Professional Documents
Culture Documents
KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
BUNUH DIRI
Disusun oleh :
Virnadia Ekasari Andriani
2013.03.026
BAB 1
TINJAUAN TEORI
1.1
1.2
Peran usaha bunuh diri sebelumnya dalam penentuan resiko bunuh diri
adalah kompleks. Sebagian besar korban bunuh diri yang sebenarnya tidak
pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya, dan mereka berhasil
melakukan bunuh diri pada saat pertama kali. Walaupun setiap orang yang
pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya menunjukkan kapasitas
perilaku yang merusak diri sendiri, hanya 10 persen orang yang berusaha
bunuh diri berhasil melakukannya dalam 10 tahun.
Sejumlah bermakna orang yang agresif terhadap diri sendiri memotong
atau memakar dirinya sendiri dalam cara yang jelas tidak mematikan tanpa
maksud membunuh dirinya sendiri. Ditemukan berbagai motivasi, termasuk
manipulasi dan penyerangan yang tidak disadari terhadap orang lain. Secara
diagnostik, pasien mungkin memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian
antisosial atau ambang, perilaku mungkin disertai dengan ide yang kacau dan
perilaku lainnya dalam skizofrenia.
Hal yang cukup mengganggu dan menantang secara medikolegal
adalah parasuicides, yang dilakukan secara berulang dan sampai suatu
tingkat, dapat diperkirakan terikat dalam perilaku yang menyerempet kematian
walaupun menyangkal ide bunuh diri. Varian yang paling sering adalah pasien
yang mengalami overdosis obat yang berulang dan tanpa disengaja. Pasien
tersebut tampaknya mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik
yang berat. Mereka seringkali perlu dipulangkan dari rumah sakit segera
setelah mereka pulih dari intoksikasi akut, seringkali lebih dini, dan sulit untuk
mengobati mereka sepenuhnya. Tetapi, adalah bijaksana untuk menahan orang
tersebut secara involunter jika frekuensi perilaku parasuicidal-nya
meningkat.
1.3
1)
Klinisi harus menilai resiko bunuh diri pada pasien individual berdasarkan
pemeriksaan klinis. Hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan resiko
bunuh diri dituliskan dalam tabel 14-1. Bunuh diri juga dikelompokkan ke
dalam faktor yang berhubungan dengan resiko tinggi dan resiko rendah (Tabel
14-2).
2)
Jika memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri jangan meninggalkan mereka
sendirian; keluarkan semua benda yang kemungkinan berbahaya dari ruangan.
3)
Jika memeriksaa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri, nilailah
apakah usaha tersebut telah direncanakan atau dilakukan secara impulsif dan
tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien untuk ditemukan (sebagai contoh
apakah pasien sendirian, dan apakah pasien memberitahukan orang lain?) dan
reaksi pasien karena diselamatkan (apakah pasien kecewa atau merasa lega?)
dan apakah faktor faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri telah berubah.
4)
5)
Ide bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia
dalam beberapa hari. Tidak diperlukan pengobatan spesifik pada sebagian
besar kasus. Jika depresi menetap setelah tanda psikologis dari putus alkohol
menhilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya gangguan depresif berat.
Semua pasien yang berusaha bunuh diri yang terintoksikasi oleh alkohol atau
obat harus dinilai kembali jika mereka sadar.
6)
Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius, karena
mereka cenderung menggunakan kekerasan atau metode yang kacau dengan
letalitas yang tinggi.
7)
mungkin
membantu
dalam
menghilangkan
krisis
yang
Urutan ranking
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Tabel 14-2
Faktor
Usia (45 tahun dan lebih)
Ketergantungan alkohol
Kejengkelan, penyerangan, kekerasan
Perilaku bunuh diri sebelumnya
Laki-laki
Tidak mau menerima pertolongan
Episode depresi sekarang yang lebih lama dari biasanya
Terapi psikiatrik atau rawat inap sebelumnya
Kehilangan atau perpisahan yang belum lama terjadi
Depresi
Hilangnya kesehatan fisik
Pengangguran atau dipecat
Tidak menikah, janda atau duda
Variabel
Sifat demografis dan sosial
Resiko tinggi
Resiko rendah
Usia
Di bawah 45 tahun
Jenis kelamin
Laki-laki
Wanita
Status marital
Menikah
Pekerjaan
Pengangguran
Bekerja
Hubungan interpersonal
Konflik
Stabil
Stabil
Fisik
Penyakit kronis
Kesehatan baik
Hipokondriak
Merasa sehat
Depresi berat
Depresi ringan
Psikosis
Neurosis
Kepribadian ringan
Penyalahgunaan zat
Peminum sosial
Putus asa
Optimisme
Mental
Usaha pertama
Direncanakan
Impulsif
mematikan
(kemarahan)
tersedia
Sarana
Pribadi
Pencapaian buruk
Pencapaian buruk
Tilikan buruk
Penuh tilikan
1.5
dengan semestinya
Rapport buruk
Rapport baik
Terisolasi sosial
Terapi Obat
Seorang pasien yang berada dalam krisis karena kematian atau
peristiwa lainnya dengan lama waktu yang terbatas dapat berfungsi dengan
lebih baik setelah mendapatkan sedasi ringan sesuai keperluan, khususnya jika
tidur telah terganggu. Benzodiazepine adalah obat yang terpilih, dan regimen
yang tipikal adalah lorazepam 1 mg satu sampai tiga kali sehari selama dua
minggu. Iritabilitas pasien dapat meningkat dengan pemakaian benzodiazepine
secara teratur, dan iritabilitas adalah faktor resiko untuk bunuh diri, sehingga
benzodiazepine harus digunakan dengan berhati-hati pada pasien yang
menunjukkan sikap bermusuhan. Hanya sejumlah kecil medikasi yang harus
diberikan, dan pasien harus diikuti dalam beberapa hari.
Antidepresan adalah pengobatan deinitif untuk banyak pasien yang
datang dengan ide bunuh diri, tetapi adalah tidak umum untuk memulai
antidepresan di ruang gawat darurat. Tetapi, jika diresepkan, perjanjian follow
up yang pasti harus dilakukan, lebih baik pada hari selanjutnya.
BAB 2
KASUS NYATA
2.1
Kasus pertama
2.2
Kasus kedua
Merdeka.com - Diduga mengalami depresi berat, Supriadi (40), warga Jalan Randu
Barat I/33, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, nekat menggorok leher
istrinya sendiri, yaitu Sulistyowati (43) dengan pisau dapur, Senin malam (16/3).
Informasi di lokasi kejadian (TKP), kali pertama, kejadian itu diketahui oleh anak
kandung korban, yaitu Linda. Saat itu, sekitar pukul 19.30 WIB, gadis 20 tahun ini
baru pulang kerja.
Saat Linda masuk rumah, lampu rumah mati dan lantainya banyak ceceran darah.
Karena curiga, Linda melihat kamar orang tuanya dan mendapati keduanya terlentang
di atas ranjang dengan leher terluka.
Selanjutnya, dalam kondisi syok dan panik, Linda berlari keluar dan meminta bantuan
warga sekitar dan ketua RT setempat. Mengetahui kejadian itu, warga langsung
melapor ke Polsek Kenjeran.
Petugas Polsek Kenjeran dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak langsung menggelar
olah TKP. Selanjutnya mengevakuasi jenazah Sulistyowati, yang saat itu mengenakan
baju tidur warna putih, ke Kamar Jenazah RSUD dr Soetomo untuk keperluan visum.
"Saat ditemukan oleh anaknya (Linda) di dalam kamar, kedua korban sudah dalam
kondisi terluka di bagian leher," terang Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
kata AKBP Arnapi di lokasi kejadian.
"Kita masih lakukan penyelidikan. Yang jelas, saat ditemukan, keduanya sudah
bersimbah darah, keduanya terluka di leher. Untuk pisaunya ditemukan di atas dada
tubuh korban perempuan," sambung Arnapi.
"Saat menikah dengan Supriadi, Sulistyowati itu janda anak satu," kata Hafid di lokasi
kejadian.
Hafid juga mengungkap, sebelum menikahi janda satu anak tersebut, sekitar enam
atau tujuh tahun lalu, Supriadi pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kemudian
dinyatakan sembuh oleh dokter dan menikah dengan Sulistyowati.
"Tapi kalau kondisinya tertekan, penyakitnya bisa kambuh. Dulu dia kan pernah jadi
sopir trailer. Sekarang nganggur. Karena tak punya penghasilan itulah, dia sering
stres, dan uring-uringan," ungkapnya.
Sebelum kejadian, masih kata dia, informasi dari beberapa warga sekitar, Supriadi dan
Sulistyowati terdengar bertengkar pada siang harinya, kemudian ditemukan dalam
kondisi leher tergorok.
Pada kedua kasus diatas, kedua pasien dengan inisial LSA dan S melakukan
percobaan bunuh diri dengan meminum racun tikus dan menggorok leher. Kedua
pasien di atas menunjukkan adanya depresi baik yang ringan maupun yang berat.
Depresi dapat digambarkan berupa keputusasaan, termenung, marah-marah, uringuringan. Pada kasus pertama, depresi disebutkan oleh korban sendiri melalui
pernyataan Saya sudah hancur pak, saya janda, sekarang saya malah ditinggal pergi
pacar saya, lebih baik mati saja. Sedangkan, pada kasus kedua, didapati korban
sering uring-uringan dengan istri karena masalah ekonomi (tidak punya penghasilan).
Depresi dan stress dapat menjadi pencetus ide atau perilaku usaha bunuh diri.
Dimana, bunuh diri dapat diartikan sebagai kematian yang disebabkan diri sendiri dan
disengaja. Usaha bunuh diri merupakan keadaan gawat darurat yang sering
ditemukan. Masalah-masalah yang sering mencetuskan ide atau usaha bunuh diri,
antara lain berupa krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat, perasaan putus
asa dan tidak berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak tertahan,
sempitnya pilihan yang dimiliki pasien dan harapan yang dimiliki pasien.
Pada kasus pertama, usaha bunuh diri di lakukan dengan cara minum 20 butir
obat sakit kepala yang dicampur dengan tiga botol minuman bersoda, dirasa tidak
manjur, pasien meminum racun tikus. Pada kasus kedua, usaha bunuh diri dilakukan
dengan cara menggorok leher sendiri. Pada kedua kasus diatas didapati perilaku usaha
mencapai kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja, namun dengan cara
yang berbeda.
Pada kasus pertama, pasien berinisial LSA melakukan usaha bunuh diri
dikarenakan pasien mengalami depresi. Pasien yang masih sangat muda yaitu berusia
17 tahun, yang harusnya masa remaja untuk mencari jati diri, harus menikah. Hal ini
akan dapat menimbulkan stres pada anak masa remaja, karena ia masih labil. Belum
lagi pasien ditinggalkan oleh suaminya sehingga mungkin merasa kesepian dalam
hidupnya, pasien pun harus menyandang status janda pada usia 17 tahun. Kemudian
setelah berkenalan dengan orang lain yang menjadi pacarnya, hubungannya tidak
disetujui oleh orang tua pacarnya karena status perkawinan pasien yang sudah janda.
Masalah ini membuat pasien merasa putus asa. Wanita dan usia dibawah 45 tahun
merupakan faktor resiko rendah untuk melakukan usaha bunuh diri, namun status
perkawinan yang sudah janda ditambah dengan adanya konflik interpersonal antara
pasien dengan orang tua kekasih pasien dapat menjadi faktor resiko tinggi yang
menyebabkan pasien melakukan usaha bunuh diri. Bila dilakukan pemeriksaan,
pasien LSA nampak telah merencakan percobaan bunuh diri, dikatakan bahwa pasien
mengaku kesal lantaran tidak mati setelah minum obat dan racun tikus.
Pada kasus kedua, pasien berinisial S. Melakukan usaha bunuh diri setelah
membunuh istrinya dikarenakan pasien mengalami depresi berat. Di duga, depresi
pasien disebabkan karena pasien kehilangan pekerjaan (pengangguran). Pasien
mungkin merasa tidak berguna sebagai seorang kepala keluarga, karena tidak
mempunyai penghasilan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Belum lagi,
istri pasien yang mungkin sering mengeluh soal ekonomi keluarga, sehingga pasien
merasa tersinggung dan mudah marah, sering uring-uringan dan bertengkar dengan
istri. Dikatakan bahwa pasien pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa 7 tahun
yang lalu, diduga pasien yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa,
mempunyai riwayat kesehatan mental yang kurang baik. Dimana apabila ia
dihadapkan pada masalah, akan lebih mudah depresi. Pasien S berusia 40 tahun,
dimana laki-laki, pengangguran, hubungan interpersonal sering mengalami konflik,
riwayat kesehatan mental ada depresi berat merupakan faktor resiko tinggi untuk
melakukan usaha bunuh diri.
Penanganan psikoterapi yang tepat dan sesuai untuk percobaan bunuh diri
pada kasus di atas adalah :
1)
2)
Menanyakan pada pasien, apakah pernah merasa menyerah atau merasa lebih
baik meninggal? Apakah pernah putus asa terhadap masa depan?
3)
rawat jalan bila keluarga dapat mengawasi pasien secara ketat. Bila tidak,
perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan.