You are on page 1of 19

BAB II

PERAN TEH HIJAU DALAM MENGHAMBAT PERKEMBANGAN


PENYAKIT ARTRITIS REUMATOID DITINJAU DARI KEDOKTERAN

2.1. Artritis Reumatoid


2.1.1. Definisi Artritis Reumatoid
Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit autoimun yang ditandai
oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target
utama. Gejala klasik artritis reumatoid adalah poliartritis simetris yang
terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain lapisan
sinovial sendi, AR juga dapat mengenai organ-organ di luar persendian
seperti kulit, jantung, paru-paru, dan mata (Suarjana, 2009).

2.1.2. Epidemiologi Artritis Reumatoid


Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi artritis reumatoid berkisar
antara 0,5% - 1%. Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan
Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3% dan 6,8%. Di China,
Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4%, baik di daerah
urban maupun rural (Suarjana, 2009).
Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi
artritis reumatoid sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban.
Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia di
atas 40 tahun, mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5% di daerah
kotamadya dan 0,6% di daerah kabupaten. Prevalensi artritis reumatoid

lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan


rasio 3 : 1. Artritis reumatoid juga dapat terjadi pada semua kelompok umur,
dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan
kelima (Suarjana, 2009).
2.1.3. Etiologi Artritis Reumatoid
Penyebab artritis reumatoid tidak diketahui secara pasti, tetapi beberapa
bukti menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam perkembangan
penyakit artritis reumatoid. Salah satu faktor genetik penyebab artritis
reumatoid adalah produk gen dari major histocompatibility complex (MHC)
kelas II, HLA-DR4 (Sangha, 2000). Selain itu, hubungan gen HLA-DRB1
dengan kejadian artritis reumatoid juga telah diketahui dengan baik,
walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan AR yang
mengkode aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-B). Gen ini
berperanan penting dalam resorpsi tulang pada AR (Suarjana, 2009).
Prevalensi artritis reumatoid lebih besar pada perempuan dibandingkan
dengan

laki-laki,

sehingga

diduga

hormon

sex

berperan

dalam

perkembangan penyakit ini. Beberapa studi menunjukkan bahwa nulipara


merupakan salah satu faktor resiko terjadinya artritis reumatoid. Telah
didapatkan juga hubungan kehamilan dengan perbaikan penyakit AR dan
terjadinya eksaserbasi pada periode post-partum. Selain itu, pemberian
kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan penyakit artritis
reumatoid (Sangha, 2000).
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit AR,
dengan menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau
respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum

ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab


penyakit (Suarjana, 2009).
2.1.4. Patogenesis Artritis Reumatoid
Patogenesis artritis reumatoid dimulai dengan terdapatnya suatu antigen
yang berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial ini, antigen
tersebut akan diproses oleh antigen presenting cell (APC) yang terdiri dari
berbagai jenis sel seperti sel sinoviocite A, sel dendritik, atau makrofag dan
semuanya mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya.
Antigen yang akan diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+,
suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Proses aktivasi
CD4+ dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau
makrofag. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi
berbagai limfokin lain seperti A-interferon, tumor necrosis factors (TNF), IL-3, IL-4, serta mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk
meningkatkan aktivasi fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi
serta aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi (gambar 1). Setelah
berkaitan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan
membentuk kompleks imun yang berdifusi secara bebas ke dalam ruang
sendi (Choy, 2001).

Gambar 1. Alur sitokin yang terlibat dalam artritis reumatoid (Choy, 2001)
Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan
aktivasi

sistem

komplemen

dan

membebaskan

komplemen

C5a.

Komplemen ini merupakan faktor kemotaktik yang selain meningkatkan


permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang
memfagosit kompleks imun tersebut, sehingga mengakibatkan degranulasi
sel mast dan pembebasan radikal oksigen , leukotriene, enzim lisosomal,
prostaglandin, dan kolagenase yang semuanya bertanggung jawab atas
terjadinya inflamasi atau kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan
tulang. Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya penurunan viskositas

cairan sendi serta merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi
(Choy, 2001).

Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid (Choy, 2001)


Pengendapan kompleks imun juga menyebabkan masuknya sel T ke
dalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang
merupakan elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR.
Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang
teraktivasi, sel fibroblas yang berproliferasi, dan jaringan mikrovaskular.
Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi

serta tulang, sehingga dapat menghancurkan struktur persendian (Robbins


dkk, 1997).
Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen
penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi pada AR,
antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur
persendian, sehingga proses destruksi sendi akan berlangsung terus.
Berlangsung terusnya destruksi persendian pada AR, kemungkinan
disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah
suatu autoantibodi terhadap epitop fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 7090% pasien AR (Daud, 2006).

2.1.5. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid


Gejala artritis sering kali ditandai dengan kekauan sendi pada pagi hari
yang berlangsung selama satu jam atau lebih. Gejala konstitusional berupa
kelemahan, kelelahan, anoreksia, dan demam ringan. Penyakit artritis
reumatoid bermanifestasi pada artikular dan ekstraartikular (Suarjana,
2009).
Manifestasi Artikular
Penderita artritis reumatoid pada umumnya datang dengan keluhan
nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun sepertiga penderita
mengalami gejala awal pada satu atau beberapa sendi saja. Sendi yang
terlibat pada umumnya simetris, dan biasanya terjadi pada persendian
tangan, kaki, dan vertebra servikal, tetapi persendian besar seperti
bahu dan lutut juga dapat terkena. Sinovitis akan menyebabkan erosi
permukaan sendi, sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi.

Ankilosis tulang (destruksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan


tulang yang berlebihan) dapat terjadi pada beberapa sendi, khususnya

pada pergelangan tangan dan kaki.


Manifestasi Ekstraartikular
Manifestasi ekstraartikular pada umumnya didapatkan pada
penderita yang mempunyai titer faktor reumatoid (RF) serum tinggi.
Nodul reumatoid merupakan manifestasi kulit yang paling sering
dijumpai dan biasanya ditemukan di daerah ulna, olekranon, jari
tangan, tendon achilles, atau bursa olekranon. Beberapa manifestasi
ekstraartikuler seperti vaskulitis dan sindrom Felty jarang dijumpai,
tetapi sering memerlukan terapi spesifik.

2.1.6. Diagnosis Artritis Reumatoid


Diagnostik artritis reumatoid dapat menjadi suatu proses yang kompleks.
Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan sedikit atau tidak ada uji
laboratorium yang positif, perubahan-perubahan pada sendi dapat minor,
dan gejala-gejalanya dapat bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya
bersandar pada satu karakteristik saja, tetapi berdasarkan pada suatu
evaluasi dari sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnosis AR
berdasarkan skor dari American College of Rheumatology dan The
European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2010 :
Tabel 1. Kriteria diagnosis AR berdasarkan skor dari American College of
Rheumatology dan The European League Against Rheumatism
(ACR/EULAR) 2010
Distribusi Sendi (0-5)
1 sendi besar
0
2-10 sendi besar
1
1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
2
4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)
3
> 10 sendi (min. satu sendi kecil)
5
Serologi (0-3)

RF negatif dan ACPA negatif


0
RF positif rendah atau ACPA positif rendah
2
RF positif tinggi atau ACPA positif tinggi
3
Durasi Gejala (0-1)
< 6 minggu
0
6 minggu
1
Reaktan Fase Akut (0-1)
CRP normal dan LED normal
0
CRP abnormal atau LED abnormal
1
Jika skor yang didapat 6, maka pasien pasti menderita AR. Sebaliknya,
jika skor < 6, pasien mungkin memenuhi kriteria AR secara prospektif
(gejala kumulatif) maupun retrospektif (data dari keempat domain
didapatkan dari riwayat penyakit).
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan
diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% pasien artritis reumatoid
mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor
reumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin,
imunoglobulin (IgM), yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang
tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya disebabkan oleh nodul reumatoid,
penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk (Carter, 2005).
Laju endap darah (LED) eritrosit adalah suatu indeks peradangan yang
bersifat tidak spesifik. Pasien dengan artritis reumatoid nilainya dapat tinggi
(100 mm/jam). Hal ini menunjukkan bahwa LED dapat dipakai untuk
memantau aktivitas penyakit (Carter, 2005).
Pada artritis reumatoid, cairan sinovial kehilangan viskositasnya dan
hitung sel leukosit meningkat mencapai 15.000-20.000 /mm3. Hal ini
membuat cairan sinovial menjadi tidak jernih. Cairan semacam ini dapat
membeku, tetapi bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah (Carter,
2005).

2.1.7. Tatalaksana Artritis Reumatoid


Tujuan utama pengobatan artritis reumatoid adalah menghilangkan nyeri
dan inflamasi, mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari
pasien, serta mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi
(Price, 2005).
Beberapa cara penatalaksanaan untuk mencapai tujuan tersebut :
1. Terapi Medikamentosa
Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik untuk AR menggunakan
pendekatan piramid, yaitu pemberian terapi untuk mengurangi gejala
dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan
terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini
pendekatan piramid terbalik (reverse pyramid) lebih disukai, yaitu
pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan
penyakit (Suarjana, 2009).
a. Obat anti-inflamasi non steroid (OAINS)
Kelompok obat ini mengurangi peradangan dengan menghalangi
proses produksi mediator inflamasi. Tepatnya, obat ini menghambat
sintesis prostaglandin atau siklooksigenase. Obat standar yang sudah
dipakai sejak lama dalam kelompok ini adalah aspirin, dan semua
golongan OAINS lainnya dianggap sama efektif dengan aspirin pada
dosis tertentu dari masing-masing obat tersebut.
b. Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARDs)
Pemilihan jenis DMARD harus mempertimbangkan kepatuhan,
beratnya penyakit, pengalaman dokter, dan adanya penyakit
penyerta.

DMARD

yang

paling

umum

digunakan

adalah

methotrexate (MTX), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat,

sulfasalazin, leflunomide. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau


klorokuin fosfat sering digunakan sebagai terapi awal, tetapi pada
kasus yang lebih berat, MTX atau kombinasi terapi mungkin
digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan
bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan terapi
tunggal. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi
yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang
baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun.
c. Steroid
Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg
per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan memperlambat
kerusakan sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal,
karena beresiko tinggi mengalami efek samping seperti osteoporosis,
katarak, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan
bahwa penderita yang mendapat terapi glukokortikoid harus disertai
dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400-800 IU per
hari.
d. Agen biologik
Antagonis TNF

menurunkan

konsentrasi

TNF-,

yang

konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi penderita


artritis reumatoid. Etanercept adalah suatu soluble TNF-receptor
fusion protein, dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan
MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2
minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab, yang
merupakan chimeric IgG1 anti-TNF- antibody.

2. Terapi Bedah Ortopedi


Tujuan terapi bedah ini yaitu untuk memperbaiki fungsi, mobilitas, dan
mengontrol nyeri. Prosedur dapat berupa tendon repair and transfer,
operasi carpal tunnel, total joint replacement, serta stabilisasi sendi
servikal yang tidak stabil.
3. Terapi Orthotic
Terapi orthotic dapat berupa :
Penggunaan ortotik dan bidai, untuk mengistirahatkan bagian

yang sakit
Modalitas fisik : panas superfisial dengan parafin, diatermi
ultrasonografi, untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan gerak

sendi
Latihan sendi : metode blok untuk sendi PIP (proximal
interphalangeal) dan DIP (distal interphalangeal), latihan ambil

dan genggam (pinch and grip), dan berbagai latihan lainnya


Edukasi untuk proteksi sendi : hindari posisi yang menyebabkan
deformitas, hindari satu posisi terlalu lama, serta hindari tekanan
kuat pada sendi

2.2. Teh Hijau


Teh hijau yang didapatkan dari tanaman Camellia sinensis, merupakan
salah satu minuman yang paling sering dikonsumsi dan telah diketahui
memiliki banyak efek bagi kesehatan tubuh. Berdasarkan proses
pengolahannya, teh diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu non-fermentasi,
semifermentasi, dan fermentasi (gambar 3). Dimana teh hijau termasuk ke
dalam teh yang dalam proses pembuatannya tidak mengalami fermentasi.
Teh hijau dapat diperoleh melalui pemanasan (udara panas) dan penguapan.

Kedua metode itu berguna untuk mencegah terjadinya oksidasi enzimatis


katekin. Fermentasi yang belum sempurna, menimbulkan rasa teh yang
lebih ringan, dan terkenal pada daerah-daerah Asia tertentu, yang dikenal
sebagai teh oolong. Sedangkan proses pengolahan teh hitam membutuhkan
fermentasi. Daun teh segar dibiarkan hancur dan layu, sehingga mengalami
proses oksidasi secara alami (Singh, 2011).

Gambar 3. Skema proses ekstraksi teh (Singh, 2011)


Komposisi senyawa-senyawa dalam teh hijau sangatlah kompleks yaitu
protein (15-20%); asam amino (1-4%) seperti teanine, asam aspartat, tirosin,
triptofan, glisin, serin, valin, leusin, arginin; karbohidrat (5-7%) seperti
selulosa, pectin, glukosa, fruktosa, sukrosa; lemak dalam bentuk asam
linoleat dan asam linolenat; sterol dalam bentuk stigmasterol; vitamin B, C,
dan E; kafein dan teofilin; pigmen seperti karotenoid dan klorofil; senyawa
volatile seperti aldehida, alkohol, lakton, ester, dan hidrokarbon; mineral
dan elemen-elemen lain (5%). Teh hijau juga sangat kaya akan kandungan
polifenol (20-45%), dimana 60-80% merupakan katekin (Chacko, 2010).

Katekin utama yang paling banyak ditemukan dalam teh hijau yaitu
epigallocatechin-3-gallate (EGCG), terhitung 50-80% berat kering dari total
katekin teh hijau. Epigallocatechin (EGC), epicatechin-3-gallate (ECG),
dan epicatechin (EC) juga merupakan komponen katekin yang terkandung
di dalam teh hijau (gambar 4). Di antara keempat jenis katekin tersebut,
EGCG merupakan senyawa yang paling aktif dan merupakan antioksidan
yang lebih potensial dibandingkan dengan vitamin C dan E (Singh, 2011).

Gambar 4. Struktur katekin teh hijau (Singh, 2011)


Senyawa katekin pada teh hijau terutama EGCG memiliki banyak
dampak positif bagi tubuh, yaitu sebagai antioksidan, menekan proses
inflamasi, anti-karsinogenik, anti-bakteri, menurunkan resiko terjadinya
stroke dan penyakit jantung koroner, proteksi terhadap penyakit
neurodegeneratif, menurunkan kadar kolesterol dan hipertensi, dan
sebagainya. Tubuh manusia memproduksi molekul tidak stabil atau oksidan

seperti radikal bebas, superoksida, peroksinitrit, dan lain-lain. Oksidan


mengambil elektron dari senyawa lain untuk menjadi stabil, dan dalam
prosesnya terjadi kerusakan protein sel dan material genetik yang kemudian
dapat menyebabkan kanker. Beberapa penyakit kronik dan inflamasi
merupakan

hasil

dari

stress

oksidatif,

seperti

artritis,

penyakit

neurodegeneratif, hiperkolesterolemia, dan sebagainya. Katekin pada teh


hijau yang berperan sebagai antioksidan, secara selektif menghambat
aktivitas enzim spesifik pemicu kanker. Selain itu, struktur kimia polifenol
pada teh hijau yaitu grup hidroksil pada cincin aromatik dapat membentuk
kompleks dengan radikal bebas dan menetralkannya, sehingga mencegah
perkembangan penyakit (Pham-Huy, 2008).
Katekin yang diserap yaitu EGCG, ECG, EGC, dan EC yang
dimetabolisme secara luas dan diubah menjadi bentuk terkonjugasi
(glukoronida dan sulfat) terutama di hati dan ada beberapa yang dimetilasi
oleh catechol-O-methyl transferase. Menurut Cooper, agar EGCG dapat
memiliki efek terapetik dalam membunuh sel kanker, disarankan bahwa
kadar polifenol dalam darah minimal 100 nmol/L (Pham-Huy, 2008).
Teh hijau umumnya dianggap aman dan tidak bersifat toksik. Sebuah
studi terhadap toksisitas jangka pendek dan akut pada ekstrak teh hijau
dengan konsentrasi EGCG yang tinggi melaporkan bahwa tidak ada efek
samping yang diamati pada kadar EGCG 500 mg/kg/hari. Namun, dengan
adanya kandungan kafein dan polifenol, beberapa efek samping telah
dilaporkan terhadap konsumsi teh hijau jangka panjang dan berlebihan,
seperti insomnia, anxietas, cepat marah, kehilangan nafsu makan, iritasi

lambung, hiperasiditas, muntah, konstipasi atau diare, palpitasi, vertigo, dan


sakit kepala. Reaksi alergi terhadap teh hijau dengan gejala seperti kesulitan
bernafas, pembengkakan bibir, lidah, atau wajah dapat terjadi meskipun
sangat jarang. Selain itu, katekin teh hijau juga dapat mempengaruhi
absorpsi besi, sehingga dapat menyebabkan defisiensi besi (Pham-Huy,
2008).
Teh hijau sebaiknya tidak dikonsumsi oleh anak, wanita hamil, dan
wanita

menyusui.

Konsumsi

teh

hijau

selama

kehamilan

dapat

meningkatkan resiko malformasi janin, seperti spina bifida, karena teh hijau
memiliki aktivitas antifolat yang merupakan salah satu mekanisme anti
kanker, sedangkan asam folat sangat dibutuhkan untuk membantu
perkembangan janin yang normal (Pham-Huy, 2008).
2.3. Peran Teh Hijau Dalam Menghambat Penyakit Artritis Reumatoid
Pada penyakit reumatik, kehilangan keseimbangan antara pembentukan
dan resorpsi tulang dapat menyebabkan abnormalitas tulang yang
mempengaruhi kualitas hidup. IL-6 yang diroduksi oleh sel-sel stroma dan
osteoblas dalam menanggapi rangsangan seperti lipopolisakarida, IL-1, dan
TNF, menstimulasi resoprsi tulang dan pembentukan osteoklas. Sebuah
studi terbaru oleh Kamon menunjukkan bahwa EGCG mengurangi
pembentukan osteoklas dengan menghambat diferensiasi osteoblas tanpa
mempengaruhi viabilitas dan proliferasinya. Studi terbaru lain yang
menangani mekanisme molekuler yang tepat dimana EGCG menghambat
diferensiasi osteoblas menunjukkan bahwa EGCG menghasilkan efek antiosteoklastogenik dengan menghambat aktivasi receptor activator of nuclear

factor kappaB ligand (RANKL) yang diinduksi c-Jun-N-terminal kinase dan


jalur NF-B, sehingga menekan ekspresi gen c-Fos dan NFATc1 dalam
prekursor osteoklas (Ahmed, 2010).
Pada kondisi fisiologis normal, fibroblas sinovial membentuk lapisan
tipis jaringan sinovial yang dikelilingi oleh kapsul fibrosa. Lapisan fibroblas
sinovial mensekresi cairan sinovial yang bersifat sebagai pelumas dan
imunomodulator, dimana hal tersebut meningkatkan fungsi sendi yang
normal. Sedangkan, pada penderita artritis reumatoid, fibroblas sinovial
dalam membran sinovium menjadi hiperproliferatif dan mensekresi faktorfaktor yang meningkatkan inflamasi, neovaskularisasi, dan degradasi
kartilago (Ahmed, 2010).
Dalam respon terhadap sitokin yang diproduksi oleh makrofag seperti
TNF dan IL-1, fibroblas sinovial pada artritis reumatoid mensekresi
enzim pendegradasi matriks seperti matrix metalloproteinases (MMPs), a
disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motifs (ADAMTs),
dan cathepsin. MMP yang dilepaskan dari fibroblas sinovial pada artritis
reumatoid dapat memodulasi aktivitas sitokin dan kemokin, melepaskan
ligan proapoptotik dari permukaan sel, dan meningkatkan invasi fibroblas
ke tulang rawan. Suatu studi menunjukkan bahwa EGCG secara signifikan
menghambat aktivitas MMP-2 yang diinduksi oleh regulated on activation,
normal T cell expressed and secreted (RANTES), chemokine (C-X-C motif)
ligand 1 (CXCL1), dan CXCL5 (Ahmed, 2010).
Tulang diserap terutama oleh osteoklas berinti, yang terbentuk dari fusi
preosteoklas yang berasal dari stem sel hematopoetik sebagai respon
terhadap sitokin seperti macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) dan

RANKL. Sitokin ini diekspresikan oleh osteoblas / sel stroma dan


memodulasi fungsi dan kelangsungan hidup osteoklas. Sitokin dan sinyal
dari integrin juga menginduksi pembentukan struktur sel terpolarisasi dalam
osteoklas yang berpartisipasi dalam resorpsi tulang.
Green tea polyphenols (GTP) memiliki aktivitas anti-inflamasi, sehingga
berguna untuk pencegahan dan pengobatan penyakit-penyakit inflamasi,
salah satunya yaitu artritis reumatoid. Secara umum, mediator-mediator
proinflamasi seperti TNF-, IL-, -interferon, dan prostaglandin (PG) E2
dapat bertindak secara langsung pada tulang atau secara tidak langsung,
untuk meningkatkan osteoklastogenesis, mencegah apoptosis osteoklas,
dan/atau menghambat aktivitas osteoblastik. Penekanan produksi TNF-
dan IL-6 oleh osteoblas dapat meningkatkan ketahanan osteoblas. Kedua
sitokin tersebut dapat memediasi efek dari berbagai stimulator untuk
resorpsi tulang (hormon paratiroid dan IL-1). TNF- menghambat
pembentukan tulang, sintesis kolagen, dan aktivitas alkaline phosphatase
(ALP) dalam osteoblas. IL-6 meningkatkan prekursor osteoklas dan
diferensiasi untuk menjadi osteoklas matur. TNF- dan IL-6 dapat mengatur
jangka hidup osteoblas melalui apoptosis. Choi dan Hwang melaporkan
bahwa katekin dalam teh hijau dapat meningkatkan aktivitas ALP dalam sel
osteoblastik MC3T3-E1 dengan menghambat apoptosis osteoblas melalui
penurunan produksi TNF- dan IL-6 (Shen, 2009).
Beberapa efek teh hijau terhadap tulang yaitu menekan resorpsi tulang
dengan menstabilisasi kolagen, meningkatkan apoptosis osteoklas, dan
menghambat pembentukan osteoklas. Kolagen merupakan komponen

organik utama pada matriks ektraselular tulang. Penghapusan kolagen yang


disebabkan oleh kolagenase jaringan dan cystine-proteinase merupakan
langkah penting untuk resorpi tulang. Oleh karena itu, peningkatan
resistensi kolagen terhadap kolagenase dapat mencegah degradasi kolagen,
sehingga dapat menurunkan resorpsi tulang. Delaisse, dkk melaporkan
bahwa efek penghambatan dari katekin mungkin karena produk oksidasinya
yang terikat pada lapisan tipis dari kolagen yang tidak termineralisasi untuk
memisahkan osteoblas yang sedang beristirahat dari matriks yang
termineralisasi,

sehingga

mencegah

penghapusannya

dari

osteoblas

pensekresi kolagenase. Hal ini cukup untuk menghambat proses resorpsi


tulang dengan mencegah aktivasi osteoklas. Jumlah osteoklas dalam satu
organisme tergantung pada osteoklastogenesis dan apoptosis. Apoptosis
osteoklas diatur oleh aktivasi caspase. EGCG menstimulasi aktivasi
caspase-3 (caspase eksekutor), meningkatkan aktivitas caspase-3, dan
pembelahan pro-caspase-3. Aktivasi NF-B dalam sel membuat sel lebih
lama bertahan hidup dan melindungi dari aptoptosis, sehingga dengan
menghambat aktivitas NF-B dapat mengurangi pertumbuhan sel. Polifenol
dalam teh hijau dapat menghambat aktivasi NF-B, yang kemudian dapat
menurunkan ekspresi protein Bcl-2 dan meningkatkan Bax, sehingga terjadi
perubahan rasio Bax/Bcl-2 yang mendukung apoptosis. Selain itu, GTP juga
mengaktivasi caspase 3 dan caspase 8. Temuan ini menunjukkan bahwa
GTP menginduksi apoptosis osteoklas dengan melibatkan mekanisme
caspase dan down regulation NF-B. Komponen bioaktif teh hijau dapat

menekan pembentukan osteoklas dengan menghambat pelepasan MMP oleh


osteoblas. Kolagenase (MMP-1 dan MMP-13) dan gelatinase A (MMP-2)
dan B (MMP-9) dianggap sebagai MMP utama dalam proses pencernaan
kolagen tulang oleh osteoblas (Shen, 2009).

Gambar 5. Target molekular GTP (Sinija, 2008)


Terdapat 2 cara GTP dalam memodulasi aktivitas osteoimunologi, yaitu
dengan menghambat diferensiasi osteoklas melalui sinyal RANKL dan
mengatur produksi sitokin oleh sel imun. Pada artritis, faktor-faktor seperti
RANKL dan sitokin inflamasi yang diproduksi oleh sel T, fibroblas sinovial,
dan makrofag yang teraktivasi memfasilitasi pembentukan osteoklas. Maka
dari itu, dengan menekan perkembangan osteoklas atau menghambat
RANKL dan ekspresi M-CSF pada sendi yang mengalami inflamasi,
merupakan salah satu pilihan dalam mengurangi erosi tulang pada artritis
reumatoid. Marinobu, dkk melaporkan bahwa EGCG mengurangi aktivitas
resorpsi tulang dan ekspresi gen spesifik osteoklas tanpa mempengaruhi
kelangsungan hidup sel (Shen, 2009).

You might also like