Professional Documents
Culture Documents
1.
HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan terhadap produk Kecap dengan beberapa parameter dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Uji Kecap dari Parameter tertentu
Kelompok Bahan dan Perlakuan
Aroma
A1
Kedelai hitam 0,5%
++
inokulum + cengkeh
A2
Kedelai hitam 0,75%
++
inokulum + cengkeh
A3
Kedelai hitam 0,75%
+
inokulum + daun sere
A4
Kedelai hitam 1%
+
inokulum + daun sere
A5
Kedelai hitam 1%
++
inokulum + pala
Keterangan :
Aroma
+
kurang kuat
++
kuat
+++
sangat kuat
Warna
kurang hitam
hitam
sangat hitam
Warna
++
Rasa
+++
Kekentalan
++
++
++
++
++
++
+++
++
Rasa
kurang kuat
kuat
sangat kuat
Kekentalan
kurang kental
kental
sangat kental
Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa pengujian kecap berdasarkan parameter berupa
aroma, warna, rasa, dan kekentalan. Dalam praktikum ini, perlakuan yang dibedakan
antar masing-masing kelompok terletak pada penambahan ragi pada tahap awal
pembuatan tempe. Berdasarkan pengujian yang dilakukan, maka diamati dari segi
aroma, sampel milik kelompok A1, A2, dan A5 memiliki aroma kuat, sedangkan pada
kelompok A3 dan A4 memiliki aroma kurang kuat. Pada parameter warna dapat dilihat
bahwa pada kelompok A1 dan A5 memiliki warna hitam sedangkan pada kelompok A2,
A3, dan A4 memiliki warna kurang hitam. Pada pengujian rasa didapat pada kelompok
A1 dan A5 memiliki rasa yang sangat kuat dibandingkan dengan kelompok A2, A3, dan
A4 yang memiliki rasa kuat. Pada pengujian kekentalan pada pembuatan kecap ini dapat
dilihat bahwa pada kelompok A1, A4, dan A5 memiliki kekentalan yang kental
dibandingkan dengan kelompok A2 dan A3 yang memiliki kekentalan yang kurang
kental
2.
PEMBAHASAN
Dalam praktikum kali ini, salah satu produk fermentasi yang akan dibuat adalah kecap.
Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan kecap adalah kedelai hitam. Kedelai
hitam ini kemudian ditambahkan dengan ragi atau inokulum komersial tempe dan
diinkubasi selama beberapa hari. Kedelai hitam merupakan kedelai yang memiliki kulit
bijinya yang berwarna hitam dan sering digunakan di dalam pembuatan kecap (Santoso,
1994). Kecap merupakan makanan tradisional yang dibuat secara fermentasi dari
kedelai hitam atau kacang-kacangan lainnya yang dapat menghasilkan cairan warna
coklat sampai hitam (Rahman, 1992). Fermentasi adalah suatu proses dimana bahan
pangan yang di dalamnya melibatkan aktivitas mikrobiologi, maka dapat menghasilkan
produk modifikasi dari bahan awal. Menurut Dzogbefia et al. (2007) kecap adalah
produk dari hasil fermentasi kedelai yang biasanya digunakan sebagai bahan penyedap
dan pemberi warna pada makanan. Selain itu, produk kecap juga kaya akan asam amino,
dengan sedikit rasa alkoholik dengan banyak nilai nutrisi dan dampak kesehatan bagi
tubuh.
Berdasarkan rasa dan kekentalannya, kecap dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kecap
manis dan kecap asin (Rahman, 1992). Santoso (1994) mengatakan bahwa dari kedua
jenis kecap tersebut terdapat banyak sedikitnya konsentrasi atau jumlah gula yang
ditambahkan. Apabila gulanya terlalu banyak, maka akan menghasilkan kecap manis
sedangkan dengan penambahan gulanya sedikit, maka akan dihasilkan kecap asin.
Rahman (1992) mengungkapkan bahwa kecap sering digunakan oleh masyarakat
Indonesia sebagai penyedap makanan. Rasa sedap ini timbul karena adanya asam
glutamat yang terdapat dalam kondisi bebas pada kecap. Menurut Astawan & Astawan
(1991), kualitas kecap dipengaruhi oleh varietas kedelai yang digunakan, lama
fermentasi dalam larutan garam, dan kemurnian biakan kapang yang digunakan.
Dalam produksi kecap, bahan yang umumnya digunakan adalah kedelai hitam, namun
tidak menutup kemungkinan penggunaan kacang kedelai kuning sebagai bahan untuk
membuat kecap dapat diaplikasikan. Kacang kedelai hitam menurut Santoso (1994) dan
Rahman (1992), memiliki ciri berwarna hitam, dan ketika diproduksi untuk menjadi
kecap akan menghasilkan warna yang hitam pekat. Menurut Ginting et al. (2009),
apabila diamati dari segi kandungan kimianya, kacang kedelai kuning memiliki kadar
2
protein yang memang cenderung lebih rendah daripada kacang kedelai hitam, yaitu
kacang kedelai kuning (37-43% bk) dengan intensitas langu yang rendah dan secara
fisik ukuran jauh lebih besar, sedangkan kacang kedelai hitam (43-44,60% bk) dan
secara fisik ukurannya lebih kecil. Menurut Ginting et al. (2009) bahwa pasokan kacang
kedelai hitam semakin terbatas dan pertumbuhan biji kedelai kuning tergolong lebih
tinggi daripada kedelai hitam, maka aplikasi kacang kedelai kuning sebagai bahan baku
pembuatan kecap tergolong sangat potensial.
Didasari oleh teori yang ada, maka praktikan melakukan pengujian mengenai fermentasi
kecap dengan menggunakan kacang kedelai hitam. Menurut Muangthai et al. (2009),
kecap adalah produk perasa yang populer di Asia. Produk kecap merupakan salah satu
golongan bumbu dapur yang sudah ada dan digunakan sejak lebih dari 3000 tahun yang
lalu. Komposisi kecap berasal dari kacang kedelai, tepung, garam, air, dan
mikroorganisme, seperti Aspergillus oryzae. Sedangkan pada Thailand, kecap
merupakan salah satu bumbu yang penting bagi masakan. Kacang kedelai merupakan
komponen utama yang berperan penting sebagai penentu kualitas kecap yang akan
dihasilkan. Pernyataan tersebut mendukung teori yang telah ada sebelumnya oleh
Astawan & Astawan (1991), faktor penentu kualitas kecap adalah varietas kedelai yang
digunakan, lama fermentasi dalam larutan garam, dan kemurnian biakan kapang yang
digunakan.
Purwoko & Noor (2007) mengatakan bahwa dalam pengolahan kecap dapat dibuat
melalui 3 cara yaitu fermentasi, hidrolisis asam, dan kombinasi fermentasi maupun
hidrolisis asam secara bersamaan. Berdasarkan pengolahannya tersebut, kecap yang
dibuat secara fermentasi akan memberikan cita rasa dan aroma yang lebih disukai
konsumen. Pada prinsipnya, pembuatan kecap secara fermentasi akan berkaitan dengan
penguraian protein, lemak, karbohidrat, asam lemak, monosakarida. Pernyataan tersebut
didukung oleh teori dari Mao et al. (2013) yang mengatakan bahwa dalam pengolahan
kecap dengan menggunakan metode fermentasi tergolong kompleks, dimana dalam
prosesnya akan melibatkan sakarifikasi pati, degradasi gula, fermentasi alkohol,
proteolisis, formasi aroma, reaksi asam pantotenat, dan reaksi Maillard. Maka pengujian
yang dilakukan oleh praktikan tergolong ke dalam pembuatan kecap dengan metode
fermentasi.
Purwoko & Noor (2007), menjelaskan pada proses fermentasi kecap ada 2 tahap utama,
yaitu pada tahap fermentasi padat (fermentasi koji/tempe) dan fermentasi cair
(fermentasi moromi). Jenis kapang yang digunakan dalam tahap fermentasi padat adalah
Aspergillus sp. dan Rhizopus sp. Pada tahap fermentasi padat kultur akan ditambahkan
secara sengaja dalam tahap pembuatan tempe, sedangkan pada fermentasi moromi,
fermentasi akan terjadi secara spontan tanpa penambahan kultur khusus oleh manusia.
Jenis kapang yang paling umum digunakan dalam tahap koji adalah Aspergillus oryzae,
dimana tahap fermentasi ini memerlukan waktu selama 3 sampai 5 hari. Selanjutnya
dalam tahap moromi, pada tahap koji yang sudah terbentuk akan melalui tahap
perendaman dengan air garam sekitar 20-30%, dan pada tahap ini memerlukan waktu
selama kurang lebih 14-28 hari. Mikroba yang aktif dalam tahap moromi berupa
Hansenula sp., Zygosaccharomyces sp., dan Lactobacillus sp. Kemudia cairan hasil
fermentasi moromi akan dimasak bersama dengan rempah-rempah dan dikentalkan
sehingga diperoleh kecap, sedangkan ampas dari fermentasi moromi dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak.
Astawan & Astawan (1991) mengatakan bahwa dalam proses fermentasi koji,
Aspergillus oryzae memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim protease, amilase,
dan enzim lainnya yang akan berperan dalam proses pemecahan kandungan dalam
kacang kedelai menjadi bentuk yang lebih sederhana. Salah satunya, enzim proteolitik
yang dapat berperan sebagai pengubah protein kedelai menjadi peptida dan asam amino,
dan enzim amilase yang berperan menghidrolisa pati menjadi gula sederhana. Nutrien
yang sudah dipecah inilah yang nantinya akan digunakan oleh mikroba dalam tahap
moromi untuk dijadikan nutrien, dimana mikroba tersebut berupa bakteri. Berdasarkan
teori yang telah ada, maka praktikan mampu membedakan tahapan yang dilakukan
dalam fase koji dan fase moromi, berikut secara spesifik tahapan kerja :
2.1.
Fermentasi Koji
Dalam fermentasi koji ini, bahan dasar yang digunakan dalam praktikan ini berupa
kacang kedelai hitam. Tahap pertama dalam pembuatan kecap, yaitu kacang kedelai
mentah sebanyak 250 gram dicuci dan dibersihkan dengan air mengalir, selanjutnya
kacang direndam dengan menggunakan air bersih selama 1 malam (12 jam). Menurut
Rahayu et al. (1993), perendaman pada kacang kedelai hitam ini memiliki tujuan untuk
menghidrasi penyerapan air ke dalam biji sehingga biji kedelai hitam tersebut akan
menjadi lunak dan bisa dipisahkan dari kulit arinya dalam waktu yang singkat.
Kemudian kacang kedelai hitam tersebut direbus hingga matang sekitar 10 menit dan
kacang kedelai tersebut harus terendam semua dengan air dan setelah itu kacang kedelai
hitam ditiriskan. Menurut Tortora et al. (1995), tujuan dilakukan perebusan yaitu untuk
merusak protein inhibitor/penghambat reaksi tertentu, melunakkan biji kedelai
(denaturasi protein), menginaktifkan zat-zat antinutrisi, serta menghilangkan bau langu,
selain itu proses perebusan juga bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi oleh
mikroba patogen yang mungkin ada di permukaan kacang kedelai.
Setelah kacang kedelai hitam tersebut direbus maka ditunggu beberapa saat untuk
menurunkan suhunya hingga suam-suam kuku. Menurut Santoso (1994), pada tahap
penurunan suhu ini perlu dilakukan agar tercapai suhu optimal bagi pertumbuhan
kapang/ragi yang akan ditumbuhkan pada kacang kedelai hitam, dimana suhu
optimalnya adalah sebesar (35-40)oC, sebaliknya suhu di atas suhu optimal tersebut
akan berefek kematian pada kapang yang akan ditumbuhkan. Sedangkan menurut Atlas
(1984) yang mengatakan bahwa dalam tahap penirisan dapat dipastikan kacang berada
dalam kondisi lembab, sehingga memudahkan jamur untuk tumbuh di permukaannya
dan jamur dapat mengakumulasi beberapa enzim termasuk proteinase dan amilase.
Kemudian kacang kedelai hitam tersebut dituangkan ke daun pisang yang telah
dibersihkan dengan menggunakan tissue dan kemudian digunakan untuk melapisi
tampah yang telah disemprot dengan alkohol. Tissue dan alkohol digunakan untuk
membersihkan kotoran yang tidak diinginkan dan agar tidak terjadi kontaminasi dengan
mikroorganisme lain dan kacang kedelai tersbut di keringkan dengan menggunakan
tissue. Setelah itu kacang kedelai hitam yang telah kering dituangkan didalam besek
yang telah disemprot dengan alkohol dan ditutup dengan daun pisang yang telah
dibersihkan dengan tissue, dan kemudian ditaburi dengan ragi tempe yang sudah
disediakan. Pada tahap ini, perlakuan yang diberikan terhadap sampel masing-masing
kelompok berbeda, yaitu untuk kelompok A1 jumlah ragi yang ditambahkan sebanyak
0,5% inokulum komersial, kelompok A2 dan A3 ditambahkan dengan ragi sebanyak
0,75% inokulum komersial, dan untuk kelompok A4 dan A5 ditambahkan dengan 1%
inokulum komersial. Pada praktikum ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh
Purwoko & Noor (2007), yaitu bahwa jenis kapang yang paling umum digunakan dalam
tahap koji adalah Aspergillus oryzae, begitu pula dalam praktikum ini, inokulum yang
digunakan adalah inokulum dari spesies Aspergillus oryzae. Setelah diinokulasi, sampel
dilapisi dengan daun pisang, kemudian ditutup dengan tampah penutup, dan diinkubasi
selama 3 hari.
Waktu penginkubasian yang dilakukan dalam praktikum ini sudah sesuai dengan teori
oleh Purwoko & Noor (2007) yaitu selama 3 hari, sedangkan menurut Astawan &
Astawan (1991), waktu penginkubasian selama 3 hari tersebut merupakan proses
fermentasi kapang yang dapat berlangsung secara sempurna. Namun, apabila fermentasi
berlangsung terlalu cepat, maka kapang tersebut belum mampu menghasilkan enzim
yang cukup untuk proses hidrolisa komponen dalam kacang kedelai, maka hasil akhir
dalam proses fermentasi koji ini tidak akan berhasil sempurna. Sebaliknya, jika
fermentasi kapang berlangsung terlalu lama, maka enzim yang dihasilkan akan semakin
banyak sehingga cita rasa yang dihasilkan akan menjadi kurang baik dan tidak disukai
konsumen.
Tempat yang digunakan dalam pembuatan tempe ini berupa besek, menurut Kasmidjo
(1990), hal ini pun dikarenakan ada alasan tertnetu yaitu untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan optimal kapang, yang bersifat aerob (butuh udara), dengan menggunakan
besek maka udara masih bisa masuk ke bagian dalam tampah, sehingga fermentasi
jamur yang terjadi akan mendukung pertumbuhan inokulum. Hasil fermentasi koji ini,
setelah 3 hari inkubasi yaitu muncul hifa-hifa berwarna putih yang mengelilingi kacang
kedelai hitam. Maka sudah sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Santoso (1994)
bahwa kedelai yang diselimuti dengan miselium jamur yang berwarna putih itulah yang
dinamakan dengan koji. Dengan terbentuknya kenampakan semacam itu, berarti tahap
fermentasi koji dinyatakan berhasil. Sedangkan jumlah banyak sedikitnya jumlah ragi
yang ditambahkan akan mempengaruhi ketebalan miselium yang terbentuk pada produk
akhir tempe, dimana semakin banyak jumlah ragi yang diinokulasikan, maka semakin
banyak pula miselium yang terbentuk di permukaan kedelai. Tidak menutup
kemungkinan dalam tahap ini, terjadi kontaminasi oleh jenis kapang lainnya, salah
satunya yaitu jenis Bacillus subtilis yang dicirikan dengan tumbuhnya kapang berwarna
kuning pada tempe.
Kemudian kedelai yang sudah kering tersebut dimasukkan ke toples plastik dan
direndam dalam larutan garam 20% selama 1 minggu. Maka tidak sesuai dengan teori
yang diungkapkan oleh Purwoko & Noor (2007) yang mengatakan bahwa dalam tahap
moromi, koji yang sudah terbentuk akan melalui tahap perendaman dengan air garam
dan direndam selama kurang lebih 14-28 hari. Tetapi selama waktu 1 minggu, sampel
harus dijemur dengan sinar matahari setiap harinya selama 1 jam, sambil diaduk
beberapa kali. Tetapi pada perlakuan perendaman kedelai kering di dalam larutan garam
sebesar 20% sudah sesuai dengan teori dari Santoso (1994).
Tortora et al. (1995) mengatakan bahwa perlakuan dalam tahap moromi ini berupa
perendaman dalam larutan garam yang bertujuan menimbulkan rasa asin dan sebagai
medium selektif yang mampu mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Tetapi masih
ada kemungkinan terdapat pertumbuhan khamir dan bakteri yang bersifat halofilik
sebagai peran dalam pembentukan cita rasa yang masih bisa tumbuh. Selain itu,
perendaman dalam larutan garam juga berperan dalam ekstraksi senyawa-senyawa
sederhana hasil hidrolisis pada tahap koji. Sedangkan tahap pengadukan yang dilakukan
setiap hari ini bertujuan untuk menghomogenkan larutan garam dan memberikan kontak
udara untuk merangsang pertumbuhan khamir dan bakteri. Tahapan moromi yang
dilakukan dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini :
jenis bumbu yang digunakan maka dapat menimbulkan bau dan cita rasa yang spesifik.
Sedangkan menurut Tortora et al. (1995), aroma dipengaruhi karena terjadinya reaksi
kimiawi yang terjadi selama pemanasan sehingga didapatkan hasil dengan komponen
nitrogen seperti kadaverin, putresin, arginin, histidin dan amonia, komponen tersebut
membentuk senyawa-senyawa garam dengan asam glutamat, yang dapat menghasilkan
dan menimbulkan flavor yang enak. Semakin tinggi kadar ragi yang ditambahkan, maka
aroma pada pembuatan kecap semakin kuat. Dikarenakan mikroorganisme memiliki
kemampuan untuk mendegradasi senyawa kompleks dan menghasilkan senyawasenyawa volatil selama proses fermentasi berlangsung, sdapat disimpulkan bahwa
semakin banyak ragi yang ditambahkan, semakin banyak pula mikroorganisme yang
menghasilkan senyawa volatil sehingga aroma kecap akan semakin kuat pada akhirnya
(Apriyantono, 2004). Tetapi tidak demikian pada perbandingkan dengan hasil pengujian
yang ada, dimana pada hasil sampel yang seharusnya memiliki aroma yang kuat yaitu
kelompok B3 dan B4 justru terdeteksi kurang kuat.
Diamati dari parameter warna, maka warna yang terbentuk adalah pada kelompok A1
dan A5 berwarna hitam sedangkan pada kelompok A2 hingga A4 berwarna kurang
hitam. Warna yang terbentuk pada produk kecap terjadi pada tahap moromi, dimana
pada saat penambahan gula jawa maka akan memberikan warna coklat karamel, dan
semakin banyaknya jumlah gula jawa yang ditambahkan maka akan semakin pekat pula
warna yang diperoleh (Kasmidjo, 1990). Pernyataan tersebut didukung oleh Astawan &
Astawan (1991), yang mengatakan bahwa selama proses fermentasi moromi, akan
menyebabkan reaksi browning antara gula pereduksi dengan gugus amino dari protein,
sehingga berefek warna kecoklatan pada kecap. Semakin banyak ragi yang ditambahkan
dapat menyebabkan warna kecap semakin hitam, akibat tingginya jumlah kapang yang
ada (Tortora et al., 1995).
Pada parameter rasa yang terbentuk dalam pembuatan kecap, sampel dari kelompok A1
dan A5 menunjukkan rasa sangat kuat, dibandingkan pada kelompok A2 hingga A4
yang menunjukkan rasa kuat. Jumlah gula jawa yang ditambahkan pada pembuatan
kecap manis ini, maka semakin manis rasa kecap yang diperoleh. Dibandingkan
perlakuan dari penambahan ragi maka tidak berpengaruh spesifik (Kasmidjo, 1990).
Amalia (2008) mengatakan bahwa dengan penambahan ragi yang semakin banyak,
maka asam amino yang dihasilkan dari metabolsime kapang juga semakin tinggi, dan
memberikan cita rasa umami pada kecap.
Penilaian dari segi kekentalan produk kecap yang terbuntuk, maka diperoleh data bahwa
kekentalan pada kelompok A1, A4, dan A5 merupakan produk kecap yang kental
sedangkan pada kelompok A2 dan A3 tingkat kekentalannya kurang kental. Dalam hal
kekentalan, dengan penambahan gula jawa akan meningkatkan viskositas (Kasmidjo,
1990). Pada saat proses pemasakan juga berpengaruh terhadap viskositas produk kecap
manis pada hasil akhir, dimana pada awal pemasakan tingkat kekentalan akan
meningkat, tetapi apabila dalam tahap pemasakan waktu yang digunakan terlalu lama
dapat mengakibatkan kekentalan yang terdapat pada produk kecap menurun (Santoso,
1994). Tetapi pada hasil kekentalan pada pengujian ini dianggap benar, namun
kesalahan yang terjadi dapat diakibatkan karena pemanasan yang terlalu lama, atau
karena perbedaan persepsi mengenai suatu sifat produk, dikarenakan pengujian ini
dilakukan oleh seorang panelis saja.
3.
KESIMPULAN
kecap asin.
Dalam pembuatan kecap terdapat 2 tahap, yaitu fermentasi koji (oleh kapang) dan
menjadi lunak.
Kacang kedelai direbus bertujuan agar protein inhibitor rusak, melunakkan biji
secara sempurna.
Mikroorganisme yang dapat mengontaminasi pada tahap koji adalah Bacillus
yang menghasilkan senyawa volatil sehingga aroma kecap akan semakin kuat.
Penambahan gula jawa dapat digunakan sebagai pembentukan viskositas tinggi
12
Semakin banyak penambahan ragi pada tahap koji, maka warna kecap akan
semakin hitam.
Asisten Dosen,
-
Abigail Sharon
Frisca Melia
4.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Tika. (2008). Pengaruh Kkarakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan
Terhadap Mutu Organoleptik Kecap Manis. [Skripsi].
Apriyantono, Anton, Gono Dewi Yulianawati. (2004). Perubahan Komponen Volatil
selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknol dan Industri Pangan. Vol XV p 100-112.
Astawan, M. & Astawan W. M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat
Guna. Akademika Pressindo.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc.
New York.
Dzogbefia, V. P.; P. L. Arthur; & H. D. Zakpaa. 2007. Journal 5 of Value Addition to
Locally Produced Soybeans in Ghana: Production of Soysauce Using Starter Culture
Fermentation.
Ginting, Erliana; Sri Satya Antarlina; & Sri Widowati. 2009. Jurnal 4 tentang Varietas
Unggul Kedelai Untuk Bahan Baku Industri Pangan.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe : mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Mao; Chunqi; Guoqing He; Xinyong Du; Meilin Cui; & Shiyanng Gao. (2013). Journal
2 of Biochemical Changes in the Fermnetation of the Soysauce Prepared with Bittern.
Advance Journal of Food Science and Technology 5(2): 144-147.
Muangthai, Pornpimol; Pakatheera Upajak; Penprapa Suwunna; & Wai Patumpai.
(2009). Journal 1 of Development of Healhty Soy Sauce From Pigeon Pea and Soybean.
Asian Journal of Food and Agro-Industry.
Peppler, H.J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, fermentation Technology.
Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, Tjahjadi & Noor Soesanti Handajani. 2007. Jurnal 3 tentang Kandungan
Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan
R. Oligosporus.
Rahayu, E.; R. Indrati; T.utami; E. Harmayani & M.N. Cahyanto. (1993). Bahan Pangan
Hasil Fermentasi Food & Nutition. Collection. PAU Pangan & Gizi. Yogyakarta.
14
5. LAMPIRAN
5.1. Laporan Sementara
5.2. Jurnal
16