You are on page 1of 3

Relawan

Dalam penanganan emergency bencana, relawan mempunyai posisi dan peran yang sangat
penting. Oleh karena itu relawan bukan sekedar sebuah kekuatan alternatif, tetapi menjadi
alternatif utama. Tentu ada banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi relawan
emergency bencana. Yang terpenting adalah kekuatan fisik dan keahlian. Fragmentasi
keterlibatan relawan dalam penanganan bencana adalah sebagai berikut :
1. Relawan sebagai donatur. Sesungguhnya masyarakat yang mendermakan dananya
untuk membantu korban bencana, maka sejatinya iapun adalah relawan. Dana bahkan
menjadi hal yang sangat penting untuk mendukung hasil maksimal penanganan
bencana.
2. Relawan sebagai penyumbang tenaga dan keahlian. Termasuk dalam kelompok ini
adalah ahli evakuasi, ahli medis, jurnalis, ahli gizi, juru masak, tukang bangunan,
psikolog, guru, seniman, dan lainya yang secara sukarela turun langsung membantu
korban bencana di lapangan.
3. Relawan sebagai penyedia fasilitas yang diperlukan dalam penaganan bencana.
Misalnya ada relawan yang menyediakan sarana transportasi, menydediakan rumah
atau kantornya untuk dijadikan markas posko kemanusiaan, dll.
Kepemimpinan dalam Penanganan Emergency Bencana
Salah satu syarat sukses penanganan emergency bencana adalah kepemimpinan. Ketiadaan
atau kelemahan kepemimpinan adalah kebingungan, kehancuran, kerugian, dan malapetaka.
Kepemimpinan yang dimaksud tentu selayaknya dari unsur pemilik otoritas (pemerintah).
Keberhasilan semua elemen masyarakat dalam kancah bencana sangat tergantung keberadaan
pemimpin. Namun justru hal inilah yang biasanya menjadi titik lemah penanganan bencana di
Indonesia, termasuk kasus penanganan gempa dan tsunami di NAD khususnya pada saat-saat
awal kejadian bencana. Kepemimpinan dalam penanganan emergency bencana haruslah
mampu dengan cepat, tepat, dan berani mengambil keputusan, bersikap tegas, menjalankan
sistem instruksi bukan diskusi.
Manajemen Logistik Hal- hal penting yang harus diperhatikan dalam penanganan logistik
bantuan :
1. Pengadaan logistik bantuan harus sedapat mungkin berdampak pada pemberdayaan
ekonomi lokal. Caranya adalah membeli logistik bantuan dari pelaku ekonomi lokal,

khususnya para pelaku ekonomi menengah bawah. Ini akan mendorong perputaran
ekonomi lokal menjadi stabil. Strategi seperti ini sangat efektif dan efesien karena
selain memungkinkan bisa cepat tiba di lokasi bencana, kita juga tidak direpotkan
oleh ribetnya masalah transportasi.
2. Ragam logistik bantuan terutama untuk makanan dan sandang, hendaknya
menyesuaikan dengan kultur yang berlaku di masyarakat korban bencana. Sebagai
contoh, ternyata masyarakat Aceh tidak menyukai ikan sarden yang diawetkan.
Kebanyakan pengungsi menukarnya dengan barang lain dengan para pedagang. Atau
karena tidak segera dikonsumsi, banyak sarden yang menjadi kadaluarsa. Berdasarkan
pengamatan kami di lapangan, ikan asin lebih mereka sukai daripada sarden. Dan ikan
asin dengan mudah bisa dibeli dari para nelayan Aceh.
3. Makanan memenuhi standar gizi. Korban bencana yang umumnya menghuni barakbarak penampungan alakadarnya, tentu menyebabkan keadaan fisik mereka sangat
rentan. Oleh karena itu pilihan logistik makanan yang tidak mempunyai nilai gizi
maksimum bisa menyebabkan malapetaka bagi korban. Data menunjukkan bahwa
wabah penyakit dan kematian korban bencana banyak terjadi justru setelah mereka
mengkonsumsi makanan yang tidak bergizi secara terus menerus. Mie instan misalnya
bukanlah pilihan logistik yang aman untuk dikonsumsi secara terus menerus oleh
pengungsi korban bencana.
4. Pakaian yang diberikan sesuai kebutuhan dan tetap memperhatikan martabat korban
sebagai manusia.
Menggerakan elemen lokal dalam penanganan bencana Dalam menangani dampak bencana,
baik pada tahapan emergency maupun tahapan rehabilitasi, sebaiknya menggerakan elemen
lokal sebagai sumberdaya utama sepanjang itu masih dimungkinkan. Bahkan bisa
menggerakan sebagian dari korban bencana itu sendiri. Dalam hal ini misalnya kebutuhan
tenaga relawan lapangan bisa merekrut SDM lokal. Untuk menggerakkan elemen lokal
tidaklah sulit, karena pada hakekatnya semua program yang kita ingin lakukan adalah
kebutuhan mereka. Artinya menjadikan elemen lokal termasuk korban sebagai subjek, bukan
objek. Prinsip ini akan jauh lebih maksimal hasilnya karena elemen lokal dan korban akan
merasa memiliki terhadap program yang kita jalankan.

Sumber:

pdf. Disampaikan pada Focus Group Discussion Masyarakat Penanggulangan Bencana


Indonesia (MPBI) tgl 17 Maret 2005 di Hotel Bidakara Jakarta

You might also like