You are on page 1of 14

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI
BUNUH DIRI

Disusun oleh :
Virnadia Ekasari Andriani
2013.03.026

AKADEMI KEPERAWATAN WILLIAM BOOTH


SURABAYA
2015

BAB 1
TINJAUAN TEORI
1.1

Pengertian Bunuh diri


Bunuh diri adalah kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja. Ide
bunuh diri dan usaha bunuh diri adalah keadaan gawat darurat yang paling
sering ditemukan. Masalah yang sering pada bunuh diri adalah krisis yang
menyebabkan penderitaan yang berat dan perasaan putus asa dan tidak
berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak dapat ditahan,
sempitnya pilihan yang dimiliki pasien, dan harapan untuk dapat
membebaskan diri. Ide bunuh diri terjadi pada orang yang rentan sebagai
respon dari berbagai stressor pada setiap usia dan dapat ditemukan untuk
jangka waktu yang lama tanpa menyebabkan suatu usaha bunuh .

1.2

Gambaran Klinis dan diagnosis


Mengenali pasien yang berusaha bunuh diri adalah penting tetapi merupakan
tugas sulit. Penelitian menemukan bahwa jenis kelamin laki-laki, ras kulit
putih, usia yang lanjut, dan isolasi sosial meningkatkan resiko bunuh diri yang
sepenuhnya. Pasien dengan riwayat usaha bunuh diri atau tindakan bunuh diri
adalah berada dalam resiko, seperti pasien dengan riwayat nyeri kronis,
pembedahan yang baru dilakukan, atau penyakit fisik yang kronis. Pasien yang
juga berada pada resiko adalah pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, hidup
sendirian, melakukan hubungan gelap dengan terpaksa, atau mengalami
perayaan terhadap suatu kehilangan.
Delapan puluh persen pasien yang melakukan bunuh diri menderita
gangguan mood dan 25 persen adalah mengalami ketergantungan alkohol.
Bunuh diri adalah penyebab kematian untuk 15 persen orang di dalam
kelompok tersebut. Resiko untuk seorang alkoholik adalah tinggi dalam enam
bulan pertama setelah mengalami kehilangan yang berat. Skizofrenia adalah
gangguan yang lebih jarang dan dengan demikian lebih sedikit terjadi bunuh
diri, tetapi 10 persen orang dengan skizofrenia meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang paling baik untuk mencegah bunuh diri adalah deteksi
dini dan pengobatan gangguan psikiatrik yang berperan.

Peran usaha bunuh diri sebelumnya dalam penentuan resiko bunuh diri
adalah kompleks. Sebagian besar korban bunuh diri yang sebenarnya tidak
pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya, dan mereka berhasil
melakukan bunuh diri pada saat pertama kali. Walaupun setiap orang yang
pernah melakukan usaha bunuh diri sebelumnya menunjukkan kapasitas
perilaku yang merusak diri sendiri, hanya 10 persen orang yang berusaha
bunuh diri berhasil melakukannya dalam 10 tahun.
Sejumlah bermakna orang yang agresif terhadap diri sendiri memotong
atau memakar dirinya sendiri dalam cara yang jelas tidak mematikan tanpa
maksud membunuh dirinya sendiri. Ditemukan berbagai motivasi, termasuk
manipulasi dan penyerangan yang tidak disadari terhadap orang lain. Secara
diagnostik, pasien mungkin memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian
antisosial atau ambang, perilaku mungkin disertai dengan ide yang kacau dan
perilaku lainnya dalam skizofrenia.
Hal yang cukup mengganggu dan menantang secara medikolegal
adalah parasuicides, yang dilakukan secara berulang dan sampai suatu
tingkat, dapat diperkirakan terikat dalam perilaku yang menyerempet kematian
walaupun menyangkal ide bunuh diri. Varian yang paling sering adalah pasien
yang mengalami overdosis obat yang berulang dan tanpa disengaja. Pasien
tersebut tampaknya mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik
yang berat. Mereka seringkali perlu dipulangkan dari rumah sakit segera
setelah mereka pulih dari intoksikasi akut, seringkali lebih dini, dan sulit untuk
mengobati mereka sepenuhnya. Tetapi, adalah bijaksana untuk menahan orang
tersebut secara involunter jika frekuensi perilaku parasuicidal-nya
meningkat.
1.3

Pedoman wawancara dan psikoterapi


Adalah tidak benar untuk membicarakan bunuh diri dalam keadaan
klinis yang menyebabkannya. Pasien mungkin menggambarkan secara spontan
mengenai ide bunuh dirinya. Jika mereka tidak menggambarkannya, tanyakan
secara langsung.
Mulailah dengan bertanya apakah pasien pernah merasa menyerah atau
merasa mereka lebih baik meninggal. Pendekatan tersebut menyebabkan
stigma yang kecil dan dapat dilakukan oleh sebagian besar orang.

Selanjutnya berbicaralah mengenai apa yang sebenarnya sedang


dipikirkan pasien dan catatlah pikiran tersebut. Jika masalah telah mulai
dibicarakan, gunakan kata-kata seperti membunuh dan meninggal, dan
bukan melukai, karena beberapa pasien mengalami kebingungan mengenai
inti pertanyaan dan sebagian besar tidak mengharapkan untuk melukai dirinya
sendiri, bahkan walaupun mereka ingin untuk membunuh dirinya sendiri.
Tanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini : seberapa sering
pikiran bunuh diri anda rasakan? Apakah keasyikan anda dengan ide bunuh
diri meningkat? Apakah anda semata-mata mempunyai pikiran morbid, atau
pernahkah anda berpikir secara tepat bagaimana anda akan membunuh diri
sendiri? Apakah anda berpikir secara sepintas atau secara serius mengenai
usaha untuk bunh diri? Apakah anda telah mempertimbangkan suatu cara
tertentu?
Pertimbangkanlah usia dan kecanggihan pasien dan apakah maksud
pernyataan pasien sesuai dengan caranya. Seorang wanita dengan intelegensi
yang normal ingin mati dan akan meminum enam sampai delapan tablet
aspirin adalah kurang menimbulkan masalah dibandingkan dengan anak kecil
yang mengeluarkan pernyataan yang sama.
Apakah cara yang dipilih untuk bunuh diri tersedia pada pasien?
Apakah mereka telah mengambil langkah yang aktif, seperti mengumpulkan
pil dan menyudahi hubungan gelapnya? Seberapa pesimistiknya pasien?
Dapatkah mereka membayangkan salah satu cara dimana hal-hal akan menjadi
baik?
Pertanyaan yang terakhir menentukan penilaian dan pengobatan,
karena pasien dapat menunjukkan cara untuk keluar dari dilemmanya. Jika
mereka tidak, apakah mereka merasa putus asa akan masa depan? Jika
demikian apakah rasa takut mereka adalah bersifat waham (delusional) atau
nyata?
Dapatkan riwayat dari orang lain yang penting jika pasien tidak dapat
bekerja sama.
1.4

Pemeriksaan dan Penatalaksanaan

1)

Klinisi harus menilai resiko bunuh diri pada pasien individual berdasarkan
pemeriksaan klinis. Hal yang paling prediktif yang berhubungan dengan resiko

bunuh diri dituliskan dalam tabel 14-1. Bunuh diri juga dikelompokkan ke
dalam faktor yang berhubungan dengan resiko tinggi dan resiko rendah (Tabel
14-2).
2)

Jika memeriksa pasien yang berusaha bunuh diri jangan meninggalkan mereka
sendirian; keluarkan semua benda yang kemungkinan berbahaya dari ruangan.

3)

Jika memeriksaa pasien yang baru saja melakukan usaha bunuh diri, nilailah
apakah usaha tersebut telah direncanakan atau dilakukan secara impulsif dan
tentukan letalitasnya, kemungkinan pasien untuk ditemukan (sebagai contoh
apakah pasien sendirian, dan apakah pasien memberitahukan orang lain?) dan
reaksi pasien karena diselamatkan (apakah pasien kecewa atau merasa lega?)
dan apakah faktor faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri telah berubah.

4)

Penatalaksanaan adalah sangat tergantung pada diagnosis. Pasien dengan


gangguan depresif berat mungkin diobati sebagai pasien rawat jalan jika
keluarganya dapat mengawasi mereka secara ketat dan jika pengobatan dapat
dimulai secara cepat. Selain hal tersebut, perawatan di rumah sakit mungkin
diperlukan.

5)

Ide bunuh diri pada pasien alkoholik biasanya menghilang dengan abstinensia
dalam beberapa hari. Tidak diperlukan pengobatan spesifik pada sebagian
besar kasus. Jika depresi menetap setelah tanda psikologis dari putus alkohol
menhilang, diperlukan kecurigaan yang tinggi adanya gangguan depresif berat.
Semua pasien yang berusaha bunuh diri yang terintoksikasi oleh alkohol atau
obat harus dinilai kembali jika mereka sadar.

6)

Ide bunuh diri pada pasien skizofrenia harus ditanggapi secara serius, karena
mereka cenderung menggunakan kekerasan atau metode yang kacau dengan
letalitas yang tinggi.

7)

Pasien dengan gangguan kepribadian mendapatkan manfaat dari konfrontasi


empatik dan bantuan dengan mendapatkan pendekatan yang rasional dan
bertanggung jawab terhadap masalah yang mencetuskan krisis dan bagaimana
mereka biasanya berperan. Keterlibatan keluarga atau teman dan manipulasi
lingkungan

mungkin

membantu

dalam

menghilangkan

krisis

yang

menyebabkan usaha bunuh diri.


8)

Hospitalisasi jangka panjang adalah diindikasikan pada keadaan yang


menyebabkan mutilasi diri, tetapi hospitalisasi singkat biasanya tidak
mempengaruhi perilaku habitual tersebut. Parasuicide juga mendapatkan

manfaat dari rehabilitasi jangka panjang dan periode singkat stabilisasi


mungkin diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi tidak ada pengobatan jangka
pendek yang dapat diharapkan mengubah perjalanannya secara bermakna.
Tabel 14-1

Faktor-faktor yang berhubungan dengan resiko bunuh diri.

Urutan ranking
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Tabel 14-2

Faktor
Usia (45 tahun dan lebih)
Ketergantungan alkohol
Kejengkelan, penyerangan, kekerasan
Perilaku bunuh diri sebelumnya
Laki-laki
Tidak mau menerima pertolongan
Episode depresi sekarang yang lebih lama dari biasanya
Terapi psikiatrik atau rawat inap sebelumnya
Kehilangan atau perpisahan yang belum lama terjadi
Depresi
Hilangnya kesehatan fisik
Pengangguran atau dipecat
Tidak menikah, janda atau duda

Penilaian resiko bunuh diri

Variabel
Sifat demografis dan sosial

Resiko tinggi

Resiko rendah

Usia

Lebih dari 45 tahun

Di bawah 45 tahun

Jenis kelamin

Laki-laki

Wanita

Status marital

Cerai atau janda

Menikah

Pekerjaan

Pengangguran

Bekerja

Hubungan interpersonal

Konflik

Stabil

Latar belakang keluarga


Kesehatan

Kacau atau konflik

Stabil

Fisik

Penyakit kronis

Kesehatan baik

Hipokondriak

Merasa sehat

Pemakaian zat yang berlebihan

Penggunaan zat rendah

Depresi berat

Depresi ringan

Psikosis

Neurosis

Gangguan kepribadian berat

Kepribadian ringan

Penyalahgunaan zat

Peminum sosial

Putus asa

Optimisme

Mental

Aktivitas bunuh diri

Ide bunuh diri

Sering, kuat berkepanjangan

Jarang, rendah, sementara

Usaha berulang kali

Usaha pertama

Direncanakan

Impulsif

Penyelamatan tidak mungkin

Penyelamatan tak terhindarkan

Keinginan yang tidak ragu- Keinginan utama untuk berubah


ragu untuk mati
Komunikasi diinternalisasikan Komunikasi dieksternalisasikan
(menyalahkan diri sendiri)
Metode

mematikan

(kemarahan)

dan Metode dengan letalitas rendah

tersedia

dan tidak mudah didapat

Sarana
Pribadi

Pencapaian buruk

Pencapaian buruk

Tilikan buruk

Penuh tilikan

Afek tidak ada atau terkendali Afek tersedia dan terkendali


buruk
Sosial

1.5

dengan semestinya

Rapport buruk

Rapport baik

Terisolasi sosial

Terintegrasi secara sosial

Keluarga tidak responsif

Keluarga yang memerhatikan

Terapi Obat
Seorang pasien yang berada dalam krisis karena kematian atau
peristiwa lainnya dengan lama waktu yang terbatas dapat berfungsi dengan
lebih baik setelah mendapatkan sedasi ringan sesuai keperluan, khususnya jika
tidur telah terganggu. Benzodiazepine adalah obat yang terpilih, dan regimen
yang tipikal adalah lorazepam 1 mg satu sampai tiga kali sehari selama dua
minggu. Iritabilitas pasien dapat meningkat dengan pemakaian benzodiazepine
secara teratur, dan iritabilitas adalah faktor resiko untuk bunuh diri, sehingga
benzodiazepine harus digunakan dengan berhati-hati pada pasien yang
menunjukkan sikap bermusuhan. Hanya sejumlah kecil medikasi yang harus
diberikan, dan pasien harus diikuti dalam beberapa hari.
Antidepresan adalah pengobatan deinitif untuk banyak pasien yang
datang dengan ide bunuh diri, tetapi adalah tidak umum untuk memulai
antidepresan di ruang gawat darurat. Tetapi, jika diresepkan, perjanjian follow
up yang pasti harus dilakukan, lebih baik pada hari selanjutnya.

BAB 2
KASUS NYATA
2.1

Kasus pertama

Diputus pacar, janda berusia 17 tahun tenggak


racun tikus

Reporter : Gede Nadi Jaya | Senin, 16 Februari 2015 00:01


Merdeka.com - Gara-gara diputus pacar, janda kembang Luh Siki Antari ( 17) asal
Singaraja, nekat tenggak racun tikus plus 20 butir obat sakit kepala. Untungnya, ulah
Antari diketahui teman-temannya dan dibawa ke rumah sakit.
Dari pengakuan Antari saat siuman, dirinya mengaku kesal lantaran tidak mati setelah
minum 20 butir obat sakit kepala dicampur tiga botol minuman bersoda. Merasa tidak
ada reaksinya, dia membeli racun tikus dan menenggaknya hingga akhirnya semaput.
"Saya sudah hancur pak, saya janda sekarang saya malah ditinggal pergi pacar saya.
Lebih baik mati saja," aku Antari, didampingi rekan-rekannya di RSUD Bangli,
Minggu (15/2).
Kapolsek Kintamani Kompol Desa Mahaputra saat dikonfirmasi membenarkan kasus
percobaan bunuh diri itu. "Korban kini dirawat intensif di RSUD Bangli, kondisinya
mulai sedikit membaik," kata Mahaputra, Minggu (15/2).
Kata Mahaputra, korban memang berniat bunuh diri lantaran frustasi hubungannya
dengan kekasihnya tidak disetujui orangtua pacar. "Orangtua pacarnya tidak setuju
karena status korban yang sudah janda. Karena frustasi, korban nekat melakukan
percobaan bunuh diri," ungkapnya.

www.merdeka.com diunduh pada tanggal 30-03-2015 pukul 20:08

2.2

Kasus kedua

Diduga stres, suami gorok leher istri lalu coba


bunuh diri
Reporter : Moch. Andriansyah | Selasa, 17 Maret 2015 02:13

Merdeka.com - Diduga mengalami depresi berat, Supriadi (40), warga Jalan Randu
Barat I/33, Kecamatan Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur, nekat menggorok leher
istrinya sendiri, yaitu Sulistyowati (43) dengan pisau dapur, Senin malam (16/3).

Usai menghabisi nyawa istrinya, Supriadi lalu menggorok lehernya sendiri.


Beruntung, nyawanya berhasil diselamatkan oleh tetangganya dan dilarikan ke RSUD
dr Soetomo, Surabaya.

Informasi di lokasi kejadian (TKP), kali pertama, kejadian itu diketahui oleh anak
kandung korban, yaitu Linda. Saat itu, sekitar pukul 19.30 WIB, gadis 20 tahun ini
baru pulang kerja.

Saat Linda masuk rumah, lampu rumah mati dan lantainya banyak ceceran darah.
Karena curiga, Linda melihat kamar orang tuanya dan mendapati keduanya terlentang
di atas ranjang dengan leher terluka.

Selanjutnya, dalam kondisi syok dan panik, Linda berlari keluar dan meminta bantuan
warga sekitar dan ketua RT setempat. Mengetahui kejadian itu, warga langsung
melapor ke Polsek Kenjeran.

Petugas Polsek Kenjeran dan Polres Pelabuhan Tanjung Perak langsung menggelar
olah TKP. Selanjutnya mengevakuasi jenazah Sulistyowati, yang saat itu mengenakan
baju tidur warna putih, ke Kamar Jenazah RSUD dr Soetomo untuk keperluan visum.

"Saat ditemukan oleh anaknya (Linda) di dalam kamar, kedua korban sudah dalam
kondisi terluka di bagian leher," terang Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
kata AKBP Arnapi di lokasi kejadian.

Mengenai motif kejadiannya, Arnapi belum berani menyimpulkannya secara dini.


Sebab, sampai saat ini, pihaknya masih melakukan penyelidikan. Pada olah TKP yang
digelar pihak kepolisian, ditemukan sebilah pisau. Sedangkan untuk barang-barang
korban, dipastikan tidak ada yang hilang.

"Kita masih lakukan penyelidikan. Yang jelas, saat ditemukan, keduanya sudah
bersimbah darah, keduanya terluka di leher. Untuk pisaunya ditemukan di atas dada
tubuh korban perempuan," sambung Arnapi.

Sementara menurut keponakan Supriadi, Hafid Zainuddin, warga Jalan Bulak


Banteng Baru, yang datang ke lokasi kejadian mengatakan, Supriadi dan Sulistyowati
menikah sejak tiga tahun lalu.

"Saat menikah dengan Supriadi, Sulistyowati itu janda anak satu," kata Hafid di lokasi
kejadian.
Hafid juga mengungkap, sebelum menikahi janda satu anak tersebut, sekitar enam
atau tujuh tahun lalu, Supriadi pernah dirawat di rumah sakit jiwa. Kemudian
dinyatakan sembuh oleh dokter dan menikah dengan Sulistyowati.

"Tapi kalau kondisinya tertekan, penyakitnya bisa kambuh. Dulu dia kan pernah jadi
sopir trailer. Sekarang nganggur. Karena tak punya penghasilan itulah, dia sering
stres, dan uring-uringan," ungkapnya.

Sebelum kejadian, masih kata dia, informasi dari beberapa warga sekitar, Supriadi dan
Sulistyowati terdengar bertengkar pada siang harinya, kemudian ditemukan dalam
kondisi leher tergorok.

"Katanya, penyebabnya masalah ekonomi. Kemudian malam harinya keduanya


ditemukan oleh anak dari istri paman saya itu. Paman dan isterinya itu ditemukan
terlentang di atas tempat tidur dengan leher terluka," pungkas Hafid

www.merdeka.com diunduh pada 30-03-2015 pukul 20:12


BAB 3
ANALISA KASUS

Pada kedua kasus diatas, kedua pasien dengan inisial LSA dan S melakukan
percobaan bunuh diri dengan meminum racun tikus dan menggorok leher. Kedua
pasien di atas menunjukkan adanya depresi baik yang ringan maupun yang berat.
Depresi dapat digambarkan berupa keputusasaan, termenung, marah-marah, uringuringan. Pada kasus pertama, depresi disebutkan oleh korban sendiri melalui
pernyataan Saya sudah hancur pak, saya janda, sekarang saya malah ditinggal pergi
pacar saya, lebih baik mati saja. Sedangkan, pada kasus kedua, didapati korban
sering uring-uringan dengan istri karena masalah ekonomi (tidak punya penghasilan).
Depresi dan stress dapat menjadi pencetus ide atau perilaku usaha bunuh diri.
Dimana, bunuh diri dapat diartikan sebagai kematian yang disebabkan diri sendiri dan
disengaja. Usaha bunuh diri merupakan keadaan gawat darurat yang sering
ditemukan. Masalah-masalah yang sering mencetuskan ide atau usaha bunuh diri,
antara lain berupa krisis yang menyebabkan penderitaan yang berat, perasaan putus
asa dan tidak berdaya, konflik antara bertahan hidup dan stress yang tidak tertahan,
sempitnya pilihan yang dimiliki pasien dan harapan yang dimiliki pasien.
Pada kasus pertama, usaha bunuh diri di lakukan dengan cara minum 20 butir
obat sakit kepala yang dicampur dengan tiga botol minuman bersoda, dirasa tidak
manjur, pasien meminum racun tikus. Pada kasus kedua, usaha bunuh diri dilakukan
dengan cara menggorok leher sendiri. Pada kedua kasus diatas didapati perilaku usaha
mencapai kematian yang disebabkan diri sendiri dan disengaja, namun dengan cara
yang berbeda.
Pada kasus pertama, pasien berinisial LSA melakukan usaha bunuh diri
dikarenakan pasien mengalami depresi. Pasien yang masih sangat muda yaitu berusia
17 tahun, yang harusnya masa remaja untuk mencari jati diri, harus menikah. Hal ini
akan dapat menimbulkan stres pada anak masa remaja, karena ia masih labil. Belum
lagi pasien ditinggalkan oleh suaminya sehingga mungkin merasa kesepian dalam
hidupnya, pasien pun harus menyandang status janda pada usia 17 tahun. Kemudian
setelah berkenalan dengan orang lain yang menjadi pacarnya, hubungannya tidak
disetujui oleh orang tua pacarnya karena status perkawinan pasien yang sudah janda.
Masalah ini membuat pasien merasa putus asa. Wanita dan usia dibawah 45 tahun
merupakan faktor resiko rendah untuk melakukan usaha bunuh diri, namun status
perkawinan yang sudah janda ditambah dengan adanya konflik interpersonal antara
pasien dengan orang tua kekasih pasien dapat menjadi faktor resiko tinggi yang
menyebabkan pasien melakukan usaha bunuh diri. Bila dilakukan pemeriksaan,

pasien LSA nampak telah merencakan percobaan bunuh diri, dikatakan bahwa pasien
mengaku kesal lantaran tidak mati setelah minum obat dan racun tikus.
Pada kasus kedua, pasien berinisial S. Melakukan usaha bunuh diri setelah
membunuh istrinya dikarenakan pasien mengalami depresi berat. Di duga, depresi
pasien disebabkan karena pasien kehilangan pekerjaan (pengangguran). Pasien
mungkin merasa tidak berguna sebagai seorang kepala keluarga, karena tidak
mempunyai penghasilan dan tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga. Belum lagi,
istri pasien yang mungkin sering mengeluh soal ekonomi keluarga, sehingga pasien
merasa tersinggung dan mudah marah, sering uring-uringan dan bertengkar dengan
istri. Dikatakan bahwa pasien pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa 7 tahun
yang lalu, diduga pasien yang pernah menjalani perawatan di rumah sakit jiwa,
mempunyai riwayat kesehatan mental yang kurang baik. Dimana apabila ia
dihadapkan pada masalah, akan lebih mudah depresi. Pasien S berusia 40 tahun,
dimana laki-laki, pengangguran, hubungan interpersonal sering mengalami konflik,
riwayat kesehatan mental ada depresi berat merupakan faktor resiko tinggi untuk
melakukan usaha bunuh diri.
Penanganan psikoterapi yang tepat dan sesuai untuk percobaan bunuh diri
pada kasus di atas adalah :
1)

Menenangkan pasien terlebih dahulu, bisa dengan dibantu oleh keluarga

2)

Menganalisa dan melakukan pemeriksaan lewat wawancara kepada pasien


dengan tenang bila memungkinkan. Mendengarkan secara empatik dapat
membuat pasien percaya dan mau mengungkapkan permasalahannya.
Wawancara dapat dilakukan dengan :
-

Menanyakan pada pasien, apakah pernah merasa menyerah atau merasa lebih
baik meninggal? Apakah pernah putus asa terhadap masa depan?

Menanyakan pada pasien : seberapa sering pikiran bunuh diri dirasakan ?


Apakah pasien berpikir secara sepintas atau secara serius mengenai usaha
bunuh diri? Apakah pasien telah mempertimbangkan suatu cara bunuh diri
tertentu?

Pertimbangkan usia dan intrelegensi serta maksud pernyataan pasien sesuai


dengan caranya.

3)

Mengambil tindakan penatalaksanaan sesuai dengan diagnosa pasien.


Pada pasien dengan gangguan depresi berat mungkin diobati sebagai pasien

rawat jalan bila keluarga dapat mengawasi pasien secara ketat. Bila tidak,
perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan.

You might also like