You are on page 1of 50

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal)
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme
antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung
dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.
Refluks asam sendiri merupakan suatu pergerakan dari isi lambung dari
lambung ke esophagus. Refluks ini sendiri bukan merupakan suatu penyakit, bahkan
keadan ini merupakan keadaan fisiologis. Refluks ini terjadi pada semua orang,
khususnya pada saat makan banyak, tanpa menghasilkan gejala atau tanda rusaknya
mukosa esophagus.
Pada GERD sendiri merupakan suatu spectrum dari penyakit yang
menghasilkan gejala heartburn dan regurgitasi asam. Telah diketahui bahwa refluks
kandungan asam lambung ke esophagus dapat menimbulkan berbagai gejala di
esophagus, seperti esofagitis, striktur peptik, dan Barrets esophagus dan gejala
ekstraesophagus, seperti nyeri dada, gejala pulmoner, dan batuk.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua
umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan
relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan
bahwa satu dari lima orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau
regurgitasi) sekali dalam seminggu serta lebih dari 40% mengalami gejala tersebut
sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%,
sementara di negara-negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China
0

dan 2,7% di korea). Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi pada semua
kelompok umur. Prevalensi GERD meningkat pada orang tua 40 tahun. GERD
terjadi pada sebagian umum

laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan

perempuan untuk esophagitis adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan
untuk Barrett esofagus adalah 10:1.
Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai penyakit ini,
namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI- RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8% dari semua
pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui definisi, patogenesis, gejala, tanda,
diagnosis, penanganan, komplikasi serta prognosis dari GERD (Gastroesophageal
Reflux Disease) yang dapat menyebabkan berbagai komplikasi dengan memaparkan
contoh kasus yang diperoleh oleh penulis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFENISI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD/ Penyakit Refluks Gastroesofageal)
adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme
antireflux untuk melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung
dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang. bila terjadi refluks yang
berulang-ulang sehingga menyebabkan esophagus bagian distal terkena pengaruh isi
lambung untuk waktu yang lama. Kerusakan esophagus tersebut dikarenakan refluks
cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa esophagus.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat ditemukan pada semua
umur, umum ditemukan pada populasi di Negara-negara barat, namun dilaporkan
relatif rendah insidennya di Negara-negara Asia-Afrika. Di Amerika dilaporkan
bahwa 1:5 orang dewasa mengalami refluks (heartburn dan/atau regurgitasi) sekali
2

dalam seminggu serta

lebih dari 40% mengalami gejala tersebut sekali dalam

sebulan. Prevalensi esofagitis di Amerika Serikat mendekati 7%, sementara di negaranegara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di China dan 2,7% di korea).
Prevalensi GERD meningkat pada orang tua 40 tahun. GERD terjadi pada sebagian
umum

laki-laki daripada wanita. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk

esophagitis adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki dan perempuan untuk Barrett
esofagus adalah 10:1Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi mengenai
penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUIRSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8%
dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.
2.3 ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila: 1). terjadi kontak dalam waktu
yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa, 2). terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus tidak lama. Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan
tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal
sphincter (LES).Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau retrograd yang
terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik gaster ke esofagus melalui LES
hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 rnmHg).
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
3

1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat.


2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah
antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif
adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
Pemisah Antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intrabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). Adanya hiatus hernia, 2).
panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti
antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal.
Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak
bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam
terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi
LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului
proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada
4

beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat


(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.
Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia,
namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus
hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esofagus serta menurunkan tonus LES.

Bersihan asam dari lumen esophagus


Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian
besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang
dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit

esofagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltik
esofagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflex) lebih besar berpotensi menimbulkan
kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus
tidak aktif.

Ketahanan Epitelial Esofagus


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan
mukus yang melindungi mukosa esofagus. Mekanisme ketahanan epitelial esofagus
terdiri dari:

Membran sel
Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke

jaringan esofagus.
Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta

mengeluarkan ion H+ dan CO2


Sel-sel esofagus mempunyai

kemampuan

untuk

mentransport

ion

H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.


Nikotin dapat menghambat transport ion Na+

melalui epitel esofagus,

sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H+ .


Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak adalah potensi daya
rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat
terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2,
atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki
potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain:
dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara
infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett' esophagus dan adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi
H.pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H.pylori
sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak
mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis,
pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan
corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan
sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan
gejala GERD pra infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi
H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.pylori dengan
7

corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk keluhan GERD


serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD
sebelum pengobatan PPl jangka panjang.
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux antara lain berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam
atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas viseral.
2.4 MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau
demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan
temuan endoskopik. Kadang- kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip
dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan
makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari
Barrett' es esofagus. Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan Pada waktu
menelan makanan) dapat timbul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat.

GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang


atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma.
Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk
timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal
high pressures zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan toms LES
(misalnya theofilin).
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode
akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien
dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
2.5 DIAGNOSIS
Di samping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa:
pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnoses GERD, yaitu:
1. Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas.
Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain
yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas
GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).
9

Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang


dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan
bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrets esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan
A
B

Gambaran Endoskopi
Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MM
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling
berhubungan

C
D

Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen


Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Tingkat
I

Gambaran Endoskopi
Adanya gambaran erosi kecil-kecil yang tidak menyatu (non-confluent)
disertai bercak-bercak atau garis-garis merah, sedikit proksimal dari
daerah peralihan mukosa
Erosi memanjang, menyatu (confluent), yang tidak melingkar (noncircumferential)
Erosi longitudinal, menyatu , dan melingkar, mudah berdarah
a. adanya satu atau lebih dari satu tukak pada daerah peralihan mukosa
yang bisa disertai metaplasi atau striktur.
b. adanya striktur tanpa tukak atau erosi

II
III
IV

Tabel 2. Klasifikasi Savary dan Miller

10

2. Esofagografi dengan Barium.


Dibandingkan dengan endoskopi. pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinging dan lipatan
mukosa, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitif
untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai
nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada
1). stenosis esofagus derajat ringan akibat esofagitis peptik dengan gejala disfagia,
2) hiatus hernia
3. Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esofagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esofagus. pengukuran pH pada esofagus bagian
distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH di bawah 4 pada
jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4. Tes Bernstein.
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari sam jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada
pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak

11

menimbulkan nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak
menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esofagus.

5. Manometri Esofagus.
Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien
dengan gejala nyeri epigastriurn dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi
barium dan endoskopi yang normal.
6. Sintigrafi Gastroesofageal.
Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat
yang dilabel dengan radioisotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium.
Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor
transit dari cairan/ makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini
masih diragukan.
7. Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor /PPI Test/ Tes supresi
asam) Acid Supression Test.
Pada dasarnya test ini merupakan terapi empirik untuk menilai gejala dari
GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1 -2 minggu sambil melihat
respons terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostik
seperti endoskopi, pH metri dan lain-lain. Test ini dianggap positif jika terdapat
perbaikan dari 50%-75% gejala yang teriadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test
merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD
pada pelayanan kesehatan lini pertama. Untuk pasien-pasien yang tidak disertai

12

dengan gejala alarm (yang dimaksud dengan gejala alarm adalah: berat badan turun,
anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker
esofagus/lambung) dan umur >40 tahun.
2.6 KOMPLIKASI
2.6.1 Esofagitis
Terjadinya esofagitis apabila isi beserta asam lambung masuk ke dalam
esofagus kemudian merusak permukaan mukosa dari esofagus. Tubuh kemudian
merespon hal tersebut sehingga terjadilah suatu proses inflamasi. Terjadinya suatu
respon inflamasi ini bertujuan untuk menetralisir agen yang telah rusak dan memulai
proses penyembuhan. Namun apabila kerusakan yang ditimbulkan pada esofagus
tersebut cukup dalam, lama kelamaan akan terbentuk suatu tukak/ulkus dimana ulkus
tersebut sangat rapuh. Ulkus yang meradang tersebut lama-kelamaan akan mengikis
mukosa hingga sampai ke pembuluh darah esofagus (esofagitis erosive) sehingga
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya perdarahan pada esofagus.
2.6.2 Striktur
Striktur esofagus disebabkan karena ulkus-ulkus yang terdapat pada esofagus
telah pulih namun membentuk suatu jaringan fibrosis. Selanjutnya jaringan fibrosis
tersebut lama kelamaan akan menyusut dan menyempit sehingga lumen esofagus pun
ikut menyempit. Penyempitan ini disebut dengan striktur. Apabila penyempitan ini
semakin parah, hal ini dapat menyebabkan makanan yang masuk ke dalam esofagus
tidak dapat sampai ke lambung karena adanya obstruksi yang disebabkan oleh
penyempitan/striktur pada lumen esofagus tersebut.

13

2.6.3 Barret esofagus


Merupakan bentuk komplikasi dari gerd derajat berat dimana terjadi
metaplasia dari sel epitel squamous berubah menjadi esofagus columnar. Barret
merupakan factor resiko terjadinya adenoca esofagus. Perubahan epitel dari
squamous menjadi columnar pada esofagus terjadi pada saat proses penyembuhan
dari esofagitis erosive namun selama dalam masa proses pemulihan tersebut, refluks
asam lambung ke esofagus juga terus berlangsung. Akibat adanya paparan yang
berulang-ulang terhadap asam lambung tersebut maka sel epitel squamous esofagus
tersebut lama kelamaan bermetaplasia jadi epitel sel columnar.
2.6.4 Mallory-Weiss tear
Merupakan mukosa linear yang robek(ruptur) pada gastroesofageal junction
yang sering diakibatkan oleh muntah, ketika tear mengganggu submukosa arteriola,
dapat menyebabkan perdarahan cepat. Endoskopi adalah metode diagnostic terbaik,
dan perdarahan aktif tear dapat diobati dengan menggunakan endoskopi yaitu injeksi
epinefrin, koagulan, hemoclips atau ligasi band. Berbeda dengan peptic ulcers,
Mallory-weiss tear non bleeding dengan sentinel clot pada alasnya jarang rebleeds
dan dengan demikian tidak diperlukan terapi endoskopi.
2.7 DIAGNOSA BANDING
1. Akalasia (Kardiospasme, Esophageal aperistaltis, Megaesofagus) adalah
suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui
penyebabnya.

14

2. Gastritis (radang lapisan lambung), gastritis adalah peradangan pada lapisan


lambung.
3. Kanker esophagus, pada kanker kerongkongan adalah squamous sel
carcinoma dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati
dinding pada kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana saja di dalam
kerongkongan dan bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan
(penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal
(plaque), atau jaringan yang tidak normal (fistula).
4. Ulkus Peptikum, luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan
lambung atau usus dua belas jari (duodenum) telah termakan oleh asam
lambung dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi.
5. Esophagitis, esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula
disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan
trauma.
2.7 PENATALAKSANAAN
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat
kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus
ataupun esofagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya
penyakit

ini

mendapat

penatalaksanaan

yang

adekuat.

Pada

prinsipnya,

penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa,


terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

15

Target penatalaksanaan GERD adalah: a). menyembuhkan lesi esofagus, b).


menghilangkan gejala/keluhan, c). mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, e). mencegah timbulnya komplikasi.

2. 4.1 Modifikasi Gaya Hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah sebagai
berikut:
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan umuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta
mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus
2. Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan torus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel
3. Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung
4. Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen
5. Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam

16

6. Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan torus


LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium,
agonist beta adrenergik, progesteron.
2.4.2 Terapi Medikamentosa
Terdapat

berbagai

tahap

perkembangan

terapi

medikamentosa

pada

penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini
GERD merupakan atau ten-masuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cema
bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi
supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat
dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton IPPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat
dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih
rendah atau antagonis reseptor H, atau prokinetik atau bahkan antasid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia

17

Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini
pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step
down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di
atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi
pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi "bila perlu" (on demand
therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika
ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada

berbagai

penelitian

terbukti

bahwa

respons

perbaikan

gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal


ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD.
Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
1. Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadan
HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah. Kelemahan
golongan obat ini adalah 1). Rasanya kurang menyenangkan, 2). Dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung alumunium, 3). Penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
18

Dosis: sehari 4 x I sendok makan

2. Antagonis Reseptor H2
Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, raniditin, famotidin dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan
penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis
untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis
derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian:

Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

Ranitidin : 4 x 150 mg

Famotidin : 2 x 20 mg

Nizatidin : 2 x 150 mg

3. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong ke arah gangguan motilitas. Namur pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid : Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin..
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H 2

19

atau penghambat pompa proton.. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat
tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor
dan diskinesia. Dosis: 3 x 10 mg
Domperidon : Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar
darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan
lesi esofageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Dosis: 3 x 10-20 mg sehari
Cisapride : Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibanding
domperidon.
Dosis 3 x 10 mg sehari
4. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat
mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
bekerja secara topikal (sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram
5. Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI).
20

Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan


obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
mempengaruhi enzim H,K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembertukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat
berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H,.
Dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:

Omeprazole : 2 x 20 mg
Lansoprazole :2x30mg
Pantoprazole :2x40mg
Rabeprazole :2x 10 mg
Esomeprazole : 2 x 40 mg

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy: selama 4 bulan atau on
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya. Efektivitas golongan obat ini
semakin bertambah jika dikombinasikan dengan golongan prokinetik.
Untuk pengobatan NERD diberikan dosis standar, yaitu:

Omeprazole 1 x 20 mg

Lansoprazole 1 x 30 mg

Pantoprazole 1 x 40 mg

Rabeprazole 1 x 10 mg

Esomeprazole 1 x 40 mg

21

Umumnya pengobatan diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on


demand therapy.
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pelayanan
kesehatan lini pertama, salah saw di antaranya adalah direkomendasikan dalam
Konsensus Nasional untuk Penatalaksaan GERD di Indonesia (2004). (Gambar 4)
Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan memiliki fasilitas
diagnostik memadai terdapat pada gambar 5.
Table 2. Efektivitas Terapi Obat-obatan Tersebut di Atas
Golongan Obat

Antasid
Prokinetik
Antagonis
reseptor H2
Antagonis reseptor
H2 + prokinetik
Antagonis reseptor
H2 dosis
Penghambat pompa
proton
Pembedahan

Mengurangi
gejala

Penyembuhan

Mencegah
komplikasi

Mencegah
kekambuhan

+1
+2
+2

0
+1
+2

0
0
+1

0
+1
+1

+3

+3

+1

+1

+3

+3

+2

+2

+4

+4

+3

+4

+4

+4

+3

+4

Terapi terhadap Komplikasi


Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan perdarahan Sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung terhadap mukosa esofagus, dapat
terjadi perubahan mukosa esofagus dari skuamous menjadi epitel kolumnar yang
metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esofagus Barrett (Barrett's esophagus) dan

22

merupakan suatu keadaan premaligna. Risiko terjadinya karsinoma pada Barrett '
esophagus adalah sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal.

a. Striktur Esofagus
Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktur kurang dari 13 mm,
dapat dilakukan dilatasi busi (Hurst bougie, Maloney bougie. Savarry bougie,
Pneumatic bougie). Jika dilatasi busi gagal, dapat dilakukan operasi.
b. Barrett Esofagus
Esofagus Barrett dapat diobati secara medikamentosa. Berikut ini adalah
algoritme penatalaksanaan Barrett' esophagus pada, pasien GERD:
a. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa yaitu:
1). Diagnosis tidak benar; 2). Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain seperti
rasa kembung, cepat kenyang dan mual-mual yang lebih lama untuk menyembuhkan
esofagitisnya; 4). Kadang-kadang beberapa kasus Barrett's esophagus tidak
memberikan

respons

terhadap

terapi

PPI.

Begitu

pula

halnya

dengan

adenokarsinoma; 5). Terjadi striktur; 6). Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.
Terapi bedah merupakan terapi altematif yang penting jika terapi medikamentosa
gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan
yang dilakukan adalah fundoplikasi.
b.

Terapi Endoskopi

23

walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian,


akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi ada pasien GERD,
yaitu:

penggunaan energi radiofrekuensi

plikasi gastrik endoluminal

implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implant


2.5 PROGNOSIS
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan
diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan
terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi bila perlu (ondemand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua
minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada

berbagai

penelitian

terbukti

bahwa

respons

perbaikan

gejala

menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal


ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD.

24

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS

Anamnesa dilakukan di ruang Flamboyan RSUD.A.W.Sjahranie pada hari


Rabu tanggal 10 januari 2011.

Sumber : Autoanamnesa & alloanamnesa (ibu pasien).

Identitas Pasien
Nama

: Ny. J

Umur

: 34 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jln.otto iskandar dinata gg. Budiman Rt 10 no. 7

Pekerjaan

: IRT

Agama

: Islam

Pendidikan Terakhir : SLTP


25

Status Pernikahan

: Menikah

Masuk Rumah Sakit : Sabtu, 08 Januari 2011

Keluhan utama
Muntah kecoklatan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Muntah kecoklatan, keadaan ini dialami sejak 3 hari SMRS, muntah
kecoklatan bercampur makanan, tidak ada darah, muntah sebanyak 5x/hr, banyaknya
sekitar 1 gelas aqua/ kali. Muntah ini disertai rasa mual, hingga pasien tidak memiliki
nafsu makan. Pasien sudah mengeluhkan adanya keluhan sering muntah ini sejak 8
bulan yang lalu, keluhan muntah kecoklatan ini disertai rasa terbakar di dada yang
tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke punggung. Pasien juga merasakan
rasa pahit di mulut. Tidak ada nyeri maupun kesulitan menelan. Pasien mengeluhkan
sering merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan saat berbaring,sehingga
kadang-kadang pasien terbangun dan sulit tidur, Pasien juga mengeluhkan sering
bersendawa dan perutnya terasa kembung serta cepat terasa kenyang ketika makan
pasien tidak mengeluhkan adanya batuk dan demam. BAB pasien normal dan
BAK normal tidak ada keluhan BAK keruh atau berbuih, pasien mengaku sejak 6

26

bulan terakhir

tidak mengalami menstruasi dan periksa tes kehamilan hasilnya

negativ.
Pada tahun 2007 pasien mengeluhkan adanya banyak kencing, pasien
mengeluhkan sering terbangun malam sampai 5-6 kali di malam hari, pasien juga
mengeluhkan adanya banyak minum, pasien dapat minum 2 botol aqua besar dalam
sehari, tetapi pasien mengeluhkan tidak banyak makan, pasien juga mengaku BB nya
menurun sebanyak 5 kg dalam 3 tahun.
Riwayat Sakit Dahulu
pasien mengeluhkan keadaan yang sama sejak 8 bulan yg lalu dan 6 kali di rawat di
RS.
DM (+) sejak 1 tahun yang lalu
HT (-), asma (+)
Riwayat kebiasaan
konsumsi obat-obatan anti nyeri (-),
Konsumsi alkohol (-), merokok (-)
Konsumsi kopi (-), soda (-)
Konsumsi makanan berminyak (+)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami gejala serupa
3.2 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di ruang Flamboyan RSUD.A.W. Sjahranie pada
tanggal 10 januari 2011.
27

Keadaan Umum
Kesadaran

: Compos Mentis (GCS: E4V5M6)

Keadaan sakit

: Sakit sedang

Tanda Vital
Tekanan Darah

: 160/100 mmHg

Frekuensi Nadi

: 78 x/mnt, reguler

Frekuensi Nafas

: 24 x/mnt

Suhu

: 36,5 C

Status Gizi
BB

: 58 kg

TB

: 150 cm

IMT

: 25.8, BBR : 116 % = (over weight)

Kepala dan Leher


Umum
Ekspresi

: sakit sedang

Rambut

: hitam, normal

Kulit muka

: normal

Mata
28

Alis

: Normal

Palpebra

: Edema (-/-)

Konjungtiva

: Anemis (-/-)

Sclera

: Ikterik (-/-)

Pupil

: Bulat, isokor (3mm/3mm), reflex cahaya (+/+)

Telinga
Bentuk

: Normal

Lubang Telinga

: Normal, secret (-/-)

Proc.Mastoideus : Nyeri (-/-)


Pendengaran

: Normal

Hidung
Penyumbatan

: (-/-)

Perdarahan

: (-/-)

Daya Penciuman : Normal


Nafas cuping

: (-)

Mulut
Bibir

: Pucat (-), cyanosis (-)

Gusi

: Berdarah (-)

29

Mukosa

: Pigmentasi (-), hiperemis (-), pucat (-)

Lidah

: Makro/mikroglosia (-)

Faring

: Hiperemis (-)

Leher
Umum

: Simetris

Kelenjar limfe

: Membesar (-)

Trachea

: Ditengah

Tiroid

: Membesar (-)

V.Jugularis: JVP 5 + 2 dengan posisi berbaring 30


Thorax
Bentuk

: Simetris

Axilla

: Pembesaran KGB (-)

Sternum

: Nyeri tekan (-)

Paru
Inspeksi

: Bentuk dada dan pergerakan simetris, retraksi (-/-)

Palpasi

: Fremitus raba seimbang (D=S), pelebaran ICS (-/-)

Perkusi

: Sonor (+/+)

Auskultasi : Vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

30

Jantung
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Batas jantung kanan PSL dextra pd ICS III


Batas jantung kiri MCL sinistra pd ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, gallop (-), murmur (-)


Abdomen
Inspeksi

: flat, kulit normal, hernia umbilicalis (-/-), hernia inguinalis (-/-)


Pembesaran KGB inguinal (-/-), vena kolateral (-/-), scar (-/-)

Palpasi

: Turgor & tonus normal, nyeri tekan epigastrium (+),


Hepar/Lien/Ginjal tidak teraba.

Perkusi

: Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal.


Genitalia
Penis

: Normal

Skrotum

: Edema (-)

Ekstremitas

31

Superior

: Sendi bengkak (-/-), tremor (-/-), akral pucat (-/-) dingin (-/-)
Edema (-/-), cyanosis (-/-), reflex biceps (+/+), reflex triceps (+/+)

Inferior

: Sendi bengkak (-/-), akral pucat (-/-) dingin (+/+), edema (-/-),
Reflex achilles (+/+), reflex patella (+/+)

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium:
Leukosit
HB
Ht
Trombo
Kimia Darah Lengkap
GDP
G2PP
GDS
SGOT
SGPT
Bilirubin Total
Bilirubin Direct
Bilirubin Indirect
Protein Total
Albumin
Globulin
Cholesterol
Trigliserida
HDL
LDL
Asam Urat
HBA1C
Ureum
Creatinin
Natrium
kalium
chlorida

23/10/10
10.900
10,3 g/dl
32,8%
506.000

25/10/10
9600
11,5 g/dl
35,7%
518.000

26/10/10
5.000 10.000 /uL
12 16 g/dl
36 -48 %
200.000400.000 /uL
215 mg/dl
232 mg/dl

222 mg/dl

187 mg/dl
10 U/L
11 U/L
0,4 mg/dl
0,1 mg/ dl
0,3 mg/dl
7,4 g/L
3,6 g/L
3,8 g/L
236 mg/dl

75,4 mg/dl
2,7 mg/dl
133 mmol/L
3,3 mmol/L
96 mmol/L
32

6,7 mg/dl
13,2 %
60,1 mg/dl
1,8 mg/dl

60-100
70-150
60 150 mg/dl
P<25 / W<31 UI
P<41 / W<32 UI
0 1,0 mg/dl
0 0,25 mg/dl
0 0,75 mg/dl
6,6 8,7 mg/dl
3,2 4,5 g/dl
2,3 3,5 g/dl
150 220 mg/dl
< 200 mg/dl
P>35 / W>45 mg/dl
<190 mg/dl
P 2,5 7 / W 2 6 mg/dl
10 40 mg/dl
0,5 1,5 mg/dl
135-155
3,6-5,5
95-108

Hasil EKG: Normal sinus

Hasil Pemeriksaan endoscopy:

Mukosa esofagus hiperemis, mucosal break (+),


Fundus normal, corpus, antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak
sisa makanan.

33

Duodenum, bulbus normal


Kesan : esofagitis, gastropathy, GERD LA class B.

3.5 DIAGNOSIS
GERD + HT stage II+ DM type II uncontrolled
3.6 PENATALAKSANAAN

IVFD RL 10 tpm
Ranitidin inj 2x1 amp
Omeprazole 2x1 tab
Captopril 2x50 mg
Amlodipin 1x 10 mg
Primperan 1 amp/12 jam
RI 3x6 UI
Inpepsa syr 4x 1C
Cek Kimia Darah Lengkap (KDL)
Endoscopy

3.7 PROGNOSIS
Vitam : bonam
functionam: bonam
3.8 LEMBAR FOLLOW UP
Tanggal
Hari I
8/1/ 2011

panas

CM, E4V5M6 TD:

Hematemesis e.c

IVFD RL 10 tpm

terbakar di dada

180/120, N: 84 x/i,

susp

gastritis

Ranitidin

(+), muntah (+) isi

RR: 20 x/i

erosive

amp

makanan, muntah

T: 36C,

type

darah(-), luka di

Abdomen:soefl,

uncontrolled

kaki kanan (+)

NT(-), timpani, BU

Rasa

34

DM
II

inj

2x1

Omeprazole 2x1 tab


Ondansentron
amp

2x1

(+) Normal

Captopril 3x 25 mg
Amlodipin 1x

10

mg
Primperan 2x1 amp
RI 3x4 UI
Inpepsa syr 4x 1C
Hari II
9/1/ 2011

Rasa

panas

CM, E4V5M6 TD:

Hematemesis e.c

IVFD RL 10 tpm

terbakar di dada

160/110, N: 80 x/i,

susp

gastritis

Ranitidin

(+), muntah (+)

RR: 24 x/i

erosive

amp

berupa

buih

T: 36C,

type

seperti

liur, Abdomen:

DM
II

uncontrolled

inj

2x1

Omeprazole 2x1 tab


Captopril 2x50 mg

muntah darah (-),

distended

(+),

Amlodipin 1x

luka di kaki kanan

soefl,

(+)

timpani, BU (+)

Primperan 1 amp/12

Normal

jam

NT(-),

10

mg

RI 3x6 UI
panas

CM, E4V5M6 TD:

Hematemesis e.c

Inpepsa syr 4x 1C
IVFD RL 10 tpm

11/1/

terbakar di dada

140/90, N: 80 x/i,

susp

gastritis

Ranitidin

2011

(+), muntah (+)

RR: 24 x/i

erosive

amp

T: 36C,

type

Abdomen:

uncontrolled

Hari III

Rasa

distended
soefl,

(+),
NT(-),

DM
II

inj

2x1

Omeprazole 2x1 tab


Captopril 2x50 mg
Amlodipin 1x

10

mg

timpani, BU (+)

Primperan 1 amp/12

Normal

jam
RI 3x6 UI
Inpepsa syr 4x 1C

35

BAB IV
ANALISA KASUS
4.1 Anamnesis
Teori
Terjadi pada semua umur dan
meningkat pada usia 40 thn, laki :
perempuan (2:1)
Riwayat asma dan penggunaan obat
asma
konsumsi obat-obatan anti nyeri,
alkohol, merokok,
Konsumsi makanan yang berlemak
Konsumsi kopi, soda
Konsumsi makanan pedas dan asam
Memiliki berat badan yang berlebih
Mekanisme TLESR, adanya
hubungannya dengan pengosongan
lambung lambat (delayed gastric
emptying) dan dilatasi lambung
Gejala
Mual dan muntah

Fakta pada pasien


Wanita, 34 tahun
Riwayat asma (+), penggunaan obat
asma(-)
konsumsin obat-obatan antinyeri(-),
Konsumsi alkohol (-), merokok (Konsumsi makanan yang berlemak(+)
Konsumsi kopi(-), soda(-)
Konsumsi makanan pedas dan asam
(+)
Pasien memiliki BB yang berlebih
Pasien mengeluhkan cepat
kenyang walau makan sedikit

nyeri/rasa tidak enak di epigastrium


36

merasa

atau retrosternal bagian bawah. Rasa


nyeri biasanya dideskripsikan sebagai
rasa terbakar (heartburn),
rasa pahit di lidah
regurgitasi

Muntah kecoklatan dan disertai rasa


mual,
rasa terbakar di dada yang tidak disertai
penjalaran baik ke lengan maupun ke
punggung.
Pasien merasakan rasa pahit di mulut

Disfagia dan odinofagia


Nafas berbau dan infeksi telinga
Sendawa yang terlalu sering
Muntah darah

Pasien mengeluhkan sering merasa


cairan dari perutnya naik ke tenggorokan
trutama saat berbaring
pasien tidak ada mengeluhkan adanya
disfagia dan odinofagia
Pada Pasien ini tidak ditemukan adanya
Nafas berbau dan infeksi telinga

Pasien mengeluhkan sering bersendawa


Pasien tidak ada mengeluhkan adanya
muntah darah.
Anamnesa yang didapat dari pasien ini menunjukkan kesesuaian dengan teori
mengenai gejala klinis yang mengarah kepada diagnosa GERD dan esofagitis, dari
data identitas pasien dengan prevalensi terjadinya GERD, yaitu dapat terjadi pada
semua kelompok umur, meningkat pada usia 40 tahun,dan 20-40% populasi dewasa
dapat menderita heartburn, rasio kejadian laki-untuk-perempuan untuk esophagitis
adalah 2:1 - 3:1. Rasio kejadian laki : perempuan untuk esofagus Barrett 10:1, pada
pasien ini ditemukan adanya ketidak sesuaian karena pasien adalah wanita dan
usianya 34 tahun.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) biasanya disebabkan oleh adanya
peningkatan berat badan, yang mana ini sesuai dengan pasien yang memiliki
IMT

: 25.8 dan BBR: 116 % yang maknanya status gizi pasien adalah over weight,

37

beberapa faktor resiko GERD yang lain adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan
pedas dan berlemak, minum alkohol dan kopi, dan obat tertentu, yang semuanya
dapat menyebabkan relaksasi dari otot sfingter bawah esofagus dan refluks asam
lambung, yang mana pada pasien ini di dapatkan kebiasaan makan-makanan pedas
dan asam.
Pada kasus ini pasien mengeluhkan adanya muntah kecoklatan yang tidak
disertai dengan darah,dan muntah disertai rasa mual, pasien juga mengeluhkan
adanya rasa terbakar di dada yang tidak disertai penjalaran baik ke lengan maupun ke
punggung, rasa pahit di mulut, sering bersendawa lalu pasien mengeluhkan sering
merasa cairan dari perutnya naik ke tenggorokan terutama saat berbaring, pasien tidak
ada mengeluhkan adanya disfagia dan odinofagi, Pada Pasien ini juga tidak
ditemukan adanya nafas berbau dan infeksi telinga.
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di
epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan
sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia
(kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau
demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi
dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang
mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat
makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang
berkembang dari Barretts esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan)
bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat.
Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran
berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
Penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux membuat menelan makanan
keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala lain pada gastroesophageal reflux termasuk

38

nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa
bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis).
dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan
sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut
Barretts esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak
ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada
beberapa orang.
Pasien pada kasus ini memiliki riwayat asma, dari teori didapatkan bahwa
Dalam keadaan normal GERD ini tidak terjadi karena adanya mekanisme anti refluk
pada Lower Esofageal Spincter (LES). Refluk ini terjadi bila tidak ada (hilangnya)
perbedaan tekanan antara LES dengan laring. Ada beberapa teori yang dikemukakan
mengenai hubungan GERD dengan Asma antara lain adalah : Stimulasi pada reflek
esofagopulmnaris/esofagolaringeal, reflek dari esofagus bagian distal menstimuli
reflek vagal yang menyebabkan bronkokonstriksi ( reflux theory). Mekanisme lain
adalah refluk esfagobrokhial ; asam dari esofagus dapat menstimuli reseptor asam
yang sensitif disaluran nafas bagian atas, menimbulkan bronkospasme.
Pada pembahasan dinyatakan bahwa gastroesofageal reflux didapatkan pada
45-89% penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,
refluksesfagopulmoner dan obat relaksan otot polos yaitu golongan beta adrenergik,
aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi LES esofagus.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest
pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya
bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor
predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah
gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang
menurunkan tonus LES (misalnya teofilin).

39

Teori
Pemeriksaan Fisik
Nyeri tekan epigastrium
gigi rusak
Pemeriksaan penunjang
Endoskopi SCBA, merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD
ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks).

Esofagografi dengan Barium


Pemantauan pH 24 jam
Tes Bernstein.
Manometri Esofagus.
Sintigrafi Gastroesofageal.
PPI Test/ Tes supresi asam) Acid
Supression Test.

Fakta pada Pasien


Terdapat nyeri tekan epigastrium
Beberapa gigi pasien tanggal, terdapat
karang gigi.
Mukosa esofagus hiperemis, mucosal
break (+),
Fundus normal, corpus, antrum, pylorus
mucosa hyperemis, edem, banyak sisa
makanan
Duosenum, bulbus normal
Kesan : esofagitis, gastropathy, GERD
LA class B
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan

Pemeriksaan endoskopi saluran cema bagian atas merupakan standar baku


untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esofagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain
40

yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan, mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas
GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflex disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkonfirmasikan bahwa gejala
heartburn

atau

regurgitasi

tersebut

disebabkan

oleh

GERD.

Pemeriksaan

histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrets esophagus, displasia atau


keganasan.

Tidak

ada

bukti

yang

mendukung

perlunya

pemeriksaan

histopatologi/biopsi pada NERD.


Pada pasien ini kesan endoscopynya adalah esofagitis, gastropathy, GERD LA
CLASS B, yang maknanya terdapat erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan
diameter > 5mm tanpa saling berhubungan.
Klasifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan
A
B
C
D

Gambaran Endoskopi
Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter < 5 MM
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm tanpa saling
berhubungan
Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esofagus)

Dari hasil endoscopy lainnya pada pasien ini adalah fundus normal, corpus,
antrum, pylorus mucosa hyperemis, edem, banyak sisa makanan, adanya corpus dan
antrum yang edem serta ditemukannya banyak sisa makanan ini menunjukkan bahwa
pada pasien ini mengalami pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis,
yang mana gastroparesis ini merupakan salah satu komplikasi dari penyakit diabetes
mellitus, teori mengenai adanya delayed gastric emptying yang mana pada kasuskasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses
refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang

41

bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses
menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa
individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung lambat (delayed
gastric emptying) dan dilatasi lambung
Rasa perut cepat kenyang, penuh dan bloating merupakan gejala umum terkait
dengan gastroparesis diabetic. Sebanyak 50 % pasien diabetes mengalami
pengosongan lambung yang lambat atau gastroparesis. Gejala gangguan saluran cerna
bagian atas pada pasien diabetes dab hubungan antara gejala dengan disfungsi
motilitas lambung contohnya disfungsi neuromuscular lambung (gastropati diabetic)
akan dibahas. Gastropati diabetic merupakan abnormalitas neuromuscular pada perut
pada pasien diabetes. Gangguan ini terdiri dari gaster disritmia, antral dilatasi, antral
hipomotilitas, dan gastroparesis.
Gastroparesis diabetik adalah kondisi klinik yang mengenai pasien-pasien
diabetes mellitus. Kondisi ini ditandai oleh perlambatan pengosongan lambung dan
dihubungkan dengan gejala gastrointestinal bagian atas tanpa adanya obstruksi
mekanik.

Perlambatan

pengosongan

lambung

pada

pasien-pasien

diabetes

diakibatkan oleh hiperglikemia yang tidak terkontrol, gizi buruk, dan dehidrasi, yang
akan menyebabkan kualitas hidup yang buruk, perawatan lama di rumah sakit, dan
menurunnya tingkat produktivitas. Namun, mendiagnosis gastroparesis diabetik tidak
semudah yang dibayangkan, gejalanya tidak spesifik dan banyaknya diagnosis
banding. Begitu pula, penatalaksanaannya juga tak mudah, diagnosis umumnya
terlambat, pelayan kesehatan tidak mengenali gastroparesis diabetik sebelum timbul
komplikasi serta masih adanya bias terapi. Penelitian terkontrol acak mengenai terapi
gastroparesis diabetik pun masih sangat sedikit. Sehingga, keterampilan menegakkan
diagnosis serta menatalaksana pasien gastroparesis diabetik penting diketahui dan
dikuasai oleh dokter umum.
Mengenai definisi gastroparesis diabetik belum ada konsensus yang jelas. Bell
et al. menjelaskan gastroparesis diabetik sebagai neuropati yang terjadi di saluran
cerna pada pasien diabetes. Talley menggunakan istilah diabetik gastropati merujuk
42

pada sindrom klinik dari gejala saluran cerna atas yang memperlihatkan gangguan
motilitas pada pasien diabetes dengan atau tanpa keterlambatan pengosongan
lambung. Namun, seluruhnya setuju bahwa keterlambatan pengosongan lambung
pada gastroparesis diabetik terjadi tanpa adanya obstruksi mekanik. Pedoman dari
American Gastroenterological Association (AGA) tentang diagnosis dan terapi
gastroparesis menyatakan bahwa diagnosis gastroparesis sebaiknya didasarkan pada
adanya gejala dan tanda yang sesuai, perlambatan pengosongan lambung, dan tidak
adanya lesi obstruksi struktural di lambung atau usus halus.
DIABETIC
GASTROPATHY
ABNORMALITAS
Gastroparesis

SPEKTRUM

NEUROMUSCULAR

Abnormalitas neuromuskular yang paling berat adalah gastroparesis yang


didiagnosa saat pegosongan lambung terlambat. Ditemukan pada 30 % pasien
diabetes. Neuropati otonom (disfungsi vagal) dan myopati merupakan penyebab
gastroparese.
Gastric Dysrhythmias
Gastric dysrhythmia merupakan abnormalitas siklus kontraksi lambung yaitu
lebih cepat bradygastrias (1.0 2.4 cpm) lebih cepat tachygastrias (3.6 9.9 cpm).
Antral Hypomotility
Kontraksi ntrum yang buruk mrnyrbabkan keterlambatan pengosongan
makanan dari natrum kr duodenum.
Antral Dilatasi
Diameter antrum yang lebih besar pada kondisi postpandrial, terkait dengan
gejala bloating.
Antroduodenal Coordination
Pylorus dan duodenum menahan pengosongan chime dari antrum.
Pylorospasme atau kontraksi pylorus yang tidak terkontrol.
Gastric Tone
Tonus fundus tidak relaksassi (balloon distensi)
43

Penatalaksanaan
Teori

Fakta pada Pasien

Penatalaksanaan GERD
1. Modifikasi gaya hidup.
2. Medikamentosa

Antagonis Reseptor H2
Simetidin, Ranitidin : 4 x 150
mg,
Famotidin, Nizatidin
Obat-obatan prokinetik
Metoklopramid,
Domperidon,
Cisapride,
Sukralfat
Dosis: 4 x 1 gram
Proton pump inhibitor/PPI).
Omeprazole : 2 x 20 mg, Lansoprazole
:2x30mg, Pantoprazole :2x40mg,
Rabeprazole :2x 10 mg, Esomeprazole
: 2 x 40 mg
Penatalaksanaan HT
Kombinasi dari ACE inhibotor dan
Calsium Channel Blocker
Penatalaksanaan
DM
gastroparesis
Modifikasi
gaya

dan
hidup,

44

IVFD RL 10 tpm
Ranitidin inj 2x1 amp

Primperan 1 amp/12
jam( metoclopramid)

Inpepsa syr 4x 1C

Omeprazole 2x1 tab

Captopril 2x50 mg
Amlodipin 1x 10 mg

RI 3x6 UI

medikamentosa (OAD, Insulin), obatobatan prokinetik, agen antiemetik,

Terapi/Penatalaksanaan
1. Modifikasi gaya hidup,

beberapa advice yang semestinya disampaikan

kepada pasien ini adalah: meninggikan posisi kepala pada saat tidur sehingga
mencegah refluks asam dari lambung ke esofagus, mengurangi konsumsi
lemak, menurunkan berat badan , menghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan soda
2. Medikamentosa, pada pasin ini diberikan terapi dari golongan PPI, Antagonis
Reseptor H2, prokinetik, sukralfat, , ini sudah sesuai dengan pengobatan
GERD.
3. Tatalaksana untuk penyakit lainnya, yaitu jika terdapat hipertensi. Captopril 2
x 12,5 mg (dosis awal untuk hipertensi berat, dinaikkan bertahap bisa sampai
3 x 50 mg, maksimal 150 mg/hari)., dan terapi untuk penyakit DM pasien ini
adalah insulin.
4. pengobatan pasien gastroparesis diabetik adalah untuk menjaga kadar glukosa
darah terkontrol, mengontrol gejala saluran cerna atas, menjamin hidrasi dan
nutrisi yang cukup, meningkatkan pengosongan lambung, dan mencegah

45

komplikasi seperti dehidrasi, malnutrisi, dan perawatan di rumah sakit.


Penatalaksanaan medis dengan obat-obatan prokinetik, agen antiemetik, dan
analgesik dibutuhkan untuk mengontrol gejala gastroparesis diabetik.

BAB V
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien ini maka diagnosa pada pasien ini adalah GERD, DM tipe
II uncontrolled serta HT stage II.
2. Pada pasien ini telah dilakukan pemeriksaan tambahan lengkap yang membantu
melihat perkembangan penyakit.
3. Penatalaksanaan yang didapatkan pada pasien ini memenuhi standar terapi yang
sesuai dengan literatur.

46

DAFTAR PUSTAKA

Ajumobi AB, Griffin RA. Diabetic gastroparesis: evaluation and management.


Hospital physician 2008; p.27-35. Available from: http://www.turnerwhite.com/memberfile.php?PubCode=hp_mar08_gastro.pdf
Bell RA, Jones-Vessey K, Summerson JH. Hospitalizations and outcomes for diabetic
gastroparesis in North Carolina. South Med J 2002;95:12979
Camilleri M. Diabetic gastroparesis. N Engl J Med 2007;356:820-9. Available from:
http://nejm.highwire.org/cgi/content/extract/356/8/820

Dadang Makmun. Management of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology,


Hepatology and Digestive Endoscopy 2001; 2(1): 2127.

47

Dent J. Definition of reflux disease and its separation from dyspepsia. Gut 2002, 50
(suppl. IV): iv 17-iv20.
Dent J., Brun J, Fendrick AM, Fennerty MB, Janssens J, Kahrilas PJ, Lauritsen K,
Reynolds JC, Shaw M, Talley NJ. An evidence-based appraisal of reflux
disease management - The Genval Workshop Report. Gut 1999; 44 (Suppl.2):
Sl-S6.
Fass R, Ofman JJ. Gastroesohageal reflux disease - should we adopt a new conceptual
framework?. Am J Gastroenterol. 2002; 97(8): 1901-1909.
Fisichella, Piero. 2009. Gastro-esophageal reflux disease. Chicago, Loyola University
Medical Center
Fock K.M., Talley N., Hunt R., Fass R, Nandurkar S, Lam S.K., Goh K.L., Sollano J.
Report of the Asia-Pacific Consensus on The Management of gastroesophageal
reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2004; 19:11-20.
Galmiche JP, Bruley S. Endoscopy-negative reflux disease. Current Gastroenterology
Report 2001; 3: 206-214.
Gardner JD, Stanley SR, Robinson M. Integrated acidity and the pathophysiology of
gastroesophageal reflux disease. The American Journal of Gastroenterology.
2001; 96(5): 1363-1370.
Inadomi JM, Jamal R, Murata GH, Hoffman RM, Lavezola, Vigie JM, Swanson KM,
Sonnenberg A. Step-down management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology 2001; 121: 1095-1100.
Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal/ GERD di
Indonesia 2004.
Lazenby PJ, Hardwig SM. Chronic cough, asthma, and gastroesophageal refux.
Current Gastroenterology Report 2000; 2: 217-223.
Martin CJ. Heartburn, regurgitation and noncardiac chestpain. In Talley NJ, Martin
CJ (eds). Clinical Gastroenterology, I` edition, Sydney, MacLennan & Petty
Pty Limited, 1996: 1-19.
Orlando RC. Reflux Esophagitis. In Yamada T (ed). Textbook of Gastroenterology,
2d edition, Philadelphia. JB Lippincot Co. 1995: 1214-1242

48

Powell LW. Mouth, pharynx and oesophagus. In Powell LW, Piper DW (eds).
Fundamental of gastroenterology. 41 edition. Sydney, ADIS Health science
Press 1984: 1-13.
Stanghellini V. Gastro-esophageal reflux disease: therapeutic strategies for the new
millenium. European Journal of Clinical Research 1997; 9: 7177.
Syafruddin ARL. Peranan derajat keasaman lambung dan tonus fingter esofagus
bawah terhadap esofagitis pada dispepsia. Laporan Penelitian Akhir, Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 1998.
Talley NJ. Diabetic gastropathy and prokinetics. Am J Gastroenterol 2003; 98:264
71. 32
Triadafilopoulos MD. Endoscopic therapies for gastroesophageal reflux disease.
Current Gastroenterology Reports 2002; 4: 200-204.
Zarling EJ. A review of reflux esophagitis around the world. WJG, 1998; 4(4): 1996;
12 (2 suppl): 2-24.
Zhang TC. Endoscopic studies of reflux esophagitis. JAMA Southeast Asia 1996;
1212 Supp1.1:22

49

You might also like