You are on page 1of 51

1

BAB I
PENDAHULUAN

Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi pra-kanker dari


karsinoma endometrium tipe 1 (estrogen dependent-disease) yang ditandai
secara klinis dengan adanya perdarahan uterus yang abnormal. Angka
kejadian hiperplasia endometrium sangat bervariasi, umumnya terjadi pada
wanita perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa reproduktif
ataupun pasca menopause. Pasien dengan hiperplasia endometrium dapat
diterapi dengan pengobatan medis ( terapi hormon progestin) maupun
bedah (histerektomi) tergantung dari diagnosis histopatoligi dan kondisi
pasien1,2.
Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai diperkirakan
hampir 1 milyar penduduk dunia menderita hipertensi, dengan mayoritas
risiko yang tinggi untuk mendapatkan komplikasi kardiovaskuler3.
Pengendalian hipertensi yang agresif akan akan menurunkan komplikasi
terjadinya infark miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal
ginjal , penyakit oklusi dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat
dikurangi4. Konsekuensi dari penggunaan obat anti hipertensi yang rutin
mempunyai potensi terjadinya interaksi dengan obat yang digunakan
selama pembedahan. Banyak obat yang harus dilanjutkan selama periode
perioperatif, dimana dosis terakhir diminum sampai dengan 2jam sebelum
prosedur pembedahan dengan sedikit air dan dilanjutkan kembali pada saat
pemulihan dari pengaruh anestesia. Tingginya angka penderita hipertensi
dan bahayanya komplikasi yang bisa ditimbukan akibat hipertensi ini
menyebabkan

pentingnya

pemahaman

para ahli anestesia

dalam

manajemen selama periode perioperatif5.


Obesitas atau kelebihan berat badan menjadi kesulitan tersendiri
untuk ahli

anestesi terkait begitu banyaknya komplikasi dari obesitas

contoh : diabetes tipe II, obstructive sleep apnea, hipertensi atau penyakit
kardiovaskuler yang dapat mmberikan implikasi signifikan pada pasien
yang akan menghadapi operasi dan tindakan anestesi Tindakan intubasi
akan lebih sulit dan dibutuhkan peralatan dan tekhnik khusus. Ahli
anestesi harus siap dan antisipatif terhadap kesulitan yang mungkin terjadi,
sehingga dokter anestesi dapat meminimalisir resiko dan menurunkan
terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi6.
Pada laporan kasus ini akan membahas pasien hiperplasia
endometrium yang akan menjalani operasi total histerektomi dengan
kondisi penyulit hipertensi dan obesitas. Sangat penting bagi seorang ahli
anestesi untuk dapat mengerti tentang fisiologi, anatomi, obat

pasien

terkait hubungannya dengan kemungkinan kesulitan dan komplikasi


anestesi yang akan dihadapi di meja operasi selama perioperatif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
1.1 Definisi dan klinis
Hiperplasia endometrium merupakan suatu keadaan patologis pada
endometrium berupa peningkatan proliferasi kelenjar endometrium yang
mengakibatkan adanya perubahan rasio kelenjar dan stroma, bentuk dan
ukuran kelenjar, susunan kelenjar berubah menjadi 2-3 lapis serta memiliki
potensial menjadi suatu bentuk sel yang atipik bila tidak ada suatu
keseimbangan inhibitor dan inisiator dari sel kelenjar tersebut. Kelenjar
endometrium dan stroma mengalami perubahan morfologi dan biologi
mulai dari keadaan fisiologis berlebihan hingga karsinoma in situ. Kondisi
ini secara klinis biasanya tidak menimbulkan suatu gejala, tetapi gejala
umum pada kelainan ini adalah adanya perdarahan per vaginam yang tidak
normal berupa perdarahan yang jumlahnya banyak lebih dari normal (lebih
dari 80 ml/ periode atau ganti pembalut lebih dari 4/hari) atau lebih lama
dari normal (lebih dari 7 hari ) dan perdarahan diluar fase menstruasi
dalam siklus haid. Gejala ini biasanya berupa perdarahan disfungsi premenopause dan post-menopause1,2.

1.2 Etiologi Dan Faktor Resiko


Hormon
endometrium

estrogen
dimana

dan

estrogen

progesterone

mengatur

perubahan

merangsang

pertumbuhannya

dan

progesterone mempertahankannya. Sekitar pertengahan siklus haid terjadi


ovulasi. Jika sel telur tidak dibuahi, maka kadar progesterone akan
menurun sehingga timbulah menstruasi

Hiperplasia

endometrium

terjadi

karena

ketidakseimbangan

hormone estrogen dan progesterone yang dihasilkan oleh ovarium. Bila


stimulasi estrogen berlebihan tanpa adanya pengaruh progesteron atau
tubuh memproduksi estrogen lebih banyak dari progesterone. Hal ini
berhubungan dengan siklus anovulatoir. Dalam keadaan ini folikel tidak
pecah tetapi berproliferasi dengan sangat cepat dan menyebabkan
pertumbuhan yang abnormal dari endometrium Wanita yang beresiko
tinggi terkena hyperplasia endometrium 1,2,7:
1) Tidak menstruasi
2) Obesitas
3) Sindrom polikistik ovarium
4) Perimenopause
5) Pengguna estrogen dalam jangka panjang tetapi tanpa progesterone
untuk mengurangi efek dari gejala menopause.
6) Penggunaan tamoxifen untuk mencegah/ mengobati kanker payudara
7) Ada tumor ovarium yang mensekresi estrogen .
1.3 Histopatologi dan klasifikasi
Gambaran histopatologi yang dapat dilihat dari hyperplasia endometrium
adalah terjadinya peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma, tepi kelenjar
menjadi tidak teratur dengan ukuran kelenjar yang bervariasi. Aktivitas
mitosis kelenjar tampak jelas dengan derajat yang berbeda. Sering terjadi
peningkatan vaskularisasi stroma di dalam epitel7,8.
Klasifikasi hyperplasia endometrim oleh WHO (1994) dan ahli
Internasional Society of Gynecologic Pathologist didasarkan pada bentuk
dan sitologi serta studi jangka panjang yang mencerminkan awal lesi7.
Tabel 1.
Klasifikasi Hiperplasia Endometrium
Tipe Hiperplasia
Perkembangan kanker (%)

Non Atipik
Simple (kistik )
1
Kompleks (adenomatosa)
3
Atipik
Simple (kistik dengan atypia)
8
Kompleks (adenomatosa dengan atypia)
29
Dari Kurman RJ, Kaminski PF, Norris HJ. The behavior of endometrial
hyperplasia : a long term study of untreatedhyperplasia in 170 patients.
Cancer 1985;56:403-412, with permission

1.3.1

Hiperplasia non atipik

1.3.1.1 Hiperplasia simpleks


Sebelumnya disebut sebagaai hyperplasia kistika atau ringan. Gambaran
yang tampak adalah banyak kelenjar yang mengalami proliferasi dan
dilatasi dengan tepi yang tidak teraturdan terdapat penonjolan dan
perlekukan kelenjar yang menonjol serta sering ada gambaran kistik, dan
dipisahkan oleh stroma yang masih bnayak9,10.
1.3.1.2 Hiperplasia kompleks
Hiperplasia kompleks sebelumnya dikenal sebagai hiperplasoa moderat
atau adenomatosa, dengan gambaran susunan kelenjar yang padat.. Pada
kelenjar terdapat gambaran irregular, dengan ukuran bervariasi, sebagian
berdilatasi bercabang dengan lekukan dan tonjolan. Lebih banyak adanya
penonjolan dan perlekukan kelenjar. Rasio kelenjar dan stroma 2:1.
Derajat kepadatan kelenjar inilah yang membedakan simpleks dan
kompleks9,10.
1.3.2

Hiperplasia atipik
Hiperplasia atipik dapat berbentuk simpleks dan kompleks. Secara umum
hyperplasia atipik berbentuk kompleks dengan kelenjar yang sangat padat.
Bentuk dan ukuran kelenjar sangat tidak beraturan bentuk papiler atau
bertumpuk, dengan sedikit inti fibrivaskuler dalam lumen. Walaupun

kompleks dan sangat padat, kelenjar pada hyperplasia endometrium atipik


dikelilingi oleh stroma dengan adanya gambaran kelenjar yang saling
menempel, tiap kelenjar mempunyai membrane basalis dengan tepi tipis.
Hiperplasia atipik simpleks memperlihatkan gambaran kelenjar yang
kurang padat dibandingkan dengan jenis kompleks, sehingga resiko untuk
berkembangnya menjadi adenokarsinoma endometrium lebih tinggi pada
yang kompleks9,10.
1.4

Diagnosis
Penegakan

diagnosis

hyperplasia

endometrium

dilakukan

dengan

anamnesis adanya perdarahan pervaginam yang abnormal, meliputi usia


diatas 40 tahun dengan perdarahan abnormal dan usia kurang dari 40 tahun
dengan adanya perdarahan yang persisten dan mempunyaifaktor resiko
paparan estrogen endogen dan eksogen seperti terdapat anovulasi kronik.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi
(USG), biopsy, dilatasi dan kuretase, histeroskopi11.
1.5

Penatalaksanaan
Penderita hyperplasia endometrium mendapatkan terapi antara lain sebagai
berikut11 :
1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnose sekaligus
sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan.
2) Terapi progesterone untuk menyeimbangkan kadar hormone di dalam
tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa
terjadi, diantaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata
dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan di
dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam
mengobati hyperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang
efektif untuk hyperplasia dengan atipi.

3) Histerektomi metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi


perdarahan unterus abnormal. Khusus bagi penderita hyperplasia
kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satusatunya adalah histerektomi.

2. HISTEREKTOMI
2.1 Definisi
Histerektomi merupakan suatu tindakan penanganan untuk mengatasi
kelainan atau gangguan organ atau fungsi reproduksi yang terjadi pada
wanita. Dengan demikian, tindakan ini merupakan keputusan akhir dari
penanganan kelainan atau gangguan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter.
Namun tindakan ini sangat berpengaruh terhadap sistem reproduksi
wanita. Diangkatnya uterus, tidak atau dengan tuba fallopi atau ovarium
akan mengakibatkan perubahan pada sistem reproduksi wanita, seperti
tidak bisa hamil, haid dan perubahan hormone12.

2.2 Jenis Histerektomi


1) Histerektomi parsial (subtotal )
Pada histerektomi jenis ini, uterus diangkat, tetapi cerviks tetap
dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut
rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear secara rutin12.

2) Histerektomi total
Pada histerektomi ini, uterus dan cervix diangkat secara keseluruhan.
Operasi

dapat

dilakukan

dengan

tetap

meninggalkan

atau

mengeluarkan ovarium padasatu atau keduanya. Pada penyakit yang

kemungkinan dilakukannya ooforektomi unilateral atau bilateral harus


didiskusikan dengan pasien. Seringkali, pada keganasan tidak ada
pilihan lain, kecuali mengeluarkan tuba dan ovarium karena sudah
sering terjadi mikrometastase12.

3) Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral


Histerektomi ini mengangkat uterus, cerviks, kedua tuba falopii, dan
kedua ovarium. Pengangkatan ovarium menyebabkan keadaan
penderita seperti menopause meskipun usianya masih muda12.

4) Histerektomi radikal
Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan dan kelenjar
limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada
beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa
penderita12.

2.3 Teknik operasi Hiterektomi.


Pilihan teknik pembedahan tergantung pada indikasi pengangkaatan
uterus, ukuran uterus, lebarnya vagina, dan juga kondisi pendukung
lainnya. Lesi prekanker serviks, uterus dan kanker ovarium biasanya
dilakukan histerektomi abdominal, sedangkan pada leiomioma uteri
dilakukan histerektomi abdominal jika ukuran tumor tidak memungkinkan
diangkat melalui histerektomi vaginal13.
1) Histerektomi abdominal
Pengangkatan kandungan dilakukan melalui irisan pada perut, baik irisan
vertical maupun horizontal. Keuntungan teknik ini doktewr dapat melihat
leluasa dan jaringan sekitarnya memiliki cukupruang untuk melakukan

pengangkatan uterus. Kekurangannya, menimbulkan rasa nyeri yang lebih


berat, menyebabkan masa pemulihan yang lebih panjang, serta
menimbulkan jaringan parut yang lebih banyak.

2) Histerektomi Vaginal
Dilakukan irisan kecil pada bagian atas vagina. Melalui irisan tersebut,
uterus (dan cerviks) dipisahkan dari jaringan dan pembuluh darah
disekitarnya kemudian dikeluarkan melalui vagina. Prosedur ini biasanya
digunakan pada prolaps uteri. Kelebihan tindakan ini adalah kesembuhan
lebih cepat, sedikit nyeri, dan tidak ada jaringan parut yang tampak.

3) Histerektomi laparoskopi
Teknik ini ada dua macam yaitu histerektomi vagina yang dibantu
laparoskop (laparoscopically assisted vaginal hysterectomy, LAVH) dan
histerektomi

supraservikal laparoskopi (laparoscopic supracervical

hysterectomy, LSH). LAVH mirip dengan histerektomi vaginal, hanya saja


dibantu oleh laparoskop yang dimasukkan melalui irisan . LSH tidak
menggunakan irisan pada bagian atas vagina, tetapi hanya irisan pada
perut. Melalui irisan tersebut laparoskop dimasukkan. Uterus kemudian
dipotong-potong menjadi bagian kecil agar dapat keluar melalui lubang
laparoskop. Kedua teknik ini hanya menimbulkan sedikit nyeri, pemulihan
yang lebih cepat, serta sedikit jaringan parut.
2.4. Pilihan Anestesi
Anestesi untuk tindakan histerektomi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
umum dan regional14.
Resiko yang terkait dengan anestesi umum adalah kematian, cedera gigi dan
jaringan lunak, aspirasi isi lambung, kesadaran saat anestesi, nyeri
tenggorokan, mual dan muntah pasca operasi dan kemungkinan penggunaan

10

ventilasi mekanik pasca operasi. Keuntungannya adalah pasien akan tertidur


selama bedah histerektomi dan terbangun di recovery room14.
Resiko yang menyertai anestesi regional adalah nyeri kepala pasca pungsi
lumbal , hipotensi, reaksi alergi terhadap anestesi local, cedera neurologi yang
jarang, hematom, spotty block, dan infeksi. Keuntungannya adalah pasien
tetap sadar, sehingga ia mempertahankan reflex spontan dan kognitif14.
Pilihan anestesi juga diatur oleh dokter bedah, kondisi pasien, penghitungan
lamanya prosedur pembedahan, dan urgensi dari operasi. Anestesi epidural
memiliki manfaat tambahan memungkinkan analgesic dosis terus-menerus
melalui kateter untuk manajemen nyeri pascaoperasi.

Anestesi spinal

memberikan relaksasi otot yang sangat baik dan tepat untuk operasi yang
berlangsung antara satu sampai tiga jam. Sebaliknya, koagulopati, trauma atau
perdarahan pasien yang memerlukan histerektomi darurat umumnya tidak
dapat menggunakan anestesi regional. Kebutuhan untuk mendapatkan
hemostasis

bedah

yang

cepat

dan

kerjasama

psikosomatis

pasien

menyingkirkan penggunaan teknik regional14.

3. HIPERTENSI
3.1 Definisi
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah.
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung dan
resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi
sekuncup. Besar isi sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan
aliran darah vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada
pembuluh darah

(arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi

pembuluh darah ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan
elastisitas dinding pembuluh darah.

11

3.2 Diagnosis dan klasifikasi


Diagnosis suatu keadaan hipertensi dapat ditegakkan bila ditemukan adanya
peningkatan tekanan darah diatas nilai normal. Menurut The Joint National
Comitee 7 (JNC 7) on prevention, detection and evaliaton, and treatment of
high blood pressure tahun

2003, klasifikasi hipertensi dibagi atas pre

hipertensi, hipertensi derajat 1 dan 2 ( table 2)15 :


Tabel. 2 Klasifikasi hipertensi menurut JNC 7
Klasifikasi TD
TDS(mmHg)
Normal
<120
Prehipertensi
120-139
Hipertensi derajat 1
140-159
Hipertensi derajat 2
160

TDD(mmHg)
dan <80
atau 80-89
atau 90-99
atau 100

Kriteria ditetapkan setelah dilakukan dua atau lebih pengukuran tekanan


darah dari setiap kunjungan dan adanya riwayat peningkatan tekanan darah
sebelumnya. Penderita dengan klasifikasi prehipertensi mempunyai
progresivitas yang meningkat untuk menjadi hipertensi. Di samping itu
klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya, dapat dibagi dalam 2
penyebab dasar, yaitu16 :
1. Hipertensi primer ( esensial, idiopatik )
2. Hipertensi sekunder :
a. Hipertensi sistolik dengan tekanan nadi melebar : regurgitasi aorta,
tiroktosikosis, PDA
b. Hipertensi sistolik

dan diastolic dengan peningkatan resistensi

pembuluh darah perifer :

Renal : glomerulonefritis akut dan kronis, pyelonefritis,


polikistiik ginjal, stenosis arteri renalis

12

Endokrin : sindrom chusing, hyperplasia adrenal congenital,


sindroma

conn

(hiperaldosteronisme

primer),

paheochromacytoma, hipotiroidisnme

Neurogenik : peningkatan TIK, psikis , porfiria akut, tandatanda keracunan

Penyebab

lain : koartasio aorta, polyarthritis nodosa,

hiperkalsemia, peningkatan volume intervaskuler (overload)

3.3 Patogenesis Hipertensi


Hanya berkisar 10-15% kasus hipertensi yang diketahui penyebabnya
secara spesifik. Sedangkan hipertensi esensial yang tidak diketahui
penyebabnya menduduki 80-95% dari kasus-kasus hipertensi. Secara
umum hipertensi selalu dihubungkan dengan ketidaknormalan peningkatan
aktivitas simpatis, yaitu terjadi peningkatan dari curah jantung (CO),
seperti pada keadaan febris, hipertiroidisme, atau terjadi peningkatan
resistensi pembuluh darah periver (SVR), atau kedua-duanya. Peningkatan
SVR

merupakan

penyebab

hipertensi

pada

mayoritas

penderita

hipertensi3,4. Pola perkembangan terjadinya hipertensi awalnya, CO


meningkat, tetapi SVR dalam batas-batas normal. Ketika hipertensi
semakin progresif, CO kembali normal tetapi SVR meningkat menjadi
tidak

normal.

Afterload

jantung

yang

meningkat

secara

kronis

menghasilkan left ventricle hypertrophy (LVH) dan merubah fungsi


diastolic. Hipertensi juga merubah autoregulasi serebral sehingga cerebral
blood flow (CBF) normal untuk penderita hipertensi dipertahankan pada
tekanan yang tinggi4. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah
jantung dan SVR , dimana persamaan ini dapat dirumuskan menggunakan
hokum law, yaitu3 : BP : CO X SVR

tidak

13

Secara fisiologis TD individu dalam keadaan normal ataupun hipertensi,


dipertahankan pada CO atau SVR tertentu. Secara anatomic ada 3 tempat
yang mempengaruhi TD ini yaitu, arterial, vena-vena post kapiler (venous
capacitance) dan jantung. Sedangkan ginjal merupakan faktor keempat
lewat pengaturan volume cairan intravaskuler. Hali lain yang ikut
berpengaruh adalah baroreseptor sevagai pengatur aktivitas saraf otonom,
yang bersama dengan mekanisme humoral, termasuk sistem renninangiostensin-aldosteron akan menyeimbangkan fungsi dari keempat
tersebut. Faktor terakhir adalah pelepasan hormon-hormon local yang
berasal dari endotel vaskuler dapat juga mempengaruhi pengaturan SVR.
Sebagai contoh, nitrogen oksida (NO) berefek vasodilatasi dan endotelin-1
berefek vasokonstriksi3.

3.4 Farmakologi Obat Anti Hipertensi


Interaksi potensial antara obat-obatan antihipertensi dan obat-obat
anestesi telah banyak diketahui. Ketika interaksi tersebut terjadi, biasanya
sudah dapat diperkirakan dan dapat dihindari atau efeknya dapat
diminimalisasi. Hal-hal khusus yang perlu diperhatikan selama pemberian
anestesi pada pasien yang mendapat terapi antihipertensi meliputi (a)
penurunan aktivitas sistem saraf simpatis, (b) perubahan respon terhadap
obat-obat simpatomimetik dan (c) sedasi. Penurunan aktivitas sistem saraf
simpatis diperlihatkan dengan adanya hipotensi ortostatik dan penurunan
tekanan darah sistemik yang berlebihan selama anestesi karena respon
terhadap (a) kehilangan darah akut, (b) perubahan posisi tubuh, atau (c)
penurunan aliran balik vena karena pemberian ventilasi tekanan positif
pada paru. Obat-obat antihipertensi yang berakibat pada deplesi
norepinefrin dari ujung-ujung saraf atau yang bekerja pada otot polos
pembuluh

darah

perifer

menurunkan

sensitivitas

dari

obat-obat

simpatomimetik secara tidak langsung. Sebaliknya, blokade sistem saraf

14

simpatis dapat menghilangkan impuls tonik reseptor alpha adrenergic yang


berakibat pada peningkatan respon dari katekolamin dan obat-obat
simpaomimetik yang bekerja secara langsung18.
Pemberian terapi pemeliharaan obat-obat antihipertensi

selama

periode perioperatif berkaitan dengan rendahnya fluktuasi tekanan darah


sistemik dan frekuensi nadi selama anestasi. Pasien yang mendapat obat
antihipertensi

selama

periode

perioperatif

juga

lebih

jarang

memperlihatkan disritmia jantung. Hal ini merupakan kesimpulan bahwa


pemberian obat-obatan antihipertensi yang sebelumnya efektif dapat terus
diberikan tanpa penghentian sementara selama periode perioperatif.
Namun,

ketika

merencanakan

pengelolaan

anestesi,

harus

tetap

dipertimbangkan dosis obat dan farmakologi serta reflek fisiologis yang


terjadi dari masing-masing obat antihipertensi yang akan memberikan
respon terhadap perubahan tekanan darah. Insiden sleep apnea meningkat
pada pasien hipertensi hal ini menggambarkan akibat dari hipoksemia
arteri yang berulang yang disebabkan oleh sleep apnea pada tekanan darah
sistemik18.
TABEL 3 OBAT-OBATAN YANG DIGUNAKAN UNTUK TERAPI
ANTIHIPERTENSI18
Simpatolitik
Beta-adrenergik bloker (acebutolol, atenolol, betaxolol, bisoprolol,
carteolol, metoprolol, nadolol, penbutolol, pindolol, propanolol, timolol)
Kombinasi alfa-adrenergik bloker (labetalol)
Alfa-adrenergik bloker (prazosin, terazosin, doxazosin)
Centrally acting bloker (klonidin, dexmedetomidine)
ACE inhibitor (captopril, enalapril, benazepril, fosinopril, lisinopril, quinapril,
ramipril, spiropril, moxeipril, perindopril, trandolapril)

15

Inhibitor reseptor Angiotensin II (losartan, valsartan, candesartan, eprosartan,


irbeasartan, telmisartan)
Calcium channel bloker (verapamil, diltiazem, nifedipine, nicardipine,
isradipine, amlodipine, velodipine)
Vasodilator (hydrazaline, minoxidil)
Diuretik
Tiazid (klorotiazid, hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, hidroflumetiazid,
metiklotiazid, politiazid, trimetiazid, indapamid)
Loop diuretik (bumetanid, asam etacrinik, furosemide, torsemide)
Diuretik hemat kalium ( amiloride, spironolaktone, triamterene

3.5 Manajemen Perioperatif penderita hipertensi


3.5.1

Penilaian perioperatif dan persiapan preoperative penderita hipertensi

Penilaian preoperative penderita-penderita hipertensi esensial yang akan


menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar yang harus
dicari yaitu19 :

Jenis pendekatan medical yang diterapkan dalam terapi


hipertensinya

Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target


organ yang telah terjadi

Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh


penderita

16

Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan


teknik hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang
memerlukan teknik hipotensi.

Data-data diatas dapat diperoleh melalui anamnesis riwayat perjalanan


penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboraturium rutin dan prosedur
diagnostic lainnya. Penilaian status volume cairan tubuh adalah
menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan
penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping itu penggunaan
diuretika yang ruting, sering menyebabkan hipokalemia, hipomagnesemia
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia

16,19,20

. Untuk evaluasi

jantung, EKG dan foto thoraks akan sangat membantu. Adanya LVH
dapat meningkatkan resiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis,
serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan
seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata
gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume
plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat
adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat16.
Tujuan

pengobatan

hipertensi

adalah

mencegah

komplikasi

kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner,


CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Diturunkannya TD
secarafarmakologis akan menurunkan mortalitas akibat penyakit jantung
sebesar 21%, stroke 38%, arteri koronaria 16%19.
3.5.2

Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi


Sampai saat ini belum ada acuan untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak dapat ditoleransi untuk
dilakukannya penundaan anesthesia dan operasi. Namun banyak literatur
yang menulis bahwa tekanan darah diastolic ( TDD)110 atau 115 adalah

17

cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anesthesia atau


operasi kecuali operasi emergensi. TDD dijadikan tolak ukur karena
peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologis dibandingkan patologis. Namun beberpa ahli
menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar resikonya untuk
terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolic.
Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi
yang dilakukan pada hipertensi sitolik dapat menurunkan resiko
terjadinya stroke dan infark miokard pada populasi yang berumur tua.
Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi
akan menurunkan angka kejadian stroke 35%- 40%, infark jantung 2025% dan gagal jantung lebih dari 50%15,20. Menunda operasi hanya untuk
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien
dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang. Namun pengawasan
yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan hemodinamik,
karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang lebih
besar

terhadap

kardiovaskuler

dibandingkan

dengan

penyakit

hipertensinya sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan


atau diduga adanya kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut
perlu dilakukan sebelum operasi21. The American Heart Association/
American College of Cardiology (AHA/ ACC) ,mengeluarka acuan
bahwa TDS180 mmHg dan/ atau TDD110

mmHg

sebaiknya

dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi.


Pada keadaaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam
beberapa

menit

sampai

beberapa

jam

dengan

pemberian

obat

antihipertensi rapid acting22. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi


cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode
perioperatif. Ada dua fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat
tindakan anesthesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah
hipertensi akibat laringoskop dan respon hipotensi akibat pemeliharaan

18

anesthesia. Paseien hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan


darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang lebih stabil
dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik19.

3.5.3

Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan serta
maksud dan tujuan penggunaannya16 :

EKG : minimal lead V5 dan II atau analisis multiple lead


ST, karena pasien hipertensi punya resiko tinggi untuk
mengalami iskemia miokard.

TD : monitoring secara kontinyu

Pulse oxymeter : digunakan untuk menilai perfusi dan


oksigenasi jaringan perifer.

Analyzer end tidal CO2 : Monitor ini berguna untuk


membantu kita mempertahankan kadar CO2

3.5.4

Temperatur

Premedikasi

Premedikasi

dapat

menurunkan

kecemasan

perioperatif

penderita

hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang mungkin


bisa menggunakan amnesiolitik seperti golongan benzidiazepin atau
midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai hari pembedahan
sesuai jadwal minum obat. Beberapa klinisi menghentikan penggunaan
ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi hipotensi intraoperatif.
3.5.5

Induksi Anestesi

19

Induksi anesthesia dan intubasi endotrakhea sering menimbulkan


goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasiperifer terutama pada kekurangan
volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting dilakukan untuk
tercapainya normovolemia sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga
sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan
efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,
seperti ACE inhibitor dan angiostensin receptor blocker. Hipotensi yang
terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang dapat menyebabkan takikardia dan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea

bisa

mencapai

25%.

Dikatakan

bahwa

durasi

laringoskopidibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan terjadinya


fluktuasi hemodinamik. Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan
sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi4,23.

Dalamkan anesthesia dengan menggunakan gas volatile


yang poten selama 5-10menit

Berikan opioid (fentanil 2,5-5 g/ kgBB, alfentanil 15-25


g /kgBB, sunfentanil 0,25-0,5g/kgBB, atau ramifentanil
0,5-1 g/ kg BB)

Berikan lidokain 1,5 mg/ kg BB intravena atau intratrakea.

Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol


0,3-1,5 mg/kg BB, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20
mg)

Menggunakan anesthesia topical pada airway.

20

Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi adalah bervariasi untuk


masing-masing

klinisi.

Propofol,

barbiturate,

benzodiazepine

dan

eyomidat tingkat keamanannya adalah sama untuk induksi pada penderita


hipertensi4. Untuk pemilihan pelumpuh otot vekuronium atau cisatrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau pankuronium.Untuk
volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi secara inhalasi 23.
3.5.6

Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring

Tujuan pencapian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan


anesthesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD yang terlalu
lebar.

Mempertahankan

kestabilan

hemodinamik

selama

periode

intraoperatif asalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada


periode

preoperative.

Pada hipertensi

kronis

akan

menyebabkan

pergeseran kekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada


penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral
dan iskemia serebral jika TD diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka
panjang dengan obat antihipertensi akan menggeser kembalin kurva
autoregulasi kekiri kembali normal. Karena kita tidsak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya
diperhatikan yaitu24 :

Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah


yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi

Penurunan

MAP

sebesar

55%

akan

menyebabkan

timbulnya hipoperfusi otak

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan


angka kejadian stroke

Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,


kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral.

21

Anestesia aman jika diperthankan dengan

erbagai teknik tapi dengan

memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia


dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), balance
anesthesia dengan opioid + N20 + pelumpuh otot, atau anesthesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anesthesia 4. Teknik anestesi
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering
dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia23. Jika hipertensi tidak
berespon terhadap obat-obat yang direkomendasikan, penyebab lain harus
dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan
tyroid. Kebanyakan penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi
tidak memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial
secara langsung diperlukan terutama jenis operasi yang menyebabkan
perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Pengamatan produksi urine
diperlukan terutama pada pasien yang memiliki masalah ginjal, dengan
pemasangan kateter urine. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk
monitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain4,23.
3.5.7

Hipertensi Intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperative mempunyai resiko hipertensi juga pada


periode anestesi maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anesthesia dapat diatasi dengan antihipertensi
secara parenteral (tabel3), namun faktor penyebab bersifat reversible atau
masih dapat diatasi seperti anestesi yang kurang dalam, hipoksemia atau
hiperkapnia harus disingkirkan terlebih dahulu4.
Tabel.4 Anti hipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut
Nama Obat
Rentang dosis (/kg BB)
onset
Durasi Kerja
Nitropruside

0,5-10mcg/kgBB

30-60

1-5menit

Nitroglycerin

0,5-10mcg/kgBB

1menit

3-5 menit

22

Esmolol

0,5mg selama 1menit

1menit

12-20 menit

5-20mg

1-2 menit

4-8 jam

1-3 mg

1-2 menit

4-6jam

Trimetophane 1-6 mg/ menit

1-3 menit

10-30 menit

Phentolamine 1-5mg

1-10menit

20-40menit

Diazoxide

1-3mg perlahan

2-10menit

4-6jam

Hydralazine

5-20m

5-20menit

4-8jam

Nifedipine

10mg

5-10menit

4jam

Methyldopa

250-1000mg

2-3 jam

6-12jam

Nicardipine

0,25-0,5mg 5-15 mcg/jam

1-5menit

3-4jam

Enalaprilate

0,625-1,25 mg

6-15 menit

4-6jam

5menit

5menit

50-300mcg / menit
Labetalol
Propanolol

(sublingual)

Fenoldopam 0,1-1,6 mg/menit

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik, penyebab
hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan jugatergantung tujuan dari pengobatannya atau efek
yang diinginkan dari pemberian obat tersebut (tabel 4). Berikut ini ada beberapa
contoh sebagai dasar pemilihan obat yang digunakan 4:

Beta-adrenergik blockade : digunakan tunggal atau tambahan pada pasien


dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontraindikasikan pada
bronkospastik

Nicardipin : digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik

23

Nifedipin : reflex takikardia setelah pemberian sublingual sering


dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset lambat

Nitroprusside : onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada


hipertensi sedang sampai berat.

Nitrogliserin : kurang efektif,namun dapat digunakan sebagai terapi


pencegahan iskemia miokard

Fenoldopam : dapat digunakan untuk mmpertahankan atau menjaga fungsi


ginjal

Hydralazine : bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya
onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

Tabel 5 Golongan dan efek obat anti hipertensi25


Golongan Obat
preload
Afterload
Kontraktilitas Vasodilator

CCB
ACE Inhibitor
Beta-blockers

4.

HR

OBESITAS
Obesitas adalah gangguan kompleks akibat penumpukan lemak berlebihan
di seluruh tubuh, dihubungkan dengan herediter, genetik, neuronal,
hormonal dan komponen psikososial. Definisi obesitas berdasarkan Body
Mass Index (BMI) 30 kg/m2. Dengan formula BMI, berat badan
(kilogram) dibagi tinggi badan kuadrat (meter).
Body Mass Index (WHO)26
Underweight
Normal range

< 18,5
18,5-24,9

24

Overweight
Preobese
Obese
Obese klas I
Obese klas II
Obese klas III

25,0
25,0-29,9
30,0
30,0-34,9
35,0-39,9
40,0

Tata laksana anestesi pada pasien obesitas memiliki kesulitan yang patut
diperhatikan. Diantaranya adalah prediksi kesulitan intubasi, prevensi
tromboemboli, komplikasi pasca operasi, penggunaan obat anestesi, obatobat yang harus dihindari pemberiannya, manajemen pasien dengan
obstructive sleep apnea, criteria pemindahan ke ICU dan penanganan
mekanisme ventilasi yang harus dilakukan, terapi cairan elektrolit dan
nutrisi. Masalah utama pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem
kardiovaskular, respirasi, dan gastrointestinal27.
4.1 Sistem kardiovaskular pada penderita obesitas
Gangguan pada sistem kardiovaskular meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien obesitas. Manifestasinya berupa penyakit iskemia,
hipertensi sampai gagal jantung. Scottish health survey menemukan
prevalensi gangguan pada sistem kardiovaskular 37% terjadi pada mereka
dengan BMI> 30, 21 persen pada BMI 25-30 dan 10% pada BMI<25.
Semua pasien obesitas yang akan dilakukan anestesi harus diinvestigasi
lebih jauh pada premedikasi akan adanya komplikasi kardiovaskular.
Bahkan sudah seharusnya pasien dirujuk ke ahli jantung untuk monitor
kesulitan yang mungkin berpengaruh pada tindakan anestesi yang akan
dilakukan27.
4.1.1 Manifestasi gangguan sistem kardiovaskular 27:

Hipertensi
Hipertensi ringan-sedang terlihat pada 50-60% pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5-10%pasien.. Terdapat peningkatan tekanan
sistolik sebesar 3-4 mmHg dan diastolic 2mmHg tiap kenaikan berat
badan 10kg. Adanya cairan pada ekstraseluler akan berakibat

25

terjadinya hipervolemia dan peningkatan cardiac output. Meskipun


mekanisme pasti terjadinya hipertensi pada pasien obesitas masih
belum diketahui, diduga ada pengaruh faktor genetic, hormonal,
renal dan hemodinamik yang berperan disini. Hiperinsulinemia
sebagai karakteristik pada obesitas juga memberikan kontribusi
dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang menyebabkan
retensi sodium.

Iskemia jantung
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya bpenyakit iskemia
jantung, terutama pada mereka dengan pusat distribusi lemak pada
bagian

sentral.

Faktor

lain

seperti

hipertensi,

DM,

hiperkolesterolemia, rendahnya HDL menambah beratnya resiko


penyakit ini. Hal yang menarik, 40 % pasien obesitas dengan angina
tidak memperlihatkan adanya penyakit jantung koroner, namun
angina itu serndiri merupakan gejala langsung dari obesitas

Volume darah
Total volume darah pada pasien obesitas bertambah akan tetapi bila
dibandingkan dengan pasien non-obese, pertambahannya lebih
rendah karena dominasi darah tersebut terdistribusi ke organ-organ
penuh lemak. Aliran darah dari limpa juga bertambah sekitar 20%
sedangkan aliran darah ke otak dan ginjal tidak bertambah

Aritmia jantung
Ada berbaga macam faktor penyebab aritmia pada pasien obesitas,
diantaranya : hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit
akibat

terapi

dengan

diuretic,

penyakit

jantung

koroner,

bertambahnya konsentrasi katekolamin dalam sirkulasi, obstructive


sleep apnea, hipertrofi miokard, dan penumpukan lemak dalam
sistem konduksi.

26

Fungsi jantung
Disfungsi

jantung

dipercayai

merupakan

kelanjutan

dari

penumpukan lemak dalam sistem konduksi. Adalam suatu studi pada


otopsi, ditemukan adanya penumpukan lemak pada epikardium yang
tidak disertai penumpukan lemak pada miokardium, tampaknya
keadaan inimempengaruhi ventrikel kanan jantung yang pada
akhirnya menyebabkan abnormalitas konduksi dan aritmia. Ada
hubungan sejajar antara bertambahnya berat jantung dengan
kenaikan berat badan seseorang. Yang dikatakan penambahan berat
jantung merupakan konsekuensi dari dilatasi dan hipertrofi eksentrik
dari ventrikel kiri yang mempengaruhi ventrikel kanan pula.

Kardiomiopati
Obesitas berhubungan dengan kejadian bertambahnya volume darah
dan cardiac output akibat kenaikan bobot lemak 20-30 ml per kg.
Dilatasi ventrikel dan bertambahnya volume sekuncup menyebabkan
peningkatan cardiac output. Dilatasi ventrikel terjadi akibat
bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan
hipertrofi. Adanya hipertrofi eksentrik dari ventrikel kiri ini akan
menurunkan compliance dan fungsi diastolic ventrikel kiri .
Kapasitas dilatasi ventrikel terbatas, sehingga jika terjadi penebalan
dinding ventrikel kiri maka terjadi kegagalan ventrikel untuk
diastolic atau sistolik yang juga berpengaruh pada ritme jantung.
4.1.2 Gejala Klinis
Pada penderita obesitas, kadang tidak ditemukan gejala akibat
gangguan kardiovaskular, hal ini bisa dikarenakan mereka mengurangi
aktivitas fisik sehingga tertutupi semua gejala yang timbul. Seperti
misalnya, gejala angina atau dispneu mungkin hanya terjadi sesekali
ketika mereka bergerak lebih aktif dari biasanya. Banyak dari
penderita obesitas sengaja tidur dengan posisi duduk sehingga

27

menyangkal adanya orthopneu atau dspnoe paroksisimal nocturnal.


Penderita obesitas dapat kita minta untuk berjalan didalam ruangan
atau diminta tidur dengan posisi supinasi maka akan timbul orthopneu
bahkan bisa berujung pada henti jantung. Penderita obesitas harus
diperiksa lebih mendetail akan adanya gangguan jantung. Tanda gagal
jantung juga dapat dilihat dari kenaikan tekanan vena jugular,
penambahan bunyi jantung, gangguan pada paru, hepatomegali atau
ditemukan edem perifer27.
4.1.3 Pemeriksaan
Untuk mengetahui kelainan yang terjadi pada jantung, dapat dilakukan
pemeriksaan preoperative dengan EKG. Adanya deviasi axis, atau
aritmia dapat terlihat pada kedua gambaran tersebut. Foto thorax dapat
memberikan gambaran kardiomegali yang jelas namun kadang tampak
normal. Echocardiograph mungkin sulit dilakukan namun memberikan
informasi yang berguna bagi kita. Konsul kepada ahli jantung
dilakukan sebagai tindakan awal dan optimalisasi keadaan pasien
preoperative27.
4.1.4 Implikasi anestesi
Durante operasi, kegagalan ventrikel untuk memenuhi kebutuhan
(disfungsi dari diastolic ventrikel) dapat terjadi karena berbagai macam
alasan, seperti pengaruh dari agen anestesi yang sebelumnya diberikan
atau hipertensi pulmonal yang dipresipitasi keadaan hipoksia atau
hiperkapnia. Maka seorang dokter anestesi harus bersikap preventif
terhadap hal tersebut dengan mempersiapkan inotropik dan vasodilator
untuk mengembalikan keadaan menjadi normal kembali. Ketika
induksi anestesi atau intubasi dilakukan pada penderita obesitas,
performa jantung akan mulai menurun. Dalam suatu penelitian,
ditemukan pada penderita obesitas yang menjalani operasi abdomen,
performa jantung menurun 17-33 % setelah induksi dan intubasi
dilakukan, keadaan ini menetap pasca operasi dengan index jantung
13-23 persen menurun dibandingkan preoperative. Hal ini tidak terjadi

28

pada orang normal dimana performa jantung setelah diberikan induksi


anestesi atai intubasi sempat menurun namun kembali normal
pascaoperasi. Pengamatan terhadap tekanan arteri, gas darah dan
tekanan vena sentral dapat dilakukan sebagai acuan terhadap keadaan
jantung selama obat anestesi bekerja27.
4.1.4.1 Premedikasi
Opioid dan obat sedative dapat menyebabkan depresi pernafasan pada
orang obesitas. Pemberian obat secara intramuscular dan subkutan
dihindari mengingat absorbsinya yang belum jelas. Semua penderita
obesitas diberikan profilaksis terhadap aspirasi asam walaupun mereka
tidak

mengeluhkan

adanya

refluks

atau

perasaan

dada

terbakar(heartburn). Kombinasu H2-bloker (ranitidine 150mg peroral)


dan prokinetik (metoklopramid 10mg peroral) diberikan 12jam dan 2
jam sebelum operasi untuk menurunkan resiko pneumonitis akibat
aspirasi. Obat jantung dan steroid tetap diberikan sampai menjelang
operasi, walaupun ada yang merekomendasikan penghentian ACE
inhibitors sehari sebelum dilakukan operasi karena efek hipotensi yang
mungkin timbul. Pasien obesitas dengan diabetes diberikan regimen
dextrose-insulin dalam prosedur singkat mengingat kebutuhan insulin
yang meningkat pascaoperasi. Karena pasien obesitas seringkali sulit
mobilisasi terutama pascaoperasi dan meningkatkan resiko terjadinya
thrombosis vena dalam. Maka dapat diberikan heparin dosis rendah
secara subkutan dan tetap dilanjutkan sampai pasien tersebut dapat
mobilisasi total. Cara lain dengan penggunaan legging atau stoking
kompresi. Pada grup ini juga sering terjadi infeksi luka pascaoperasi.
Maka dapat diberikan antibiotic profilaksis namun pemberiannya juga
harus di diskusikan dengan ahli bedah yang menangani27.
4.1.4.2 Posisi dan pemindahan
Keabanyakan meja operasi dirancang hanya untuk pasien dengan
berat badan mencapai 120-140 kg. Berat badan melebihi kapasitas
tersebut, membutuhkan meja operasi dengan rancangan khusus atau

29

menggunakan dua meja operasi ukuran biasa yang disusun


bersebelahan. Pasien dilakukan anestesi setelah ia nyaman berada di
meja operasi tersebut. Kompresi vena cava inferior harus dihindari
dengan cara memposisiskan pasien secara lateral ke kiri dari meja
operasi atau meletakkan sanggahan di bawah pasien. Terkadang pasien
juga dapat diposisikan lateral decubitus untuk mengurangi jumlah
tekanan pada dada27.
4.1.4.3 Analgesia Regional
Penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memungkinkan
tidak perlunya intubasi dan menurunkan resiko aspirasi asam. Pada
operasi thorakal dan abdominal, biasanya dipilih anestesi epidural
dengan kombinasi anestesi umum.. Hal ini lebih bermanfaat
dibandingkan

hanya

menggunakan

anestesi

umum,

termasuk

mengurangi penggunaan opioid dan obat anestesi inhalasi, komplikasi


pulmonal pasca operasi, peningkatan efek obat analgesic pascaoperasi
dan manfaat lainnya. Secara teknik anestesi regional pada pasien
obesitas menantang karena sulitnya menentukan batasan pasti tuiang,
kulit dan lemak. Blok saraf perifer lebih mudah dan aman dilakukan
dengan bantuan simulator saraf dan jarum insulasi. Anestesin spinal
dan epidural lebih mudah dilakukan pada posisi berdiri dan
menggunakan jarum yang panjang. Dengan bantuan ultrasound dapat
diidentifikasi ruang epidural dan menuntun jarum tuhoy dalam posisi
yang benar. Ada beberapa dokter anestesi yang lebih menyukai kateter
epidural telah terpasang sehari sebelum operasi untuk menghemat
waktu esok harinya dan memudahkan pemberian profilaksis heparin
pada pagi hari waktu operasi. Anestesi local yang dibutuhkan pada saat
melakukan anestesi spinal atau epidural diturunkan hingga 80 %
mengingat terdapatnya infiltrasi lemak dan merningkatnya volume
darah yang disebabkab tekanan intraabdomen menyempitkan ruang
epidural. Hal ini perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan blockade
yang lebih tinggi atau menyebarnya anestesi local tersebut. Blokade

30

diatas thorakal V akan menyebabkan gangguan respirasi dan blockade


otonom pada sistem kardiovaskular. Dalam keadaan inu, dibutuhkan
penggantian anestesi menjadi anestesi umum dengan peralatan cukup
dan bantuan orang lain untuk penanganan adekuat27.
4.1..4.4 Analgesia sistemik
Penggunaan opioid tidak dianjurkan pada pasien obesitas terutama
dengan rute intramuskular. Jika diberikan rute intravena, maka dapat
diberlakukan Patient Controlled Analgesia System (PCAS). Dengan
cara ini, efektivitas analgesia bisa tercapai walaupun pernah terdapat
laporan depresi pernafasan. Harus diamati juga saturasi o 2. Analgesia
pasca anastesi epidural dengan opioid atau anestesi local memberikan
analgesi yang efektif dan aman pada pasien obesitas. Penggunaan
opioid intravena tidak dianjurkan karena adanya efek lambat dari
analgesia tersebut terhadap fungsi pernafasan, dengan kata lain depresi
pernapasan baru muncul setelah beberapa waktu. Oral analgesic seperti
NSAID atau paracetamol dapat diberikan sebagai tambahan27.

1.2 Sistem Respirasi Pada Penderita Obesitas


4.2.1 Patofisiologi pernapasan pada penderita obesitas

Volume Paru-paru
Penurunankapasitas residu fungsional (Functional Residual Capacity
atau FRC), volume ekspirasi cadangan (Expiratory Reserve Volume
atau ERV) dan kapasitas total dari paru-paru merupakan masalah
yang dihadapi penderita obesitas seiring dengan peningkatan berat
badan. Kapasitas residu fungsional menurun akibat penyempitan
saluran nafas, ketidakseimbangan perfusi dan ventilasi, shunt dari
kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian anestesi dikatakan
menurunkan FRC sebesar 50%pada penderita obesitas, sedangkan
pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20%. Untuk

31

mengatasi hal tersebut, maka dapat diberikan oksigen dengan volume


tidal yang besar (15-20ml/kg) walaupun hanya ditemukan kenaikan
saturasi oksigen yang minimal. Namun berbeda halnya dengan
tekanan positif pada akhir ekspirasi (positive End Expiratiry
Pressure atau PEEP) yang meningkat pada FRC dan tekanan oksigen
arterial. Defek pada pertukaran gas dan penambahan shunt
preoperative terlihat ketika dilakukan induksi anestesi dan intubasi.
Penambahan PEEP meningkatkan oksigenasi namun menurunkan
cardiac output dan distribusi oksigen. Karena kurangnya FRC, pada
penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika terjadi apnoe,
selain itu terjadi desaturasi oksigen segera setelah induksi anestesi.
Hal ini karena kecilnya

reservoir oksigen dan meningkatnya

pemakaian oksigen. Biasanya FRC berkurang sebagai konsekuensi


reduksi dari ERV degan tidal volume dalam batas yang nomla.
Bagaimanapun juga pada beberapa penderita obesitas, tidal volune
yang tinggi menandai terperangkaapnya gas di dalam paru-paru dan
menyertai penyakit saluran nafas obstruktif. Volume ekspirasi paksa
dalam satu detik dan kapasitas vital paksa biasanya tidak terpengaruh
namun 6%-7% mengalami perbaikan seiring penurunan berat
badan27,28.

Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida


Ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida meningkat sebagai
hasil dari aktivitas metabolic pada jumlah lemak yang berlebihan dan
bertambahnya simpanan pada jaringan. Aktivitas metabolic basal
(Basal Metabolic Activity/ BMA) berhubungan dengan luasnya
permukaan tubuh. Pemberian ventilasi beberapa menit akan
meningkatkan oksigen hingga terjadi normokapnia. Walaupun pada
beberapa penderita obesitas dapat berlanjut respon normal keadaan
hipoksemia dan hiperkapnia. Pada saat olahraga, penggunaan

32

oksigen ini akan meningkat tajam dan menandai adanya effisiensi


yang buruk dari otot pernafasan dibandingkan pada orang normal27,28.

Pertukaran gas
Preoperatif, penderita obesitas biasanya hanya mengalami sedikit
defek pada perrtukaran gas dengan reduksi pada PaO 2, meningkatnya
perbedaan oksigen alveolar dengan arterial, dan fraksi shunt. Induksi
anestesi akan memperburuk keadaan ini, maka diperlukan fraksi
oksigen jumlah besar untuk memenuhi tahanan ojsigen arterial27,28.

Compliance dan resistensi thorax


Kenaikan BB sebanding dengan meningkatnya kesulitan bernafas
yang pada kasus berat bisa menurunkan 30 % dari pernafasan
normal. Walaupun terdapatakumulasi jaringan lemak di dalam dan
sekitar dinding dada yang berakibat tertahannya gerak dinding dada
(retriksi), namun pada beberapa penelitian dikemukakan bahwa hal
ini disebabkan peningkatan volume darah dalam paru-paru.
Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan
penurunan FRC, terhimpitnya saluran nafas dan kegagalam
pertukarangas. Perubahan compliance dan resistensi thorax terlihat
dengan adanya nafas cepat dan dangkal, frekuensi yang meningkat
dan berkurangnya kapasitas paru27,28.

Efisiensi pernafasan
Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi dari compliance, dan
meningkatnya kebutuhan metabolic dengan gerakan otot dada,
menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga pada
orang tersebut terjadi usaha bernafas lebih berat. Penderita obesitas
dengan normokapniavpada waktu istirahat menunjukkan 30%
prningkatan usaha bernafas dan terkadang terjadi hipoventilasi.
HipoventilasI ini menjadi 4 kali lebih berat pada waktu istirahat27,28.

33

4.2.2 Kelainan yang terjadi


Gangguan pernafasan yang paling sering terjadi pada penderita obesitas adalah
obstructive sleep apnea (OSA). Karakteristik OSA adalah29 :
a. Episode apnea atau hipopnea yang lebih sering terjadi saat tidur dan yang
membangunkan pasien tiba-tiba. Episode ini digambarkan sebagai
obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan penutupan
total dari saluran pernafasan dan adanya usaha keras untuk tetap bernafas.
Hipopnea tergambarkan sebagai reduksi daro 50%aliran udara yang
adekuat yang berujung pada penurunan enpat persen saturasi oksigen pada
arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima kali
perja m atau lebih dari 30x tiap malam. Yang perlu diperhatikan adalah
sekuele dari keadaan ini berupa : hipoksia, hiperkapnia, hipertensi sistemik
atau pulmonal dan aritmia.
b. Apnea terjadi ketika faring mengalami kolaps saat seseorang tidur. Potensi
dari faring tersebut bergantung pada kerja otot dilator yang mecegah
penutupan saluran nafas atas. Tonus ini akan menghilang ketika tidur, yang
menyebabkan pemendekan dari saluran nafas, sehingga terjadi turbulensi
aliran udara sehingga terdengarla snoring. Mengorok atau snoring
biasanya terdengar lebih keras jika obstruksi makin hebat. Ngorok ini juga
diikuti periode sunyi (silence) disaat tidak ada aliran udara yang masuk
dan setelahnya akan terjadi gasping atau chocking yang membangunkan
pasien dari tidurnya, bernafas kembali, dan tidur kembali( siklus ini
berulang sepanjang waktu tidur).
c. Efek sampingnya pada pagi hari penderita aka sering mengantuk,
kehilangan konsentrasi, masalah dalam memori dan bisa menjadi
kecelakaan saat menyetir atau bekerja. Terkadang penderita mengeluhkan
pusing di pagi hari akibat retensi CO2 di malam harinya dan vasodilatasi
serebral.

34

d. Perubahan Fisiologi yang terjadi : hipoksemia, hiperkapnia, vasokonstriksi


pulmonal dan sistemik. Hipoksemia berulang dapat berujung pada
polisitemia yang meningkatkan resiko penyakit jantung iskemia dan
penyakit serebrovaskuler. Sedangkan vasokonstriksi pulmonal berujung
pada kegagalan ventrikel kanan. Bila pada seseorang diketahui BMI >
30kg/ m2, ada riwayat hipertensi, apnea selama siklus tidur, lingkar leher
>16,5 cm, polisitemia, hipoksemia, hiperkapnia, hipertrofi ventrikel kanan
atau abnormalitas EKG, maka perlu dilakukan diagnosis definitif dengan
pemeriksaan polysomnografi untuk memeriksa kemungkinan OSA.
4.2.3 Implikasi Anestesi
4.2.3.1. Premedikasi
Pemeriksaan preoperative pada penderita obesitas meliputi kemampuan
pasien untuk bernafas dalam dan patensi dari jalan nafas. Pemeriksaan
penunjang yaitu pemeriksaan darah lengkap, foto thoraks, gas darah,
fungsi paru dan oximetri. Mereka yang dicurigai OSA disarankan
melakukan tes polysomnografi. Pasien juga harus diingatkan resiko
spesifik dari anestesi, kemungkinan dilakukannya intubasi dalam
kesadaran penuh, pemberian ventilasi pascaoperasi bahkan trakeostomi29.

4.2.3.2. Durante Anestesi


Induksi anestesi menjadi saat paling berbahaya pada pasien obesitas.
Resiko kesulitan atau gagal saat intubasi karena adanya obstruksi saluran
nafas bagian atas dan menurunnya compliance pulmonal menjadi
kekhususan tersendiri. Insuflasi gaster selama anestesi juga meningkatkan
resiko regurgitasi atau aspirasi gaster. Pendekatan awal adalah pemilihan
intubasi dalam kesadaran penuh atau tidur dalam yang merupakan pilihan
sulit. Hal itu banyak dipengaruhi oleh pengalaman dokter anestesi yang
akan melakukannya. Beberapa ahli menyarankan intubasi dengan

35

kesadaran penuh terutama jika BB sesungguhnya > 175% BB ideal.


Apabila terdapat gejala OSA, maka sudah terpikirkan morfologi jalan
nafas bagian atas yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian
sungkup menjadi sulit, sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih
disarankan. Pendekatan lain adalah penggunaan laringoskop setelah
pemberian lokal anestesi pada faring. Intubasi sadar dengan fiberoptic
dapat dipilih ketika struktur laring tidak terlihat jelas. Tidak disarankan
melakukan intubasi blind melalui hidung mengingat kemungkinan
epistaksis atau efek samping lain29. Pasien obesitas tidak diperbolehkan
bernafas spontan selama anestesi berlangsung, mencegah terjadinya
hipoventilasi, hipoksia, hiperkapnia. Posisi litotomi atau tredelenburg
dihindari mengingat pada posisi ini terjadi reduksi volume paru. Ventilasi
kontrol dengan fraksi oksigen tinggi dibutuhkan untuk mencapai tekanan
oksigen arterial yang adekuat, yang nantinya pemeriksaan serial gas darah
diperiksa untuk mengontrol hal ini27.

4.2.3.4. Post Anestesi


Komplikasi pulmonal sering terjadi pada pasienobesitas. Pemerriksaan
fungsi paru preoperative tidak dapat memprediksi keadaan yang sama
pascaoperatif. Hal ini karena pada pasien obesitas sensitivitas terhadap
obat sedative, analgesic opioid dan anestesi meningkat. Pemberian
ventilasi pasca operasi bermanfaat untuk eliminasi efek obat-obat
tersebut. Selain dapat diberikan pada mereka dengan penyakit kardiorespiratori yang telah diketahui sebelumnya, retensi karbondioksida, dan
mereka yang baru menjalani operasi dalam waktu lama atau mengalami
pyrexia pasca operasi. Ekstubasi hanya boleh dilakukan ketika pasien
sadar penuh dan dipindahkan ke Recovery room dengan posisi duduk 45
derajat. Oksigen tambahan segera diberikan dan dilatih untuk bernafas
seperti biasa27.

36

1.3

Sistem Gastrointestinal Pada Pasien Obesitas.


Kombinasi dari tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam gaster, lambatnya pengosongan gaster dan tingginya
faktor resiko hiatus hernia dan gastro-esofageal refluks dipercayai
menempatkan pasien obesitas pada resiko terjadinya aspirasi asam
lambung diikuti pneumonitis aspirasi. Zacchi melakukan studi yang
menunjukkan bahwa pada penderita obesitas tanpa gejala gastroesofageal ternyata struktur anatominya tidak berbeda dengan orang
normal (baik pada posisi duduk atau berbaring). Walaupun penderita
obesitas memiliki volume dalam gasternya 75% lebih besar dari orang
normal, melalui studi tersebut juga diketahui bahwa pengosongan gaster
justru lebih cepat pada penderita obesitas, terutama pada intake energy
tinggi seperti emulsi lemak. Karena adanya resiko aspirasi asam, maka
ada

keharusan diberikannya

H2-receptor

antagonis,

antacid

dan

prokinetik, juga dilakukannya induksi yang cepat dengan tekanan pada


krikoid dan rkstubasi trakea ketika pasien sadar penuh. Keadaan pada
penderita obesitas yang menjadi perhatian sehubungan dengan sistem
gastrointestinal, diantaranya27 :

Diabetes mellitus
Setiap penderita obesitas yang akan menjalani operasi harus
diperiksa gula drahnya , baik gula darah sewaktu atau dapat juga
dilakukan tes toleransi glukosa. Respon katabolic selama operasi
mungkin mengindikasikan pemberian insulin pascaoperasi untuk
mengontrol konsentrasi glukosa dalam darah. Kegagalan dalam
menjaga konsentrasi ini akan berakibat tingginya resiko infeksi pada
luka operasi dan infark miokard pada periode iskemia miokard.

Penyakit tromboembolik

37

Resiko thrombosis vena dalam pada pendetita obesitas dapat


disebabkan karena imobilisasi yang lama. Polisitemia, peningkatan
tekanan intraabdomen dengan peningkatan stasis vena terutama pada
ekstrimitas bawah. Gagal jantung dan berkurangnya aktivitas
fibrinolitik yang menyebabkan tingginya konsentrasi fibrinogen juga
menjadi predisposisi terjadinya keadaan ini. Oleh karena itu pada
penderita obesitas harus ada pengawasan terhadap keadaan keadaan
tersebut.

BAB III
KASUS

3.1. EVALUASI PRA ANESTESI


3.1.1. Identitas Pasien

38

Nama

: Ny. S

Umur

: 43 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Palembang

Status Perkawinan

: Menikah, 2 anak

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Ibu Rumah Tangga

NO RM

: 847023

Diagnosis

: PUA ec Hiperplasia Endometrium

Tindakan

: Histerektomi Total Salfingoooforektomi Bilateral

MRS

: 5 November 2014

Operasi

: 8 November 2014

3.1.2. Anamnesis
Perdarahan dari jalan lahir sejak 4 bulan yang lalu. Perdarahan terjadi diluar
waktu menstruasi. Riwayat Hipertensi sejak 1 tahun yang lalu, terkontrol dengan
Amlodipin 1x10mg dan candesartan 1x8 mg. Tekanan darah tertinggi 180/100
mmHg, tekanan darah harian 130-140/90-100 mmHg. Riwayat tidur mendengkur
(+), terbangun tengah malam karena sesak disangkal.
Riwayat penyakit sistemik yang lain seperti DM, Asma, Stroke disangkal
Riwayat Alergi obat obatan disangkal
Riwayat Operasi 1x, Histerescopi 1 bulan yang lalu, dengan anestesi umum,
masalah anestesi tidak ada.

39

3.1.3. Status Present


Kesadaran

: Composmentis

Respirasi

: 20x/menit

Tekanan Darah

: 170/100 mmHg dengan Amlodipin 1x10mg dan

Candesartan 1x8mg
Nadi

: 88x/menit, isi dan tegangan cukup

Suhu Aksila

: 36,5 derajat celcius

Berat Badan

: 90 kg

Tinggi Badan

: 158 cm

BMI

: 36,1 kg/m2 (Obesitas)

3.1.4. Pemeriksaan Fisik


Kepala

: konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,


malampati 1, buka mulut 3 jari

Leher

: TMD > 3 jari, gerakan leher baik

Thorax : Cor

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur dan gallop(-)

Pulmo

: Suara nafas: vesikuker +/+ normal, Rh-/-, Wh-/-, retraksi

(-)
Abdomen

: bising usus (+) hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

: Edema -/-

Sistem Saraf Pusat

: Normal

Sistem Sirkulasi

: Hipertensi

40

Sistem Respirasi

: Normal

Sistem Hematologi

: Normal

Sistem Gastrointestinal

: Normal

Sistem Hepatobilier

: Normal

Sistem Urogenital

: Normal

Sistem Metabolik

: Obesitas

Sistem Otot Skelet

: Normal

3.1.5. Pemeriksaan Penunjang


Darah Rutin (28 Oktober 2014)
-

Hb
Wbc
Ht
Plt
BT
CT

: 10,6 g/dl
: 8,2 103/L
: 34%
: 467 103/L
: 2 menit
: 10 menit

Kimia Darah
-

SGOT
SGPT
Glukosa Sewaktu
Ureum
Creatinin
Natrium
Kalium

: 19 U/L
: 23 U/L
: 124 mg/dl
: 32 mg/dl
: 1,0 mg/dl
: 147mEq/L
: 3,7 mEq/L

Rontgen Thorax

: Cardiomegali

EKG

: Irama sinus 88x/menit, Left Ventrikel Hipertrofi

Echocardiografi

: Hipertesion Heart Disease (HHD)

41

EF 62,3%
Kesimpulan : Pasien dengan keadaan status fisik ASA II

3.2. Persiapan Pra Anestesi


3.2.1. Persiapan di Ruang Perawatan
a. Anamnesis umum dan anamnesis khusus
b. Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarga tentang rencana anestesi
yang akan dilakukan.
c. Puasa 6 jam sebelum operasi
d. Memberikan informasi kepada penderita supaya melepaskan perhiasan, gigi
palsu jika ada
e. Memberikan surat persetujuan anestesi

3.2.2. Persiapan di ruang penerimaan pasien di COT


a. Memeriksa kembali catatan medik penderita, identitas, dan persetujuan operasi
dan anestesi
b. Evaluasi ulang status present dan status fisik
c. Memasang iv line, cairan pengganti puasa dan maintenance dengan RL

3.2.3. Persiapan di kamar operasi


a. Menyiapkan mesin anestesi dan aliran gas
b. Menyiapkan monitor dan status anestesi

42

c. Mempersiapakan obat dan alat anestesi, terutama peralatan untuk mengatasi


kesulitan intubasi.
d. Mengevaluasi ulang status present penderita.

3.3. Pengeloaan Anestesi


Jenis Anestesi : Anestesi Umum dengan intubasi nafas kendali
a.
b.
c.
d.
e.

Penderita dengan posisi terlentang


Memasang iv line, cairan pengganti puasa dan maintenance dengan RL
Induksi dengan propofol 150 mg, fentanyl 200 mikrogram
Fasilitasi intubasi dengan atrakurium 30 mg
Setelah ditunggu 3 menit dilakukan laringoskopi intubasi dengan ETT No.

f.
g.
h.
i.
j.

7 Cuff
Pemeliharaan anestesi dengan O2, Air dan Sevoflurane
Respirasi kontrol manual
Sebelum insisi diberikan fentanyl 100g
Berikan fentanyl patch 25 di daerah sternum ics 2
Sebelum operasi selesai berikan ketorolac 30 mg, ondancetron 8 mg dan

tramadol suppose 200 mg.


k. Respirasi spontan belum adekuat, diberikan reverse untuk pelumpuh otot
l.
m.
n.
o.

dengan sulfas atrofin 0,5 mg dan prostigmin 1,5 mg


Respirasi spontan adekuat dan membersihkan jalan nafas
Pasien sadar penuh, dapat mengikuti perintah, saturasi O2 97-99%
Dilakukan ektubasi
Sungkup muka dengan oksigen 8 liter/menit sampai penderita sadar baik
Tabel Hemodinamik Intra Operatif

Waktu

TD

13.00 WIB

(mmHg)
140/83

RR

(x/menit) (x/menit)
88
20

SpO2

Keterangan

(%)
99

Induksi dengan
Propofol 150 mg,
Fentanyl 200g,

13.05 WIB

120/76

80

18

99

Atracurium 30mg
Intubasi dengan ETT
7,0 kaf

43

13.10 WIB

110/68

70

18

99

Maintenance O2,
Air, Sevoflurane
Fentanyl 100g

13.15 WIB

103/72

75

18

99

13.30 WIB
13.45 WIB
14.00 WIB
14.15 WIB
14.30 WIB
14.45 WIB

107/65
120/70
118/76
118/79
121/78
120/73

80
87
90
83
84
85

14
14
14
14
14
16

99
98
98
99
99
97

15.00 WIB
15.15 WIB

118/70
121/73

88
87

16
18

sebelum insisi
Nafas Kendali
Fentanyl 50 g
Nafas Spontan

97

Assisted
Nafas Spontan

98

Assisted
Operasi selesai,
diberikan reverse SA
0,5mg, Neostigmin

15.25 WIB
15.30 WIB

124/74
128/75

95
97

22
22

98
98

1,5mg
Lidokain 90 mg
Pasien sadar,
Ekstubasi, Sungkup

15.45 WIB

130/78

98

22

98

Muka 8L/menit
Pasien dipindahkan
ke RR

Pukul 15.45 16.30 Pasien diobservasi di ruang pemulihan. Komplikasi


pasca operasi tidak ada, sesak nafas tidak ada, VAS 2, PONV tidak ada.
Aldrete skor 10 kemudian pasien dipindahkan ke ruangan.
Durasi Operasi 2 jam 15 menit
Durasi Anestesi 2 jam 30 menit
Rekapitulasi Cairan:
Maintenance
Defisit Puasa 6 jam
Kehilangan cairan pembedahan besar
Kebutuhan cairan durante operasi
1 jam pertama : 1060 cc
1 jam kedua : 865 cc
Estimated Blood Volume
: 7200 cc

: 130 cc/jam
: 780 cc/jam
: 540 cc/jam

44

Estimated Blood Lose

: 720 cc

Jumlah perdarahan durante operasi


Total Urin Output
Jumlah cairan masuk

: 400 cc
: 60 cc
: 600 cc

Penggunaan Obat obatan


Propofol 150 mg
Fentanyl 350 g
Atracurium 30 mg
Fentanyl patch 25 g
Ondancetron 8 mg
Ketorolac 30 mg
SA 0,5 mg
Prostigmin 1,5 mg
Hari ke IV Pasca Operasi pasien dipulangkan.

BAB IV
PEMBAHASAN
Penderita adalah wanita, usia 43 tahun, sudah menikah, suku Palembang,
dengan diagnosis PUA ec Hiperplasia Endometrium yang akan dilakukan
tindakan histerektomi total.
Evaluasi Pra Operatif

45

Berdasarkan anamnesis didapatkan penderita mempunyai riwayat penyakit


hipertensi. Pada evaluasi ini perlu ditanyakan berat ringan dan lamanya
hipertensi, pengobatan yang sedang berlangsung, dan ada tidaknya
komplikasi hipertensi. Gejala-gejala dari iskemia miokard, kegagalan
ventrikel, perfusi cerebral lemah, atau penyakit vaskuler perifer harus
diperoleh informasinya.
Pasien ini diketahui menderita hipertensi sejak 1 tahun yang lalu,
terkontrol dengan Amlodipin 1x10 mg dan candesartan 1x8 mg. Tekanan
darah tertinggi 180/100 mmHg, tekanan darah harian 130-140/90-100
mmHg. Keluhan seperti nyeri dada, sesak nafas (terutama pada malam
hari), sering pingsan disangkal. Efek samping obat valsartan dan
amlodipin yang dikonsumsi 1 tahun terakhir seperti hipotensi, gagal ginjal,
edema perifer tidak didapatkan.
Riwayat penyakit sistemik yang lain seperti DM, Asma, Stroke disangkal.
Riwayat Alergi obat obatan disangkal. Riwayat Operasi 1x, Histerescopi
1 bulan yang lalu, dengan anestesi umum, tidak ada komplikasi anestesi.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan status present dengan
hipertensi stage 2, berat badan 90 kg, tinggi badan 158 cm, BMI 36,1
kg/m2 dengan kesan Obesitas. Pemeriksaan fisik organ lain dalam batas
normal.
Pasien obesitas seringkali mengalami hipoksia, hanya sebagian kecil yang
hiperkapnia,

sehingga

perlu

diwaspadai

kemungkinan

terjadinya

komplikasi. Pada pasien-pasien ini rangsangan untuk bernapas menjadi


tumpul, penderita sering tidur dengan mendengkur yang keras disertai
obstruksi jalan napas atas (obstructive sleep apnea syndrome / OSAS).
Gejalanya antara lain mulut kering, terbangun saat tidur, henti napas saat
tidur. Pada pasien ini didapatkan riwayat tidur mendengkur, terbangun saat
tidur karena sesak disangkal.

46

Selain masalah hipoksia, kesulitan tatalaksana jalan napas saat induksi dan
obstruksi jalan napas saat pemulihan perlu juga diantisipasi. Untuk menilai
kemungkinan adanya kesulitan ventilasi digunakan kriteria OBESE yaitu
Over weight, Beard, Elderly (>55tahun), Snoring, Edentulous. Pada pasien
ini didapatkan 2 kriteria yang memenuhi yaitu over weight dan snoring.
Kemungkinan

adanya

kesulitan

intubasi

dapat

dinilai

dengan

menggunakan kriteria LEMON. Pada pasien ini hanya didapatkan jarak


antara mandibula dan lemak sternal yang relatif pendek. Selain itu dengan
buka mulut 3 jari, malampati 1 dan neck mobility yang luas sehingga
kemungkinan kecil terjadinya kesulitan intubasi.
Durante Operasi
Pasien ini dikelola dengan anestesi umum dengan intubasi endotrakeal
nafas kendali. Selain anestesi umum, pilihan anestesi regional dapat
dipertimbangkan

pada

pasien

dengan

obesitas,

anestesi

regional

merupakan pilihan yang lebih menguntungkan dari sisi komplikasi


respirasi. Anestesi Epidural continuous memiliki keuntungan untuk
penanggulangan nyeri pasca bedah dan mengurangi risiko komplikasi
respirasi pasca operasi. Kesulitan teknis pada pasien obesitas dalam
melakukan anestesia regional seperti Landmarks yang tidak jelas, posisi
pasien yang sulit, dan jaringan adiposa yang tebal menyebabkan kesulitan
dalam melakukan anestesia regional.

Pasien telah dijelaskan mengenai

kelebihan dan kekurangan anestesi umum maupun anestesi regional,


namun pasien tetap menolak untuk dilakukan anestesi regional karena
takut dengan prosedur operasi.
Pasien diinduksi pukul 13.00 dengan propofol 150 mg, fentanyl 200g,
dengan fasilitasi atrakurium 30 mg dilakukan intubasi endotrakeal tube
ETT No.7,0 kaf (+). Pemeliharaan anestesi dengan O2, Air dan
Sevoflurane. Pernafasan selama operasi dikontrol secara manual. Sebelum

47

dilakukan insisi diberikan lagi fentanyl 100g dan fentanyl patch 25g
untuk analgetik post operasi.
Tindakan pada operasi ini adalah total histerektomi salfingoooforektomi
bilateral dimana operasi ini dilakukan pengangkatan uterus, cerviks, kedua
tuba falopii, dan kedua ovarium. Operasi berlangsung selama 2 jam.
Sebelum operasi selesai diberikan ketorolac 30 mg untuk analgetik post
operasi, Ondancetron 8 mg untuk profilaksis PONV.
Ekstubasi dan Pemulihan
Ekstubasi dilakukan saat pasien sadar penuh, pernafasan spontan adekuat
dengan tidal volume dan frekuensi pernafasan yang cukup. Sebelum
ekstubasi diberikan reverse obat pelumpuh otot dengan SA 0,5 mg dan
prostigmin 1,5 mg. Untuk menumpulkan rangsang simpatis dan gejolak
hemodinamik saat ekstubasi, pasien juga diberikan lidokain 90 mg 2 menit
sebelum ekstubasi. Setelah pasein sadar penuh yang ditandai dengan
membuka mata, pasien dapat menuruti perintah dan saturasi O2 97-99%
kemudian dilakukan diekstubasi. Pasien diobservasi diruangan pemulihan
selama 45 menit.

Analgetik Post Operatif


Opioid parenteral untuk postoperatif analgesia harus diberikan secara hatihati karena dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat dan
hipoventilasi. Pemilihan opioid yang ideal adalah yang tidak mempunyai
metabolit aktif dan tidak tergantung dengan ekskresi renal. Operasi
Histerektomi mempunyai skala nyeri 8. Pemberian analgesia postoperatif
disesuaikan dengan pain ladder dari WHO. Pasien ini diberikan
kombinasi ketorolac 30 mg dan Fentanyl patch 25 g

48

BAB V
KESIMPULAN
Telah dilakukan manajemen anestesi pada pasien wanita usia 43
tahun dengan diagnosa hiperplasia endometrium yang dilakuan tindakan
histerktomi total. Pasien dengan berat badan 96 kg, tinggi badan 157 cm,
BMI 37,6 dengan obesitas dan hipertensi stage II. Pasien dikelola dengan
anestesi umum dengan nafas kendali. Operasi berjalan dengan lancar, tidak
didapatkan komplikasi.
Penting bagi ahli anestesi mempersiapkan operasi dengan baik,
dimulai dari preoperatif dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit
pasien termasuk obat-obatan yang dikonsumsi, komplikasi, dan penyulit-

49

penyulit yang mungkin terjadi selama periode operasi melalui anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang.
diperhatikan

untuk mencegah

Pada saat operasi penting

resiko aspirasi, mencegah

gejolak

hemodinamik, posisi yang benar untuk memperlancar intubasi, monitoring


tanda tanda iskemia, pemberian ventilasi yang adekuat. Pasca operatif
pemberian ventilasi juga penting untuk diperhatikan karena pasien
obesitas, selain itu nyeri pasca operasi harus dihindari dengan pemberian
analgetik post operatif yang adekuat sesuai dengan step ladder dari WHO.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hammond R, Johnson J. Endometrial hyperplasia. Curr Obstet Gynecol


2001; 11 : 160-3
2. Marsden D, Hacker N. The classification, diagnosis and management of
endometrial hyperplasia. Rev in Gynecol Prac 2003;3: 87-90.
3. Murray MJ. (1998)Perioperative hypertension : evaluation and
management.ASA refresher courses in anesthesiology. (1998)vol 26;
available
from:
http://www.anesthesia.org.cn//asa2002/rcl.source/512Murray.pdf
.(11
Desember 2014)
4. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York:
McGraw-Hill 2013;21:375-434.
5. Schwer WA.(2013). Perioperative educative management.(online)
Available from: http://emedicine.medscapecom/article/284801-author. (11
Des 2014)
6. American society of anesthesiology.(2010). Obesity and anesthesia-yes,
there is a connection. (online).Available from : http//www.asahqorg/For-

50

the-Public-and-Media/Press-Room/Anesthesiology-and-Other-ScientificPress-Releases/Obesity-and-Anesthesia.aspx .(11 desember 2014)


7. Johnattan S. Berek. Hyperplasia endometrium. Berek & Novaks
Gynecology 14th ed. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilikins
2007.p.1348-9.
8. Rosai J. The female reproductive system. In Roasai and Ackermans
Surgical Pathology. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2004 : P1676-80
9. Mazur MT. Endometrial hyperplasia/ adenocarcinoma. Aconventional
approach. Anal Diag Pathol 2005; 174-81
10. Horn L, Meinel A, Handzel R, Einenkel J. Histopathology of endometrial
hyperplasia and endometrial carcinoma an update. Anal Diag Pathol;
2007.p. 297-311.
11. Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E.C.& Bowdler, N. C.. Abnormal
Uterine Bleeding : A management algorithm. 2006. p.590-602.
12. Kasdu, Dini. Histerektomi. Solusi Problem Wanita Dewasa. Jakarta :
Puspawarna.2008.p.67-8
13. Rasjidi,Imam. Teknik operasi histerektomi. Manual Histerektomi. Jakarta :
EGC.2008.P.204-6
14. Smith, Victoria. Anesthetic Management: Hysterectomy.(online). Vol 1 (2).
Available
from:
http://dalemed.com/Portals/0/pdf/clinical_references/Armboard%20%20Anesthetic%20Mngt,%Hysterectomy.pdf .(12 Des2014)
15. The seventh report of Joint National Commite on Prevention, detection,
evaluation, and treatment of high blood pressure, NIH publication No.035233, December2003
16. Yao FSF Ho CYA. Hypertension. Anestehesiology problem oriented
patient management 5th ed. Philadelphia: Elsevier. 2003.p. 337-57
17. James, Paul AS. 2014 evidence-based guideline for the management of
high blood pressure in adults Report from the panel members appointed to
the JNC 8. American medical association. Published 18 Dec 2013.
18. Stoelting RK, Hillier SC. Anti hypertensive drugs. Pharmacology and
physiologi in Anesthetic practice 4th ed. Philadelphia : Lippincot Willias
and Wilkins;2005.p.338-52.
19. Stier GR. Preoperative evaluation amd testing. In : Hines RL, editor. Adult
perioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology. Philadelphia:
Elsevier.2004.p. 3-82
20. Dix P, Howell S. Survey of cancellation rate of hypertensive patient
undergoing anesthesia and elective surgery. British journal of
Anesthesia.2001;86(6):789-93
21. Hanada, et all. Anesthesia and medical disease-hypertension and
anesthesia. Current opinion in Anesthesiology 2006;19(3):315-9

51

22. Howel SJ, Foex P. Hypertension, Hypertensive heart disease and


perioperative cardiac risk. British journal of anesthesia.2004;92(4):570-83
23. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension.
In Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing
disease. 6th ed. Philadelphia: Elsevier;2012.p. 104-19
24. Neligan
P. Hypertension
and anesthesia. Available
from:
http://www.4um.com/tutorial/anaesthbp.htm.
25. Ccheng DCH, David TE. Common problem in the cardiac surgery
recovery unit in perioperative care. Cardiac anesthesia and surgery.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.2006.1178-22
26. CDC U.S. Departement of Health and Human Services(2014). Body Mass
index.(online)
Available
from:
http://m.cdc.gov/en/HealthSafetyTopics/HealthyLiving/HealthyWeight/As
sessingYourWeight/BodyMassIndex/ introBodyMassIndex. (12 Des 2014)
27. Adams, JP and Murphy, PG.(2000). Obesity in Anesthesia and Intensive
care.British Journal of Anesthesia. (online) Available from:
http://bja.oxfordjournals.org/cgi/content/full/85/1/91.(12 des 14)
28. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
Endokrin Disease:obesity. Clinical Anesthesiology 5th ed. New York:
McGraw-Hill 2013.727-46.
29. Weaver, Joel M. Increased anesthetics risk for patient with obesity and
obstructive sleep apnea.US National Library.Anesth Prog.2004. 51 (3) :75.

You might also like