You are on page 1of 21

MENGUNGKAP AGENCY PROBLEM PADA KONTRAK MURABAHAH

AL-WAKALAH DI PERBANKAN SYARIAH


Sri Apriyanti Husain
Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono, No. 165 Malang, 65145
sriapriyantihusain@gmail.com
Abstrak
Murabahah merupakan akad jual beli atas barang tertentu, dimana
penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli kemudian
menjual kepada pihak pembeli dengan mensyaratkan keuntungan yang
diharapkan sesuai jumlah tertentu. Al-Wakalah atau Al-Wikalah berarti AlTafwidh (penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat). Secara bahasa
Al-Wakalah didefinisikan sebagai sebuah transaksi dimana seseorang
menunjuk untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya. Dalam
kontrak Murabahah, pihak bank sebagai principal boleh mewakilkan kepada
nasabah untuk membeli sendiri barang yang diinginkan oleh nasabah.
Namun dalam prakteknya, sering kali menimbulkan agency problem berupa
ketidakseimbangan informasi antara pihak principal dan agen.
Secara
spesifik, Agency problem yang
terjadi
dalam
kontrak Murabahah Al-Wakalah adalah ketika pihak agen bertindak
mengabaikan hubungan kontraktual dan mendorong untuk bertindak tidak
berdasarkan prinsip syariah ataupun kesepakatan antara pihak bank dan
nasabah. Stiglitz (1992) menyatakan bahwa permasalahan antara
pricipal dan agent terjadi ketika dalam hubungan tersebut memiliki
imperfect information. Artikel ini akan mengungkap agency problem pada
kontrak Murabahah Al-Wakalah
Kata Kunci: Murabahah, Wakalah, Agency Problem, Bank Syariah

Abstract
Murabahah is a sale and purchase agreement on certain goods, which
the seller said the purchase price of the goods to the buyer then sold to the
purchaser by requiring the expected profit corresponding amount. AlWakalah or Al-Wikalah means Al-Tafwidh (submission, delegation, and
mandate). In language Al-Wakalah is defined as a transaction in which a
person appointed to replace in doing his job. In a Murabaha contract, the
bank as the principal may delegate to customers to buy their own goods
desired by the customer. However, in practice, often give rise to agency
problems such as imbalance of information between the principal and the
agent.
Specifically, the Agency problem that occurs in Al-Wakalah Murabaha
contract is when the agent acts ignore the contractual relationship and push

for action not based on Islamic principles or agreement between the bank
and the customer. Stiglitz (1992) states that the problems between the
pricipal and agent occurs when the relationship has imperfect information.
This article will reveal the agency problem on the contract Murabaha AlWakalah
Keywords: Murabahah, Wakalah, Agency Problem, Islamic Banking
PENDAHULUAN
Perbankan syariah merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam. Ekonomi
Islam bersifat muamalah, artinya ekonomi Islam selalu berhubungan dengan
manusia. Perbankan syariah telah menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari
roda kehidupan ekonomi dunia. Hal ini ditujukkan dengan banyaknya bank-bank
konvensional yang mulai merambah dan membuka cabang baru dengan nuansa
syariah dengan sistem bagi hasil.
Keunggulan sistem bagi hasil yang diterapkan perbankan syariah ini
membawa dampak positif bagi perkembangan ekonomi di Indonesia, karena
selain memicu lahirnya bank-bank baru dengan sistem syariah, juga banyak
perbankan konvensional yang membuka cabang syariah, bahkan beberapa bank
konvensional melakukan konversi total ke sistem syariah seperti Bank Mandiri,
mempunyai Bank Syariah Mandiri, begitu pula Bank Rakyat Indonesia, Bank
Negara Indonesia, mempunyai divisi syariah ataupun Bank Syariah. Bank-bank
swasta pun telah memperlakukan Dual Banking System, seperti Bank Niaga, Bank
IFI, Bank Permata, BCA maupun bank-bank pemerintah, BUMN, maupun bank
swasta lainnya. Bukti nyata eksistensi perbankan syariah di tengah krisis ekonomi
global adalah pada periode tersebut Bank Muamalat justru berhasil membukukan
laba lebih dari 300 Milyard (Fachrizal, 2009).

Diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan


syariah yang terbit pada tanggal 16 Juli 2008, semakin memperjelas bahwa
Perbankan Syariah di Indonesia semakin mempunyai landasan hukum dan
peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Selain itu juga kenyataan
membuktikan bahwa perbankan syariah cukup berhasil bertahan dalam krisis
moneter yang mengguncang perbankan nasional.
Peranan perbankan syariah dalam aktivitas ekonomi pada dasarnya tidak
jauh berbeda dengan perbankan konvensional. Bank syariah juga berperan sebagai
lembaga intermeditary yaitu lembaga keuangan yang memediasi antara
masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, selain itu juga bank syariah tetap
berfungsi sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Namun hal yang paling mendasari
perbedaan antara perbankan syariah dan perbankan konvensional adalah prinsipprinsip opersional yang digunakan dalam transaksi keuangan.
Sama halnya prinsip muamalah, semua jenis transaksi pada dasarnya
diperbolehkan sepanjang tidak mengandung unsur riba, gharar, ataupun maisir.
Dalam melaksanakan kegiatan pembiayaan perbankan syariah harus mengikuti
mekanisme bagi hasil sebagai pemenuhan kegiatan permodalan, serta investasi
berdasarkan imbalan melalui mekanisme jual-beli sebagai pemenuhan dalam
pembiayaan.
Pembiayaan yang dilakukan dengan menggunakan mekanisme jual beli
umumnya dikenal ada tiga jenis yaitu murabahah, salam, dan istishna. Menurut
Antonio dalam bukunya akuntansi perbankan dari teori ke praktik, menurut sifat
penggunaanya pembiayaan pada dasarnya dibagi menjadi dua jenis yaitu

pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumstif. Yang termasuk dalam


pembiayaan produktif adalah mudharabah dan musyarakah sedangkan murabahah
sendiri termasuk dalam pembiayaan konsumtif.
Hampir di seluruh dunia bahkan di Indonesia murabahah masih menjadi
The Queen Of Finance in The Bank. Padahal pembiayaan yang dianjurkan dalam
Islam adalah pembiayaan bagi hasil yang dalam hal ini adalah mudharabah dan
musyarakah namun pada kenyataannya, pembiayaan murabahahlah yang paling
banyak digunakan dalam perbankan syariah (Husain: 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga
akhir tahun 2014, total pembiayaan syariah berjumlah Rp. 22,54 triliun atau
tumbuh 0,85% ketimbang tahu sebelumnya Rp. 22,35 triliun. Pembiayaan syariah
tersebut mayoritas disumbangkan dari jenis murabahah yaitu Rp. 20,42 triliun
atau 90,59% dari total penyaluran kredit.kemudian diikuti oleh pembiayaan Ijarah
Muntahiyah Bittamlik sesar Rp. 1,89 triliun atau 8,38%, pembiayaan Ijarah
sebanyak 222,95 miliar atau 0,98% dan pembiayaan Hiwalah yang hanya Rp.
2,56 miliar atau 0,005%.
Meskipun dinyatakan bahwa akad murabahah tidak melanggar syariah akan
tetapi sistem pembiayaan ini sangat mirip dengan kredit pada bank konvensional.
Sebagaimana dinyatakan oleh Siddiqi (1983), Saya khawatir dalam prakteknya
hal ini (murabahah) akan menyerupai transaksi-transaksi berdasarkan bunga
secara terselubung.
Dalam paradigma konvensional, kontrak murabahah al-wakalah termasuk
dalam hubungan agency atau agency relationship. Agency relationship adalah
proses pendelegasian wewenang oleh pemilik perusahaan kepada pihak

manajemen untuk mengelola dan mengambil berbagai kebijakan perusahaan.


Jensen dan Meckling (1976) dalam penelitian mengartikan agency relationship
sebagai perjanjian kontrak antara satu atau beberapa orang (principal/ pemilik
perusahaan) dengan orang lain sebagai wakil (agent/ manajemen) yang diberikan
wewenang menjalankan tugas untuk kepentingan principal termasuk wewenang
dalam mengambil keputusan.
Secara spesifik agency problem yang terjadi dalam kontrak murabahah alwakalah adalah pihak agen mengabaikan hubungan kontraktual dan mendorong
untuk bertindak tidak berdasarkan prinsip syariah dan kesepakatan antara pihak
bank. Sebuah pertanyaan mungkin bisa dijadikan cerminan, apa bedanya kredit
dibank syariah dengan bank konvensional? ambil contoh kredit (pembiayaan)
multiguna, bank syariah akan menggelontorkan sejumlah dana kepada debitur,
lalu disuruh mengembalikan dengan nominal yang lebih besar. Sama saja bukan?.
Artikel ini akan mengungkap agency problem pada kontrak murabahah alwakalah di perbankan syariah.

PEMBAHASAN
1) Sekilas Tentang Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan

ditambah

keuntungan

yang

disepakati

dan

penjual

harus

mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102).


Menurut Ayub dalam bukunya Widodo (2010: 19), murabahah berasal dari kata
ribh yang berarti keuntungan, laba, atau tambahan. Akad murabahah adalah akad
jual beli barang dengan menyatakan harga asal dan keuntungan (margin) yang

disepakati oleh penjual dan pembeli dimana pembayaran dapat dilakukan secara
tunai atau tangguh (Warsono dan Jufri : 2011).
Menurut Gozali (2005: 94) mendefinisikan pengertian murabahah adalah
sebagai berikut: Suatu perjanjian yang disepakati antara bank syariah dengan
nasabah dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau
modal kerja lainnya dalam bentuk barang yang dibutuhkan nasabah yang akan
dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin
keuntungan) pada waktu dan mekanisme pembayaran yang ditetapkan
sebelumnya pada awal.
Murabahah menurut Ascarya (2007: 81) menyatakan bahwa: murabahah
adalah istilah dalam fiqih Islam yang berarti suatu bentuk jual beli tertentu ketika
penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biayabiaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut dan tingkat
keuntungan (margin) yang diinginkan. Khan dalam bukunya Widodo (2010),
Murabahah sebagai metoda (mode) pembiayaan pada awalnya muncul saat
dipergunakan oleh Islamic Development Bank (IDB) dalam operasional usahanya
pada tahun 1975.

2) Landasan Hukum Murabahah


Adapun landasan hukum murabahah yaitu:


Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan


harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa:
29)
Pada QS. Al-Baqarah ayat 275 Allah Subhanallahu wataala berfirman:

Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba.. (QS. Al-Baqarah : 275)
Dalam QS. Al-Maidah ayat 1 Allah Subhanallahu wataala berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu... (QS. AlMaidah: 1)
Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi Wassallam pernah
ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: "Pekerjaan
seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih." Riwayat al-Bazzar.
Hadits shahih menurut Hakim.
Dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah ShalallahuAlaihi Wassalam
bersabda: Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka. (HR. AlBaihaqi, Ibnu Majah, dan Shahih menurut Ibnu Hibban).
Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat, dan Allah senantiasa menolong
hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (HR. Muslim).

Hadis Nabi riwayat Abd Al-Raziq dari Zaid bin Aslam: Rasulullah
ShalallahuAlaihi Wassalam ditanya tentang urban (uang muka) dalam jual beli,
maka belah menghalalkannya.

3)

Ketentuan Murabahah
Dalam aktivitasnya, murabahah pada dasarnya memiliki ketentuan-

ketentuan yang harus diikuti. Adapun ketentuan murabahah berdasarkan Fatwa


Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04/DSN-MUI/IV/2000,
yakni sebagai berikut:
a)

Ketentuan Umum Murabahah Dalam Bank Syariah


Adapun ketentuan umum murabahah dalam bank syariah yaitu:

(1) Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
(2) Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah islam.
(3) Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
(4) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan
pembelian ini harus sah da bebas riba.
(5) Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian,
misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
(6) Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan
harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus
memberi tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya
yang diperlukan.

(7) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.
(8) Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut,
pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
(9) Jika bank hendak mewakilkan barang kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang,
secara prinsip menjadi milik bank.

b) Ketentuan Murabahah Kepada Nasabah


Adapun ketentuan umum murabahah dalam bank syariah yaitu:
(1) Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian satu barang atau
aset kepada bank.
(2) Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu
aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
(3) Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus
menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya,
karena secara hukum perjanjian tersebut megikat, kemudian kedua belah
pihak harus membuat kontrak jual beli.
(4) Dalam jual beli ini dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka
saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
(5) Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank
harus dibayar dari uang muka tersebut.
(6) Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank,
bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.

(7) Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka,
maka:
(a) Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal
membayar sisa harga.
(b) Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal
sebesar kerugian yang ditanggung bank akibat pembatalan tersebut; dan
jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

4) Karakteristik Pembiayaan Murabahah


Adapun karakteristik pembiayaan murabahah berdasarkan PSAK 102 yaitu
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam
murabahah berdasarkan pesanan, penjual melakukan pembelian barang setelah
ada pemesanan dari pembeli.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak
mengikat pembeli untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah
pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Jika asset
murabahah yang telah dibeli oleh penjual mengalami penurunan nilai sebelum
diserahkan kepada pembeli, maka penurunan nilai tersebut menjadi tanggungan
penjual dan akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau tangguh.
Pembayaran tangguh adalah pembayaran yang dilakukan tidak pada saat barang
diserahkan kepada pembeli, tetapi pembayaran dilakukan secara angsuran atau
sekaligus pada waktu tertentu.

5) Sekilas Tentang Wakalah


Al-Wakalah

atau

al-wikalah

atau

at-tahwidh

artinya

penyerahan,

pendelegasianatau pemberian mandat (Sabiq: 2008). Akad wakalah adalah akad


pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan. Sebabnya adalah tidak semua hal dapat diwakilkan contohnya salat,
puasa, bersuci, qishash, tala, dan lain sebagainya (Sri Nurhayati dan Washilah,
2013: 257).
Al-Ustadz H. Idris sedikit menggambarkan dalam bukunya Fiqh menurut
Madzhab Syafii beberapa hal tentang wakalah. Disini beliau mengistilahkan
wakalah dengan berwakil. Berwakil menurut logat artinya menyerahkan sesuatu.
Dalam istilah

syara berarti seseorang yang menyerahkan sesuatu urusannya

kepada orang lain, pada apa yang boleh diwakilkan menurut syara, agar orang
yang mewakilkan itu dapat melakukan sesuatu yang diserahkan kepadanya selagi
yang menyerahkan itu masih hidup.
Perwakilan sah dilakukan pada permasalahan jual beli, kawin, thalak,
memberi, menggadai dan suatu barang yang berhubungan dengan muamalah.
Beberapa

ahli,

baik

dari

kalangan

dunia

perbankan

maupun

ulama

mengungkapkan beberapa pendapat tentang pengertian wakalah dengan redaksi


yang bervariasi. Hashbi ash-Shiddieqy mengatakan bahwa wakalah adalah akad
penyerahan kekuasaan, yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai
penggantinya dalam bertindak (bertasharruf). Sayyid Sabiq mengatakan bahwa
wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam
hal-hal yang boleh diwakilkan. Senada dengan rumusan tersebut, ulama
Malikiyah berpendapat bahwa wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan

dirinya kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan


haknya yang tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati,
sebab bila dikaitkan dengan tindakan setelah mati, berarti sudah berbentuk wasiat.
Dengan istilah lain, ulama Hanafiah merumuskan bahwa wakalah itu berarti
seseorang mempercayakan orang lain menjadi jati dirinya untuk bertasharruf
pada bidang-bidang tertentu yang boleh diwakilkan.
Dalam konteks perbankan, Wirdiyaningsih mendefinisikan al-wakalah yaitu
jasa melakukan tindakan/ pekerjaan mewakili nasabah sebagai pemberi kuasa.
Untuk mewakili nasabah melakukan tindakan/pekerjaan tersebut nasabah diminta
untuk mendepositokan dana secukupnya.
Wakalah (perwakilan) yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan
perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan
tertentu dalam hidupnya. Terdiri dari wakil dan muwakil (yang diwakili) yang
harus memiliki kecakapan

bertasharruf (bertindak) yang sempurna dan

dilaksanakan dalam bentuk akad berupa ijab dan qabul. Dengan demikian harus
jelas obyek dan tujuan akad tersebut. Biasanya, wakil memiliki hak untuk
mendapatkan upah.
Helmi Karim memberikan definisi wakalah yaitu perlindungan (al-hifzh),
percukupan (al-kifayah), tanggungan (al-dhaman), atau pendelegasian (altafwidh), yang diartikan pula dengan memberikan kuasa atau mewakilkan.

6) Murabahah Al-Wakalah
Seperti penjelasan diatas murabahah merupakan akad jual beliatas barang
tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli

kemudian menjual kepada pihak pembeli dengan mensyaratkan keuntungan yang


diharapkan sesuai jumlah tertentu. Dalam akad murabahah, penjual menjual
barangnya kepada nasabah atau pihak yang membeli dengan meminta kelebiahan
atas harga beli dengan harga jual.
Sedangkan secara bahasa al-wakalah atau al-wikalah berarti al-tafwidh
(penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat) .Secara bahasa ,al-wakalah
didefinisikan sebagai sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain
untuk menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah
untuk mengerjakan pekerjaanyasecara sendiri .Namun, karena ada sesuatu dan
lain hal urusan itu diserahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk
menggantikannya. Oleh karena itu, jika seseorang (muwakkil) itu orang yang tidak
ahli untuk mengerjakan urusannya itu seperti orang gila atau anak kecil maka
tidak sah untuk mewakilkan orang lain Contoh kasus wakalah seseorang
mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam
pernikahan anak perempuannya.
Ijma ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai
tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan Allah SWT
dan Allah SWT perfirman adalah Surat Al- Maidah ayat 2

Ada Beberapa Rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah


1) Orang yang mewakilkan (muwakkil), syaratnya dia berstatus sebagai pemilik
urusan atau benda dan menguasai serta dapat bertindak terhadap harta

tersebut dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan pemiliknya atau
bukan orang yang ahli maka batal. Dalam hal ini maka anak kecil dan orang
gila tidak sah jadi muwakkil karena tidak termasuk orang yang berhak untuk
bertindak.
2) Wakil (orang yang mewakili), syaratnya ialah orang yang barakal. Jika ia
idiot, gila atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut hanafiyah anak kecil
yang cerdas (dapat membedakan yang baik dan yang buruk) sah menjadi
wakil alasannya bahwa AmrSayydiyah Ummu Salamah mengawinkan ibunya
kepada Rasullulah, saat itu masih kecil yang belum baliq.
3) Muwakkalfih (sesuatu yang diwakilkan)
a) Pekerjaan atau urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain.
b) Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah .oleh karena
itu tidak sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya
c) Pekerjaan itu diketahui secara jelas Maka tidak sah mewakilkan sesuai
yang masih sama seperti aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk
mengawini anakku.
d) Shigat yang diiringi kerelaan dari mewakil saya wakilkan atau serahkan
pekerjaan ini kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini kemudian
diterima oleh wakil.seandainya si wakil tidak mengucapkan kabul tetap
dianggap sah.
Jika dilihat dari kasus Murabahah al-wakalah, hal termasuk pembiayaan
multi akad dan diperbolehkan dalam ajaran islam dengan catatan akad-akad
tersebut bersifat independen meskipun memiliki keterkaitan satu sama lain.
Menanggapi hal tersebut, Anas bin Malik mengatakan bahwa jika seseorang
membeli sebuah barang dari orang lain dengan harga beli tunai 15 dinar atau
harga beli 20 dinar kredit, maka transaksi tersebut tidak sah jika kedua akad itu
(yaitu beli tunai dan beli kredit) menyatu dalam satu kesepakatan jual beli yang
sama.sedangkan yang dimaksud dengan akad-akad yang bersifat independen

adalah semua kontrak yang ada ,tidak saling mempersyaratkan antara satu dengan
yang lain, sehingga semuanya sling terpisah (namun saling mendukung)
,misalnya, akad nasabah dengan bank untuk membeli sebuah tanah, dengan
menggunakan skema pembiayaan murabahah al wakalah pada prakteknya ada
dua tahap.
Pertama Bank membeli tanah dari Developer dengan menunjuk nasabah
sebagai wakilnya (akad wakalah), sehingga tanah tersebut biasanya sesuai dengan
keinginan nasabah. Tahap kedua, bank menjual tanah tersebut kepada nasabah
dengan akad Murabahah. Dalam hal ini, wakalah bukan merupakan syarat
terjadinya Murabahah tetapi mendukung Murabahah. Demikian pula dengan
pembiayaan multi akad lainnya. Pada contoh kasus di atas, jika Murabahah
berdiri sendiri tanpa didampingi wakalah, ada kemungkinan tanah yang dibeli
Bank tidak sesuai dengan keinginan nasabah, sehingga rumah tersebutmungkin
tidak terjual.
4) Agency Problem Pada Kontrak Murabahah Al-Wakalah
Agency theory adalah teori yang menjelaskan tentang hubungan antara
principal dan agen dimana principal mendelegasikan wewenang kepada agen
dalam hal pengelolaan usaha sekaligus pengambilan keputusan dalam peusahaan
(Jensen dan Meckling, 1976). Hubungan antara agent dan principal disebut
dengan hubungan agensi atau agency relationship, berbagai masalah yang terjadi
dalam hubungan tersebut, biaya-biaya yang terjadi dalam hubungan keagenan dan
berbagai implikasi penting terhadap pemilihan metode-metode akuntansi dibahas
dalam agency theory.
Masalah

yang

timbul

dalam

hubungan

keagenan

dan

menjadi

perhatian agency theory adalah pertama, ketika pihak agent memiliki kepentingan

yang berbeda dengan principal sehingga masing-masing pihak berusaha untuk


memaksimalkan kepentingan mereka. Agent yang seharusnya melaksanakan
amanah principal telah melanggar komitmen dengan tidak selalu bertindak untuk
kepentingan terbaik principal. Kedua, sulit dan mahalnya bagi principal untuk
membuktikan usaha yang dilakukan manajemen. Ketiga, masalah pembagian
resiko ketikanprincipal dan agent memiliki perbedaan resiko yang ditanggung.
Dalam Agency theory ini biasanya dapat menimbulkan asymetry
information

antara

pihak

bank

dan

nasabah

itu

sendiri.

Asymmetry

Information atau ketidaksamaan informasi adalah situasi di mana manajer


memiliki informasi yang berbeda (yang lebih baik) mengenai kondisi atau prospek
perusahaan dari pada yang dimiliki investor. Asymmetric Information muncul
sebagai akibat adanya distribusi informasi yang tidak sama, dalam hal ini antara
pemilik modal (principal)/ pihak bank dan pengelola modal (agent)/ nasabah.
Idealnya, principal memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur
tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agent. Tetapi faktanya, ukuran-ukuran
keberhasilan yang dikonsumsi principal justru tidak dapat menjelaskan hubungan
antara keberhasilan yang telah dicapai, dengan usaha yang telah dilakukan oleh agent.
Adanya Asymmetric information antara manajer/pengelola (agent) dengan
pemilik (principal) dapat memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan
manajemen laba (earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik
(prinsipal) mengenai kinerja ekonomi perusahaan (Richardson, 1998). Asymmetric

Information dibagi menjadi dua macam, yaitu:


a)

Adverse selection, yaitu bahwa para manajer serta orang-orang dalam lainnya
biasanya mengetahui lebih banyak tentang keadaan dan prospek perusahaan
dibandingkan investor pihak luar. Fakta yang mungkin dapat mempengaruhi

keputusan yang akan diambil oleh pemegang saham tersebut tidak disampaikan
informasinya kepada pemegang saham.

b) Moral hazard, yaitu bahwa kegiatan yang dilakukan oleh seorang manajer tidak
seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman.
Sehingga manajer dapat melakukan tindakan diluar pengetahuan pemegang
saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin
tidak layak dilakukan.

Mengenai penjelasan Assymetric Information, dalam akad murabahah alwakalah, dimana pihak pemilik modal (principal)/ bank dan pengelola modal
(agent)/ nasabah, seharusnya dapat mengetahui informasi-informasi terkait
dengan kondisi keuangan dan aktivitas.
Beberapa

hasil dari penelitian

dan teori

mengemukakan bahwa moral

hazard adalah salah satu elemen utama yang menyebabkan munculnya konflik
keagenan (agency problem) (Mc. Colgan, 2001). Moral hazard dalam ekonomi
adalah suatu tindakan pelaku ekonomi yang menimbulkan kemudharatan baik
untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Untuk mengetahui apakah suatu
tindakan ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari
prinsip-prinsip dari transaksi yang Islami, yang dihalalkan ataupun yang
diharamkan sayriat islam (Hariyanto, 2001). Selain itu Moral hazard dapat
juga diartikan sebagai suatu tindakan penyelewenangan amanah atau tanggung
jawab karena adanya kesempatan untuk melakukan hal tersebut tanpa diketahui
oleh pihak lain (Mishkin, 2001). Susanto (2010) mengatakan moral hazard akan
muncul ketika seseorang atau sebuah lembaga/organisasi yang tidak konsekuen
secara penuh dan tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, maka dari itu

cenderung untuk bertindak kurang hati-hati untuk melepas tanggung jawab atas
konsekuensi dari tindakannya kepada pihak lain.
Salah

satu

moral

hazard yang

sering

dilakukan

pada

pembiayaan murabahah al-wakalah adalah dari pihak nasabah yang dimana


pihak nasabah tidak jujur dalam memberikan informasi kepada pihak bank terkait
tentang usaha yang akan dijalankan kedepannya, tidak jujurnya nasabah dalam
membuat

laporan

pertanggungjawaban

atas

dana

yang

digunakan

dan

pihak nasabah dapat dengan sengaja menggunakan modal tersebut dengan cara
yang tidak sewajarnya. Sehingga pihak bank tidak dapat mengetahui sejauh mana
modal digunakan, dan pihak nasabah enggan dalam memberikan jaminan karena
tidak dapat mengukur dengan pasti risiko terjadinya kerugian yang dilakukan
oleh pihak bank.
Secara spesifik agency problem yang terjadi dalam kontrak Murabahah AlWakalah adalah ketika pihak agen bertindak mengabaikan hubungan kontraktual
dan mendorong untuk bertindak tidak berdasarkan kepentingan pihak bank.
Stiglitz (1992) menyatakan bahwa permasalahan antara pricipal dan agent terjadi
ketika dalam hubungan tersebut memiliki imperfect information. Imperfect
information ini dapat berbentuk penggunaan biaya proyek yang berlebihan untuk
aktivitas yang tidak berkorelasi langsung dengan pengembangan usaha namun
lebih pada kepentingan agen, dan berbagai tindakan kecurangan sehingga
mereduksi laba atau asset yang dimiliki perusahaan. Kepentingan yang berbeda
antara principal dan agent menimbulkan conflict of interest yang selama ini
dipecahkan melalui alternatif kepemilikan saham oleh manajer dan kompensasi.

Bank syariah berdalih penerapan Murabahah dimana bank menyediakan


barang secara langsung tidak dapat dilakukan karena regulator menentukan bahwa
bank syariah adalah lembaga pembiayaan, bukan lembaga usaha yang menjual
barang secara fisik.
Sebagai jalan keluar, ketika bank tidak mampu menyediakan barang maka
bank mewakilkan nasabah untuk membeli barang atas nama bank atau lazim
disebut wakalah wal Murabahah. Dalam skema ini pencairan pembiayaan
dilakukan menggunakan akad wakalah, baru setelah nasabah membeli barang,
bank dan nasabah akan melaksanakan akad Murabahah. Hal ini sesuai dengan
fatwa MUI berikut:
Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari
pihak ketiga, akad jual beli Murabahah harus dilakukan setelah barang, secara
prinsip, menjadi milik bank. (Ketentuan umum Murabahah dalam bank syariah
nomor 9, Fatwa DSN MUI No. 4/DSNMUI/ IV/2000 tentang Murabahah)
Bahkan Bank Indonesia (BI) melalui PBI no. 7/46/PBI/2005 menjelaskan:
Dalam hal Bank mewakilkan kepada Nasabah (wakalah) untuk membeli
barang, maka akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip
menjadi milik bank.

PENUTUP
Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya
perolehan

ditambah

keuntungan

yang

disepakati

dan

penjual

harus

mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102).


Murabahah al-wakalah merupakan salah satu inovasi produk dalam perbankan

syariah. Namun dalam prrakteknya, kontrak murabahah al-wakalah ini


menimbulkan

adanya

Agency

problem

seperti

lahirnya

asymmetry

information yang merupakan salah satu penyebab terjadinya moral hazard,


dimana tidak hanya dari pihak nasabah yang melakukan moral hazard melainkan
dari pihak shahibul mal pun bisa melakukan penyimpangan moral ini. Pihak bank
bisa saja memberikan informasi yang tidak jelas terkait dengan perkembangan
perusahaannya dalam hal ini lembaga keuangan, apakah integritas lembaga
tersebut baik di mata public atau tidak.
Secara spesifik agency problem yang terjadi dalam kontrak Murabahah AlWakalah adalah ketika pihak agen bertindak mengabaikan hubungan kontraktual
dan mendorong untuk bertindak tidak berdasarkan kepentingan pihak bank.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Al-Hadits
Antonio, Muhammad SyafiI. (2001). Bank Syariah Dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Buku Andalan
Ascarya. 2008. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada
Donaldson, L., dan Davis, J.H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory:
CEO Governance and Shareholder Return, Australian Journal of
Management, 16, 1,
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 04/DSNMUI/IV/2000
http://Akuntansi-Syariah dalam PSAK_Okta Punya Blog.htm
http://Konsep Akad Wakalah dalam Fiqh Muamalah _ Point of View in Islam.htm
http://www.sarjanaku.com/2012/06/bank-syariah-pengertian-prinsip-tujuan.html
Hanafi, Mamduh M. (2008). Manajemen Keuangan, BPFE Yogyakarta

Hariyanto, Muhsin. (2009). Moral Hazard Dalam Transaksi Ekonom: Perspektif


Al-Quraan dan Hadis.
Husain, Sri Apriyanti. 2013. Penerapan PSAK 102 Untuk Murabahah di PT. Bank
Syariah Mandiri Cabang Gorontalo. KIM: Universitas Negeri Gorontalo
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2008. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
Empat
Jensen, M. C dan Meckling, W.H. 1976. Theory Of The Firm Managerial
Behaviour Agency Costs And Ownership Structure. Journal Of Financial
Economics
Mishkin, Fredeic S. (2001). The Economics of Money, Banking, and Financial
Market.USA: Person Education.
Muthaher, Osmad. 2012. Akuntansi Perbakan Syariah. Yogyakarta: Graha Ilmu
Mustafa Edwin Nasution, dkk. 2010. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam.
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Nurhayati dan Sri Wasilah. (2008). Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta:
Salemba Empat.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Bank Syariah
Richardson, Vernon J. (1998). Information Asymmetry an Earnings Management:
Some Evidence. Working Paper, 30 Maret.
Susanto,
Tri.
(2010),
Moral
Hazard,
fromhttp://aguzato.blogspot.com/2010/03/penggunaan-istilah-moral-hazardpada.html
Widodo, Sugeng. 2010. Seluk Beluk Jual Beli Murabahah Perspektif Aplikatif.
Yogyakarta: Asgard Chapter

You might also like