You are on page 1of 23

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun

yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetic dan factor
lingkungan. Factor genetic diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit
ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi factor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang
bertanggung jawab.1
Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofiseadrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya
gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan selsel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban
antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan
respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan
memproduksi autoantibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor
eksternal/ lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam
periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi system imun. 1
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut:
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE, selama 5 tahun 1972-1976
ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat, antara tahun 19881990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. 1

1.2.

Tujuan Makalah
Adapun makalah ini dibuat untuk mendalami dan mendalami tentang

penyakit Sistemik Lupus Eritematosus dan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik bagian departemen ilmu penyakit dalam
di RSU Pirngadi Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Defenisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang

melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan
sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. 2
2.2.

Etiologi

Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui, diduga fakto genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh
sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara
terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamansi imun sistemik dengan kerusakan
multiorgan.2
2.3.

Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi

diri. Akibatnya, terdapat autoantibody dalam jumlah besar yang dapat merusak
jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.
Antibodi Antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan beberapa antigen
nucleus dan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori:
1.
2.
3.
4.

Antibodi terhadap DNA


Antibodi terhadap Histon
Antibodi terhadap protein non histon yang terikat pada RNA
Antibodi terhadap antigen nukleolus.

Faktor Genetik
Bukti yang mendukung kecenderungan genetic terjadinya LES mempunyai
beberapa bentuk.
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik versus
kembar dizigotik (1% hingga 3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi.
3. Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara terdapat hubungan
positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLADQ.

4. Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defisiensi komponen


komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen mungkin akan
mengganggu pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan
deposisi jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.
Faktor Nongenetik
Contoh yang paling jelas dari faktor nongenetik (misalnya, lingkungan) dalam
memulai terjadinya LES adalah adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien
yng meminum obat tertentu seperti prokainamid dan hidralazin. Oleh karena itu,
sebagian besar penderita yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6
bulan akan menghasilkan ANA, disertai gambaran LES yang muncul pada 15%
hingga 20% pasien tersebut. Hormon seks sepertinya juga menunjukkan pengaruh
yang penting pada kejadian LES. Lihatlah kecenderungan terjadinya penyakit
yang lebih besar pada perempuan. Hal ini disebabkan oleh efek estrogen yang
bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor
lingkungan lainyang memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sinar
ultraviolet dapat merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan yang akan
melepaskan kandungan sel dan meningkatkan pembentukan kompleks imun
DNA/anti-DNA; kemungkinan lain, faktor ini dapat mengatur respons imun local
dengan meningkatkan produksi keratinosit IL-1.

2.4.

Manifestasi Klinis
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah

lupus, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan

(2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50%
melibatkan

ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan

trombosis arteri dan vena.


2.4.1

Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit


Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar.

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada,
punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 510 mm, tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang
permanen. Ruam malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah.
Ruam-ruam tersebut dipicu oleh paparan cahaya matahari. Lesi-lesi tersebut
penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam
yang tidak beraturan.

Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan,

meskipun jarang, tetapi mengarah pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip
lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan seringkali tumpang tindih antara LE
dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan terapi dengan
antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang
atropi dan jaringan parut.

2.4.2

Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat


Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan

beberapa sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus


bervariasi dari ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke).
Manifestasi utama dari Lupus SSP :
1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)
2. Sakit kepala
3. Seizure
4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)

5. Meningitis aseptik
6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian bagian otak yang berbeda)
7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan
dan kaki)
8. Gangguan pergerakan
9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)
10. visual alternation
11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan
suatu sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang
merupakan inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan
merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American
College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih
dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang
ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam,
seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour.
MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multipel.

Sindrom

Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi antiphospholipid sebagai


bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan darah, yang dapat
menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak
( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak
sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara.
Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 4550% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit
lupus SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi
terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan
lupus SSP. Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini
merupakan komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan

paralisis atau kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan


anggota badan sampai terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi
pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf
yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan detak
jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada
terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a mottled skin rash), rasa geli,
hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang mengalami gangguan kognitif
biasanya

mengeluhkan

adanya

rasa

kebingungan,

kelelahan,

kesulitan

menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan kognitif adalah


intermiten. Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ
otak, yaitu ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat
sembuh tetapi meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan
motorik, sensorik atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini
menyebabkan kerusakan permanen pada SSP.
2.4.3. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal
Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira
50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang
asimtomatik sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown
atau gagal ginjal yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi
manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah
dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada penderita lupus. Pada stadium
lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian.
2.4.4

Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata


Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek

eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan


ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/
watering yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogrens
sindrome atau sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva.
Selain itu kelainan dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata

seiring perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya
yaitu mata merah yang melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa
disertai rasa sakit. Selain itu dapat dijumpai jaringan parut yang dapat
membahayakan kornea. Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis
retina

dan

inflamasi

pembuluh

darah

yang

mengalami

kerusakan

(microangiopathy), sehingga retina dapat kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan


terlihat pembuluh retina yang menyempit berwarna putih dan adanya cotton wool
spots (potongan kecil berwarna putih pada retina) yang timbul karena
pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini dapat ditemukan walau
disertai gejala lain. Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh
kelainan pada organ lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal
dapat menyebabkan retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak
mata. Keadaan bengkak pada kelopak mata dapat menjadi tanda awal
kekambuhan. Renal hipertension, dapat menyebabkan retinopati hipertensi, yang
bermanifestasi seperti microangiopathy.

Manifestasi lupus pada sistem saraf

dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang kemudian


dapat

menjadi

pseudo

tumor/

tumor

intrakranial,

dan

menyebabkan

pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).


Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak
diobati dapat menyebabkan kebutaan.

Manifestasi lupus pada sistem

gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada mata. Pankreatitis akut dapat


menyebabkan Purtschers retinopathy, adanya cotton wool spots. Penglihatan
terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali.
2.4.5

Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal


Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling

mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase


keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%,
sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10%.
Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan

10

beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi,


perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali
dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak
mengarah pada hepatitis atau cirrhosis.
2.5.

Diagnosa
Kriteria diagnosis yang iguakan aalah ari American College of

Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut LES
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.
No
1.
2.

Kriteria
Rash Malar

Batasan
Eritema datar atau timbul i atas eminensa malar

Discou Rash

dan bisa meluas ke lipatan nasolabial


Bercak kemerahan engan keratosis bersisik an
sumbatan folikel. Pada LES lanjut ditemukan

Fotosensitivity

parut atrofi.
Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhaap sinar

4.

Arteritis Nonerosif

matahari
Melibatkan 3 atau lebih sendi perifer dengan

5.

Pleuritis

3.

atau

Perikarditis

6.

Gangguang Renal

karakteristik efusi, nyeri dan bengkak.


a. Pleuritis nyeri pleuritik diemukannya
pleuritik rub atau efusi pleura
b. Perikarditis EKG dan Pericarial friction
rub
a. Proteinuria persisten >0,5 gr per hari atau
kualifikasi +++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau

7.
8.

Ulkus Oral
Gangguan Neurologis

campurn.
Ulserasi oral atau nasofarig yang tidak nyeri
a. Kejang tidak disebabkan oleh gangguan
metabolik maupun obat-obatan seperti
uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan

9.

Ganggun Hematolog

elektrolit.
a. Anemia hemolitik dengan retikulosit
b. Leukopenia <4000/uL
c. Limfopenia <15000/uL

11

10.

Gangguan Imunologi

d.
a.
b.
c.

Trombositopenia <100.000
antiDNA meningkat
anti Sm meningkat
antibodi antofosfolipid igG,

igM

antikadioliin meningkat, tes koagulasi


lupus (+) dengan metode standar hasil (+)
palsu

dan

dibuktikan

dengan

pemeriksaan imobilisasi T pallidum 6


11.

Antibodi

bulan kemudian.
Antinuklear Titer ANA meningkat dari normal.

(ANA)

2.6.

Pemeriksaan Penunjang

2.6.1

Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus


Sistemik ( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil
pemeriksaan darah pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG
mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat.
Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme
granular atau sel darah merah pada urin.

2.6.2

Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai

proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.

12

Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya
usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau
turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi
terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.

13

2.6.2.1 Antibodi Antinuklear.


Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogrens primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita LES.
Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas
ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SSB.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang
positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
2.6.2.2 Antibodi terhadap DNA.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi
yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif
dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik
dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom
Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan
peningkatan aktifitas penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang
kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA
dilakukan

dengan

metode

radioimmunoassay,

ELISA

dan

C.luciliae

immunofluoresens.
2.6.3

Pemeriksaan Komplemen.
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.

Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen

14

merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita
dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding
gejala klinis.
2.7.

Penatalaksanaan LES secara umum.


Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam

penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.


Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan
membentuk

kelompok

penderita

yang

bertemu

secara

berkala

untuk

membicarakan masalah penyakitnya. Pada umumnya, penderita LES mengalami


fotosensitivitas sehingga penderita harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu
banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasihatkan untuk selalu
menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi
terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita LES juga harus
menghindari rokok.
Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus selalu
diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada
penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik,
penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa.
Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita LES yang akan
menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau siklofosfamid.
Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES dan memiliki risiko

15

tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus
lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya.
2.8.1

TERAPI KONSERVATIF.

2.8.1.1 Arthritis, Arthralgia & Mialgia.


Arthritis, Arthralgia, dan Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai
pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik
sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada
penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya agar tidak memperberat
keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar
dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara
berkala.
Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak memberikan respons
yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya
hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak
memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3
bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi
oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina.
Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan
analgetik atau obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih
dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi arthritis pada penderita LES.

16

2.8.1.2 Lupus kutaneus1.


Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitivitas. Eksaserbasi
akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar
inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita
fotosensitivitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan
menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan, menghindari
paparan langsung dan menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal
berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B.
Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau berkeringat.
Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat dipertimbangkan pada
dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid
topikal, terutama yang bersifat diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit,
depigmentasi, teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan
penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi,
misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan dapat digunakan steroid
topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid. Untuk lesi hipertrofik, misalnya di daerah palmar dan plantar pedis,
dapat digunakan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason
dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi
selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah.
Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus kutaneus, baik lupus
kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai efek
sunsblocking, antiinflamasi dan imunosupresan.Pada penderita yang resisten
terhadap antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik.
Dapson dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,
vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem hematopoetik
adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan anemia hemolitik, yang
kadang-kadang memperburuk ruam LES di kulit.

17

2.8.1.3 Kelelahan dan keluhan sistemik.


Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita LES,
demikian juga penurunan berat badan dan demam. Kelelahan juga dapat timbul
akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan demam dapat
juga diakibatkan oleh pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpati dalam
mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup
menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat
dapat menunjukkan peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian
glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan.
2.8.1.4 Serositis.
Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat merupakan tanda
serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat
antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15
mg/hari). Pada keadaan yang berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk
mengontrol penyakitnya.
2.8.2 TERAPI AGRESIF.
2.8.2.1 Kortikosteroid.
Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi
harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan mengancam nyawa,
misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliarthritis, poliserositis,
miokarditis pneumonitis lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia
hemolitik, trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat,
mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).
Dosis

glukokortikoid

glukokortikoid

yang

sangat
akan

penting
diberikan.

diperhatikan
Walaupun

dibandingkan
demikian,

jenis

pemberian

glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.


Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur
dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal
pada pagi hari. Pada manifestasi minor LES, seperti arthritis, serositis dan gejala

18

konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada


manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3
hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari. Respons terapi
dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu yang cukup lama,
seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6
minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai
dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis
prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu,
dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1
mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke
dosis efektif, kemudian dicoba diturunkan kembali.
Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi
tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya.
2.8.2.2 Siklofosfamid.
Indikasi siklofosfamid pada LES :
1. Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent).
2. Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi.
3. Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau
berulang.
4. Glomerulonefritis difus awal.
5. LES dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid.

19

6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan kreatinin serum tanpa


adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya.
7. LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.
Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl 0,9%
selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24 jam setelah
pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi LES. Siklofosfamid
diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2
tahun. Selama pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap
dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan
fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/m2.
Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus dipantau.
Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya
diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah leukosit sampai 4000/ml
menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak adekuat sehingga dosisnya harus
ditingkatkan 10% pada pemberian berikutnya.
Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,
keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia.
2.8.2.3 Azatioprin.
Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai
alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dan diberikan
secara per oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12 bulan pada penderita LES;
setelah penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin,
maka dosis azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah
penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.
Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim
hati dan mencetuskan keganasan.

20

2.8.2.4 Siklosporin.
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah
Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
2.8.2.5 Mofetil-mikofenolat (MMF).
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada
nefritis lupus, MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam
hal tingkat remisi, kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan
tingkat remisi nefritis lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang.
MMF tidak berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea.
Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali perhari.
2.8.2.6 Rituximab.
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan
dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab
adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap
6 bulan.
2.8.2.7 Imunoglobulin G IV.
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi
trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan
selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk
mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada
pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.

21

2.9.

Prognosis
Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada

penderita lupus
eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal
paling banyak menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada
beberapa kasus perlu dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal.
Lebih dari 85% penderita lupus mengalami kelainan darah
seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan
miokarditis (2).
Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus
lebih baik,meskipun lesi secara kosmetik kurang bagus tapi tidak
membahayakan jiwa dan biasanya tidak membuat penderita
harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid
lupus yang berkembang menjadi sistemik lupus (11). Prognosis
penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih
banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi
retrospektif di Brazil yang menyatakan kematian selama 16
tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian biasanya terjadi
karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP
(36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum
usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi
dapat menyebabkan kematian.

22

7. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Systemic Lupus


Erythematosus Guidelines. Guidelines for referral and management of systemic lupus
erythematosus in adults. Arthritis and Rheumatism.
17. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A. The
significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases. Jugoslov Med Biohem
2006;25:363-372. Pemeriksaan penunjang

11. Carson R, De Witt. Discoid lupus Erythematosus. Gale


encyclopedia of Medicine.
2002.
12. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus
Erythematosus. Dermatology
online Journal Vol 7 No 1.2001. prognosis
24. Zandmann-Goddard G, Levy Y, Shoenfeld Y. Intravenous
immunoglobulin therapy and systemic lupus erythematosus. 2005
[cited

2011

Dec

29].

Available

from

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16391397

13. Eisenberg H. SLE-Rituximab in lupus. 2010 [ cited 2011 Dec 29 ]. Available from
: http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC165056
1. Greenberg MS, Michael G. Burkets Oral Medicine Diagnosis &
Treatment. 10th

23

ed. Hamilton: BC Decker Inc. 2003. Penatalaksanaan.

You might also like