You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN GANGGUAN JIWA PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Menurut Berkowitz (1993), perilaku kekerasan adalah perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis, sedangkan
menurut Citrome dan Volavka (2002, dalam Mohr, 2006) perilaku kekerasan
adalah respon dan perilaku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai
agresif fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan atau
sesuatu.
Stuart dan Laraia (2005), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik) sebagai
respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau
konsep diri. Perasaan terancam ini dapat berasal dari stresor eksternal
(penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan
internal (perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih
sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Menurut Keliat, dkk, perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis
(Keliat, dkk, 2011). Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
memperlihatkan individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional
dan atau seksual kepada orang lain (Herdman, 2012)
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan:
a

Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang

meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).


Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa,

keinginan tidak tercapai, tidak puas).


Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.

B. Etiologi

Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan


menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi,
1 Faktor predosposisi
1 Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap
perilaku:
a Neurobiologik
Ada tiga area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif,
yaitu sistem limbik, lobus frontal, dan hipotalamus. Neurotransmitter juga
mempunyai peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif. Sistem limbik merupakan sistem informasi, ekspresi, perilaku, dan
memori, apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan
atau menurunkan potensial perilaku kekerasan, apabila gangguan pada
lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan
pada penilaian, perilaku tidak sesuai, dan agresif. Beragam komponen dari
sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat
impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku agresif, dan pusat otak atas secara konstan berinteraksi dengan
pusat agresif.
b Biokimia
Berbagai neurotransmitter

(epinephrine,

norepinefrine,

dopamine,

asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau


menghambat impuls agresif.
c Gangguan Otak
Sindroma otak terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan
tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik
dan lobus temporal. Trauma otak akan menimbulkan perubahan serebral
dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsi, khususnya pada lobus
temporal, terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
2

kekerasan.
Teori Psikologik
a. Teori Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk mendapatkan
kepuasan dan rasa aman yang dapat mengakibatkan tidak berkembangnya
ego dan membuat konsep diri rendah. Agresif dan tindak kekerasan

memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan
memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b. Teori Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran orangtuanya.
Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif.
Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru
pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika
masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan anak
mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku
3

kekerasan setelah dewasa.


Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur
sosial terhadap perilaku agresif. Terdapat kelompok sosial yang secara
umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan,
apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak
dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai atau padat dan

lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.


2 Faktor Presipitasi
Menurut Yosep (2007), faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku
kekerasan adalah:
1

Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial

ekonomi.
Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan

kekerasan dalam menyelesaikan konflik.


Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi

rasa frustasi.
Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan,
perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan
keluarga.

C. Tanda dan Gejala


1. Fisik : mata melotot / pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku
2. Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata kata kotor, berbicara
dengan nada keras, kasar, dan ketus
3. Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri / orang lain, merusak
lingkungan, amuk / agresif
4. Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut
5. Intelektual : mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan
tidak jarang mengeluarkan kata kata bernada sarkasme
6. Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu raguan, tidak
bermoral, dan kreativitas terhambat
7. Social : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindiran
8. Perhatian : bolos, melarikan diri, dan melakukan penyompangan seksual
D. Pohon Masalah
Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah
merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap
individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan
tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan
kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah
dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat
berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku
depresi dan penyakit fisik. Mengekspresikan marah dengan perilaku
konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan
diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu
runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).
Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan,
biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya
tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan
yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti
tindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.
Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena
merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri

dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan


demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat
dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri
(Depkes, 2000).

Faktor presipitasi
Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
Kesulitan dalam mengkomunikasikan
sesuatu dalam keluarga
Adanya riwayat perilaku anti sosial
Kematian anggota keluarga yang
terpenting

Faktor predisposisi
Teori Biologik
Teori Psikologik
Teori Sosiokultural

Stress, cemas, tidak nyaman


Gangguan Harga Diri : Harga Diri Rendah
Marah

Eksternal

Destruktif

Internal

Depresi

Konstruktif

Tidak Asertif

Kekerasan
Perilaku Kekerasan/amuk
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

E. Pemeriksaan Diagnostik
Meskipun pemeriksaan diagnostik merupakan pemeriksaan penunjang, tetapi
peranannya

penting dalam menjelaskan dan mengkuantifikasi disfungsi

neurobiologis, memilih pengobatan, dan memonitor respon klinis.


Menurut Doenges, pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk penyakit fisik
yang dapat menyebabkan gejala reversibel seperti kondisi defisiensi/toksik,
penyakit neurologis, gangguan metabolik/endokrin. Serangkaian tes diagnostik
yang dapat dilakukan pada Skizofrenia Paranoid adalah sebagai berikut:
1. Computed Tomograph (CT) Scan
Hasil yang ditemukan pada pasien

dengan

Skizofrenia

berupa

abnormalitas otak seperti atrofi lobus temporal, pembesaran ventrikel


dengan rasio ventrikel-otak meningkat yang dapat dihubungkan dengan
derajat gejala yang dapat dilihat.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dapat memberi gambaran otak tiga dimensi, dapat memperlihatkan
gambaran yang lebih kecil dari lobus frontal rata-rata, atrofi lobus
temporal (terutama hipokampus, girus parahipokampus, dan girus
temporal superior).
3. Positron Emission Tomography (PET)
Alat ini dapat mengukur aktivitas metabolik dari area spesifik otak dan
dapat menyatakan aktivitas metabolik yang rendah dari lobus frontal,
terutama pada area prefrontal dari korteks serebral.
4. Regional Cerebral Blood Flow (RCBF)
Alat yang dapat memetakan aliran darah dan menyatakan intensitas
aktivitas pada daerah otak yang bervariasi.
5. Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
Alat yang dapat menunjukkan respon gelombang otak terhadap ransangan
yang bervariasi disertai dengan adanya respons yang terhambat dan
menurun, kadang-kadang di lobus frontal dan sistem limbik.
6. Addiction Severity Index (ASI)

ASI dapat menentukan masalah ketergantungan (ketergantungan zat), yang


mungkin dapat dikaitkan dengan penyakit mental, dan mengindikasikan
area pengobatan yang diperlukan.
7. Electroensephalogram (EEG)
Dari pemeriksaan didapatkan hasil yang mungkin abnormal, menunjukkan
ada atau luasnya kerusakan organik pada otak.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Penatalaksanaan Medik
Dalam pandangan psikiatri (Ilmu Kedokteran Jiwa), jika seseorang
mengalami suatu gangguan atau penyakit, maka yang sakit atau terganggu itu
bukan terbatas pada aspek jiwanya saja atau raganya saja, tetapi keduanya
sebagai kebutuhan manusia itu sendiri. Adapun penatalaksanaan medik
menurut MIF Baihaqi, dkk, 2005 sebagai berikut :
a. Somatoterapi
Dengan tujuan memberikan pengaruh-pengaruh langsung berkaitan
dengan badan, biasanya dilakukan dengan :
1) Medikasi psikotropik
Medikasi psikotropik berarti terapi langsung dengan obat psikotropik
atau psikofarma yaitu obat-obat yang mempunyai efek terapeutik langsung
pada proses mental pasien karena efek obat tersebut pada otak. Obat
antipsikotik, contohnya Chlorpromazine, Haloperidol dan Stelazine,
phenotizin
2) Terapi Elektrokonvulsi (ECT)
Terapi ini dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh
penderita menerima aliran listrik yang terputus-putus. ECT ini berfungsi
untuk menenangkan klien bila mengarah pada keadaan amuk.
b. Psikoterapi
Psikoterapi adalah salah satu pengobatan atau penyembuhan terhadap
suatu gangguan atau penyakit, yang pada umumnya dilakukan melalui
wawancara terapi atau melalui metode-metode tertentu misalnya :
relaksasi, bermain dan sebagainya. Tujuan utamanya adalah untuk
menguatkan daya tahan mental penderita, mengembangkan mekanisme
pertahanan diri yang baru dan lebih baik serta untuk mengembalikan
keseimbangan adaptifnya.
c. Manipulasi lingkungan
Manipulasi lingkungan adalah upaya untuk mempengaruhi lingkungan
pasien, sehingga bisa membantu dalam proses penyembuhannya. Tujuan

utamanya untuk mengembangkan atau merubah / menciptakan situasi baru


yang lebih kondusif terhadap lngkungan. Misalnya dengan mengalihkan
penderita kepada lingkungan baru yang dipandang lebih baik dan
kondusif, yang mampu mendukung proses penyembuhan yang dilakukan.
Obat-obatan yang biasa diberikan pada pasien dengan marah atau
perilaku kekerasan adalah :
a)
Antianxiety dan sedative hipnotics, obat-obatan ini dapat
mengendalikan

agitasi

yang

akut.

Tapi

obat

ini

tidak

direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu lama karena


dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
b)

memperburuk simptom depresi.


Buspirone obat antianxiety, efektif dalam mengendalikan perilaku

c)

kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi.


Anti depressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsif

d)

dan perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood.


Mood stabilizer, misalnya Lithium dan Carbamazepin, efektif

e)

untuk agresif karena manik.


Antipsychotic dipergunakan untuk perawatan perilaku kekerasan,

misalnya Nozinan.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Ada tiga strategi tindakan keperawatan pada klien dengan perilaku
kekerasan. Strategi tindakan itu terdiri dari :
a. Strategi preventif : kesadaran diri, penyuluhan klien dan latihan asertif.
b. Strategi Antisipasi : komunikasi, perubahan lingkungan, tindakan
perilaku dan psikofarmakologi.
c. Strategi pengekangan : manajemen krisis, pengasingan dan pengikatan.
Terapi yang dapat dilakukan yaitu:
a. Terapi keluarga : Keluarga dibantu untuk menyelesaikan konflik, cara
membatasi konflik, saling mendukung dan menghilangkan stress.
b. Terapi kelompok : Terapi kelompok berfokus pada dukungan dan
perkembangan keterampilan sosial dan aktifitas lain dengan berdiskusi
dan bermain untuk mengembalikan kesadaran klien
c. Terapi musik : Dengan terapi musik klien terhibur dan bermain untuk
mengembalikan kesadaran klien, kare na dengan perasaan terhibur
maka klien dapat mengontrol emosinya.
G. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian adalah proses untuk tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan terdiri dari pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien. Data yang dikumpulkan melalui data biologis, psikologis,
sosial dan spritual pengelompokkan data pada pengkajian kesehatan jiwa
dapat pula berupa faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping dan kemampuan yang dimiliki klien.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, tanggal pengkajian, tanggal dirawat,
No. MR.
b. Alasan Masuk
Alasan klien datang ke RSJ, biasanya klien memukul anggota keluarga
atau orang lain, merusak alat RT dan marah.
c. Faktor Predisposisi
1 Biasanya klien pernah mengalami gangguan jiwa dan kurang berhasil
2

dalam pengobatan.
Pernah mengalami aniaya fisik, penolakan dan kekerasan dalam

keluarga.
3 Klien dengan perilaku kekerasan bisa herediter.
4 Pernah mengalami trauma masa lalu yang sangat mengganggu
d. Fisik
Pada saat marah tensi biasanya meningkat.
e. Psikososial
1 Genogram
Pada genogram biasanya ada terlihat ada anggota keluarga yang
mengalami kelainan jiwa, pada komunikasi klien terganggu begitupun
dengan pengambilan keputusan dan pola asuh.
2 Konsep diri
a) Gambaran diri :Klien biasanya mengeluh

dengan

keadaan

tubuhnya, ada bagian tubuh yang disukai dan tidak disukai.


b) Identitas klien :Klien biasanya tidak puas dengan status dan
posisinya baik sebelum maupun ketika dirawat tapi klien biasanya
puas dengan statusnya sebagai laki-laki / perempuan.
c) Peran diri
:Klien menyadari peran sebelum sakit, saat di rawat
peran klien terganggu.
d) Harga diri
:Klien biasanya

memiliki

harga

diri

rendah

sehubungan dengan sakitnya.


e) Ideal diri
:Klien biasanya memiliki harapan masa lalu yang
3

tidak terpenuhi.
Hubungan Sosial
Klien kurang dihargai di keluarga dan lingkungan.

Spritual
a) Nilai dan keyakinan
Biasanya klien dengan sakit jiwa dipandang tidak sesuai dengan
norma dan budaya.
b) Kegiatan ibadah
Klien biasanya menjalankan ibadah di rumah sebelumnya, saat

sakit ibadah terganggu atau sangat berlebihan.


f. Status Mental
1) Penampilan
Biasanya penampilan diri yang tidak rapi, tidak cocok / serasi dan
berubah dari biasanya.
2) Pembicaraan
Pembicaraan cepat, keras
3) Aktivitas motorik
Biasanya aktifitas motorik klien tampak tegang, dan agitasi (gerakan
motorik yang gelisah), serta memiliki penglihatan yang tajam jika
ditanyai hal-hal yang dapat menyinggungnya.
4) Alam perasaan
Berupa suasana emosi yang memanjang akibat dari faktor presipitasi
misalnya : sedih dan putus asa.
5) Afek
Biasanya klien selama berinteraksi emosinya labil. Dimana klien
mudah tersinggung ketika ditanyai hal-hal yang tidak mndukungnya,
klien memperlihatkan sikap marah dengan mimik muka yang tajam
dan tegang.
6) Interaksi selama wawancara
Selama berinteraksi dapat dideteksi sikap klien yang tampak
bermusuhan, selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran
dirinya, dan mudah tersinggung.
7) Persepsi
Klien dengan perilaku kekerasan biasanya tidak memiliki kerusakan
persepsi.
8) Proses pikir
Biasanya klien mampu mengorganisir dan menyusun pembicaraan
logis dan keheran.
9) Isi Pikir
Keyakinan klien konsisten dengan tingkat intelektual dan latar
belakang budaya klien, masih memiliki ambang isi fikir yang wajar,

dimana ia selalu menanyakan kapan ia akan pulang dan mengharapkan


pertemuan dengan keluarga dekatnya.
10) Tingkat Kesadaran
Biasanya klien tidak mengalami disorientasi terhadap orang, tempat
dan waktu.
11) Memori
Biasanya daya ingat jangka panjang klien baik, dimana ia masih bisa
menceritakan kejadian masa-masa lampau yang pernah dialaminya,
maupun daya ingat jangka pendek, seperti menceritakan penyebab ia
masuk ke RSJ.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien tidak mengalami gangguan konsentrasi dan berhitung
13) Kemampuan penilaian
Klien mampu dalam mengambil keputusan jika menghadapi masalah
yang ringan klien mampu menilai dan mengevaluasi diri sendiri.
14) Daya tilik diri
Klien biasanya mengingkari penyakit yang diderita dan tidak
memerlukan pertolongan, klien juga sering menyalahkan hal-hal diluar
dirinya.
g. Kegiatan Persiapan Pulang
1) Makan
Pada keadaan berat, klien cenderung tidak memperhatikan dirinya
termasuk tidak peduli makanan karena tidak memiliki minat dan
kepedulian.
2) BAB / BAK
Observasi kemampuan klien untuk BAB / BAK serta kemampuan
klien untuk membersihkan dirinya.
3) Mandi
Biasanya klien mandi berulang / tidak mandi sama sekali
4) Berpakaian
Biasanya tidak rapi, tidak sesuai dan tidak diganti
5) Istirahat
Observasi tentang lama dan waktu tidur siang dan malam, biasanya
istirahat klien terganggu karena klien gelisah dengan masalah yang
dihadapi.
6) Pemeliharaan Kesehatan
Untuk pemeliharaan kesehatan klien selanjutnya, peran keluarga dan
sistem pendukung sangat menentukan.
7) Penggunaan obat

Biasanya klien menerima keadaan yang sedang dialaminya, dimana dia


masih dapat patuh makan obat sesuai frekuensi, jenis, waktu maupu
cara pemberian obat itu sendiri.
8) Aktivitas dalam rumah
Klien mampu melakukan aktivitas dalam rumah seperti menyapu.
9) Aktifitas diluar rumah
Ini disesuaikan dengan jenis kelamin klien dan pola kebiasaan yang
biasa dia lakukan diluar rumah.

H. Diagnosa Keperawatan
1) Resiko perilaku kekerasan
2) Harga diri rendah
3) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

I. Rencana Keperawatan
J. T
K. No
L. Dx
g
Dx
Keperawatan
l
T.
U.
V. Risiko
W.
Perilaku
Kekerasan

AK.

AL.

AM.

Q. Tujuan
TUM: Klien
dapat
mengontrol
perilaku
kekerasan

M. Perencanaan
R. Kriteria Evaluasi

S. Intervensi

AA.
AF.
AB.
AG.
AC.
AH.
AD.
AI.
AE.
AJ.
X.
1 Setelah X pertemuan
1 Bina hubungan saling percaya dengan:
Y. TUK:
klien menunjukkan tanda Beri salam setiap berinteraksi.
1 Klien dapat
tanda percaya kepada
Perkenalkan nama, nama panggilan
membina
perawat:
perawat dan tujuan perawat berinteraksi
hubungan saling
o Wajah cerah, tersenyum
Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien
percaya
o Mau berkenalan
Tunjukkan sikap empati, jujur dan
Z.
o Ada kontak mata
menepati janji setiap kali berinteraksi
o Bersedia menceritakan
Tanyakan perasaan klien dan masalah yang
perasaan
dihadapi klien
Buat kontrak interaksi yang jelas
Dengarkan dengan penuh perhatian
ungkapan perasaan klien
AN. 2. Klien
AO. 2. Setelah X
2 Bantu klien mengungkapkan perasaan
dapat
pertemuan klien
marahnya:
mengidentifikasi
menceritakan penyebab
Motivasi klien untuk menceritakan
penyebab
perilaku kekerasan yang
penyebab rasa kesal atau jengkelnya
perilaku
dilakukannya:
Dengarkan tanpa menyela atau memberi

kekerasan yang
dilakukannya
AQ.

AR.

AS.

AT.
3. Klien
dapat
mengidentifikasi
tanda-tanda
perilaku
kekerasan

AW. AX.

AY.

AZ. 4. Klien
dapat
mengidentifikasi
jenis perilaku
kekerasan yang
pernah
dilakukannya

o Menceritakan penyebab
penilaian setiap ungkapan perasaan klien
AP.
perasaan jengkel/kesal
baik dari diri sendiri
maupun lingkungannya
AU. 3. Setelah X
AV.
3. Bantu klien mengungkapkan tandapertemuan klien
tanda perilaku kekerasan yang dialaminya:
menceritakan tanda-tanda
Motivasi klien menceritakan kondisi fisik
saat terjadi perilaku
(tanda-tanda fisik) saat perilaku kekerasan
kekerasan
terjadi
o Tanda fisik : mata
Motivasi klien menceritakan kondisi
merah, tangan
emosinya (tanda-tanda emosional) saat
mengepal, ekspresi
terjadi perilaku kekerasan
tegang, dan lain-lain.
Motivasi klien menceritakan kondisi
o Tanda emosional :
hubungan dengan orang lain (tanda-tanda
perasaan marah, jengkel,
sosial) saat terjadi perilaku kekerasan
bicara kasar.
o Tanda sosial :
bermusuhan yang
dialami saat terjadi
perilaku kekerasan.
BA. 4. Setelah X
BB. 4. Diskusikan dengan klien perilaku
pertemuan klien
kekerasan yang dilakukannya selama ini:
menjelaskan:
Motivasi klien menceritakan jenis-jenis
o Jenis-jenis ekspresi
tindak kekerasan yang selama ini pernah
kemarahan yang selama
dilakukannya.
ini telah dilakukannya
Motivasi klien menceritakan perasaan klien
o Perasaannya saat
setelah tindak kekerasan tersebut terjadi
melakukan kekerasan
Diskusikan apakah dengan tindak

BC.

BD.

BE.

BF.
5. Klien
dapat
mengidentifikasi
akibat perilaku
kekerasan

BI.

BJ.

BK.

BL. 6. Klien
dapat
mengidentifikasi
cara konstruktif
dalam
mengungkapkan
kemarahan

o Efektivitas cara yang


dipakai dalam
menyelesaikan masalah
BG. 5. Setelah X
pertemuan klien menjelaskan
akibat tindak kekerasan yang
dilakukannya
o Diri sendiri : luka,
dijauhi teman, dll
o Orang lain/keluarga :
luka, tersinggung,
ketakutan, dll
o Lingkungan : barang
atau benda rusak dll
BM. 6. Setelah X
pertemuan klien :
o Menjelaskan cara-cara
sehat mengungkapkan
marah

kekerasan yang dilakukannya masalah


yang dialami teratasi.
BH. 5. Diskusikan dengan klien akibat negatif
(kerugian) cara yang dilakukan pada:
Diri sendiri
Orang lain/keluarga
Lingkungan

BN. 6. Diskusikan dengan klien:


Apakah klien mau mempelajari cara baru
mengungkapkan marah yang sehat
Jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk
mengungkapkan marah selain perilaku
kekerasan yang diketahui klien.
Jelaskan cara-cara sehat untuk
mengungkapkan marah:
Cara fisik: nafas dalam, pukul bantal
atau kasur, olah raga.
Verbal: mengungkapkan bahwa dirinya
sedang kesal kepada orang lain.
Sosial: latihan asertif dengan orang

BO.

BP.

BQ.

BR. 7. Klien
dapat
mendemonstrasik
an cara
mengontrol
perilaku
kekerasan

BW. BX.

BY.

BZ. 8. Klien
mendapat
dukungan
keluarga untuk
mengontrol
perilaku
kekerasan

BS.
7. Setelah X
pertemuan klien
memperagakan cara
mengontrol perilaku
kekerasan:
o Fisik: tarik nafas dalam,
memukul bantal/kasur
o Verbal: mengungkapkan
perasaan kesal/jengkel
pada orang lain tanpa
menyakiti
o Spiritual: zikir/doa,
meditasi sesuai
agamanya
CA. 8. Setelah X
pertemuan keluarga:
o Menjelaskan cara
merawat klien dengan
perilaku kekerasan
o Mengungkapkan rasa
puas dalam merawat
klien

lain.
Spiritual: sembahyang/doa, zikir,
meditasi, dsb sesuai keyakinan
agamanya masing-masing
BT. 7. 1. Diskusikan cara yang mungkin dipilih
dan anjurkan klien memilih cara yang
mungkin untuk mengungkapkan kemarahan.
BU. 7.2. Latih klien memperagakan cara yang
dipilih:
Peragakan cara melaksanakan cara yang
dipilih.
Jelaskan manfaat cara tersebut
Anjurkan klien menirukan peragaan yang
sudah dilakukan.
Beri penguatan pada klien, perbaiki cara
yang masih belum sempurna
BV. 7.3. Anjurkan klien menggunakan cara yang
sudah dilatih saat marah/jengkel
CB. 8.1. Diskusikan pentingnya peran serta
keluarga sebagai pendukung klien untuk
mengatasi perilaku kekerasan.
CC. 8.2. Diskusikan potensi keluarga untuk
membantu klien mengatasi perilaku
kekerasan
CD. 8.3. Jelaskan pengertian, penyebab, akibat
dan cara merawat klien perilaku kekerasan
yang dapat dilaksanakan oleh keluarga.
CE. 8.4. Peragakan cara merawat klien

CJ.

CK.

CL.

CM. 9. Klien
menggunakan
obat sesuai
program yang
telah ditetapkan

CN. 9.1. Setelah ...X


pertemuan klien
menjelaskan:
o Manfaat minum obat
o Kerugian tidak minum
obat
o Nama obat
o Bentuk dan warna obat
o Dosis yang diberikan
kepadanya
o Waktu pemakaian
o Cara pemakaian
o Efek yang dirasakan
CO. 9.2. Setelah X
pertemuan klien
menggunakan obat sesuai
program

(menangani perilaku kekerasan)


CF. 8.5.Beri kesempatan keluarga untuk
memperagakan ulang
CG. 8.6. Beri pujian kepada keluarga setelah
peragaan
CH. 8.7. Tanyakan perasaan keluarga setelah
mencoba cara yang dilatihkan
CI.
CP. 9.1. Jelaskan manfaat menggunakan obat
secara teratur dan kerugian jika tidak
menggunakan obat
CQ. 9.2. Jelaskan kepada klien:
Jenis obat (nama, warna dan bentuk obat)
Dosis yang tepat untuk klien
Waktu pemakaian
Cara pemakaian
Efek yang akan dirasakan klien
CR. 9.3. Anjurkan klien:
Minta dan menggunakan obat tepat waktu
Lapor ke perawat/dokter jika mengalami
efek yang tidak biasa
Beri pujian terhadap kedisiplinan klien
menggunakan obat.

CS.Referensi
CT.

Keliat Budi Ana, 1999, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I,


Jakarta : EGC

CU.

Keliat, B.A., dkk. (2011), Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas


(CMHN - Basic Course). Jakarta: EGC

CV.

Nanda International, 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

CW.Stuart, G.W dan Sundeen, S.J., 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa
(terjemahan). Jakarta: EGC
CX.

Tim Direktorat Keswa, 2000, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa,


Edisi 1, Bandung: RSJP Bandung

CY.

Townsend, M.C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada


Keperawatan Psikiatri, edisi 3. Jakarta: EGC.

CZ.
DA.
DB.
DC.

You might also like