Professional Documents
Culture Documents
ABSES PERITONSILER
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti
Ujian Kepaniteraan Ilmu Kesehatan THT
RSUD Tidar Magelang
Pembimbing
dr. Asti Widuri, Sp. THT, M.Kes
Disusun oleh
Farah Izzati Rusyda Ulfa
NIM : 2008 031 0012
Ardianto Nandiwardhana
NIM :
I.
II.
IDENTITAS PASIEN
Nama
Jenis Kelamin
Usia
Alamat
Tanggal ke poliklinik THT
: Sdr. AH
: Laki-laki
: 16 tahun
: Jurang Omba Gg.Cempaka V
: Kamis, 29 Agustus 2013
ANAMNESIS
Keluhan utama :
Pasien mengeluh nyeri pada tenggorokan
Riwayat penyakit sekarang:
Seorang pasien, laki-laki 16 tahun datang ke poliklinik penyakit THT
RSUD Tidar Magelang pada tanggal 29 Agustus 2013 dengan keluhan nyeri
pada
tenggorokan.
Pasien
juga
merasa
ada
yang
mengganjal
di
III.
Disangkal
Riwayat Asma
Disangkal
PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Tensi
: 120/80
Nadi
: 80 x/menit
Respirasi
: 16 x/menit
Suhu
: 37,5o C
Pemeriksaan fisik
Kepala: conjungtiva anemis (-/-), pupil isokor, sklera ikterik (-/-)
Leher : Tekanan vena jugularis tidak meningkat, lnn tak teraba
Jantung : suara S1 dan S2 reguler, bising (-), wheezing (-/-)
Abdomen : bunyi usus (+) normal, supel, timpani (+)
Ekstrimitas : tidak ada kelemahan ekstremitas
STATUS LOKALIS
TELINGA
Inspeksi :
Deskuamasi
Otore
Serumen
Tumor
Edema
Hiperemis
Kelainan Kongenital
Benjolan pada telinga luar
Palpasi
Tragus Pain
Nyeri Tarik Auricula
Pembesaran kelenjar limfe
retroaurikuler dan preaurikuler
Auricula Dextra
Auricula Sinistra
Otoskopi
Laserasi Meatus Eksternus
Serumen
Discharge pada CAE
CAE Hiperemis
Membrana timpani
Discharge
Reflek Cahaya (cone of light)
Auricula Dextra
Auricula Sinistra
Utuh
+
Utuh
+
Nasi Dextra
Nasi Sinistra
Nasi Dextra
Nasi Sinistra
HIDUNG
Inspeksi :
Deformitas
Deviasi Septum
Edema
Kelainan Kongenital
Jaringan Parut
Hiperemis
Tumor
Discharge
Palpasi
Nyeri tekan dorsum nasi (-)
Nyeri tekan frontalis (-)
Krepitasi (-)
Edema (-)
Rhinoskopi Anterior :
Mukosa hiperemis
Mukosa Edema
Konka hiperemis
Konka edema
Deviasi Septum
Discharge
Massa
Benda Asing
Rhinoskopi posterior tidak dilakukan
TENGGOROK
Inspeksi :
Palpasi :
IV.
V.
DIAGNOSIS
Abses peritonsiler
TERAPI
Injeksi Cefotaxime 2 x 1 g
Injeksi Remopain 2 x 1 g
Injeksi Kalmetason 2 x 1 g
PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas
yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara lakilaki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan
multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada
orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadangkadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir
45.000 kasus setiap tahun4.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam
sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang
terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses
peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu
abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula
dan angina ludovici (Ludwig Angina) 3.
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior4.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri
penginfeksi tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring
menyebabkan pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil
tetapi tetap dalam batas otot konstriktor faring
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)
pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi
yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih
sering pada anak-anak yang lebih tua dan dewasa muda2.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun
yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses
peritonsiler
adalah Streptococcus
streptoccus), Staphylococcus
organisme
anaerob
pyogenes(Group
aureus,
yang
danHaemophilus
berperan
Beta-hemolitik
influenzae. Sedangkan
PATOLOGI
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher
(limitation in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan
peradangan otot tengkuk (cervical muscle inflammation)1.
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan
jarum besar (berukuran 1618) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
nasopharynx
dan
oropharynx
dapat
membantu
dokter
dalam
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah2:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan
mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus
sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA
diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
DIAGNOSIS BANDING
Infiltrat peritonsil, tumor, abses retrofaring, abses parafaring, aneurisma arteri
karotis interna, infeksi mastoid, mononucleosis, infeksi kelenjar liur, infeksi gigi, dan
adenitis tonsil
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik
yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4
x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula
dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan
mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar.
Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal
di ganglion sfenopalatum.
Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede,
dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3
minggu sesudah drainase abses2.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera10.
mengungkapkan
bahwa
penambahan
dosis
tunggal
intravenous
PROGNOSIS
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka difunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jeringan fibrosa dan granulasi pada saat
oprasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams G., Boies L., Higler P. BOIES Fundamental of Otolaryngology (Buku Ajar
Penyakit THT) Edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.
Soepardi A, Iskandar N, Bashiruddin J, et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 2007. Pg:212-25
Carparas. M. B, Lim. M. G. Basic Otolaryngology. Publication of comitteeof the
college of Medicine: University of the Philippines. 1998. Pg: 149-59