You are on page 1of 10

Definisi Mitigasi

Mitigasi bencana didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mencegah

bencana atau mengurangi dampak bencana (Raden, 2011).


Menurut Subiyantoro (2010: 45), mitigasi bencana sesungguhnya berkaitan dengan
siklus penanggulangan bencana berupa upaya penanganan sebelum terjadinya

bencana.
Adapun menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri RI No. 131 tahun 2003, mitigasi
(diartikan juga sebagai penjinaka) diartikan sebagai upaya dan kegiatan yang
dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
bencana yang meliputi kesiapsiagaan dan kewaspadaan. Pasal 1 angka 9 UndangUndang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mendefinisikan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana,
baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi ancaman bencana.


Carter (1992) menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut
sebagai mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi
dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu
bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di
tempatnya.

Mitigasi sebelum bencana/ penilaian bencana


Acuan Konsep Solusi
Konsep solusi bencana secara menyeluruh baru dicanangkan dalam ranah hukum pada tahun
2007 dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan

Bencana.

Mendesaknya

persoalan

yang

dihadapi, solusi

kebencanaan melalui program formal tidak cukup memadai untuk merespon bencana yang
sewaktu-waktu datang. Ancaman bencana bukanlah hanya bagi kaum miskin dan tidak
terdidik tetapi juga mengancam kaum kecukupan, terdidik di perkotaan maupun di perdesaan.
Dengandemikian, pengurangan risiko bencana perlu menempuh jalur formal maupun
informal.
Cakupan yang sangat luas bagi penduduk yang terancam bencana, memerlukan usaha terpadu
dalam mengurangi risiko bencana. Secara substansi adalah usaha menciptakan masyarakat
yang sadar dan tanggap bencana dengan melalui pendidikan Pengurangan Risiko Bencana

(PRB). Konsep solusi PRB disesuaikan dengan siklus terjadinya bencana, pra bencana, saat
bencana, dan pasca bencana sebagaimana dapat dilihat pada gambar.

Gambar tersebut menggambarkan Siklus dan Konsep Solusi Bencana (Sumber: Subandono,
2007) Tahapan pelaksanaan solusi disesuaikan dengan karakteristik tahapan siklus terjadinya
bencana.
Saat bencana, padat aktivitas dalam suasana darurat.
Pasca bencana, mereduksi komplikasi masalah yang rumit (complexity) dalam rekontruksi
dan rehabilitasi.
Pra bencana, perlu perencanaan yang menyeluruh. Masyarakat yang terancam bencana
sangat majemuk. Bagi yang telah terdidik maupun yang masih belum tersentuh pendidikan
formal perlu faham akan pentingnya pengurangan resiko bencana (PRB). Cara yang paling
strategisuntuk pendidikan PRB diperlukan melalui jalur pendidikan formal maupun informal.
Siklus menggambarkan bencana tidak pernah akan berhenti. Dengan data empirik beberapa

bencana dapat diperkirakan akan datang lagi, misalnya banjir dan tanah longsor setiap musim
hujan akan terjadi.
Acuan Stimulan Tanggap Bencana
Sebelum pendidikan mitigasi bencana dilakukan, diperlukan pemahaman kesamaan persepsi
dalam tindakan merespon bencana yang akan datang. Cara yang ditempuh dengan berbagai
metode agar program mitigasi bencana dapat dipahami dan dilaksanakan karenamerupakan
kebutuhan dalam rangka mengurangi resiko bencana ketika datang. Kartono (2003)
mendefinisikan, persepsi adalah proses seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam
lingkungannya melalui indra-indra yang dimilikinya.
Sugiharto (2007) menafsirkan persepsi merupakan proses untuk menterjemahkan atau
menafsirkan stimulus yang masuk ke alat indera. Perilaku manusia diawali dengan adanya
pengindraan. Pengindraan adalah proses masuknya stimulus ke dalam alat indra manusia.
Setelah stimulus masuk ke alat indra manusia, hingga otak akan menterjemahkan stimulus
tersebut. Kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus disebut dengan persepsi.
Dalam manajemen tanggap darurat konvensional, masyarakat tidak sekedar dipandang dalam
aspek ruang karena tinggal pada zone yang sama, tetapi juga kepentingan yang sama.
Misalnya, karena adanya ancaman yang sama. Pandangan ini mengabaikan dimensidimensi
penting lainnya yang terkait dengan kepentingan, nilai-nilai, kegiatan- kegiatan, dan strukturstruktur yang sama.
Seribulan (2005:27) menterjemahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
seperti berikut.
Faktor dalam suasana ialah waktu, keadaan, atau tempat kerja, dan keadaan sosial.
Faktor pada individual pemersepsi berupa: sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman dan
pengharapan.
Faktor pada target berupa: hal baru, gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang dan kedekatan
Berbagai contoh kearifan dalam pelestarian lingkungan hidup masyarakat lokal dapat pula
ditemukan misalnya pada masyarakat Kasepuhan (Jawa Barat), masyarakat Siberut (Sumatera
Barat), masyarakat Kajang (Sulawesi Selatan), dan masyarakat Dani (Papua). Umumnya,
masyarakat lokal beranggapan bahwa lingkungan di sekitarnya ada yang memiliki dan

menghuni selain manusia. Oleh karena itu, manusia yang berdiam di sekitarnya harus
menghormati dan menjaga tempattempat mereka itu, seperti hutan, gunung, lembah, dan
sumber air. Bahkan tidak sedikit tempat-tempat tersebut dijadikan tempat yang sakral atau
dikeramatkan (Darmanto, 2009: 136; Adimihardja, 2009: 81; Boedhihartono, 2009: 67;
Purwanto, 2009: 230)
PENCEGAHAN TERJADINYA BENCANA TANAH LONGSOR

Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat pemukiman
(gb. Kiri) Buatlah terasering (sengkedan) [ada lereng yang terjal bila membangun
permukiman (gb. kanan)

Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah melalui
retakan. (gb. kiri) Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal. (gb. kanan)

Jangan menebang pohon di lereng (gb. kiri) Jangan membangun rumah di bawah tebing. (gb.
kanan)

Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal (gb.kiri) Pembangunan rumah yang
benar di lereng bukit. (gb.kanan)

Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjal. (gb.kiri) Pembangunan rumah yang
salah di lereng bukit. (gb.kanan)

Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak. (gb.kiri) Jangan mendirikan rumah di tepi
sungai yang rawan erosi. (gb.kanan)
Mitigasi saat bencana/ peringatan dan Mitigasi setelah bencana/ perbaikan kerusakan longsor
TAHAPAN MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR
Pemetaan
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam geologi di suatu
wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah kabupaten/kota dan
provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari
bencana..

Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana, sehingga dapat diketahui
penyebab dan cara penaggulangannya.
Pemantauan
Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis secara ekonomi dan
jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna dan masyarakat yang
bertempat tinggal di daerah tersebut.
Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota atau Masyarakat
umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang ditimbulkannnya. Sosialisasi
dilakukan dengan berbagai cara antara lain, mengirimkan poster, booklet, dan leaflet atau
dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan aparat pemerintah
Pemeriksaan bencana longsor
Bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya, kondisi bencana dan tata cara
penanggulangan bencana di suatu daerah yang terlanda bencana tanah longsor.
SELAMA DAN SESUDAH TERJADI BENCANA
1. Tanggap Darurat
Yang harus dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan dan pertolongan
korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, antara lain:

Kondisi medan

Kondisi bencana

Peralatan

Informasi bencana

2. Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan sarana
transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan tanah longsor dan teknik pengendaliannya

supaya tanah longsor tidak berkembang dan penentuan relokasi korban tanah longsor bila
tanah longsor sulit dikendalikan.
3. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak menjadi
pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor, karena
kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada jalur tanah longsor hampir 100%.
Ada beberapa tindakan perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah untuk tempat-tempat
hunian, antara lain:

Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa menyerap).

Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pem-bangunan).

Vegetasi kembali lereng-lereng.

Beton-beton yang menahan tembok mungkin bisa menstabilkan lokasi hunian.

Sumber: http://piba.tdmrc.org
Antisipasi untuk longsor susulan bagaimana
Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan
bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih
rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang
tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa
tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik
tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran
(Sutikno 1997). Menurut Cruden (1991), tanah longsor merupakan pergerakan suatu massa
batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran
tanah dan batuan) menuruni lereng Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor
karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti
yang terlihat dalam
Gambar 1.

Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai
dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi
bencana (hazard map). Menurut Asriningrum (2003), semua daerah di Indonesia belum
memiliki peta rawan longsor yang memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya
longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat
dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial menelan
korban jiwa dalam jumlah besar.

Menghindari bencana longsor:


1. Membangun pemukiman yang jauh dari area yang rawan longsor (seperti di dekat tebing
yang curam dan terjal).
2. Berkonsultasi pada orang yang paham sebelum membangun pemukiman.
3. Melakukan deteksi dini pada area-area yang dicurigai rawan longsor
Tindakan yang harus dilakukan ketika tertimpa tanah longsor:
1. Pindahlah ke daerah yang tanahnya stabil ketika tanah longsor terjadi
2. Bila tidak mampu melarikan diri, lingkarkan tubuh seperti bola untuk melindungi kepala
tertimpa atap.
Tindakan yang harus dilakukan setelah terjadi longsor:
1. Pergi dari daerah longsoran untuk menghindari terjadinya tanah longsor susulan.
2. Bantu arahkan SAR ke lokasi.
3. Bantu penduduk yang tertimpa longsoran, periksa lukanya, dan pindah ke tempat yang
aman.

4. Waspada pada banjir dan aliran reruntuhan yang dapat terjadi setelah tanah longsor.
5. Laporkan fasilitas umum yang rusak ke pihak yang berwenang.
6. Periksa kerusakan fondasi rumah akibat longsor.
7. Tanamlah tumbuhan di daerah bekas longsoran untuk mencegah terjadinya erosi yang
dapat menyebabkan banjir bandang.
Sehubungan dengan informasi tentang akibat dan penanggulangan tanah longsor, pemerintah
selalu menghimbau kepada masyarakat untuk selalu waspada akan terjadinya bencana alam,
baik itu longsor, banjir, gunung meletus, dan gempa bumi.
Pihak pihat terkait seperti Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana
(Satkorlak PB), lebih meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi terhadap bencana tanah
longsor, dan diharapkan untuk menginformasikan kepada masyarakat yang bermukim dan
beraktifitas di daerah dengan tingkat kerentanan gerakan tanah menengah hingga tinggi
terutama dibawah tebing terjal, di tepi alur/sungai pada daerah perbukitan/pegunungan dan di
tepi lembah terjal terhadap bahaya longsor tersebut.
Semoga dengan kesiapsiagaan pihak pihak terkait dan kepedulian masyarakat akan bahaya
banjir dan longsor yang disebabkan berbagai hal, diantaranya penebangan pohon di lereng
gunung, membuang sampai ke sungai, dan lain sebagainya. Untuk itu marilah kita samasama peduli lingkungan untuk mencegah bencana yang terjadi dikemudian hari.

Dapus
Permana, Raden, dkk. 2011. Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana pada Mayarakat
Baduy. Journal UI. Makara, Sosial Humaniora Vol. 15, NO. 1: 67-76.
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit UNY Press.
Suhardjo, Dradjat. 2011. Arti Penting Pendidikan Mitigasi Bencana dalam Mengurangi
Resiko Bencana. Cakrawala Pendidikan, Th. XXX No. 2.
Carter, W.N. 1992. Disaster Management: A disaster managers handbook. Asian
Development Bank. Manila.
Karnawati, D. 2004. Bencana Gerakan Massa Tanah/ Batuan di Indonesia; Evaluasi dan
Rekomendasi, Dalam Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor
di Indonesia. P3-TPSLK BPPT dan HSF. Jakarta.
Sutikno. 1994. Pendekatan Geomorfologi untuk Mitigasi Bencana Alam Akibat Gerakan
Massa Tanah/Batuan. Prosiding Seminar Mitigasi Bencana Alam 16-17 September 1994.
Kerjasama Fakultas Geografi UGM-Bakornas Penanggulangan Bencana RI. Yogyakarta.
Asriningrum,

W.

2003.

Indonesia

Tidak

Punya

Peta

Rawan

Longsor.

http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id =5426. Di akses pada tanggal 18 Maret 2015


Rusydy, Ibnu. 2012. Longsor. http://www.ibnurusydy.com/geo-bencana/longsor/. Di akses
pada tanggal 18 Maret 2015

You might also like