You are on page 1of 29

PRETEST

SESAK dan BATUK

Disusun Oleh :
Fadhillah Syafitri Suhatril
1102011091

Pembimbing :
Dr. H. Hami Zulkifli Abbas, Sp.PD,MH.Kes, FINASIM.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD ARJAWINANGUN
2015
BAB I
PENDAHULUAN

Sesak napas adalah kesulitan bernapas atau dalam medis disebut sebagai
dispnea. Sesak napas dapat disebabkan oleh kondisi respirasi (saluran napas dan paruparu) atau sirkulasi (jantung dan pembuluh darah). Batuk merupakan proses refleks

dari pertahanan tubuh akibat adanya iritasi atau peradangan pada paru. Perkembangan
dari anatomi rongga dada menunjukkan adanya kelainan di dada yang dapat berakhir
buruk bila tidak ditanggulangi. Sesak dapat terdiri dari dua penyebab yaitu
berdasarkan kelompok organik dan non-organik. Diagnosis sesak dan batuk dapat
ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
berupa pemeriksaan laboratoruim dan pemeriksaan radiologi.
Maka untuk mengetahui penyebab dari sesak dan batuk, dokter harus
mengetahui beberapa penyakit yang dapat menyababkan sesak dan batuk salah
satunya asma bronkial, pneumonia, tuberkulosis paru, pneumothoraks, dan efusi
pleura, serta dapat menentukan tindakan yang tepat dari penyakit tersebut baik
tindakan konservatif maupun operatif untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sesak napas (dispnea) merupakan suatu keadaan yang sering dikeluhkan pada
gangguan sistem pernapasan, Dispnea adalah gejala subjektif berupa keinginan
penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Sesak napas
dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan penyebabnya: 1
a. organik (kelainan pada organ tubuh) Jantung, ginjal, gangguan
metabolisme
1 Amin Z. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan
Sistem Pernapasan. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed.V,
Interna Publishing, Jakarta Pusat. 2009. h: 21892195

b. non-organik (gangguan psikis yang tidak disertai kelainan fisik).


Table 1. Klasifikasi sesak napas menurut American Thoracic Society (ATS)
Tingka
t
0

Normal

Tidak ada kesulitan bernapas kecuali aktivitas berat

Ringan

Sesak timbul saat aktivitas ringan

Sedang

Berat

Sangat
berat

Berjalan lebih lambat dibandingkan orang seusia nya karena


sulit bernapas atau harus berhenti berjalan untuk bernapas
Berhenti berjalan setelah 90 meter untuk bernapas atau
setelah berjalan beberapa menit
Terlalu sulit untuk bernapas bila meninggalkan rumah atau
memekai baju atau membuka baju

Derajat

Kriteria

Fisiologi sesak napas


1. Sensasi sesak napas, campuran dua komponen :
- Input sensori ke korteks serebri: Informasi dari reseptor-reseptor khusus
terutama mekanoresptor di berbagai aparatus pernapasan dan di tempat
lain. Input lain dari jalan napas, paru memelui nervus vagus, otot-otot
-

pernapasan dan dinding dada.


Sensasi persepsi: Interpretasi dari informasi yang tiba pada korteks sensor

otot, hal ini sangat bergantung pada psikologis penderita.


2. Usaha untuk bernapas: Hal ini berkaitan dengan rasio beban pada otot-otot
pernapasan dan kapasitas maksimun otot-otot pernapasan
3. Kemoreseptor: Rangsangan kemoreseptor perifer atau

sentral

akan

meningkatkan ventilasi paru sekaligus menimbulkan sensasi sesak napas.


- Hipoksia, rangsangan respirasi melalui kemoreseptorperifer, dan dapat
menimbulkan sensasi sesak napas pada penderita dengan penyakit paru.
- Hiperkapnia
4. Mekanoreseptor: Rangsangan mekanik akan merangsang berbagai reseptor
yang tersebar di organ pernapasan :
- Reseptor saluran pernapasan dan atau wajah.
- Reseptor paru: reseptor iritan di epitel jalan napas (rangsangan mekanik
dan kimia), reseptor pulmonary strech di jalan napas: inflasi paru, serabut
3

C di dinding alveolar dan pembuluh darah respons terhadap kongestif


interstisial. Dan nervus vagus yang akan mentransmisikan informasi
aferen dari paru ke susunan saraf pusat.
5. Reseptor mekanik: Reseptor dinding dada berupa otot-otot dada akan
mempengaruhi ventilasi dan berdampak pada sensasi sesak napas.
Patofisiologi sesak napas 1
Penyebab dari sesak napas, menimbulkan:
a. Oksigenasi Jaringan Menurun tergantung dari sirkulasi darah dan kadar
hemoglobin, maka beberapa keadaan seperti perdarahan, animea (hemolisis),
perubahan

hemoglobin

(sulfhemoglobin,

methemoglobin,

karboksihemoglobin) dapat menyebabkan sesak napas.


b. Kebutuhan Oksigen Meningkat Penyakit atau keadaan yang meningkatkan
kebutuhan oksigen akan memberi sensasi sesak
terjadi peningkatan suhu tubuh
saraf

napas.

Pada

infeksi

karena bahan pirogen atau merangsang

sentral ang menyebabkan kebutuhan oksigen meningkat dan akhirnya

menimbulkan sesak napas.

basal

metabolic

rate

meningkat

sehingga

kebutuhan oksigen juga meningkat. Aktivitas jasmani juga membutuhkan


oksigen yang lebih banyak sehingga menimbulkan sesak napas.
c. Kerja Pernapasan Meningkat
- Panyakit perenkim penyempitan saluran napas menyebabkan ventilasi
-

paru menurun.
pernapasan ditingkatkan.
metabolisme bertambah dan akhirnya metabolit-metabolit dalam darah

meningkat.
Metabolit yang terdiri dari asam laktat dan asam piruvat ini akan

merangsang susunan saraf pusat.


d. Rangsangan Pada Sistem Saraf Pusat Penyakit yang menyerang sistem
saraf pusat dapat menimbulkan serangan sesak napas secara tiba-tiba. seperti
pada meningitis.

Penyakit Neuromuskuler gangguan pada sistem pernapasan terutama jika


penyakit tadi mengenai diagfragma, seperti miastenia gravis dan amiotropik
leteral sklerosis.
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan awal. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis
akut, seperti serangan asma bronkial, emboli paru, pneumothoraks atau infark
miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam hingga berhari-hari lebih
sering akibat eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau perkembangan proses
seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif. Gejala yang menyertai seperti
a) nyeri dada yang disertai dengan sesak mungkin disebabkan oleh emboli paru,
infark miokard atau penyakit pleura, b) batuk yang disertai sesak dengan sputum
purulent dapat disebabkan oleh infeksi napas atau proses peradangan kronik, c)
demam dan menggigil mendukung adanya suatu infeksi, d) hepmoptosis menandakan
adanya rupture kapiler/vascular akibat emboli paru, tumor atau radang saluran napas.
Pemeriksaan umum.
Tampilan umum. Seorang pasien yang mengantuk dengan napas yang lambat dan
pendek bisa disebabkan oleh obat tertentu, retenso CO2 atau gangguan sistim saraf
pusat. Seorang pasien gelisah dengan napas yang cepat dan dalam bisa disebabkan
oleh hipoksemia berat karena primer penyakit paru, jantung atau akibat dari serangan
cemas.
Kontraksi otot bantu napas. Otot bantu napas dapat membuktikan adanya obstruksi
saluran napas, seperti adanya kontraksi otot di leher dan otot intercostal akan
berkontraksi pada keadaan obstruksi saluran napas yang moderat hingga parah. Pada
tension pneumothoraks suatu keadaan gawat darurat sisi yang terkena akan membesar
pada setiap inspirasi dan trakea akan terdorong kesisi sebelahnya.

Tekanan vena jugularis. Peninggian tekanan vena jugularis menandakan adanya


peninggian tekanan atrium kanan.
Palpasi. a) Tertinggalnya pengembangan suatu hemithoraks, pada saat palpasi bagian
lateral bawah rib cage paru bersangkutan menunjukkan adanya gangguan seperti pada
efusi pleura. b) Fremitus taktil, menurunnya fremitus taktil menandalan adanya area
bronkus yang tersumbat atau area pada efusi pleura. c) Meningkatnya fremitus
disebabkan oleh adanya konsolidasi parenkim suatu area yang mengalami inflamasi.
Perkusi. Hipersonor ditemukan pada hiperinflasi paru selama serangan asma akut,
emfiema, pneumothoraks. Redup pada perkusi paru menandakan adanya konsolidasi
paru atau efusi pleura.
Auskultasi. a) Berkurangnya intensitas suara napas pada kedua bidang paru
menunjukkan adanya obstruksi saluran napas, seperti pada konsolidasi, efusi pleura
dan pneumothoraks. b) Ronki basah halus terdengar pada parenkim paru yang berisi
cairan. Ronki bilateral disertai dengan suara Gallop (S3) terdapat pada gagal jantung
kongestif. Ronki setempat menandakan adanya kosnolidasi paru. c) Pasien sesak dan
rasa sakit didada harus dipikirkan kemungkinan adanya friction rub.
Table 2. Diagnosis banding sesak napas

Batuk. Batuk merupakan suatu refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi
percabangan trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang
penting untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan segala jenis batuk yang
lebih dari tiga minggi harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya. Rangsangan yang
biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik, kimia, dan peradangan.
Inhalasi debu, asap, dan benda-benda asing lainnya paling sering menimbulkan batuk.
Perokok paling sering menderita batuk kronik karena terus-menerus menghisap benda
asing (asap) dan saluran napas nya mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik
dari tumor (ekstrinsik maupun instrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab
lain yang dapat menimbulkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan pneumonia
merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala yang mencolok.
Batuk dapat bersifat produktif, pendek, tidak produktif, keras dan parau.

Diagnosis
Anamnesis. Gejala yang terkait seperti sakit telinga, hidung tersumbat, sakit
tenggorok, nyeri ulu hati atau sakit perut membantu melokalisir tempat iritasi tersebut.
Batuk berdahak (sputum mukopurulen) menunjukkan adanya kelainan saluran napas
bawah.
Table 2. sebab-sebab batuk
Penyakit saluran napas akut
- Faringitis
- Laryngitis
- Bronchitis
- bronkiolitis
Penyakit saluran napas kronik
- bronkitis
- bronkiektasis
Penyakit parenkimal
- pneumonia
- abses
- parasit

Penyakit kardiovaskular
- edema paru
- infark paru
Infark lingkungan
- gas
- debu
- perubahan temperature
Benda asing
- saluran napas
- membran timpani

Pemeriksaan fisik. Mencakup pemeriksaan a) telinga: ada atau tidaknya


benda asing dan radang pada membran timpani, b) nasofaring: periksa sinus,
mukosa hidung, rinore, alergi, c) faring: adakah hiperemis atau tanda peradangan,
d) hipofaring, e) leher: menggelembungnya vena-vena leher dapat terlihat pada
pasien dengan masa mediastinal yang batuk karena tekanan pada saraf laryngeal
rekuren atau saraf frenikus, f) dada: pasien dengan obstruksi saluran napas dapat
memperlihatkan rongga dada yang hiperekspansi atau kontraksi otot-otot bantu
napas.
Pada beberapa kasus sesak dan batuk, antara lain:

1. ASMA BRONKIAL 2
1.1.
Definsi
Suatu kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipersensitivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan
gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak, dan rasa berat di dada
terutama pada malam hari.
1.2.
Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, dimana terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Menurut Global Initiative
for Ashtma (GINA), Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan
prevalensi yang lebih besar terjadi pada anak-anak. Sedangkan menurut data studi
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia, asma
menduduki urutan kelima dari sepuluh penyebab kesakitan (morbiditas) bersamasama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis
kronik, dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) keempat di
Indonesia atau sebesar 5,6%. Dari hasil penelitian Riskesdas, prevalensi penderita
asma di Indonesia adalah sekitar 4%. Menurut Sastrawan, dkk (2008), angka ini
konsisten dan prevalensi asma bronkial sebesar 515%.
Etiologi
Adapun faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian asma adalah:
a. Imunitas dasar
b. Jenis Kelamin
c. Faktor pencetus
d. Status sosioekonomik
1.4.
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinik secara umum pada
1.3.

orang dewasa
Derajat
Intermitten
VEP1 80% nilai

Gejala
Bulanan
gejala <1 kali/minggu

Gejala malam

2 Davey, Patrick. Sistem Respirasi. At a Glance MEDICINE.


Dialihbahasakan oleh Annisa Rahmalia dan Novianty R. Jakarta :
Gramedia. 2008.

prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE <20%
Persisten ringan
VEP1 80% nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE 2030%
Persisten sedang
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
Variabiliti APE >30%
Persisten Berat
VEP1 60% nilai
prediksi
APE 60% nilai
terbaik
Variabiliti APE
>30%

tanpa gejala di luar


serangan
serangan singkat

2 kali
Sebulan

Mingguan
gejala >1 kali/minggu
tetapi <1 kali/hari
Serangan dapat
mengganggu aktivitas
dan tidur

>2 kali
Sebulan

Harian
Gejala setiap hari
serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
bronkodilator setiap hari

>2 kali
Sebulan

Kontinu
Gejala terus-menerus
sering kambuh aktivitas
fisik terbatas

Sering

(Sumber: PDPI, 2006)


Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan
Parameter klinis,
fungsi paru,
laboratorium
Sesak

Ringan

Sedang

Berat

Berjalan

Berbicara

Posisi

Bisa berbaring

Lebih suka
duduk

Bicara

Kalimat
Mungkin
irritable
Tidak ada

Penggal kalimat
Biasanya
irritable
Tidak ada

Istirahat
Duduk
bertopang
lengan
Kata-kata
Biasanya
irritable
Ada

Kesadaran
Sianosis

Ancaman henti
napas
Kebingungan
Nyata
10

Wheezing
Penggunaan
otot bantu
napas

Sedang, hanya
pada akhir
ekspirasi
Biasanya tidak

Nyaring,
sepanajang
ekspirasi dan
inspirasi
Biasanya ya

retraksi

Dangkal, retraksi
interkostal

Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Pulsus
paradoksus

takipneu
Normal
Tidak ada
(<10mmHg)

Sedang
ditambah
retraksi
suprasternal
takipneu
Takikardi
Ada
(10-20mmHg)

PEFR atau
FEV1

>60%
>80%

40-60%
60-80%

SaO2%
PaO2
PaCO2

>95%
91-95%
Normal
(biasanya tidak
>60 mmHg
perlu diperiksa)
<45 mmHg
<45 mmHg
(Sumber: PDPI, 2006)

Sangat nyaring,
tanpa stetoskop

Sulit/tidak
terdengar

ya

Gerakan
paradoktorakoabnominal

Dalam,
ditambah napas
cuping hidung

Dangkal/hilang

takipneu
Takikardi
Ada
(10-20mmHg)
<40%
<60%
Respon <2 jam
<90%

Bradipneu
Bradikardi
Ada
(10-20mmHg)

<60 mmHg
>45mmHg

1.5.

Patofisiologi
Gambar 1. Patofisiologi asma bronkial

11

(sumber: http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma_files/image025.gif)
1.6.

Diagnosis Klinis
Diagnosis asma meliputi frekuensi serangan asma untuk dapat menentukan
klasifikasi asma. Gejala, tanda, dan faktor risiko yang mengarah ke diagnosis
asma diantaranya:
- Mengi saat ekspirasi
- Riwayat batuk yang lebih memberat saat malam hari menyebabkan mengi
-

berulang, sulit bernapas, dan chest tightness


Gejala dirasakan memberat pada musim tertentu
Riwayat eksim atau keluarga ada riwayat asma

12

Gejala semakin dirasakan memberat saat terpapar faktor risiko (alergen):

debu, tungau, hewan, jamur, bahan kimia, asap rokok, stres emosional.
- Terdapat perbaikan kondisi setelah pemberian anti-asma
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
a. Spirometri
Indikasi: untuk menegakkan diagnosis, menilai derajat berat asma dan
pemantauan. Dilakukan saat awal, setelah stabil pasca tatalaksana eksaserbasi
dan berkala setiap 1-2 tahun untuk mnegetahui perjalanan penyakit.
b. Peak Flow Flow (PEF)
Indikasi: untuk membantu menegakkan diagnosis dan monitoring.
Idealnya hasil PEF dibandingkan dengan hasil PEF yang dilakukan pasien
sendiri setiap harinya dengan PEF.
c. Pemeriksaan tambahan lain
Skin test dengan mengukur IgE spesifik di serum untuk menentukan ada atau
tidaknya alergi dan identifikasi faktor risiko.
Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana antara lain untuk mencapai dan mempertahankan kendali

1.7.

gejala klinis asma dalam jangka panjang. Kriteria asma terkontrol penuh antara
lain:
-

Tidak ada gejala harian


Tidak ada serangan asma malam (nokturnal)
Tidak ada keterbatasan fisik
Tidak menggunakan obat pelega (reliever)
APE atau VEP1 normal
Tidak ada kunjungan ke IGD

Tabel 3. Terapi pada pasien asma bronkial


Terapi medikamentosa
Terapi non-medikamentosa
Controller
Hubungan baik antara pasien dan dokter
Indikasi: untuk mencegah terjadinya gejala Identifikasi dan kurangi paparan terhadap
atau serangan akut serta meningkatkan fungsi faktor risiko

13

paru
Reliever
Penilaian, terapi dan pengawasan asma
Indikasi: untuk mengatasi gejala akut seperti
sesak, mengi, dada terasa terikat/tertekan,
Terapi serangan akut asma (eksaserbasi)
atau batuk
2. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)3
2.1.
Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik ditandai dengan hembatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progresif non-reversible atau reversible parsial. Hambatan
berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya.
- PPOK dengan eksaserbasi akut terdapat gejala: sesak napas yang bertambah,
kadang disertai mengi, batuk yang bertambah sering disertai meningkatnya
produksi sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna
Gejala non-spesifik: malaise, insomnia, kelelahan, depresi
Spirometri: fungsi paru sangat menurun
2.2.
Etiologi
Etiologi eksaserbasi:
a. Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonia,
-

Haemophillus influenza, Moraella catarrhalis


b. Paparan polusi udara
2.3.

Epidemiologi
Indonesia belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya
Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK
bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki Tingkat morbiditas dan
mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan

3 Wilson LM. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan.


Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi VI, Vol.2. Sylvia
Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson; alih Bahasa : Brahm U. Pendit
(et.al). Jakarta: EGC. 2005. h:773-781.

14

besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat
8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit
Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat inap. Angka kematian sendiri juga
semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena
PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak
di Indonesia.
Klasifikasi 4

2.4.

Tabel 4. Klasifikasi PPOK menurut National heart, lung and blood institute dan
World Heart Organisation (WHO)
Stadium
0

Derajat PPOK
Berisiko PPOK
PPOK ringan

I
PPOK sedang
II
III

PPOK berat

Spirometri normal, dengan disertai kelainan


kronik (batuk, sputum produktif)
VEP1/KVP <70%
VEP1 >80% prediksi
dengan atau tanpa keluhan kronik
VEP1/KVP <70%
30% <VEP1 <80% prediksi
(IIA: 50% <VEP1 <80% prediksi)
(IIB: 30% <VEP1 <50% prediksi)
VEP1/KVP <70%
VEP1 <30% prediksi atau VEP1 <50%
prediksi + gagal napas

2.5.

Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan fisik:
- Pernapasan pursed lips
- Takipnea
- Batuk kronik
- Sputum yang kronik
- Dada emfisematous atau barrel chest

4 Wilson LM. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Patofisiologi:


Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi VI, Vol.2. Sylvia Anderson Price,
Lorraine McCarty Wilson; alih Bahasa: Brahm U. Pendit (et.al). Jakarta:
EGC. 2005. h:783-792.

15

- Tampilan fisik pink puffer atau blue bloater


- Bunyi napas vesikuler melemah
- Ekspirasi memanjang
- Ronki kering atau wheezing
- Bunyi jantung jauh
Pemeriksaan penunjang:
a. Foto thoraks
b. Uji spirometry untuk diagnosis pasti:
- FEV1/FVC <70%
- Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan): FEV1 pasca bronkodilator
<80% prediksi
c. Uji coba kortikosteroid
d. Bila eksaserbasi akut:
Analisa gas darah
-Semua pasien dengan VEP1 <40% prediksi
- Secara klinik diperkirakan gagal napas atau payah jantung kanan
DPL
Sputum gram
Kultur MOR
2.6.
Penatalaksanaan
Tabel 5. Penatalaksanaan PPOK
Usaha
mengurangi
faktor risiko
PPOK
stabil

Edukasi-motivasi berhenti merokok


Farmakoterapi berhenti merokok

Farmakologis
a.Bronkodilator
- 3 golongan:
Agonis -2: fenopterol,
salbutamol, terbutalin,
Antikolinergik:
ipratropium bromid
Metilxantin: teofilin lepas
lambat, bila komb. -2
dan steroid belum
memuaskan
Dianjurkan bronkodilator
kombinasi Daripada
meningkatkan dosis

Non-farmakologis
a. Rehabilitasi: latihan
fisik, latihan
endurance, latihan
pernapasan,
rehabilitasi
psikososial
b. Terapi oksigen jangka
panjang (>15jam
sehari): pada PPOK
stad.III, AGD:
- PaO2 <55mmHg atau
SaO2 88% dengan
atau tanpa
16

bronkodilator monoterapi.
b.Steroid
- PPOK yang mneunjukkan
respons pada uji steroid
- PPOK dengan FEV1 <50%
prediksi (stad. IIA,IIB)
- Eksaserbasi akut
c.Obat-obat tambahan lain
- Mukolitik : ambroksol, gliserol
iodide
- Antioksidan : N-asetil-sistein
- Imunoregulator
(imunostimulator,
imunomodulator) : tidak rutin
- Antitusif : tidak rutin
- Vaksinasi : influenza,
pneumokok
-

PPOK
eksaserbasi
akut

Dirumah
Bronkodilator seperti pada PPOK
stabil, dosis 4-6kali 2-4hirup
sehari.
- Steroid oral diberikan selama
10-14hari
- Bila infeksi: berikan
antibiotik spectrum luas
(termasuk S. pneumonia, H.
influenza, M. catarrhalis)

hiperkapnia
PaO2 55-60mmHg
atau SaO2 88%
disertai hipertensi
pulmonal, edema
perifer karena gagal
jantung, polisitemia
c. Nutrisi
d. Pembedahan: pada
PPOK berat (bila
dapat memperbaiki
fungsi paru atau
gerakan mekanin
paru)
-

Di rumah sakit
Terapi oksigen
terkontrol, melalui
kanul nasal atau
venture mask
Bronkodilator:
inhalasi aginis 2
(dosis dan frekuensi
ditingkatkan)
+antikolinergik (pada
eksaserbasi akut
berat: +aminofilin
0,5mg/kgbb/jam)
Steroid: prednisolone
30-40mg PO selama
10-14hari
(Steroid intravena:
pada keadaan berat).

3. TUBERKULOSIS PARU 1
3.1.
Definisi

17

TB paru merupakan infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru,


disebabkan oleh bateri Mycobacterium tuberculosis terutama mengenai paru,
kelenjar getah bening, dan usus. Ditemukan beberapa tanda penyakit yang
beragam disertai sensitivitas pasien terhadap tuberkulin.
3.2.

Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia ini. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus
baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil
Tahan Asam) positif. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan
merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992
disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara
SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama
pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke
subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun, 2001 terdapat 50.443 penderita
BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif). Tiga
perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Saat ini Indonesia masih
menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.

3.3.

Klasifikasi
a. Tuberculosis dibagi dalam:
TB paru dengan kelainan paru luas
TB paru dengan kelainan paru sedikit
b. Berdasarkan organ selain paru yang terserang, TB paru dibagi dalam:
TB ekstra paru ringan: TB kelenjar limfe, TB tulang non-vertebra, TB
sendi, TB adrenal
TB ekstra paru berat: meningitis, TB milier, TB diseminata, pericarditis,
pleuritic, peritonitis, TB vertebra, TB usus, TB genitourinarius
c. Berdasarkan riwayat pengobatannya, TB paru dibagi dalam:
Kasus baru
Kambuh (relaps)
Drop-out default

18

Gagal terapi
Kronis
3.4.
Manifestasi klinis
Keluhan yang ditemukan (tergantung derajat berat, organ yang terlibat, dan
komplikasi):
a. gejala awal non-spesifik: malaise, kelelahan, anoreksia, penurunan berat
badan. Gejala spesifik yaitu batuk disertai sputum mukoid.
b. Gejala lain: hemoptosis ringan berulang, nyeri pleura, demam ringan atau
kadang-kadang, sesak saat aktivitas. Ditemukan pula tanda-tanda pada
stadium lanjut tetapi tidak spesifik yaitu ronki di apeks, tanda konsolidasi,
efusi pleura atau kavitasi.
Diagnosis
Pemeriksaan fisik:
Gejala yang ditemukan (tergantung derajat berat, organ yang terlibat, dan

3.5.

komplikasi):
- Keadaan umum lemah, kakeksia, takipnea, febris.
- Paru: ditemuakn tanda-tanda konsolidasi (redup, fremitus mengeras/melemah,
suara napas bronchial/melemah, ronkhi basah/kering)
Pemeriksaan penunjang:
a. Laboratorium
- LED meningkat
b. Mikrobiologis :
- BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS
- Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)
Pada kategori 1 dan 3: sputum BTA diulangi pada akhir bulan ke2,4, dan 6
Pada kategori 2: sputum BTA diulang akhir bulan ke 2,5 dan 8
Kultur BTa sputum diulangi pada akhir bulan ke 2 dan akhir terapi

c. Radiologi
- Foto thoraks PA lateral (hasil bervariasi): infiltrate, pembesaran KGB
hilus/KGB paratrakeal, milier, atelectasis, efusi pleura, kalsifikasi,
-

bronkiektasis, kavitas, destroyed lung


Selama terapi evaluasi foto thoraks setelah pengobatan 2 bulan dan 6

bulan
d. Imuno-serologis

19

Uji kulit dengan tuberculin (mantoux) positif >15mm pada orang dewasa

yang imunokompeten
Tes PAP, ICT-TB positif : positif

Penatalaksanaan 5
a. Terapi umum: istirahat,

3.6.

stop

merokok,

hindati

polusi,

tatalaksana

komorbiditas, nutrisi, vitamin dan medikamentosa OAT.


Table 6. Penatalaksanaan TB berdasarkan kategori

Kategori
Penderita baru TB paru, sputum BTA positif
Penderita TB paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan kelainan
paru luas
Penderita TB ekstra paru berat diterapi dengan 2RHZE/ 4RH-2RHZE/
4R3H3-2RHZE/ 6HE
Penderita kambuh
Penderita gagal
Penderita after default
Terapi dengan:
- 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5RHE
- 2 RHZES/ 1 RHZE/ 5R3H3E3
Penderita baru TB paru, sputum BTA negative, rontgen positif dengan
kelainan paru tidak luas
Penderita TB ekstra paru ringan diterapi:
- 2RHZ/ 4RH
- 2RHZ/ 4R3H3
- 2RHZ/ 6HE
Penderita TB kronik
Terapi dengan:
- H seumur hidup
- Bila mampu: OAT lini kedua

4. PNEUMONIA 6
4.1.
Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang
disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang
5 Sulistia, G.G. Farmakologi Dan Terapi. Ed. 5. Departemen Farmakologi
dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.

20

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan


peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.
4.2.

Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komunitas yang
diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri gram positif,
sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri gram negatif
sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhirakhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komunitas adalah
bakteri gram negatif.

4.3.

Klasifikasi
Table 7. Klasifikasi pneumonia
Klinis dan
epidemiologis

Bakteri
penyebab

a.
b.
c.
d.
a.

b.
c.
d.

Predileksi

a.

Pneumonia komuniti
Pneumonia nasokomial
Pneumonia aspirasi
Pneumonia pada penderita immunocompremised
Pneumonia bakterial/ tipikal. Dapat terjadi pada semua usia.
Beberapa bakteri mempunyai tendensi menyerang seseorang
yang peka, misalnya klebsiella pada penderita alkoholik,
staphylococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
Pneumonia atipikal, disebabkan mycoplasma, legionella dan
chalmydia
Pneumonia virus
Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised)
Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang

6 Zul D. Pneumonia. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,


Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. V,
Interna Publishing, Jakarta Pusat. 2009. h: 2196220.

21

infeksi

pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen kemungkinana sekunder disebabkan oleh
obstruksi bronkus, misalnya: pada aspirasi benda asing atau
proses keganasan.
b. Bronkopneumonia: ditandai dengan bercak-bercak infiltrat
pada lapang paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun
virus. Sering pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan
dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial

4.4.

Diagnosis
Gambaran klinis:
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan: batuk, sputum mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, peluritis dan sesak tetapi sesak jarang
ditemukan pada manula. Gejala lainnya berupa demam, takipnea (>20
kali/menit), ronki dan tanda konsolidasi.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi
dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi
fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara
napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah
halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
c. Pemeriksaan penunjang
- Rontgent thoraks : menunjukkan adanya infiltrate. CT scan lebih sensitif
dan mungkin berguna untuk mendeteksi penyakit interstisial, kavitasi, atau
-

empiema
Analisa gas darah : untuk menilai keparahan dan menunjukkan kebutuhan

pemberian oksigen
Hitung sel darah : jumlah leukosit meningkat 15x10 9/L merupakan
tanda infeksi bakteri. Jumlah sel darah >20x10 9/L merupakan tanda

prognosis yang buruk. Hemoglobin untuk mendeteksi hemolysis.


Ureum, kreatinin, dan tes fungsi hati
: untuk mencari penyakit ginjal
atau hati sebagai penyakit dasar atau penyerta

22

Pewarnaan gram dan kultur sputum

: tetapi batuk tidak produktif

pada sepertiga pasien dan hasilnya sering negatif, khususnya jika setelah

4.5.
-

pemberian antibiotik.
- Kultur darah
Penatalaksanaan
Oksigen
Antibiotik: pengobatan seharusnya dimulai segera dan harus mengatasi
Streptococcus pneumonia. Pada pneumonia tanpa komplikasi, pengobatan
biasanya dimulai dengan amoxicillin oral atau makrolid (eritromisin atau
klaritromisin). Pengobatan pada pneumonia yang berat dengan intravena,
seringkali menggunakan makrolid (eritromisin) dan sefalosporin gen. II atau

III (sefuroksim atau sefotaksim). 7


Cairan intravena
Analgesik : untuk nyeri pleuritik

5. EFUSI PLEURA 8
5.1.
Definisi
Merupakan suatu keadaan dimana terdapat cairan di rongga pleura >15mL, akibat
ketidakseimbangan gaya starling, abnormalitas struktur endotel dan mesotel,
drainase limfatik terganggu, dan abnormalitas site of entry (defek diafragma).
Etiologi
Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi menjadi:
a. Transudat
Dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri),

5.2.

sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis hepatis), sindroma vena cava
superior, tumor, sindroma meig.
b. Eksudat
7 Naucler P, Darenberg J, Morfeldt E, rtqvist . Contribution of host,
bacterial factors and antibiotic treatment to mortality in adult patients
with bacteraemic pneumococcal pneumonia; 2013.
8 Uyainah A. Efusi Pleura. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro,
Gani RA, Mansoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1999;210-1

23

Disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia dan sebagainya, tumor, infark paru,
radiasi, penyakit kolagen.
c. Hemoragis
Dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, TB.
Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, efusi dibagi menjadi unilateral dan
bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit
penyebabnya akan tetapi efusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit
seperti: kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, dan TB.
5.3.

Klasifikasi
tipe-tipe efusi pleura antara lain:
a. efusi transudatif: cairan pleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi
protein atau molekul besar lain rendah). Efusi tipe ini terjadi karena adanya
perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorbs
cairan pleura.
Penyebabnya adalah:
- gagal jantung kongestif
- sindrom nefrotik
- sirosis hepatis
- efusi maligna/paramaligna: karena terjadi ateletaksis pada obstruksi
bronchial atau stadium awal obstruksi limfatik.
b. efusi eksudatif: cairan pleura bersifar eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi
dari transudat). Efusi tiper ini terjadi karena perubahan faktor lokal yang

mempengaruhi pembentukan dan absorbs cairan pleura.


Penyebabnya adalah:
- tuberkulosis
- emboli paru
- trauma
5.4.
Manifestasi klinis
Pada pasien dengan efusi pleura sering ditemukan adanya nyeri pada dada, sesak
napas, demam, keletihan, dan batuk.
5.5.
Diagnosis
anamnesis
Pemeriksaan fisik :
- Bagian bawah/daerah cairan:

24

a. Inspeksi : Retriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada. Bila


cairan >300mL
Perkusi: redup
Palpasi
: trakea teraba terdorong ke kontralateral dan fremitus
taktil dan fokal menghilang
Auskultasi : suara napas melemah sampai menghilang
Pemeriksaan penunjang:
a. Foto thoraks
- PA
- Lateral
- PA/lateral

: sudut costofrenicus tumpul (bila cairan >500 mL)


: sudut costofrenicus tumpul (bila cairan >200 mL)
: gambaran perselubungan homogeny menutupi struktur

paru bawah, biasanya relative radioopak, dan permukaan atas


cekung.
b. USG : menentukan adanya dan lokasi cairan di rongga pleura,
membimbing aspirasi efusi terokulasi terutama bila ketebalan efusi
<10mm atau terokulasi.
c. CT scan (bila perlu): dapat menunjukkan efusi yang belum terdeteksi
dengan

radiologi

konvensional,

memperlihatkan

parenkim

paru,

identifikasi penebalan pleura dan kalsifikasi karena paparan asbestos,


membedakan asbes paru perifer dengan emfiema terokulasi.
d. Pungsi pleura : melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan
komposis cairan pleura dengan darah.
Dinilai secara:
- Makroskopis
Transudat
: jernih, sedikit kekuningan
Eksudat
: warna lebih gelap, keruh
Emfiema
: opak, kental
Efusi kaya kolesterol : berkilau seperti satin
Efusi chylous
: seperti susu
- Mikroskopis
Transudat
: sel leukisit <1.000/mm3
Neoplasma, limfoma, TBC : sel leukosit meningkat
Pneumonia, pankreatitis
: sel leukosit predominasi PMN
- Kimiawi
Protein
LDH

25

Cairan disebut eksudat bila memenuhi 3 kriteria berikut:


- Rasio kadar protein total cairan pleura/serum >0,5
- Rasio kadar LDH cairan pleura/serum 0,6
- Kadar LDH >200IU batas atas nilai normal serum
Jika efusi pleura eksudat, selanjutnya dilakukan pemeriksaan:
- Kadar glukosa
- Kadar amilase
- pH
- hitung jenis
- kadar lipid : trigliserida
- pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
- tes bakteriologi: pewarnaan gram, kultur MOR,
pemeriksaan BTA langsung dan kultur BTA
- sitologi
5.6.
Penatalaksanaan
a. Efusi karena gagal jantung
Diuretik
Torakosintesis diagnostic, untuk:
- Efusi menetap dengan terapi diabetic
- Efusi unilateral
- Efusi bilateral,ketinggian cairan berbeda bermakna
- Efusi + febris
- Efusi + nyeri dada pleuritik
b. Efusi parapneumonia/empyema
Torakosintesis + antibiotika drainase
c. Efusi karena pleuritis tuberculosis
Obat anti tuberculosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75
1mg/kgBB hari selama 2-3minggu, setelah ada respon diturunkan bertahap +
torakosintesis terapeutik, bila sesak atau efusi > tinggi dari ICS 3
6. PNEUMOTHORAKS
6.1.
Definisi
Merupakan akumulasi udara di rongga pleura disertai kolaps paru.
6.2.
Etiologi
Pneumothoraks spontan merupakan jenis yang terbanyak dan terjadi pada pria
perokok, berusia muda, setelah rupture suatu bula subpleura kecil. Predisposisi
pneumothoraks yaitu bula emfisema, tuberculosis dengan efusi pleura, dan asma
bronkial
Klasifikasi

6.3.

26

a. Pneumothoraks spontan : terjadi tanpa trauma atau penyebab jelas:


- Pneumothoraks spontan primer
: pada orang sehat. Faktor risiko
-

dari merokok
Pneumothoraks spontan sekunder : pada penderita PPOK, TB paru,

asma, dll.
b. Pneumothoraks traumatic: merupakan pneumothoraks yang didahului
trauma, termasuk: biopsi transtorakal, ventilasi mekanik, pemasangan
kateter vena sentral, torakosintesis, biopsi transbronchial.
c. Menurut jenis fistula:
- Pneumothoraks ventil
- Pneumothoraks terbuka
- Pneumothoraks tertutup
6.4.
Manifestasi klinis
Gejala yang ditemukan antara lain: Nyeri dada akut, terlokalisir, batuk,
hemoptosis, dan dispnea (pada pneumothoraks ventil gejala timbul secara tibatiba dan makin hebat).
Diagnosis
a. Anamnesis
- Nyeri dada pleuritik dengan onset mendadak
- Sesak napas
b. Pemeriksaan fisik
Takipnea
Sisi yang terkena:
- Statis
: lebih menonjol
- Dinamis : pergerakan berkurang/menghilang
- Fremitus : menurun /menghilang
- Perkusi
: hipersonor
- Auskultasi : suara napas melemah - menghilang
Tanda tension pneumothoraks
- Keadaan umum sakit berat
- Denyut jantung >140 /menit
- Hipotensi
- Takipnea, pernapasan berat
- Sianosis
- Distensi vena leher
c. Pemeriksaan penunjang
a. Foto thoraks; paling jelas tampak difoto saat ekspirasi
b. CT scan: untuk membedakan pneumothoraks terokulasi dari kista atau

6.5.

bullae
27

c. AGD (bila diperlukan): hipoksemia , mungkin disertai hipokarbia (karena


hiperventilasi) atau hiperkabia
Penatalaksanaan
Pneumothoraks unilateral kecil (<20%) dan asimptomatik : observasi, foto

6.6.

thoraks
(Pneumothoraks spontan); seringkali tidak diperlukan pengobatan jika
pneumothoraks kecil dengan gejala ringan. Pemulihan spontan terjadi
dalam 3-4 minggu.
Aspirasi: anestesi local di intercostalis 2 anterior (garis midclavicula)
aspira dengan kateter 16F atau 18F, hingga tidak ada gas yang keluar.
Indikasi aspirasi udara, yaitu:
- Tension pneumothoraks
- Sesak berat
- Kolaps paru lebih dari 50% lapang paru total pada rontgen thoraks
Jika tidak resolusi dengan aspirasi atau volume udara besar: konsul bedah

DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan


Sistem Pernapasan. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed.V,
Interna Publishing, Jakarta Pusat. 2009. h: 21892195.
2. Davey, Patrick. Sistem Respirasi. At a Glance MEDICINE. Dialihbahasakan
oleh Annisa Rahmalia dan Novianty R. Jakarta : Gramedia. 2008.
3. Wilson LM. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernapasan.
Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi VI, Vol.2. Sylvia
Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson; alih Bahasa : Brahm U. Pendit
(et.al). Jakarta: EGC. 2005. h:773-781.

28

4. Wilson LM. Pola Obstruktif pada Penyakit Pernapasan. Patofisiologi: Konsep


Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi VI, Vol.2. Sylvia Anderson Price,
Lorraine McCarty Wilson; alih Bahasa: Brahm U. Pendit (et.al). Jakarta:
EGC. 2005. h:783-792.
5. Sulistia, G.G. Farmakologi Dan Terapi. Ed. 5. Departemen Farmakologi dan
Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2008.
6. Uyainah A. Efusi Pleura. In: Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro,
Gani RA, Mansoer A, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, 1999;210-1
7. Naucler P, Darenberg J, Morfeldt E, rtqvist . Contribution of host, bacterial
factors and antibiotic treatment to mortality in adult patients with bacteraemic
pneumococcal pneumonia; 2013.
8. Zul D. Pneumonia. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata,
M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Ed. V, Interna
Publishing, Jakarta Pusat. 2009. h: 2196220.

29

You might also like