Kleden, yakni
kumpulan sajak T. Mulya Lubis.
Pertanyaan ke-6:
Truth and Method of Ignas Kleden?
TRUTH AND METHOD Gadamer terutama memberi perhatian pada pergerakan tradisi.