Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
AYU DEWI LESTARI ( NIM: 12.1.14.1.008 )
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
....................................................................................................2
................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN
....................................................................................................4
1. Latar Belakang
....................................................................................................4
2. Rumusan Masalah
....................................................................................................4
3. Tujuan
................................................................................................................5
BAB 2 PEMBAHASAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
....................................................................................................6
Definisi ................................................................................................................6
Etiologi ................................................................................................................6
Manifestasi
....................................................................................................7
Klasifikasi ................................................................................................................7
Patofisiologi
........................................................................................8
Pemeriksaan penunjang ...........................................................................................9
Penatalaksanaan ..................................................................................................10
Komplikasi
..................................................................................................12
Woc
..............................................................................................................13
......................................................................................14
..............................................................................................................28
Kesimpulan
..................................................................................................28
Saran
..............................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.
LATAR BELAKANG
Infeksi Saluran Kemih merupakan penyakit yang perlu mendapatkan perhatian serius.
Di Amerika dilaporkan bahwa setidaknya 6 juta pasien datang kedokter setiap tahunnya
dengan ISK. Di indonesia penyakit infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi kedua
tersering dalam tubuh sesudah infeksi saluran pernafasan dan sebanyak 8,3 juta kasus
dialporkan pertahunnya (NKUDIC). Disuatu rumah sakit di yogyakarta ISK merupakan
penyakit infeksi yang menepati urutan ke-2 dan masuk dalam 10 besar penyakit. (Widayati,
A., dkk, 2004).
Infeksi saluran perkemihan (ISK) terjadi pada 5% anak perempuan dan 1-2% anak
laki-laki. Kejaidan ISK pada bayi baru lahir dengan berat lahir rendah mencapai 10-100 kali
lebih besar dibanding bayi dengan berat lahir normal (0,1-1%). Pada dewasa infeksi sering
dijumpai pada wanita dari pada laki-laki pada wanita dapat terjadi pada semua umur,
sedangkan pada laki-laki dibawah umur 50 tahun jarang terjadi, kejadian ISK pada anak
perempuan 30 kali lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki (Sehat Group, 2006).
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan keadaan tumbuh dan berkembang biaknya
kuman dalam saluran kemih meliputi infeksi di perkemihan ginjal sampai infeksi di kandung
kemih dengan jumlah bateriauria yang bermakna. Dalam keadaan normal saluran kemih tidak
mengandung bakteri, virus, atau mikroorganisme lainnya didalam saluran kemih.
(Lumbanbatu, S.M., 2003).
2.
RUMUSAN MASALAH
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
2.10
2.11
3.
TUJUAN
3.2
3.3
3.4
3.5
3.6
3.7
3.8
3.9
3.10
3.11
BAB 2
5
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli,
ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan
keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin (Sukandar, E., 2004).
Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria): bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming unit (cfu/ml) pada biakan
urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan
bakteriuria asimtomatik (convert bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai
persentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna asimtomatik. Pada beberapa keadaan
pasien dengan persentasi klinis tanpa bekteriuria bermakna. Piuria bermakna (significant
pyuria), bila ditemukan netrofil >10 per lapangan pandang. (Sukandar, E., 2004)
2.2
ETIOLOGI
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih
2.
3.
4.
5.
6.
2.3
1.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah ( sistitis ):
6
2.
3.
3.4
KLASIFIKASI
uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic
maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjutterutama mengenai penderita
2.
3.5
PATOFISIOLOGI
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam
traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi
terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utamaterjadinya ISK, asending dan hematogen.
Secara asending yaitu:
1.
masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana
pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden
terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal,
pemasangan alat ke dalamtraktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian
2.
sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang
mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehinggamempermudah penyebaran hematogen,
yaitu: adanya bendungan total urineyang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan
intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
1.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongankandung kemih
2.
3.
4.
5.
6.
hematogenmenyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi
predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yangmenakibtakan
penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai
hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan
hipertrofi prostate yang seringditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.
3.6
1.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urinalisis
a. Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemiH.
b. Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagaikeadaan patologis baik berupa
2.
3.
4.
5.
3.7
PENATALAKSANAAN
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agensantibacterial yang
secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinariusdengan efek minimal terhadap
flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakanatas:
1.
2.
3.
4.
kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi,factor kausatif (mis: batu,
abses), jika muncul salah satu, harus segeraditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin,
terapi preventif dosisrendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole
(gastrisin),trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadangampicillin
atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu
analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
1.
2.
3.
pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1.
2.
Sistisis
TMP-SMX atau FQ PO selama 3 hari (tanpa komplikasi) atau selama 10-14
hari(komplikasi)Bakteriuria asimtomatik pada perempuah hamil atau pernah
2.
g PO x 1.
Prostatitis
TMP-SMX atau FQ PO x 14 28 hari (akut) atau 6-12 minggu (kronis).
Pielonefritis
Pasien rawat jalan; FQ atau amoksilin/klavulanat atau sefalosporingenerasi I PO
selama 14 hariPasien rawat inap; [ampisilin IV + gentamisin] atauampisilin/sulbaktam
atau FQ selama 14 hari(perubahan IV menjadi PO apabila pasien secara klinis
membaik dan tidak demam selama 24-48 jam dan kemudian diselesaikan dengan
pemberian selama 14 hari.
3.8
KOMPLIKASI
Jika ISK dibiarkan berlarut-larut tanpa diobati, terutama jika Anda sering
mengalaminya, bukan tidak mungkin ISK dapat menimbulkan komplikasi yang tergolong
parah, di antaranya:
1.
2.
organ tersebut.
Infeksi darah.
Komplikasi ini terjadi ketika bakteri yang terdapat di dalam sistem saluran kemih
memasuki aliran darah dan pada akhirnya turut menyerang organ-organ tubuh lainnya.
3.
11
WOC
12
BAB 3
ANALISAH JURNAL
13
14
15
16
17
18
BAB 4
PEMBAHASAN
Infeksi saluran kemih adalah suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-buli,
ataupun uretra. Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang menunjukkan
keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin (Sukandar, E., 2004).
Hubungan antara pemasangan kateter tetap dengan kejadian infeksi saluran kemih
pada pasien rawat inap. pemasangan kateterdengankejadian infeksi saluran kemih dan
didapatkan hasil sebagai berikut : Diantara 30 orang responden, terdapat 14 orang (46,7 %)
yang pemasangan kateternya sesuai, dengan rincian 2 responden (6,7%) menderita infeksi
saluran kemih sedangkan 12 responden (40,7%) tidak mengalami infeksi saluran kemih.
Sedangkan 16 responden (53,3%) yang pemasangan kateternya tidak sesuai, sebanyak 10
responden (33,3%) diantaranya mengalami infe Setelah dilakukan uji statistik dengan
menggnakanChi-square, diperoleh p= 0,007< (0,05) yang menunjukkan penolakan terhadap
hipotesis nol (H0) dan penerimaan terhadap hipotesis alternatif (Ha). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan antara pemasangan kateter tetap dengan kejadian infeksi
saluran kemih pada pasien rawat inap di RSUD Kabupaten Barru.
Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Feri (2004) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISK di RSUD Bajawa
Kabupaten Ngada NTT. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dari 100 responden
sebanyak 40 responden dengan pemasangan kateter yang sesuai prosedur mengalami infeksi
saluran kemih sedangkan 60 responden lainnya tidak mengalami infeksi saluran kemih. Pada
penelitian ini terdapat hubungan yang signifikan antara pemasangan kateter terhadap kejadian
infeksi saluran kemih.ksi saluran kemih dan 6 responden (20,0%) lainnya tidak mengalami
infeksi saluran kemih.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran kemih, pada
penelitian ini menunjukkan bahwa lama penggunaan kateter dan perawatan kateter memiliki
19
pengaruh terhadap kejadian infeksi saluran kemih. variabel lama penggunaan kateter
merupakan variabel yang memiliki nilai koefisien positif tertinggi sebesar 4,027 dalam
analisis multivariat. Sehingga, variabel lama penggunaan kateter merupakan variabel yang
memiliki pengaruh paling dominan terhadap kejadian infeksi saluran kemih pada pasien
dengan kateter menetap.
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Zulkarnain (2006,
dalam Sudoyo 2006, hlm.1750) lamanya kateter dipasang sangat mempengaruhi kejadian
infeksi saluran kemih. Bila kateter dipasang selama 2 hari infeksi dapat terjadi 15 %, bila 10
hari menjadi 50 %. Hasil penelitian ini menunjukkan kejadian ISK dialami oleh responden
yang terpasang kateter 3, 5, 6, 7 dan 8 hari. Kejadian ISK dialami oleh responden yang
terpasang kateter 3 hari, 7 hari, dan 8 hari masing-masing sebesar 10 %, 30 % responden
yang mengalami kejadian ISK adalah responden yang terpasang kateter 5 hari. Bahkan
sebanyak 40 % responden yang mengalami ISK telah terpasang kateter 6 hari. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu banyak 70 % kejadian ISK dialami
oleh pasien yang terpasang kateter selama 5 - 6 hari. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk
mencegah terjadinya infeksi, yaitu dengan mengganti kateter 3 - 4 hari sekali (Mashita, 2011,
8).
Hubungan antara kualitas perawatan kateter dengan kejadian infeksi nosokomial
saluran kemih, Hasil penelitian didapatkan perbandingan yang cukup mencolok terhadap
hubungan antara perbedaan kualitas perawatan kateter dengan dengan angka kejadian infeksi
nosokomial saluran kemih. Kualitas yang kurang angka kejadian infeksinya lebih tinggi yaitu
sekitar 83,3% atau dari 6 responden terdapat 5 yang terjadi dan 1 tidak terjadi infeksi saluran
kemih. Kualitas cukup sebanyak 26,67% atau dari 15 responden terdapat 4 yang terjadi
infeksi dan 11 tidak terjadi infeksi saluran kemih. Kualitas baik tingkat kejadian infeksinya
sebesar 22,22% atau dari 9 responden hanya ada 2 yang terjadi infeksi dan 7 tidak terjadi
infeksi. Secara keseluruhan prosentase kejadian infeksi nosokomial saluran kemih pada
tingkat kualitas perawatan kurang adalah 45,5%, cukup 36,4% dan baik sebesar 18,2% dari
30 responden.
Prosentase kejadian infeksi nosokomial saluran kemih pada responden yang terpasang
dower kateter dan dilakukan perawatan kateter yang kurang, lebih besar dibandingkan dengan
responden yang dilakukan perawatan dengan kualitas yang cukup dan baik.
20
bagi orangtua untuk belajar dan prosesnya biasanya berbeda satu dengan lainnya, dapat
disebabkan sedikit sekali informasi dan publikasi, bahkan berbagai literatur ilmiah hanya
berisi sedikit referensi dan sebagian besar sudah sangat lama Hubungan antara usia
dimualinya toilet training dengan lamanya toilet training bias berhasil. Lebih muda usia
dimulainya intensif toilet training tidak berhubungan dengan konstipasi, stool withholding,
atau penolakan toileting . Namun usia saat mulainya intensif toilet training berkorelasi negatif
dengan lamanya (r = - 0.481), sehingga bahwa makin muda usia mulainya training makin
lama waktu yang dibutuhkan agar berhasil. Kesimpulan: makin cepat dimulainya intensif
toilet training berhubungan dengan makin mudanya usia saat toilet trainingnya komplit; tapi
juga makin panjang waktu pelaksanaan toilet training yang dibutuhkan. Secara umum dari
berbagai literatur telah disepakati bahwa harus ada kesiapan fisik dan psikis anak untuk
mengontrol rangsang defekasi dan buang air kecil, sebagai kunci keberhasilan toilet training.
Brazelton 57 melihat ada tiga factor yang sangat penting :
1. Rasa aman dan hubungan yang erat dengan figure orang tua yang akhirnya membuat
mereka senang melakukannya.
2. Mengenali dengan baik untuk mendorong orang tua dan figure penting dalam lingkungan
anak.
3. Berharap untuk perkembangan autonomy; pengaturan diri dan rangsangan primitif.
Hubungan kebiasaan mandi disungai denngan infeksi saluran kemih pada anak. Dari
60 orang anak sampel, diketahui juga bahwa yang memiliki kebiasaan mandi di sungai
berjumlah 39 orang yang tidak memiliki kebiasaan mandi di sungai berjumlah 21 orang. Dari
39 orang yang mandi di sungai didapatkan 2 orang yang positif terkena ISK, dan dari 21
orang yang tidak mandi di sungai didapatkan 9 orang yang positif terkena ISK. Hasil ini
berdasarkan perhitungan jumlah leukosit dalam urin (>5 WBC/hpf). Hasil dari kuesioner
yang didapatkan, anak yang mempunyai kebiasaan mandi di sungai yang positif menderita
ISK, memiliki intensitas mandi setiap hari dan dengan durasi waktu mandi lebih dari 1 jam.
Ini sesuai dengan teori yang mengemukakan bahwa sel uroepitel pada anak sangat rentan
terhadap infeksi karena memiliki kapasitas untuk mengikat bakteri, sehingga semakin sering
terpapar dengan bakteri penyebab ISK, maka semakin besar pula kesempatan untuk
terinfeksi.5 Hasil uji Fisher Exact diperoleh nilai p = 0,001. Hasil ini menyatakan ada
hubungan yang bermakna antara mandi di sungai dengan kejadian ISK (p = 0,001 < = 0,01),
namun hasil ini tidak sejalan dengan keadaan sesungguhnya, dimana kemungkinan yang
23
menderita ISK pada anak-anak yang mandi di sungai tidak sepenuhnya disebabkan karena
mandi di sungai. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti selama berada di lokasi penelitian,
kurangnya kesadaran masyarakat akan sanitasi diri dan lingkungan merupakan salah satu
penyebab dari ISK, masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang kotoran di sungai, pada
sebagian masyarakat tidak memiliki toilet, sehingga harus buang air besar di sungai.
Berdasarkan hasil pengujian statistik diperoleh jumlah anak yang tidak memiliki kebiasaan
mandi di sungai memiliki angka kejadian ISK lebih tinggi dari pada anak yang mandi di
sungai, yaitu 9 orang (81,8%). Kemungkinan besar anak-anak yang menderita ISK
disebabkan oleh faktor-faktor lain selain mandi di sungai.
Faktor resiko infeksi saluran kemih oleh multi drug resistent organism pada pasien,
Penggunaan antibiotik memiliki nilai p sebesar 0,168 oleh karena itu penggunaan antibiotik
dianggap bukan faktor risiko timbulnya ISK oleh MDRO. Hal ini bertentangan dengan
hipotesis dan penelitian sebelumnya tentang prevalensi dan faktor risiko ISK oleh multidrug
resistant uropatogen pada pasien UGD yang menyatakan bahwa riwayat maupun penggunaan
antibiotik pada saat dirawat merupakan faktor risiko dengan nilai p sebesar 0,001.18
Penelitian lain menyatakan hal yang sama dengan penelitian ini yaitu bahwa antibiotik
bukanlah faktor risiko timbulnya ISK oleh multidrug resistant dengan p bervariasi untuk
setiap jenis antibiotik.25 Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan karena perbedaan
karakteristik penyakit pada sampel dan jenis antibiotik yang diukur sebagai faktor risiko.
Hemodialisa dianggap bukan sebagai faktor risiko karena memiliki p sebesar 0,153. Hasil
penelitian ini mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa hemodialisa
bukan merupakan faktor risiko timbulnya ISK oleh MDRO dengan p=0,121 dan OR=2,5
(95%CI 0,78-7,97).25 Terdapat penelitian lain yang justru menyatakan bahwa hemodialisa
merupakan faktor risiko MDRO, namun kekuatan hubungannya sangat rendah.26 Keganasan
hematologi memiliki nilain p sebesar 1 yang diperoleh melalui uji fisher exact karena tidak
memenuhi syarat untuk dilakukan uji chi square, ini berarti keganasan hematologi dianggap
bukan faktor risiko timbulnya ISK oleh MDRO. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
penyakit keganasan hematologi seperti neutropenia dan leukemia menimbulkan peningkatan
resistensi bakteri penyebab ISK terhadap antibiotik,27,28,29 namun belum ada penelitian
sebelumnya yang membuktikan apakah keganasan hematologi merupakan faktor risiko ISK
oleh MDRO atau bukan. Penelitian-penelitian yang ada hanya meneliti hubungan antara ISK
oleh MDRO dengan penyakit keganasan secara umum, dimana didapatkan p sebesar 0,48
sehingga keganasan secara umum dianggap bukan sebagai faktor risiko.
24
Rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran kemih (ISK), Pasien
berjenis kelamin perempuan yang didiagnosa ISK dengan usia sekitar 18-44 tahun 72,5% dan
pasien yang berusia berkisar 45-60 tahun 27,5%. Prevalensi ISK seharusnya lebih besar
terjadi pada perempuan usia postmenopouse dikarenakan produksi hormon estrogen menurun
yang mengakibatkan pH pada cairan vagina naik sehingga menyebabkan meningkatnya
perkembangan mikroorganisme pada vagina. Namun pada penelitian ini perempuan muda
lebih tinggi tingkat kejadiannya. ISK pada usia muda sering dipicu oleh faktor kebersihan
organ intim, hubungan seksual, dan penggunaan kontrasepsi atau gel spermisida dapat
meningkatkan resiko ISK, dengan cara perubahan flora vagina dan kolonisasi periuretra
berikutnya oleh bakteri uropathogenic. Penggunaan antibiotik pada pasien belum dapat
dikatakan rasional, karena kriteria pengobatan rasional meliputi tepat indikasi, tepat obat,
tepat dosis, tepat frekuensi dan tepat durasi belum tepat 100%. Hasil rasionalitas pengobatan
adalah sebagai berikut : tepat indikasi 96,5%, tepat obat 66,7%, tepat dosis 53%, tepat
frekuensi pemberian antibiotik 53% dan tepat durasi penggunaan antibiotik 49,4%. Dari data
hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik pada pasien ISK di
instalasi rawat inap.
Perbandingan pemasangan kateter menetap selama 12 dan 24 jam pasca seksio
sesarea pada pencegahan retensio urin dan resiko infeksi saluran kemih, Pada kelompok
kateter menetap 12 jam dan 24 jam umur terbanyak adalah 31-40 tahun, masing-masing 21
kasus (42%) dan 30 kasus (60%). Berdasarkan paritas, didapatkan multiparitas yang
terbanyak pada kelompok kateter menetap 12 jam dan 24 jam masing-masing 28 kasus (56%)
dan 27 kasus (54%). Ghoreishi dan Rizvi mendapatkan tidak ada korelasi retensio urin pasca
seksio sesarea terhadap umur, paritas dan operasi elektif / cito. sesarea pada pemasangan
kateter menetap 12 jam pasca seksio sesarea lebih besar dibandingkan dengan 24 jam. Lama
kateter menetap dipertahankan pasca seksio sesarea masih bervariasi, Suskhan mengatakan
rasa nyeri luka insisi dinding perut pasca seksio sesarea yang secara reflek menginduksi
spasme dari otot levator yang menyebabkan kontraksi spastik pada sfingter urethra. Rasa
nyeri ini yang menyebabkan pasien enggan mengkontraksikan otot-otot dinding perut guna
memulai pengeluaran urin yang menyebabkan retensio urin. Lamanya pemasangan kateter
menetap masih bervariasi karena bila kateter lebih cepat dilepaskan akan menyebabkan
fungsi berkemih ibu belum pulih sehingga dapat terjadi retensio urin. Pemasangan kateter
yang terlalu lama akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih sehingga perlu dicari
waktu yang ideal lamanya kateter dipertahankan pasca seksio sesarea.
25
Pengaruh mode persalinan terhadap kejadian infeksi saluran kemih postpartum, Pada
ibu postpartum caesar, pasien tidak dapat langsung berkemih secara normal. Kesulitan
berkemih normal pada pasien dapat disebabkan oleh karena trauma dinding perut,
inkontinensia urin, ataupun efek anestesi spinal.14, 37 Selama masa perawatan pasien harus
dipasang kateter urin menetap minimal selama tiga hari.16 Pemasangan kateter ditujukan
agar pasien dapat mengosongkan kandung kemih, namun pemasangan kateter menetap kerap
menjadi salah satu sumber infeksi saluran kemih. Kemungkinan sumber infeksi saluran
kemih yang berasal dari peasangan keteter urin menetap. Adapun rute infeksi yang ditentukan
dalam 69% dari kasus bakteriuria yang berhubungan dengan pemasangan kateter, 18%
ditemukan dari penyisipan kateter, 48% dari rute ekstralumen, dan 34% dari rute intralumen.
Kuman lain yang mendominasi sebagai penyebab ISK dalam penelitian ini adalah P.
aeruginosa. P. aeruginosa merupakan bakteri non-koliform bentuk batang Gram negative nonfermentor dan juga merupakan multi drugs resistant organisme (MDRO). Bakteri ini sering
dikaitkan dengan infeksi klinis yang terjadi akibat kurangnya tindakan asepsis dan antisepsis
di Rumah Sakit. Bakteri ini dapat menyerang siapa saja karena sifatnya yang sangat aktif di
lingkungan terutama bagi yang berhubungan langsung dengan instrumen medis di rumah
sakit seperti kateter. Pencegahan infeksi P. aeruginosa harus semakin ditingkatkan untuk
dapat meminimalisir penyebaran berbagai penyakit infeksi yang disebabkan oleh organisme
tersebut, contohnya antara lain adalah pneumonia, septikemia, infeksi pasca pembedahan, dan
infeksi saluran kemih. Peningkatan pencegahan infeksi selama pemasangan dan pemakaian
kateter menetap kemungkinan besar dapat mengurangi angka kejadian ISK postpartum
caesar. Lama waktu pemakaian kateter menetap pun dapat mempengaruhi angka kejadian
ISK postpartum, kateter harus selalu dilepas tepat waktu sehingga pasien tidak terlalu lama
menggunakan instrumen kateter.
26
BAB 5
PENUTUP
5.1
KESIMPULAN
Infeksi saluran kemih berasal dari mikroorganisme yang naik dari perineum ke uretra
dan kandung kemih serta menempel pada permukaan mukosa. Agar infeksi dapat terjadi,
bakteri harus mencapai kandung kemih, melekat pada dan mengkolonisasi epitilium traktus
urinarius untuk menghindari pembilasan melalui berkemih, mekanisme pertahanan penjamu
dan cetusan inflamasi.
Secara normal, air kencing atau urine adalah steril alias bebas kuman. Infeksi terjadi
bila bakteri atau kuman yang berasal dari saluran cerna jalan ke uretra atau ujung saluran
kencing untuk kemudian berkembang biak. Maka dari itu, kuman yang paling sering
menyebabkan ISK adalah E.coli yang umum terdapat dalam saluran pencernaan bagian
bawah. ISK ioni adalah radang, bakteri akan menginap di uretra dan berkembang biak.
Akibatnya, uretra akan terinfeksi yang kemudian disebut dengan nama uretritis. Jika
kemudian bakteri naik ke atas menuju sakuran kemih dan berkembang biak maka saluran
kemih akan terinfeksi yang kemudian disebut dengan istilah sititis.
5.2
SARAN
Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak, terutama penulis. Mohon kritiik
dan saran yang membangun demi menyempurnakan makalah ini dilain kesempatan.
27
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Kabupaten.
Susi Natalia,Rochmanadji W,Hastaning Sakti. 2004. Pengaruh Toilet Training
Terhadap Kejadian ISK Berulang Pada Anak Perempuan Umur 1-5 Tahun.
28
14.
15.
Sindulang1.
Fellecia Rissa, Purnomo Hadi, Rebriarina Hapsari. 2011. Risk ISK Factor For Multi
16.
17.
18.
Kemih.
Yerlian Maryam, Purnomo Hadi, Rebriarina Hapsari. Pengaruh Mode Persalinan
Terhadap Kejadian Infeksi Saluran Kemih Postpartum.
29
TANGGAL
REVISI
PARAF
30