You are on page 1of 16

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL

Oleh:
Yoga Anindita, S.Ked
(1070121005)
Pembimbing:
dr. Putu Tri Yasa, Sp. A
BAGIAN SMF ILMU PENYAKIT ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SANJIWANI
GIANYAR

ASMA BRONKIAL
Oleh

: Yoga Anindita, S.Ked

Pembimbing : dr. Putu Triyasa, Sp.A


Kompetensi

: 4A (Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter)


BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis saluran napas yang ditandai dengan
mengi episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas dan
sering terjadi pada anak. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di
negara maju maupun negara sedang berkembang, Peningkatan tersebut diduga
berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor lingkungan.1,2
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%
pada anak). Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini
diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Di
Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan
sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Hasil survey asma pada anak
sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung,
Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma
pada anak SD (6-12 tahun) berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP
di Jakarta Pusat sebesar 5,8%. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma
anak dapat terdiri dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan
masing-masing dengan implikasi khusus pada penatalaksanaannya. Angka
kejadian yang meningkat tidak bisa dijelaskan secara genetik semata sehingga
muncul dugaan adanya peranan faktor lingkungan. Faktor risiko asma antara lain
jenis kelamin, usia, riwayat atopi, lingkungan, ras, asap rokok, polusi, dan infeksi
respiratorik. 2,3
Patogenesis asma berkembang dengan pesat. Pada awal 60-an,
bronkokonstriksi merupakan dasar patogenesis asma, kemudian pada 70-an
berkembang menjadi proses inflamasi kronis, sedangkan tahun 90-an selain

inflamasi juga disertai adanya remodelling. Berkembangnya patogenesis tersebut


berdampak pada tatalaksana asma secara mendasar, sehingga berbagai upaya telah
dilakukan untuk mengatasi asma. Pada awalnya pengobatan hanya diarahkan
untuk mengatasi bronkokonstriksi dengan pemberian bronkodilator, kemudian
berkembang dengan antiinflamasi. Pada saat ini upaya pengobatan asma selain
dengan antiinflamasi, juga harus dapat mencegah terjadinya remodeling.
Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan
asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek
kronis). 1,3
Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah
kesehatan pada anak yang perlu mendapat perhatian serius.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Asma
Asma adalah mengi atau batuk dengan karakteristik timbul secara episodik atau
kronik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor
pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada
pasien atau keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Pada
pemeriksaan fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Asma memiliki
ciri-ciri obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan arus udara pada
saat ekspirasi dan inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan
struktur saluran napas.1,2
Asma dipengaruhi oleh dua faktor yaitu genetik dan lingkungan, mengingat
patogenesisnya tidak jelas, asma didefinisikan secara deskripsi yaitu penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus
terhadap berbagai rangsangan, dengan gejala episodik berulang berupa batuk,
sesak napas, mengi dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari,
yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan. Proses
dasar penyakit asma adalah inflamasi, maka obat-obat antiinflamasi berguna
untuk mengurangi reaksi inflamasi pada saluran napas. Kortikosteroid merupakan
obat antiinflamasi yang paten dan banyak digunakan dalam penatalaksanaan
asma. Obat ini dapat diberikan secara oral, inhalasi maupun sistemik.1,2
2.2 Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma
dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur
imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I
(tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada
orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal
dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE

terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup
alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen
kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi
saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera
yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja
langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam
pajanan alergen dan bertahan selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai
beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen
Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3,4
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh
mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap,
kabut dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf.
Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related
Peptide

(CGRP).

Neuropeptida

itulah

yang

menyebabkan

terjadinya

bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan


aktivasi sel-sel inflamasi. 2,4,5
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter

objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk


mengukur hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban
kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2
2.3 Faktor Risiko Asma
Faktor risiko yang mempengaruhi asma yakni:1,2
1. Faktor Genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi
ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan
dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor
risiko asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi
saluran napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
3. Faktor Lain
6

a. Alergen makanan Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang
tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna
makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta
laktam lainnya, eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada. Di samping gejala
asma yang timbul harus segera diobati, penderita asma yang mengalami
stres/gangguan emosi perlu diberi nasihat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih
sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap
rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek
berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko terjadinya gejala
serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga
tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktivitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga (serbuk sari
beterbangan).

i. Status ekonomi
2.4 Klasifikasi Asma
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis
sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk
mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).
Derajat penyakit asma dibagi menjadi asma episodik jarang, asma episodik sering,
dan asma persisten Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan
dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian
derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan
diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan
sedang, dan asma serangan berat. Dalam melakukan penilaian berat ringannya
serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus
diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1,2
Tabel 1. Penilaian Derajat Serangan Asma
Parameter

Ringan

Sedang

Berat

Sesak

Berjalan
Bayi: menangis
keras

Istirahat
Bayi: tidak mau
minum/makan

Posisi

Bisa berbaring

Bicara
Kesadaran

Kalimat
Mungkin
irritable
Tidak ada
Sedang, sering
hanya akhir
inspirasi

Berbicara
Bayi: tangis
pendek dan
lemah, sulit
menyusu/makan
Lebih suka
duduk
Penggal kalimat
Biasanya
irritable
Tidak ada
Nyaring,
sepanjang
inspirasi
inspirasi

Sianosis
Mengi

Penggunaan otot
bantu

Biasanya tidak

Biasanya ya

Duduk bertopang
lengan
Kata-kata
Biasanya
irritable
Ada
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop sepanjang ekspirasi
dan inspirasi
Ya

Ancaman gagal
napas

Kebingungan
Nyata
Sulit/tidak
terdengar

Gerakan
paradoks torako-

respiratorik
Retraksi
Frekuensi napas

Pulsus
paradoksus
PEER atau FEV1
*Prabronkodilator
*Pascabronkodilator
SaO2
PaO2
PaCO2

>60%

40-60%

abdomina
Dalam, ditambah Dangkal/hilang
napas cuping
hidung
Takipne
Bradipne
Frekuensi napas normal
< 60 x/menit
< 50 x/menit
< 40 x/menit
< 30 x/menit
Ada ( > 20
Tidak ada, tanda
mmHg)
kelelahan otot
respiratorik
<40%

>80%

60-80%

<60%

>95%
Normal
(biasanya tidak
perlu diperiksa)
<45 mmHg

91-95%
>60 mmHG

90%
<60 mmHg

<45 mmHg

>45 mmHg

Dangkal,
interkostal
Takipne
Usia
< 2 bulan
2-12 bulan
1-5 tahun
6-8 tahun
Tidak ada
( < 10 mmHg)

Sedang,
ditambah
suprasternal
Takipne

Ada (10-20
mmHg)

Tabel 2. Pembagian derajat penyakit asma pada anak menurut Pedoman Nasional
Asma Anak
No

Parameter

Asma episodik
jarang
< 1 X/bulan

Asma episodik
sering
>1x/minggu

Asma persisten

Frekuensi
serangan
Lama serangan

< 1 minggu

1 minggu

Di antara
serangan
Tidur dan
aktivitas
Pemeriksaan
fisik di luar
serangan
Obat pengendali

Tanpa gejala

Sering ada gejala

Tidak terganggu

Sering terganggu

Hampir
sepanjang tahun,
tidak ada remisi
Gejala siang dan
malam
Sangat terganggu

Normal

Mungkin
terganggu

Tidak pernah
normal

Tidak perlu

Uji faal paru di


luar serangan*

PEF/FEV1
> 80%

Steroid hirupan
dosis rendah
PEF/FEV1 6080%

Variabilitas faal
paru (bila ada
serangan)*

Variabilitas
> 15%

Variabilitas >
30%

Steroid
hirupan /oral
PEF/FEV1
< 60%
Variabilitas 2030%
Variabilitas >
50%

2
3
4
5
6

Sering

2.6 Diagnosis Asma


Diagnosis pasien dengan asma memiliki ciri khas suara paru yakni mengi
(wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang. Asma pada anak-anak

umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru

normal,

pengukuran

respons

dapat

membantu

diagnosis.

Asma

diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan
waktu. Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut
ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi
klinis serta pemeriksaan penunjang.2,3
2.7 Anamnesis Pasien Asma
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung sering ingusan atau pilek (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksema atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari. Pada riwayat keluarga didapatkan adanya
riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya, Dilingkungan pasien ada yang
memelihara binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab
di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah
menggunakan karpet berbulu, sofa kain bludru, kasur kapuk, banyak barang di
kamar tidur. Apakah sesak dengan bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh
serangga, apakah pasien merokok, orang lain yang merokok di rumah atau
lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien, apakah ada beta blocker, aspirin
atau steroid.1,3

2.8 Pemeriksaan Klinis


Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan

10

fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi
perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan; napas cepat,
kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut dan dada.
Pada auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.1,4
Pemeriksaan Penunjang1,2,3
1. Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
2. Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism).
5. Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic

11

Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan
informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk
mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara
dingin atau kering, histamin, dan metakolin.
2.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana asma anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tatalaksana komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarganya, penghindaran
terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa. Pada KIE perlu ditekankan bahwa
keberhasilan terapi atau tatalaksana sangat bergantung pada kerjasama yang baik
antara keluarga (penderita) dan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita
asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa awam agar
keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter,
penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya. Tatalaksana tentang
penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma
akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi,
edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan
dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.1,2,5
Penatalaksanaan medikamentosa asma dibedakan menjadi penatalaksanaan
jangka pendek untuk mengatasi serangan asma dan penatalaksanaan jangka
panjang untuk mencegah serangan asma. Pada saat serangan pemberian -2

12

agonis pada awal serangan dapat mengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan
dapat diberikan kortikosteroid sistemik pada serangan sedang dan berat. GINA
merekomendasikan pemberian -2 agonis kerja cepat dengan penambahan garam
fisiologis secara nebulisasi yang dapat diulang dengan selang 20 menit. Bila tidak
ada perbaikan maka nebulisasi ketiga menggunakan obat antikolinergik. Tata
laksana awal ini sekaligus sebagai penapis derajat serangan karena penilaian
derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.5,6
Tatalaksana jangka panjang (aspek kronis) pada asma anak diberikan pada
asma episodik sering dan persisten, sedangkan pada asma episodik jarang tidak
diperlukan. Proses inflamasi kronis yang terjadi pada asma bersamaan dengan
proses

remodelling

yang

ditandai

dengan

disfungsi

epitel.

Pemberian

Kortikosteroid ditujukan sebagai antiinflamasi dalam proses remodelling.


Pemberian kortikosteroid secara topikal (inhalasi) dalam jangka panjang dengan
dosis dan cara yang tepat tidak menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak.
Penggunaan

kortikosteroid

inhalasi

telah

dibuktikan

keuntungan

dan

keamanannya selama digunakan dengan cara yang benar.2,6


Pada tahap awal, dosis kortikosteroid yang diberikan dimulai dengan dosis
rendah (pada anak > 12 tahun setara dengan budesonide 200-400 mg, sedangkan
pada anak < 12 tahun 100-200 mg) dan dipertahankan untuk beberapa saat (6-8
minggu) apabila keadaan asmanya stabil. Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat
diturunkan secara perlahan sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi.
Dikatakan asma stabil apabila tidak ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita
dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak terganggu, dan kualitas hidup cukup
baik.1,6
Apabila dengan pemberian kortikosteroid dosis rendah hasilnya belum
memuaskan, dapat dikombinasi dengan long acting beta-2 agonist (LABA) atau
dengan theophylline slow release (TSR), atau dengan antileukotrien, atau
meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium (setara dengan
budesonide 200-400 g). Pemberian kortikosteroid secara inhalasi tidak
mempunyai efek samping terhadap tumbuh kembang anak selama dosis yang
diberikan < 400 g dan dengan cara yang benar. Pada anak dianjurkan tidak

13

melebihi 800 g, karena dengan penambahan dosis kortikosteroid tersebut tidak


akan menambah manfaatnya, tetapi justru meningkatkan efek sampingnya.3,6
PNAA membuat pedoman tentang tatacara dan langkah-langkah untuk
penggunaan obat controller. Setelah ditentukan klasifikasi asma sebagai asma
episodic sering atau asma persisten, maka penggunaan controller sudah harus
dijalankan. Pertama berikan kortikosteroid dosis rendah. Evaluasi gejala klinis
sampai 6-8 minggu. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya stabil, maka dosis
kortikosteroid diturunkan secara bertahap yang pada akhirnya dapat dihentikan
tanpa kortikosteroid. Apabila dalam waktu 6-8 minggu asmanya belum stabil
yaitu masih sering terjadi serangan, maka harus menggunakan tahap kedua yaitu
berupa kortikosteroid dosis rendah ditambahkan LABA, atau dengan penambahan
TSR, atau dengan penambahan antileukotrien, atau dosis kortikosteroid dinaikkan
menjadi double dose. Setelah tahap kedua ini, harus dievaluasi ulang keadaan
stabilitas asma. Apabila asma stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka pengobatan
dapat diturunkan secara bertahap sampai pada kortikosteroid dosis rendah yang
pada akhirnya dapat tanpa obat-obat controller. Apabila dalam waktu 6-8 minggu
asmanya belum stabil, maka tatalaksana meningkat pada tahap ketiga yaitu
meningkatkan dosis kortikosteroid menjadi dosis medium ditambah LABA, atau
TSR, atau antileukotrien, atau ditingkatkan dosis kortikosteroidnya menjadi dosis
tinggi. Apabila dengan dosis ini asmanya stabil dalam waktu 6-8 minggu, maka
diturunkan secara bertahap ke tahap dua, ke satu dan akhirnya tanpa controller.
Apabila dengan cara tersebut di atas asmanya belum stabil, maka penggunaan
kortikosteroid secara oral

boleh digunakan. Penggunaan kortikosteroid oral

(sistemik) merupakan langkah terakhir tatalaksana asma pada anak. 6

14

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses
inflamasi yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu
ke waktu yang berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Faktor risiko yang
dapat menimbulkan asma yakni faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor lain.
Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang, asma episodik sering, dan asma
persisten. Diagnosis asma berdasarkan anamnesis berupa sesak episodik dengan
riwayat atopi, pemeriksaan fisik berupa napas cepat dan wheezing, dan
pemeriksaan penunjang penurunan SaO2. Pada asma episodik jarang hanya
diberikan obat reliever saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering
dan persisten diperlukan terapi jangka panjang (controller). Pada terapi jangka
panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis rendah kurang memuaskan dapat
diberikan terapi kombinasi kortikosteroid dosis rendah dan LABA, atau TSR, atau
antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat memperbaiki uji fungsi paru,
gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada akhirnya meningkatkan kualitas
hidup anak asma.
3.2 Saran
Keberhasilan terapi atau tatalaksana asma sangat bergantung pada kerjasama yang
baik antara keluarga penderita asma dan dokter yang menanganinya. Keluarga
penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail untuk mengetahui
apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama
apabila terjadi serangan. Keluarga pasien diharapkan meminimalkan terjadinya
serangan asma dengan menghindari pencetus.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Rengganis I. Diagnosis dan Tata Laksana Asma Bronkial. Maj Kedokt
Indon. 2008. 58(11). 444-451
2. Meiyanti, dan Mulia JI. Perkembangan Patogenesis dan Pengobatan Asma
Bronkial. J Kedokter Trisakti. 2000; 19(3):125-132.
3. Siregar SP. Faktor Atopi dan Asma Bronkial pada Anak. Sari Pediatri.
2000. 2(1): 23-28.
4. Ardinata D. Eosinofil dan Patogenesa Asma. Maj Kedokt Nus. 2008.
41(4): 268-273.
5. Susanti N, Barlianto W, Kalim H, dan Kusuma HMSC. Asthma Clinical
Improvement and Reduction in The Number of CD4+CD25+foxp3+Treg
and CD4+IL-10+ Cells After Administration of Immunotherapy House
Dust Mite and Adjuvant Probiotics and/ or Nigella Sativa Powder in Mild
Asthmatic Children. Journal of Dental and Medical Science. 2013.
7(3):50-59.
6. Supriyatno HB. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma Pada Anak.
Maj Kedokt Indon. 2005. 55(3):237-243.

16

You might also like