You are on page 1of 9

PENDAHULUAN

A. DEFINISI ANTIEMETIK
Antiemetik

adalah

obat-obatan

yang

digunakan

dalam

penatalaksanaan mual dan muntah. Obat-obatan tersebut bekerja dengan


cara mengurangi hiperaktifitas refleks muntah menggunakan satu dari dua
cara: secara lokal, untuk mengurangi respons lokal terhadap stimulus yang
dikirim ke medula guna memicu terjadinya muntah, atau secara sentral,
untuk menghambat CTZ secara langsung atau menekan pusat muntah.
Antiemetik yang bekerja secara lokal dapat berupa anastid, anestesi lokal,
adsorben, obat pelindung yang melapisi mukosa GI, atau obat yang
mencegah distensi dan menstimulasi peregangan saluran GI. Agen ini
sering kali digunakan untuk mengatasi mual yang ringan (Price,2005).
Antiemetik yang bekerja secara sentral terbagi atas beberapa
kelompok: fenootiazin, nonfenotiazin, penyekat reseptor serotonin (5HT3), antikolinergik/antihistamin, dan kelompok yang bermacam-macam.
Dua jenis fenotiazin yang umum digunakan adalah proklorperazin
(compazine) dan prometazin (phenergan) keduanya memiliki awitan yang
cepat dan efek merugikan yang terbatas.
Agen lainnya adalah dronabinol (marinol), yang mengandung
bahan aktif kanabis (mariyuana), hidroksizin (generik) yang dapat
menekan area kortikol pada SSP dan trimetobenzamid (tigan), ini serupa
dengan antihistamin dan tidak menimbulkan sedasi. Trimetobenzamid
sering kali merupakan obat pilihan dalam kelompok ini karena tidak
dikaitkan dengann sedaSi yang berlebihan dan Depresi SSP. Obat ini
tersedia dalam bentuk oral,parenteral,dan surositoria. Obat ini diabrsorpsi
dengan cepat, Dimetabolisme dalam hati dan diekskresi melalui urine.
Obat ini menembus plasenta dan menembus ASI, dan digunakan jika
manfaatnya lebih besar pada ibu dari pada resiko potensial pada janin atau
neonatus.
Hidroksizin digunakan untuk mual dan muntah sebelum dan
sesudah pelahiran atau pembedahan obsterik. Obat ini diabsorpsi dengan
cepat, dimetabolisme dalam hati dan diekskresi melalui urine. Obat ini

tidak dikaitkan dengan masalah pada janin selama kehamilan dan


diperkirakan tidak masuk ke ASI. Sama halnya dengan semua jenis obat,
kewaspadaan perlu digunakan selama kehamilan dan laktasi (Karch,
2008).
Dronabinol disetujui untuk penatalaksanaan mual dan muntah yang
berkaitan dengan kemoterapi kanker jika pasien tidak berespons terhadap
pengobatan lain. Mekanisme kerja obat ini masih belum diketahui dengan
cepat. Obat ini merupakan zat yang dikendalikan kategori C-III, dan harus
digunakan di bawah pengawasan ketat karena adanya kemungkinan
perubahan status mental. Obat ini diabsobsi dengan mudah dan
dimetabolisme dalam hati dengan ekskresi melalui empedu dan urine
(Karch, 2008).

1. Antagonis Dopamin (D2) (katzung,2013)


Penggunaan preparat antagonis D2
Obat-obat ini diresepkan untuk mengatasi emesis pada pelbagai situasi:
a. Untuk mengimbangi efek emetogenik yang dimiliki oleh opioid dan
ergotamine.
b. Untuk mengimbangi gejala emesis yang ditimbulkan oleh kehamilan itu
sendiri
c. Sebelum anastesi
d. Emesis pascabedah
e. Penyakit meniere, penyakit radiasi, terapi sitotoksik
Preparat antagonis D2 tidak efektif untuk pengobatan mabuk perjalanan.
Karena itu, preparat ini hanya memberikan sedikit perlindungan bagi ibu
hamil yang telah menggunakan opioid tetapi masih mobilisasi.
Kerja antagonis D2
Obat-obat yang menyekat kerja dopamine (antagonis D2) akan
meredakan gejala muntah melalui kerjanya dalam dinding usus, pusat muntah
dan zona pemicu kemoreseptor. Dengan menghambat kerja dopamine
golongan ini memiliki potensi untuk:
a. Mengurangi emesis dan meningkatkan selera makan
b. Mengubah motilitas gastrointestinal
c. Mendepresi sistem saraf pusat

d. Mengganggu postur dan gerakan tubuh


e. Mengganggu sistem kardiovaskular
f. Memicu syndrome SIADH (Syndrome

Of

Inappropriate

AntiDiuretik Hormone)
g. Meningkatkan produksi prolaksin
h. Mensupresi gejala skizofrenia dan kelainan skizoafektif
Contoh obat:
1. Fenotiazin Proklorperazin
Proklorperazin bekerja dalam waktu 10-20 menit setelah disuntikkan
intramuscular, dan kerja antiemetiknya ini berlangsung sselama 12 jam
(Joshua & King, 1997). Fenotiazin akan melintasi plasenta dan dapat
menimbulkan kelainan gerakan pada neonatus. Obat-obat ini dieliminsi
melalui metabolism dalam hati dan ekskresi oleh ginjal. Fenotiazin memasuki
ASI dalam jumlah yang kecil, dan mengakibatkan gejala mengantuk pada
bayi. Pemberian fenotiazin dalam waktu yang lama pada penelitian binatang
yang hamil atau menyusui dapat mempengaruhi sistem saraf janinnya.
Obat-obat golongan fenotiazin dieliminasi melalui cara yang kompleks
dengan variasi individual yang cukup besar. Sebagai contoh , waktu-paruh
fenotiazin bervariasi dari 2 hingga 30 jam.
1. Interaksi Obat
Berbagai macam obat dapat mengadakan

interaksi.

Beberapa

pemakaian kombinasi obat memerlukan modifikasi takarannya.


a. Hambatan gerak
Bila dua macam obat golongan antagonis D2 atau lebih diberikan
secara bersama-sama, resiko timbulnya kelainan gerak akan meningkat.
Karena itu, ibu hamil yang mendapatkan obat-obat golongan antipsikotik,
litium, metildopa atau beberapa obat antihistamin non sedasi (astemizol,
terfenadin) dapat mengalami efek samping

SSP yang serius jika

memperoleh pula metoklopramid atau proklorperazin. Seorang ibu hamil


yang berusia muda mengalami reaksi distonia akut dan obstruksi
pernafasan ketika mendapatkan metoklopramid setelah pemberian
proklorperazin (stockley, 1999).
b. Peningkatan Sedasi
Bila dua buah preparat sedative diberikan secara bersamaan,
efeknya akan menjadi lebih kuat. Preparat antagonis D 2 akan
meningkatkan depresi SSP pada semua pemberian preparat sedative yang

meliputi alcohol, apioid, barbiturate, antihistamin, benzodeazepin dan


obat-obat anastesi. Kombinasi meperidin (petidin) dengan fenotiazin
(termasuk proklorperazin) meningkatkan resiko terjadinya depresi
pernafasan, sedasi, intoksikasi SSP dan hipotensi (Stockley, 1999).
c. Kehilangan Efek
Efek peredaan stasis lambung oleh preparat antagonis D 2 akan
d.

dilawan oleh opioid.


Penurunan Ambang Kejang
Efek protektif yang dimiliki oleh obat-obat antikonfulsan dapat
berkurang.

2. Antagonis reseptor H1(katzung,2013)


Difenhidramin : Benadryl
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga
bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit
parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan
untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 50 mg, i.v. 10-50 mg

Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin, Antimo


Pertama kali digunakan pada mabuk laut (motion sickness) dan muntahmuntah sewaktu hamil.

Dosis : oral 4 kali sehari 50 100 mg, i.m. 50 mg.

Metildifenhidramin : Neo-Benodin

Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi


sedikit lebih kuat.
Dosis : oral 3 kali sehari 20 40 mg.
a.

Indikasi
Antihistamin

generasi

pertama

di-approve

untuk

mengatasi

hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau


tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa
digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan
prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin
digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness.
Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum,

analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik.


Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau
obstetric sedation.
b. Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus
atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui,
narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik,
bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas
(termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor
(MAOI), dan pasien tua. (http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/)
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin
khusus atau terkait secara struktural.
c.

Efek Samping

Terjadi pada 15 -25% pasien yang di beri antihistamin, dengan derajat intensitas
yang berada secara individual. (Imam Budi: 2008)
Depresi atau stimulasi susunan saraf pusat
Depresi susunan saraf pusat berupa sedasi bahkan sampai spoor sering
menggangu aktivitas sehari-hari, teqadi pada pemakaian golongan amino alkil
ether dan phenothiazine, tolerans terhadap efek sedasi dapat terjadi setelah
beberapa hari pemberian.
Efek terhadap susunan syaraf pusat yang lain dizinus, tinnitus, gangguan
koordinasi, konsentrasi berkurang dan gangguan penglihatan/ diplopia.
Stimulasi susunan saraf pusat berupa nervous, irritable, insomnia dan tremor dapat
terjadi pada pemakaian golongan alkylamine.
efek anti kolinergik berupa : retensi urine, disuri, impotensia dan mulut/ mukosa
kering dapat terjadi pada pemakaian golongan amino ethyl ether, phenothrazine
dan piperazine.
Hipotensi dapat terjadi pada pemberian anti histamine intravena yang terlalu
cepat.
Dermatitis, erupsi obat menetap, fotosensitisasi, urtikaria dan patechiae di kulit
terutama setelah pemakaian secara topical.

Keracunan akut terutama pada anak anak seperti keracunan atropine berupa
halusinasi, ataksia, gangguan koordinasi, konvulsi dan efek entikolinergik
(flusing, pupil lebar, febris).
d.

Kontra Indikasi Dan Interaksi Obat

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H-1 secara
topical golongan ethylene diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain
yang mempunyai struktur yang mirip( aminophiline).
Efek sedasi akan meningkat bila antihistsmine H1 diberikan bersama dengan obat
antidepresan obat anti alcohol.
Golongan phenothiazine dapat menghambat efek vasopressor dari epinephrine.
Efek anti kolinergik dari antihistamine akan menjadi lebih berat dan lebih lama di
berikan bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone,
isocarboxazid).
Golongan

piperazine

pada

binatang

percobaan

dapat

menimbulkan

efekteratogenik.
Penggunaan antihistamin
Pengobatan antiemetic yang menyertai pemakaian opioid, obat anastesi

atau keadaan mabuk perjalanan.


Peredaan pruritus atau urtikaria yang di sebabkan oleh opioid, misalnya

setelah terapi analgesia intraspinal.


Penanganan emerjensi anafilaksis dan angioedema sesudah pasien

mendapatkan suntikan epinefrin (adrenalin) (BNF, 2000)


Reaksi hipersensitivitas yang meliputi alergi obat, pruritus, urtikaria,
sengatan serangga dan hayfever. Pemberian antihistamin sebelum
terjadinya pelepasan histamin misalnya pada awal musim hayfever,

merupakan tindakan pencegahan yang penting.


Premedikasi dan sedasi, misalnya prometazin, trimeprazin.
Insomnia dengan pemakaian obat yang di beli bebas, misalnya

prometazin.
Peredaan batuk dan selesma dengan pemakaian obat yang dibeli bebas,
misalnya tripolidin, difenhidramin (Benylin).

Antiemetik lainnya

Preparat antimuskarinik, antagonis serotonin, piridoksin (vitamin B6),


kanabinoid, benzodiazepine dan kortikosteroid (khususnya deksametason)
merupakan obat antimuntah yang berguna pada beberapa keadaan. Pemberian
metilprednisolon oral pernah dilakukan dengan hasil yang baik pada
hiperemesis gravidarum (Safari et al, 1998), kendati pemberian hormone
adrenokortikotropik tidak efektif (Katzung, 2013).
3. Obat-obat antikolinergik
Obat-obat antimuskarinik, seperti atropine dan hiosin / hyoscine
(skolopamin), umumnya merupakan obat antiemetic pilihan kedua sesudah
obat-obat antihistamin. Hiosin Hidrobromida (Kwells) merupakan obat
penting yang dijual bebas untuk mabuk kendaraan obat ini bersifat sangat
sedatif
4. Preparat antagonis serotin
Serotin (5-hidroksitriptamin, 5HT) merupakan neurotransmitter yang
ditemukan diseluruh jaringan otak dengan memiliki berbagai macam reseptor
dan kerja. Reseptor yang terlibat dalam peristiwa muntah terutama reseptor
5HT3 tetapi kelas reseptor yang lain (5HT4) juga terlibat. Reseptor ini
dijumpai di dalam pusat muntah, zona pemicu kemureseptor dan dinding usus
yang kalau dirangsang akan menimbulkan muntah atau emesis, dalam bidang
kebidanan, ondandetron paling sering digunakan pada saat sesudah
pembedahan.
Granisetron lebih efektif daripada metoklopramid atau droperidol dalam
mengurangi gejala mual dan muntah yang terjadi setelah anastesi spinal untuk
seksioCaesarea (Fujii et al, 1998). Efek samping yang terdapat pada
ondansetron berupa sakit kepala, flushing, sedasi, mulut kering, gemeteran,
hipotensi, retensi urin, gangguan visual, peningkatan kadar enzim hati,
serangan epilepsy.
5. Piridoksin
Piridoksin telah digunakan sebagai obat antiemetic selama 40 tahun dan
mungkin merupakan preparat yang aman serta efektif untuk pemakaian pada
kehamilan dini. Pemberian piridoksin 30-200 mg per hari dapat mengurangi
gejala mual selama lima hari. Takaran pemberian piridoksin yang dianjurkan

15-100 mg dua kali sehari yang berada diatas kebutuhan per hari terhadap
vitamin tersebut.
Dengan takaran 2 mg/hari, piridoksin akan menyebabkan neuropati
perifer (kebas, parestesia, cara berjalan yang goyah). Ini menunjukan bahwa
takaran yang dianjurkan itu tidak boleh dilampaui.
6. Kanabinoid
Kanabis digunakan oleh para penderita sklerosis diseminata untuk
meredakan rasa nyeri dan muntah. Nabilon dikembangkan untuk memasukkan
efek antiemetic yang dimiliki oleh kanabis tanpa mengikutsertakan kerja
euforianya. Semua preparat kanabinoid menimbulkan sedasi, mulut kering,
kehilangan selera makan, gangguan tidur, halusinasi, psikosis, vertigo dan
disorientasi.Penggunaan nabilon cenderung digantikan oleh dronabinol yang
memiliki insiden efek samping yang lebih rendah. Penggunaan semua jenis
kanabinoid (yang diberikan dengan atau tanpa resep) merupakan kontaindikasi
dalam kehamilan dan laktasi.
7. Derivat Phenotiazin
Nama obat: Perfenazin (trilafon)
Sediaan :Tablet.
Kelompok Obat: Antipsikotik(antiemetik)
Mekanisme Kerja: Tidak begitu jelas, diduga menghambat reseptor
dopamine pada mesokortikal-mesolimbik otak depan, nigrostriatal, dan sel
mamotropi hipofise anterior.
Indikasi: Skizofrenia kronis atau akut, ansites berat, ansietas yang disertai
depresi, depresi karena penyakit organis, antiemetic terutama pasca
operasi.
Kontraindikasi: Wanita hamil dan menyusui, depresiSSP atau koma,
sindrom Reye, anak-anak, MCI. Hati-hati pemberian pada penyakit hati.
Efek samping: Pandangan kabur, salivasi, hidung tersumbat, sakit kepala,
reaksi ekstrapiramidal, dikinesia tardif.
Interaksi Obat: Tidak boleh diberikan bersama penghambat MAO karena
menimbulkan hiperpiretik krisis. Epinefrin tidak boleh diberikan bersama
karena mengantagonis obat ini. Simetidin menurunkan metabolism

perferazin. Paralitik ileus dapat terjadi bila digabung dengan obat


antikolinergik.
Dosis
Dosis umum: 8-16 mg/hari PO dalam dosis terbagi; 5-10 mg IM
untuk pengontrolan yang cepat, setiap 6 jam; 5 mg IV dalam dosis terbagi,
secara perlahan.

Karch, Amy M. 2008. Buku Ajar Farmakologi Keperawatan. Jakarta: EGC


Katzung, Bertram G. 2013. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta:Salemba
Medika.
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. EGC, Jakarta

You might also like