You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hati (liver) merupakan organ terbesar kedua setelah kulit.
Fungsinya amat vital bagi berlangsungnya kehidupan manusia, karena
hati merupakan tempat metabolisme utama dalam tubuh. Oleh karena
fungsinya yang begitu penting, hati perlu dijaga agar tidak mengalami
kerusakan yang akhirnya bisa mengancam hidup. Gangguan fungsi
hati sering kali dihubungkan dengan beberapa penyakit hati tertentu
salah

satunya

adalah

penyakit

hepatitis.

Hepatitis

merupakan

peradangan pada hati. Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai


dari virus sampai dengan obat-obatan, termasuk obat tradisional. Virus
merupakan penyebab dari hepatitis akut dan kronik. Zat yang dapat
melindungi hati dan mengobati hati dari serangan virus disebut zat
antihepatitis, yang dapat ditemui dalam berbagai zat di dalam
tanaman. Mengingat perkembangan penyakit hepatitis ini meningkat
secara signifikan pada daerah tropis khususnya di Indonesia dan masih
kurangnya informasi yang beredar di kalangan masyarakat tentang
pengobatan

hepatitis,

maka

penulis

bermaksud

mengumpulkan

informasi mengenai tanaman-tanaman obat yang dapat digunakan


sebagai antihepatitis sehingga masyarakat bisa lebih mengetahui
tentang obat herbal, hingga akhirnya perkembangan obat herbal dapat
dilakukan dengan lebih baik.

1.2 Etiologi
Penyebab hepatitis bermacam-macam akan tetapi penyebab
utama hepatitis dapat dibedakan menjadi dua kategori besar yaitu
penyebab virus dan penyebab non virus. Sedangkan insidensi yang

muncul tersering adalah hepatitis yang disebabkan oleh virus.


Hepatitis virus dapat dibagi ke dalam hepatitis A, B, C, D, E, G.
Hepatitis non virus disebabkan oleh agen bakteri, cedera oleh fisik
atau kimia, pada prinsipnya penyebab hepatitis terbagi atas infeksi
dan bukan infeksi. Hepatitis B dan C dapat berkembang menjadi sirosis
(pengerasan hati), kanker hati dan komplikasi lainnya yang dapat
mengakibatkan kematian.
Dalam masyarakat kita, penyakit hepatitis biasa dikenal sebagai
penyakit kuning. Sebenarnya hepatitis adalah peradangan organ hati
(liver) yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor penyebab penyakit
hepatitis atau sakit kuning ini antara lain adalah infeksi virus,
gangguan metabolisme, konsumsi alkohol, penyakit autoimun, hasil
komplikasi dari penyakit lain, efek samping dari konsumsi obat-obatan
maupun kehadiran parasit dalam organ hati (liver). Salah satu gejala
penyakit hepatitis (hepatitis symptoms) adalah timbulnya warna
kuning pada kulit, kuku dan bagian putih bola mata. Peradangan pada
sel hati dapat menyebabkan kerusakan sel-sel, jaringan, bahkan semua
bagian dari organ hati (liver). Jika semua bagian organ hati (liver) telah
mengalami kerusakan maka akan terjadi gagal hati (liver) yang
menyebabkan kematian.

BAB I1
PEMBAHASAN
VIRUS HEPATITIS
Hepatitis (Radang Hati) dapat ditimbulkan oleh banyak sebab,
tetapi paling sering terjadi karena infeksi oleh satu virus hepatitis.
Sebab sebab lain hepatitis adalah virus demam kuning dan
penyumbatan saluran empedu(antara lain akibat batu empedu), zatzat kimia, atau obat-obat tertentu, juga karena minum terlalu banyak

alkohol. Hingga kini dikenal 7 jenis, yakni virus hepatitis A,B,C,D,F dan
G. Hepatitis B dan C dianggap paling berbahaya, karena dapat
merusak hati secara permanen.
a. HAV (Hepatitis A Virus) adalah virus RNA dan penyebab
hepatitis yang paling sering terjadi. Penularan terutama
berlangsung melalui jalur tinja-mulut dengan minuman dan
makanan antibodies IgM (Anti-HAV). Masa inkubasinya adalah
antara 2 dan 6 minggu ; Kebanyakan infeksi berlangsung tanpa
keluhan dan tidak kentara. Gejala utama adalah kulit dan putih
mata menjadi kuning pada k.l.50% pengidap, berhubung zat
warna empedu (bilirubin) tidak diuraikan lagi oleh hati dan
dikeluarkan ke dalam darah. Gangguan-gangguan lambung-usus,
demam, rasa letih, nyeri perut, nyeri otot, dan sendi bisa terjadi.
Tinja dapat hilang warnanya dan kemih berwarna gelap. Prevensi
dapat dilakukan dengan imunisasi pasif (imunoglobulin), Tidak
ada obat anti HAV, tetapi infeksi sembuh spontan dengan
istirahat dan pengaturan diet (tanpa lemak) dalam waktu 4-8
minggu. Ada kalanya disusul dengan keadaan lemah-letih selam
beberapa bulan.
b. HBV (Hepatitis B Virus). HBV termasuk penyakit kelamin,
bersama sifilis, gonore, herpes genitalis, trichominiasis,
chlamydiasis dan AIDS. Sama dengan HIV, penularannya khusus
terjadi melalui darah, mani dan cairan vaginal. Penyakit ini
ditemukan di seluruh dunia dengan lebih kurang 200 juta
pengidapnya dan dengan 2 juta kematian setiap tahun, Di Asia
dan Afrika diperkirakan 15% penduduknya adalah pembawa
virus, dibandingkan kurang dari 1% di negara-negara barat.
Potensi penularannya jauh lebih besar daripada AIDS, tetapi
resiko kematiannya sama besar. Pada 10% dari penderita infeksi
menjadi kronis. Virus menetap didarah, khasnya di hati, lalu
pasien menjadi pembawa virus kronis (k.l.5%). Adakalanya hati
mengeras (cirrosis), keluhan menghebat dan bila tidak diobati
akhirnya menjadi fatal. Masa inkubasinya antara 2 dan 6 bulan.
Gejala-gejala dalam garis besar mirip infeksi dengan HAV, tetapi
lebih hebat dan lebih sering menimbulkan warna kulit menjadi
kuning.
Previnsi dapat dilakukan dengan vaksinasi(HB-vax, terbuat dari
antigen permukaan HBV rekombinasi, 10 dan 40 mcg/ml) tiga

kali (langsung dan masing-masing setelah satu serta enam


bulan) yang memberikan perlindungan selama beberapa tahun.
WHO menganjurkan agar vaksinasi HBV dilakukan secara teratur
dalam rangka program imunisasi setiap negara. Hal ini kini sudah
direlisasikan di Francis, Italia dan Belgia.
Pengobatan dengan obat-obat antiviral jauh belum sempurna.
Efek cukup baik dicapai dengan alfa-interferon I.M 3 kali
seminggu 5-9 MU dengan respons 14-75%. Obat HIV Lamivudin
dalam dosis tinggi efektif pula terhadap HBV.
c. HCV (Hepatitis C Virus) baru ditemukan pada Tahun 1989.
Infeksi dengan HCV acap kali berlangsung lambat tanpa gejala.
Nilai fungsi hati dalam darah agak meningkat terus menerus.
Penularan juga berlangsung melalui darah, mani dan lendir,
sama dengan AIDS tetapi lebih agresif ; setetes kecil darah
sudah cukup untuk mengakibatkan infeksi. Penyakit ini khusus
menyerang pecandu narkoba, pekerja seks dan orang-orang
dengan kontak seksual berganti-ganti. Menurut tafsiran WHO,
dewasa ini diseluruh dunia terdpat 1,5 juta orang terinfeksi.
Pengobatan dapat dilakukan dengan alfa-interferon I.M tiga kali
seminggu 3 MU selama 3-12 bulan. Hanya efektif untuk lebih
kurang 60% dengan persentase kambuh tinggi, diatas 50%. Virus
hepatisis lainnya belum diteliti dengan baik.
d. HEV (Hepatitis E Virus) banyak trdapat didaerah tropis dan
terutama melanda remaja. Gejala-gejalanya secara klinis tidak
dapat dibedakan dari hepatitis A. Masa inkubasinya 2-8 minggu,
Lazimnya sembuh tuntas secara spontan ( Hepatitis E in
Nederland 1992-1996. NTvG 1996, 29, 1514).
e. HFV (Hepatitis F Virus) belum lama ditemukan ; bahan-bahan
genetisnya belum dianalisa secara lengkap.
f. HGV (Hepatitis G Virus) ditemukan ditahun 1996 dan relatif
banyak dtemukan pada donor darah. Kebanyakan infeksi (Via
transfusi dan jarum tercemar) berlangsung tanpa gejala nyata,
seperti halnya pada hepatitis akut.
Terapi infeksi Virus Hepatiinfeksi virus hepatitis

Titik sasaran dari efikasi obat dalam uji klinis infeksi virus
hepatitis B adalah serokonversi HBeAg dake negative dengan supresi
DNA HBV dari positif ke yang tidak dapat terdeteksi. Titik akhir ini
berkorelasi dengan perbaikan penyakit nekroinflamatorik, penurunan
risiko karsinoma hepatoselular dan sirosis, dan penurunan kebutuhan
akan transplantasi hati. Akan tetapi, karena terpai saat ini lebih
menekan replikasi HBV ketimbang mengeradikasinya, respon awalnya
mungkin tidak bertahan lama. DNA sirkular yang tertutup secara
kovalen ( covalently closed circular, ccc) banyak terdapat dalam
bentuk stabilnya dalam sel, menjadi reservoir HBV disepanjang masa
hidup sel dan menimbulkan kemampuan untuk melakukan reaktivasi.
Relaps lebih sering dialami pasien yang mengalami koinfeksi HBV dan
virus hepatitis D.
Mulai 2006, terdapat tiga analog nukleosida/ nukleotida dan dua
obat interferon suntik di Amerika serikat untuk infeksi HBV kronik.
Meskipun tiga antiretroviral NRTI terkini (emtrisitabin, lamivudin, dan
tenovofovir ) memiliki aktivitas kuat terhadap HBV, hanya lamivudin
yang disetujui untuk terapi klinis. Meskipun belum disetujui FDA,
tenofovir dianjurkan oleh panduan consensus terkini untuk terapi pada
pasien

yang

terinfeksi

HBV

sekaligus

HIV-1.

Agen

antiherpes

famsiklovir juga memiliki aktivitas antiHBV, tetapi aktivitas ini relative


lemah dan memerlukan pemberian tiga kali sehari. Karena agen NRTI
dapat digunakan pada pasien yang mengalami koinfeksi hepatitis B
dan HIV., perlu diingat bahwa dapat terjadi eksaserbasi akut hepatitis
setelah pemberian obat dihentikan.
LAMIVUDIN
farmakokinetik lamivudin . waktu paruh intrasel yang lebih lama
dalam turunan sel HBV ( 17-19 jam ) ketimbang dalam turunan sel
yang terinfeksi HIV (10,5- 15,5 jam) memungkinkan pemberian dosis

yang lebih rendah dan pemberian yang lebih jarang. Lamivudin dapat
dengan aman diberikan pada penderita dekompensasi hati.
Lamivudin menghambat DNA polymerase HBV dan reverse
transcriptase HIV melalui kompetisi dengan deoksisitidin trifosfat untuk
bergabung dengan DNA virus, yang menyrbabkan terminasi rantai.
Lamivudin

mengurangi

replikasi

virus

sebesar

3-4

log

pada

kebanyakan pasien dan menekan DNA HBV ke tingkat yang tidak dapat
dideteksi pada sekitar 44% pasien. Serokonversi HBeAg dari positif
menjadi negative terjadi pada sekitar 17% pasien dan bertahap selama
3 tahun pada sekitar 70% responden. Terapi bersinambungan selama
4-8 bulan setelah serokonversi dapat meningkatkan periode ketahanan
respons. Respons pada pasien dengan HBe Ag negative awalnya tinggi
tetapi jarang bertahan lama.
Terapi lamivudin jangka panjang pada penderita hepatitis sangat
dibatasi dengan munculnya isolate HBV yang resisten lamivudin.
(misalnya

akibat

mutasi

YMDD).

Resistensi

dikaitkan

dengan

munculnya flare hepatitis dan penyakit hati progresif. Resistensi silang


antara lamivudin dan emtrisitabin atau entekavir dapat terjadi akan
tetapi resistensi silang antara lamivudin dan adenovir belum pernah
dilaporkan.
Pada dosis yang digunakan untuk infeksi HBV., lamivudin
memiliki profil keamanan yang sangat baik. Nyeri kepala, mual , dan
pusing jarang terjadi. Koinfeksi dengan HIV dapat meningkatkan resiko
pancreatitis.

Tidak

ada

laporan

mengenai

temuan

toksisitas

mitokondrial.
ADENOVIR DIPIVOKSIL
Walaupun awalnya dikembangkan secara tidak sempurna untuk
terapi infeksi HIV , penggunaan adenovir dipivoksil disetujui

dalam

dosis yang lebih rendah dan kurang toksik untuk terapi infeksi terapi
HBV. Adenovir dipivoksil adalah precursor obat diester dari adenovir.,
suatu analog nukleotida adenine terfosfonasi asiklik. Senyawa ini
terfosforilasi oleh kinase sel menjadi metabolit difosfat aktif kemudian
secara

kompetitif

menghambat

DNA

polymerase

HBV

,yang

menyebabkan terminasi rantai setelah bergabung dengan DNA virus.


Baru baru ini, mutan HBV yang terjadi secra alami dan resisten
terhadap adenovir telah ditemukan yakni rt233.

Bioavabilitas oralnya sekitar 59% dan tidak dipengaruhi oleh


makanan. Waktu paruh eliminasi terminalnya sekitar 7,5 jam. Adenovir
diekskresi oleh kombinasi filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus aktif
sehingga dapat diberikan pada penderita dekompensasi hati.
Uji

placebo

terkontrol

ini

menunjukkan

bahwa

adenovir

menyebabkan penurunan salinan DNA HBV/ml reratasebesar 3,5 log,


normalisasi aspartat aminotransferase pada 48% -72% pasien, dan
perbaikan histology hati dan fibrosis hati pada 53% - 64% pasien
dalam 48 minggu. Terapi yang lebih lama lebih meningkatkan angka
respons , dengan serokonversi anti-HBeAg pada 23% dalam 72 minggu
dan peningkatan inflamasi dan fibrosis saat dilakukan biopsy hati
dalam 5 tahun. Meskipun jarang muncul , resistensi selama terapi
(~4% setelah 3 tahun penggunaan), mutasi spesifik dikaitkan dengan
rebound virus. Tidak terdapat resistensi silang antara denovir dan
lamivudin.
Adenovir dipivoksil ditoleransi dengan baik.nefrotoksisitas yang
bergantung pada dosis diamati pada uji klinis dan bermanifestasi
sebagai peningkatan kreatinin serum disertai penurunan fosfor serum

dan lebih sering terjadi pada pasien dengan dasar insufisiensi ginjal.
Kemungkinan efek samping meliputi nyeri kepala, diare , asthenia dan
nyeri perut. Seperti agen NRTI lain asidosis laktat dan steatosis hepatic
dianggap sebagai resiko akibat disfungsi mitokondria. Adenovir bersifat
embriotoksik pada tikus.

ENTEKAVIR
Entekavir adalah analog nukleosidaguanosin per oral yang
secara kompetitif menghambat DNA polymerase HBV , termasuk base
priming transkripsi terbalik untai negative, dan sintesis untai positive
DNA HBV. Bioavabilitas oralnya mencapai 100% tetapi menurun oleh
makanan ; karena itu entekavir harus diminum dalam keadaan
lambung kosong. Waktu paruh senyawa terfosforilasi aktif dalam sel
selama 15 jam. Senyawa ini diekskresi melalui ginjal, setelah menjalani
filtrasi glomerulus dan sekresi tubulus.
Perbandingannya dengan lamivudin pada penderita infeksi HBV
kronik menunjukkan angka serokonversi HBeAg yang serupa tetapi
angka supresi DNA virus HBV

yang lebih tinggi pada penggunaan

entekavir, normalisasi kadar alanin aminotransferase dalam serum,


dan perbaikan gambaran histologist dalam hati. Tidak terjadi resistensi
primer setelah penggunaan entekavirsampai 48 minggu. Namun ,
timbul penurunan kerentanan terhadap entekavir terkait resistensi
lamiduvin. Adenovir tetap memiliki aktivitas terhadap jalur yang
resisten terhadap entekavir.
Entekavir di toleransi dengan baik. Efek samping yang dilaporkan
paling sering terjadi adalah nyeri kepala, kelelahan, pusing, dan mual.
Adenoma dan karsinoma paru pada tikus adenoma dan karsinoma

pada hati tikus dan mencit, tumor vaskuler pada mencit , dan glioma
otak dan fibroma kulit pada tikus telah diamati pada berbagai tingkat
pajanan. Pemberian entekavir bersamaobat yang menurunkan fungsi
ginjal

atau

berkompetisi

dengan

sekresi

tubulus

aktif

dapat

meningkatkan kadar serum entekavir atau obat yang diberikan


bersama tersebut.
Interferon Alfa
Interferon adalah sitokin pejamu yang memiliki efek antivirus,
imunomodulator, dan antiproliferatif. Interferon (IFN)-alfa tampaknya
berfungsi menginduksi sinyal intrasel setelah berikatan dengan
reseptor memberan sel tertentu sehingga menghambat penetrasi,
translasi, transkripsi, pemrosesan protein, maturasi, dan pelepasan
virus,
serta
meningkatkan
ekspresi
antigen
kompleks
histokompatibilitas mayo, meningkatkan aktivitas fagositik makrofag,
dan augmentasi proliferasi dan kesintasan sel T sitotoksik.
Sediaan interferon alfa suntik tersedia untuk terapi infeksi virus
HBV dan HCV. Interferon alfa-21 dan interferon alfa-2b dapat diberikan
subkutan atau intramuskular, sementara interferon alfacon-1 diberikan
subkutan. Waktu-paruh eliminasinya adalah 2-5 jam untuk interferon
alfa-2a dan -2b, bergantung pada jalur pemberiannya. Waktu-paruh
interferon alfacon-1 pada penderita hepatitis C kronik berkisar dari 6
jam hingga 10 jam. Interferon alfa disaring di glomeruli dan menjalani
degradasi proteolitik cepat sewaktu proses reabsorpsi di tubulus
sedemikian rupa sehingga zat ini tidak terdeteksi di sirkulasi sistemis.
Metabolismenya di hati dan ekskresinya di empedu dianggap
merupakan jalur minor.
Interferon alfa-2a pegylated dan interferon alfa-2b pegylated
baru-baru ini diperkenalkan untuk terapi penderita infeksi HBV dan
HCV. Pembersihan agen-agen ini yang lebih lambat menghasilkan
waktu-paruh terminal yang lebih lama secara signifikan dan
konsentrasi obat yang lebih stabil sehingga diberikan lebih jarang.
Eliminasi di ginjal berperan dalam 30% bersihan obat ini, dan bersihan
berkurang sekitar separuh pada orang dengan gangguan fungsi ginjal;
karena itu, dosisnya harus disesuaikan.

Pada penderita infeksi HBV kronik, meta-analisis terhadap uji


klinis terbaru menunjukkan bahwa terapi dengan interferon alfa
menyebabkan lebih tingginya insidens serokonversi antigen e hepatitis
(HbeAg) dan tidak terdeteksinya kadar DNA HBV ketimbang plasebo.
Penambahan gugus pegylated lebih lanjut menambah proporsi pasien
yang mengalami serokonversi HbeAg (~30%) dan penurunan sekitar 4
log copies/mL (99,99%) pada DNA HBV setelah 1 tahun.
Obat dalam terapi hepatitis virus
Agen
Hepatitis B
Lamivudine
Adefovir
Entecavir
Interferon alfa2b
Hepatitis C
Interferon alfa2a pegylated
Interferon alfa2b pegylated
Ribavirin
Interferon alfa2b1
Interferon alfa2a1
Interferon alfa2b1
Interferon
alfacon-1

Indikasi

Dosis yang dianjurkan


untuk Orang Dewasa

Jalur
pemberian

Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik

100 mg sekali sehari

Oral

10 mg sekali sehari

Oral

0,5 - 1 mg sekali sehari

Oral

5 juta unit sekali sehari Subkutan atau


atau 10 juta unit tiga kali intramuskular
seminggu

Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik
Hepatitis
kronik

Subkutan

Subkutan

Oral

Subkutan dan
intramuskular
Subkutan dan
intramuskular
Subkutan dan
intramuskular
Subkutan

C
C
C

Dosis harus diturunkan pada pasien insufisiensi ginjal

Tidak dianjurkan sebagai monoterapi

Terapi infeksi virus hepatitis C


Tujuan utama terapi pasien infeksi HCV adalah eradikasi virus.
Pada uji klinis, titik akhir efikasi yang utama biasanya adalah
tercapainya respons virus yang bertahan lama (sustained viral
response, SVR), yang didefinisikan sebagai tidak terdeteksinya viremia
selama 6 bulan setelah terapi selesai. SVR terkait dengan perbaikan
histologi hati dan penurunan risiko karsinoma hepatoselular dan
terkadang juga dengan tegresi sirosis. Relaps lanjut terjadi pada
kurang dari 5% pasien yang mencapai SVR.
Pada hepatitis C akut, laju bersihan virus tanpa terapi
diperkirakan mencapai 15-30%. Pada satu studi (tak terkontrol), terapi
infeksi akut dengan interferon alfa-2b,dalam dosis yang lebih tinggi
dari dosis yang digunakan pada hepatitis C kronik, menimbulkan laju
bersihan sebesar 95% yang bertahan lama selama 6 bulan. Oleh sebab
itu, jika pemeriksaan RNA HCV menunjukkan viremia yang persisten 12
minggu setelah serokonversi awal, terapi antivirus sebaiknya
diberikan.
Standar terapi terkini pada penderita infeksi HCV kronik adalah
interferon alfa pegylated sekali seminggu yang dikombinasi dengan
ribavirin oral harian. Interferon alfa-2a dan -2b pegylated telah
menggantikan interferon alfa yang tidak diubah karena efikasinya yang
lebih
baik
dalam
kombinasi
dengan
ribavirin,
tanpa
mempertimbangkan genotipenya. Terapi kombinasi dengan ribavirin
oral juga secara nyata lebih efektif daripada monoterapi dengan
interferon atau ribavirin saja. Oleh sebab itu, monoterapi dengan
inteerferon alfa pegylated hanya dianjurkan pada pasien yang tidak
dapat menoleransi ribavisin. Faktor yang menyebabkan baiknya
respons terhadap terapi meliputi HCV genotipe 2 atau 3, ketiadaan
gambaran sirosis pada biopsi hati, dan rendahnya kadaar RNA HCV
praterapi.

RIBAVIRIN
Ribavirin adalah analog guanosin yang difosforilasi dalam sel
oleh enzim sel pejamu. Meskipun mekanisme kerjanya belum
sepenuhnya jelas, ribanvirin tampaknya menggangu sintesis guanosin
trifosfat, menghambat capping RNA perantara virus, dan menghambat
polimerase yang bergantung -RNA pada virus tertentu. Ribanvirin
triffosfat menghambat replikasi sejumlah besar virus DNA dan RNA,
termasuk influenza A dan B, parainfluenza, respiratoty syncytial virus,
paramiksovirus, HCV dan HIV-1.
Bioavailabilias absolut ribavirin oral sekitar 64%, meningkat
dengan makanan tinggi lemak dan menurun jika diberikan bersama
antasid. Eliminasi ribavirin terutama terjadi melalui urine; dngan
demikian, bersihannya menurun pada pasien dengan bersihan
kreatinin kurang dari 30 mL/menit.
Bukti menunjukkan bahwa dosis ribavirin yang lebih tinggi
(>10,6 mg/kg) dan durasi yang lebih lama, dalam bentuk kombinasi
dengan salah satu interferon alfa, dapat meningkatkan respons. Hal
tersebut diimbangi dengan kemungkinan toksisitasnya yang lebih
tinggi. Anemia hemolitik yang bergantung -dosis terjadi pada 10-20%
pasien. Potensi efek simpang lainnya meliputi depresi, kelelahan,
iritabilitas, ruam, batuk, insomnia, mual dan pruritus. Kontraindikasi
terhadap terapi ribavirin meliputi anemia tak terkoreksi, gagal ginjal
tahap akhir, penyakit vaskuler iskemik, dan kehamilan. Ribavirin
bersifat teratogenik dan embriotoksik pada binatang serta bersifat
mutagenik pada sel mamalia. Pasien yang terpajan dengan obat ini
sebaiknya tidak memiliki anak setidaknya 6 bulan setelahnya.
AMANTADIN & RIMANTADIN
Amantadin (1-aminoadamantan hidroklorida) dan turunan metilnya, rimantadin, adalah amin siklik keluarga adamantin yang
menyekat kanal ion proton M2 dari partikel virus dan menghambat
uncoating RNA virus dalam sel pejamu yang terinfeksi, sehingga
mencegah replikasinya. Kedua obat ini hanya aktif terhadap influenza
A. Rimantadin lebih aktif empat hingga lima kali ketimbang amantadin
in vitro. Amantadin diekskresi di urine tanpa mengalami perubahan,
semntara rimantadin menjalani metabolisme yang ekstensif melalui

hidroksilasi, konjugasi, dan glukoronidasi sebelum diekskresi melalui


urine. Dosis kedua agen tersebut perlu diturunkan pada orang lanjut
usia dan pada pasien dengan insufisiensi hati yang nyata.
Jika tidak timbul resistensi, amantadindan rimantadin pada dosis
100 mg dua kali sehari atau 200 mg sekali sehari bersifat protektif
sebesar 70-90% dalam mencegahmanifestasi klinis ketika diberikan
sebelum terjadi pajangan.ketika dimulai dalam 1-2 hari setelah awitan
penyakit, durasi demam dan gejala sistemis berkurang selama 1-2
hari.
Sasaran utama kedua agen adalah protein M2 dalam membran
virus, yang menyebabkan spesifitas terhadap influenza A dan
merupakan lokasi rentan-mutasi yang cepat menimbulkan resistensi
pada 50% pasien yang diterapi. Isolat resisten dengan mutasi satu titik
bersifat stabil secara genetik, tetap mempertahankan patogenitas,
dapat ditukarkan melalui kontak erat, dan dapat disebarkan secara
kronis oleh pasien luluh-imun. Prevalensi resistensi terhadap kedua
agen pada isolat klinis di amerika serikat meningkat dari 2% pada
musim influenza 2003-2004, menjadi 12% pada 2004-2005, dan
melonjak sangat tinggi menjadi 91% pada 2005-2006 (99% pada
H3N2, 1% pada H1N1). Tidak terjadi resistensi silang terhadap
zanamivir dan oseltamivir.
Efek samping yang paling sering timbul adalah keluhan saluran
cerna (mual, anoreksia) dan sistem saraf pusat (gelisah, sulit
berkosentrasi, insomnia, kepala terasa ringan). Toksisitas sistem saraf
pusat dapat disebabkan oleh perubahan neuro transmisi dopamin,
lebih jarang terjadi pada rimantidin ketimbang amantadin, cenderung
menghilang setelah penggunaan minggu pertama dan dapat
meningkat jika di berikan bersama antihistamin, antikolinergik,
hidroklorotiazid, dan trimetropim-sulfametoksaol. Reaksi neurotoksik
berat, sesekali fatal dapat disebabkan oleh kadar amantadin yang
tinggi dalam plasma dan lebih sering muncul pada orang berusia lanjut
atau pasien insufisiensi ginjal. Edema perifer menjadi efek samping
lainnya yang mungkin. Kedua agen bersifat teratogenik pada hewan
pengerat, dan defek pada kelahiran dilaporkan terjadi akibat
pejanannya selama kehamilan.

ZANAMIVIR & OSELTAMIVIR


Penghambat neurominidase zanamivir dan oseltamivir, yang
merupakan analog asam sialat mengganggu pelepasan progeni virus
influenza dari sel yang terinfeksi ke sel pejamu baru sehingga
menghentikan penyebaran infeksi dalam saluran nafas. Tidak seperti
amantadin dan rimantadin, zanamivir dan oseltamivir memiliki
aktivitas terhadap virus influenza A dan influenza B. Pemberiannya
secara dini penting karena replikasi virus influenza mencapai
puncaknya pada 24-27 jam setelah awitan penyakit. Ketika terapi
untuk 5 hari dimulai 36-48 jam setelah munculnya gejala, durasi
penyakit berkurang 1-2 hari jika dibandingkan dengan plasebo,
keparahannya berkurang, dan insidens. Kompilkasi sekunder pada
anak dan dewasa menurun. Pemberiannya sebagai profilaksis sekali
sehari, 70-90% efektif mencegah penyakit setelah pajangan.
Oseltamivir disetujui oleh FDA untuk pasien berusia 1 tahun atau lebih,
sementara zanamivir disetujui untuk pasien berusia 7 tahun atau lebih.
Zanamivir diberikan langsung ke saluran nafas via inhalasi.
Sepuluh hingga duapuluh persen senyawa aktif mencapai paru, dan
sisanya tertumpuk dalam orofaring. Kadar zanamivir pada saluran
nafas diperkirakan lebih dari 1000 kali kadar inhibitorik 50%
neuraminidase. Lima hingga limabelas persen dari dosis total (10mg
dua kali sehari untuk terapi dan 10 mg sekali sehari untuk
pencegahan) diserap dan diekskresi dalam urine dengan metabolisme
minimal. Potensi efek sampingnya meliputi batuk, bronkospasme
(sesekali berat), penurunan fungsi paru yang reversible, dan keluhan
hidung dan tenggorokan sesaat.
Oseltamivir adalah prekursor obat oral yang diaktifkan oleh
esterase hati dan terdistribusi luas dalam tubuh. Dosisnya 75 mg dua
kali sehari untuk terapi dan 75 mg sekali sehari untuk pencegahan,
dosisnya harus disesuaikan pada pasien insufisiensi ginjal. Waktu
paruh oseltamivir adalah 6-10 jam, dan ekskresinya terutama melalui
urin. Potensi efek sampingnya meliputi mual, muntah, dan nyeri
abdomen, yang terjadi pada 5-10% pasien di awal terapi tetapi
cenderung membaik dengan spontan. Penggunaan oseltamivir
bersama makanan tidak mengganggu penyerapannya dan dapat
mengurangi mual dan muntah. Nteri kepala, kelelahan, dan diare telah
di laporkan terjadi dan tampaknya lebih sering terjadi dengan
penggunaan profilaktik.

Pada orang dewasa jarang timbul resistensi selama terapi tetapi


jika timbul, dapat menyebabkan penyakit yang fatal. Belum diketahui
apakah muatan resisten tetap memiliki patogenisitas atau menyebar di
antara manusia. Resistensi yang tersebar diseluruh dunia jarang terjadi
dan belum pernah tercatat pada semua isolat klinis dari musim
influenza 2005-2006 hingga saat ini di AS. Avian influenza diharapkan
tetap rentan terhadap penghambat neuroaminidase.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Hepatitis adalah penyakit yang menyerang hati yang disebabkan
oleh virus atau obat-obatan. Penyakit ini dapat menyerang laki-laki
maupun perempuan dengan gejala-gejala klinis seperti lelah, demam,
mual, muntah, diare, mata kuning, dan lain lain atau dapat pula
penyakit ini timbul tanpa gejala sehingga tidak terdeteksi. Penyakit
hepatitis ini merupakan penyakit yang dapat menular melalui air liur,
kontak seksual, transfuse darah, jarum suntik dan alat-alat yang
terkontaminasi oleh virus hepatitis.

You might also like