Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ
atau system dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibody
dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.1
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetic dan factor
lingkungan. Factor genetic diduga berperan penting dalam predisposisi penyakit
ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadic tanpa identifikasi factor genetik,
berbagai faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang
bertanggung jawab.1
Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofiseadrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya
gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan selsel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam
perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatkan beban
antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan
respon imun dari T helper 1 (Th1) ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan
memproduksi autoantibody patogenik. Respon imun yang terpapar faktor
eksternal/ lingkungan seperti radiasi ultraviolet (UV) atau infeksi virus dalam
periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi system imun. 1
Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di
rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang
melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut:
antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE, selama 5 tahun 1972-1976
ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat, antara tahun 19881990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. 1
1.2.
Tujuan Makalah
Adapun makalah ini dibuat untuk mendalami dan mendalami tentang
penyakit Sistemik Lupus Eritematosus dan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik bagian departemen ilmu penyakit dalam
di RSU Pirngadi Medan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Defenisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan
sampai berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. 2
2.2.
Etiologi
Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui, diduga fakto genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi LES. Sistem imun tubuh
kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan jaringan tubuh
sendiri. Penyimpangan reaksi imunologi ini akan menghasilkan antibodi secara
terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam pembentukan kompleks imun
sehingga mencetuskan penyakit inflamansi imun sistemik dengan kerusakan
multiorgan.2
2.3.
Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi
diri. Akibatnya, terdapat autoantibody dalam jumlah besar yang dapat merusak
jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.
Antibodi Antinuklear (ANA) diarahkan untuk melawan beberapa antigen
nucleus dan dapat dikelompokkan menjadi empat kategori:
1.
2.
3.
4.
Faktor Genetik
Bukti yang mendukung kecenderungan genetic terjadinya LES mempunyai
beberapa bentuk.
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik versus
kembar dizigotik (1% hingga 3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi.
3. Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara terdapat hubungan
positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLADQ.
2.4.
Manifestasi Klinis
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah
(2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50%
melibatkan
Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada,
punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 510 mm, tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang
permanen. Ruam malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah.
Ruam-ruam tersebut dipicu oleh paparan cahaya matahari. Lesi-lesi tersebut
penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam
yang tidak beraturan.
meskipun jarang, tetapi mengarah pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip
lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan seringkali tumpang tindih antara LE
dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan terapi dengan
antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang
atropi dan jaringan parut.
2.4.2
5. Meningitis aseptik
6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian bagian otak yang berbeda)
7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan
dan kaki)
8. Gangguan pergerakan
9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)
10. visual alternation
11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan
suatu sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang
merupakan inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan
merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American
College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih
dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang
ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam,
seizures, meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour.
MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multipel.
Sindrom
mengeluhkan
adanya
rasa
kebingungan,
kelelahan,
kesulitan
seiring perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya
yaitu mata merah yang melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa
disertai rasa sakit. Selain itu dapat dijumpai jaringan parut yang dapat
membahayakan kornea. Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis
retina
dan
inflamasi
pembuluh
darah
yang
mengalami
kerusakan
menjadi
pseudo
tumor/
tumor
intrakranial,
dan
menyebabkan
10
Diagnosa
Kriteria diagnosis yang iguakan aalah ari American College of
Rheumatology 1997 yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut LES
jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.
No
1.
2.
Kriteria
Rash Malar
Batasan
Eritema datar atau timbul i atas eminensa malar
Discou Rash
Fotosensitivity
parut atrofi.
Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhaap sinar
4.
Arteritis Nonerosif
matahari
Melibatkan 3 atau lebih sendi perifer dengan
5.
Pleuritis
3.
atau
Perikarditis
6.
Gangguang Renal
7.
8.
Ulkus Oral
Gangguan Neurologis
campurn.
Ulserasi oral atau nasofarig yang tidak nyeri
a. Kejang tidak disebabkan oleh gangguan
metabolik maupun obat-obatan seperti
uremia, ketoasidosis, ketidakseimbangan
9.
Ganggun Hematolog
elektrolit.
a. Anemia hemolitik dengan retikulosit
b. Leukopenia <4000/uL
c. Limfopenia <15000/uL
11
10.
Gangguan Imunologi
d.
a.
b.
c.
Trombositopenia <100.000
antiDNA meningkat
anti Sm meningkat
antibodi antofosfolipid igG,
igM
dan
dibuktikan
dengan
Antibodi
bulan kemudian.
Antinuklear Titer ANA meningkat dari normal.
(ANA)
2.6.
Pemeriksaan Penunjang
2.6.1
2.6.2
Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
12
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan
ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya
usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers)
proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau
turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi
terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian
penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik
autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
13
dengan
metode
radioimmunoassay,
ELISA
dan
C.luciliae
immunofluoresens.
2.6.3
Pemeriksaan Komplemen.
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai
mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
14
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan
bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah
dan fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus
kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat
beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita
dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding
gejala klinis.
2.7.
kelompok
penderita
yang
bertemu
secara
berkala
untuk
15
tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan aktifitas penyakit harus
lebih ketat selama kehamilan.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan tidak
berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya.
2.8.1
TERAPI KONSERVATIF.
16
17
glukokortikoid
glukokortikoid
yang
sangat
akan
penting
diberikan.
diperhatikan
Walaupun
dibandingkan
demikian,
jenis
pemberian
18
19
20
2.8.2.4 Siklosporin.
Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan LES adalah
Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini dapat digunakan pada LES
baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama
pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah.
Bila kadar kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum
pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.
2.8.2.5 Mofetil-mikofenolat (MMF).
MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES. Pada
nefritis lupus, MMF memiliki efek yang sebanding dengan siklofosfamid dalam
hal tingkat remisi, kekambuhan dan risiko infeksi. MMF dapat mempertahankan
tingkat remisi nefritis lupus sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang.
MMF tidak berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea.
Dosis MMF adalah 500 1500 mg, 2 kali perhari.
2.8.2.6 Rituximab.
Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat digunakan
dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk LES. Dosis rituximab
adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2 minggu, dan dapat diulang setiap
6 bulan.
2.8.2.7 Imunoglobulin G IV.
Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi
trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan
selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk
mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada
pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.
21
2.9.
Prognosis
Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada
penderita lupus
eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal
paling banyak menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada
beberapa kasus perlu dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal.
Lebih dari 85% penderita lupus mengalami kelainan darah
seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang
dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan
miokarditis (2).
Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus
lebih baik,meskipun lesi secara kosmetik kurang bagus tapi tidak
membahayakan jiwa dan biasanya tidak membuat penderita
harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid
lupus yang berkembang menjadi sistemik lupus (11). Prognosis
penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih
banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi
retrospektif di Brazil yang menyatakan kematian selama 16
tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian biasanya terjadi
karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP
(36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum
usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi
dapat menyebabkan kematian.
22
2011
Dec
29].
Available
from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16391397
13. Eisenberg H. SLE-Rituximab in lupus. 2010 [ cited 2011 Dec 29 ]. Available from
: http://www.ncbi.nlm.gov/pmc/articles/PMC165056
1. Greenberg MS, Michael G. Burkets Oral Medicine Diagnosis &
Treatment. 10th
23