Professional Documents
Culture Documents
(gamelan)
I.
II.
1. Kemampuan.
Biasanya kita dibenturkan oleh keragu-raguan akan kemampuan yang
kita miliki. Sejauh mana kemampuan yang harus kita miliki?. Dari
pertanyaan ini, jawabannya adalah relatif. Siapa yang menentukan bahwa kita
sudah mampu atau belum. Kita sewajarnya harus percaya diri, optimis akan
kemampuan kita. Selama ada kemauan dan keberanian, kita pasti dapat
menghasilkan dan yang terpenting janganlah kita terfokus pada hasil yang
diperoleh dalam kategori sempurna. Tak ada karya seni (musik) yang
hasilnya sempurna. Yang menjadi permasalahan adalah kita selalu terbayangbayang akan bisa tidaknya kita berbuat, biasanya dihantui oleh kemampuan
diri sendiri, hasil yang minim, sarana dan prasarana dan lain-lain. Kondisi ini
sangatlah membunuh kita untuk melangkah. Seyogyanyalah kita hapus segala
bayang-bayang itu, yang terpenting kita punya modal kemauan yang tinggi.
2. Kesempatan.
Alasan klasik bagi diri kita apabila hendak berkarya musik terdapat
kendala kesempatan yang tak kunjung tiba. Dan yang lebih parah, tak
memiliki waktu yang cukup untuk berpikir ke arah sana, mengingat
kesibukan tugas kesehariannya. Jika sudah tidak berbicara akan berkarya
musik sebagai salah tugas yang harus diembannya sesuai dengan naluri yang
ada pada dirinya, maka sudah tidak perlu ada pembahasan lagi. Akan tetapi
bila dilubuk hatinya masih tersirat sebuah keinginan berbuat karya musik,
maka waktu yang ada pasti dapat kita manfaatkan. Kita harus bisa
membiasakan diri dengan kesempatan atau waktu yang sempit untuk dapat
berbuat dan melangkah. Situasi dan kondisi yang lebih tentunya akan dapat
kita manfaatkan dengan kapasitas yang lebih, dengan konsentrasi serius
diharapkan hasilnya lebih pula.
3. Sarana dan prasarana.
Sarana dan prasarana musik sudah lazim dikategorikan kelompok
sarana yang membutuhkan biaya besar. Logiskah jika tidak tersedianya
kebutuhan sarana dan prasarana akan membunuh upaya kita berkarya musik.
Akan tetapi semua permasalahan pasti terdapat solusi pemecahannya,
2
Sebagai gambaran awal pada kesempatan ini saya mengajak kita semua untuk
bicara tentang dasar-dasar pijakan yang akan ditempuh seorang komponis dalam
berkarya musik. Sasaran yang hendak dicapai sebagai acuan dasar berpikir
bagaimana kita berolah musik, dengan menitikberatkan pada permasalahan langkahlangkah yang sebaiknya diambil oleh seorang komponis di dalam menghasilkan
sebuah karya musik. Dari pengalaman saya selama ini khususnya dalam dunia musik
tradisi Karawitan, dapat saya ketengahkan acuan dasar berkarya musik sebagai
berikut di bawah ini. Uraian disajikan dengan pengelompokan frase-frase, dan acuan
dasar ini hanyalah sebagai gambaran sekilas suatu upaya seorang komponis dan
hanyalah sebagai salah satu perbendaharaan di dalam melakukan proses kerja
berkarya musik. Upaya dimaksud antara lain:
1. Menentukan ide garap kekaryaan.
Di dalam menentukan ide garap kekaryaan perlu diperjelas terlebih
dahulu untuk apa karya di maksud, misalnya dalam rangka festival atau
lomba, maka karya musik itu sebaiknya harus berpijak pada juklak dari
panitia penyelenggara. Dan jika disajikan dalam even penawaran atau
pertunjukan mandiri dan lain sebagainya yang memiliki kebebasan berkarya,
maka kita tuangkan sesuai dengan ide garap yang tidak terkait dengan
permasalahan yang lain.
Dalam menentukan ide garap kekaryaan perlu dimunculkan
permasalahan apa yang akan diangkat, termasuk di dalamnya memikirkan
corak/warna musik apa yang dimunculkan, motif apa yang dihadirkan dan
dimungkinkan adanya permasalahan yang lebih spesifik misalnya tentang ide
musikal, dan lain sebagainya.
Untuk karya musik sebagai medium bantu seni yang lain, perlu
diperjelas terlebih dahulu akan kebutuhan seni yang didukung. Misalnya
kebutuhan suasana, karakter, motif kekaryaan dan lain sebagainya. Baru
kemudian komponis berangkat ke permasalahan musik itu sendiri dengan
kaidah-kaidah yang dimiliki.
tema dimaksud hendaknya jelas dan tidak terlalu melebar. Hal ini
dimaksudkan agar memiliki wacana/isi yang lebih spesifik dan lebih mengena
sasaran. Tema dimaksud sebenarnya masuk dalam kategori ide, karena
dengan ide sekaligus akan muncul permasalahan tema yang akan diusung.
Sedangkan untuk membuat judul masih ada kebebasan dalam
menuangkannya. Namun demikian dari judul yang ada diharapkan sedikit
banyak sudah mewadahi tema atau ide garap kekaryaan. Sebaiknya dalam
menentukan judul lebih mengarah pada permasalahan padat dan berisi,
mudah dihafal, tidak berbelit-belit, mudah dimengerti berdasar pada kaidah
kebahasan.
3. Memperkirakan durasi yang dibutuhkan.
Sebuah sajian seni pertunjukan secara totalitas biasanya berdurasi
lebih kurang satu jam (60 menit). Sebenarnya tidak ada batasan, namun lebih
dari durasi dimaksud dikhawatirkan membuat jenuh penonton dan akhirnya
karya seni tersebut kurang dapat dinikmati.
Perkiraan durasi yang dibutuhkan dalam berkarya sebuah karya seni
tergantung dari bentuk sajian yang akan diolah. Misalnya karya tari lepas,
drama tari, ludruk atau yang lainnya. Tari lepas misalnya, biasanya durasi
hanya berkisar antara 5-10 menit, ludruk dengan kemasan pada satu jam dan
sebagainya. Ketika kita mengikuti sebuah even, misalnya festival tentu saja
durasi yang dibutuhkan mengikuti juklak panitia penyelenggara.
Dengan batasan durasi yang ada, dimungkinkan adanya pemikiran di
dalam mengemas sajian yang tidak membosankan utamanya tentang
persoalan desain dramatis yang menguntungkan. Panjang pendeknya durasi
yang akan digunakan tentu saja membuat perbedaan strategi/tehnik garap
sajiannya. Utamanya tentang pengemasan desain dramatis kekaryaan
dimaksud.
4. Memilih orkestrasi/alat musik yang dibutuhkan.
Pemilihan orkestrasi/alat musik dilakukan dengan mempertimbangkan
kebutuhan alat musik yang dapat mewadahi ide garap, termasuk di dalamnya
menentukan warna-warna bunyi. Kita pergunakan seluruh ricikan gamelan
yang ada, atau sebagian. Dari langkah ini dimungkinkan perlu adanya tehnik
garap secara khusus untuk menghasilkan warna suara tertentu pula.
Pemilihan orkestrasi dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai
faktor lain, misalnya berapa jumlah pemusiknya; bagaimana kemampuan
pemusiknya; dan yang terpenting sesuai ide garap.
5. Menentukan tehnik garap secara umum.
Sudah selayaknya kita memperkirakan tehnik garap yang akan kita
perbuat, misalnya secara umum kita menggunakan tehnik garap karawitan
gaya Jawatimuran, atau Surakarta atau campuran dan lain-lain. Termasuk
kita perlu berpikir untuk menentukan motif garapnya.
Dalam hal ini perlu dilakukan pengumpulan materi yang biasanya
dibedakan berdasarkan garap suasana. Dari materi yang sudah ada dipikirkan
garap tehniknya termasuk dengan pengolahan materi ataupun dengan
memunculkan materi yang baru. Ketika proses berlangsung dimungkinkan
akan muncul berbagai tehnik sebagai pengembangan dari tehnik garap yang
lebih spesifik lagi.
6
IV. PENUTUP :
1. Acuan dasar yang saya ketengahkan tersebut di atas merupakan acuan dasar
berkarya musik. Frase-frase yang ada bukanlah berupa urut-urutan yang harus
dilakukan oleh seorang komponis, melainkan dapat berubah-ubah
berdasarkan kebutuhan, situasi dan kondisi. Bahkan dimungkinkan ada
bagian-bagian/frase-frasenya yang tidak dibutuhkan sehingga bisa
dikesampingkan. Masing-masing frase tersebut di atas dapat pula dilakukan
bersamaan, saling mengisi atau sebaliknya. Oleh karenanya langkah yang
diambil oleh komponis satu dengan komponis yang lain pasti memiliki
perbedaan. Dan tak kalah pentingnya, saya menghimbau pada calon-calon
komponis yang ada untuk berbuat dengan memunculkan karya-karya musik
sebanyak mungkin.
Modal yang paling hakiki adalah :
KEBERANIAN,
KEMAUAN DAN
KESERIUSAN.
2. HARAPAN.
Ulasan tersebut di atas memang sengaja disajikan dalam kapasitas sempit,
terbatas dan semestinya perlu lebih akurat. Saya sadar bahwa secara global
permasalahan di atas akan didapatkan hasil yang mendasar pula, paling tidak
sebuah keberanian berbuat dengan lebih terfokus berani berkarya musik
dalam kondisi siap menghadapi segala kendala yang ada.
Akhirnya ada harapan yang perlu saya ketengahkan antara lain:
Kita harus sadar bahwa tidak selamanya kita hanya menerima materi yang
sudah ada. Coba kita tengok pola-pola pembinaan/pelatihan yang kita
terima selama ini. Kecenderungan kita diajak menghafalkan pola-pola
yang sudah ada, tanpa disertai langkah-langkah/cara untuk menghasilkan
sesuatu. Kecenderungan upaya pembinaan itu lebih mengarah pada
8
Cak Sabar