Professional Documents
Culture Documents
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Thalasemia
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di
daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama
penemunya (Ganie, 2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh
tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah
mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa ()
dan 2 rantai beta () yang meliputi HbA (22 = 97%), sebagian lagi HbA2 (22
= 2,5%) sisanya HbF (22 = 0,5%).
c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak
ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
perbesaran limpa.
d. Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi
yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat
rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang
diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor pada awal
kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,
perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau
meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah
yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung
dari derajat mutasi gen yang terjadi.
10
c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita
thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan
medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).
2.1.1. Gejala
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis
rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian
besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik
(Tamam.M. 2009).
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami
anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat
karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan
splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman
akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi
bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot
jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).
11
2.1.2. Diagnosis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu
makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan,
kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid
(facies
Cooley),
ikterus,
gangguan
pertumbuhan,
splenomegali
dan
hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa
sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik
hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,
poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk
menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis
Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).
2.1.3. Terapi
Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat
menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan
terhadap penyakit dan komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan
cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi
sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah
kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi.
Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan
hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk
12
yang
berulang-ulang
setiap
bulan
akan
mengakibatkan
penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal.
Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat
transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat
gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah
total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun
(Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya
dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian.
13
Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering
digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini
pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.
Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis
dan hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).
2.2.1. Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena
dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan
menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma
terikat pada trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi sangat
terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin
berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk
tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat
menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat
peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak
terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung
karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung
yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang
berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih
R.D.2010).
2.2.2. Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari
penimbunan zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai
14
dengan kadar feritin serum > 1000 g/L. Ferritin merupakan suatu protein
darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan
dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi
tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan
ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain
untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation.
TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam
serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang
dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang
mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai
untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat
antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi
dan transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat
untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati
sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis
yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat
terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema.
Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko
terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati
(Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).
2.3. Hati
Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga perut
sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya terletak
15
organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga
satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas tiga jarinagn
yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim. Hati
juga memiliki dua suplai darah yang berasal dari saluran cerna dan limfa melalui
vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati terdiri atas
bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya terdiri dari sel-sel
epithelial system empedu dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya
endotelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain
yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel kupffer yang
merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan lebih mudah dilalui selsel makro. Sel stellata memiliki aktifitas yang dapat membantu pengaturan aliran
darah. Sel-sel hati menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan
sebagai pemantau fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme tubuh (Fathoni
2008 dan Sudoyo dkk 2006).
16
17
18
vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan
secara normal.
2. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Besi sebagian besar disimpan dihati dalam bentuk ferritin. Besi yang tersedia
dalam cairan tubuh apabila jumlahnya banyak maka besi akan berikatan
dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan di dalam sel hati sampai
diperlukan, bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar yang
rendah maka ferritin akan melepaskan besi.
3. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah.
Zat-zat yang dibentuk dihati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin, akselereratol, factor VII, dan beberapa
faktor koagulasi penting lain. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme
hati, untuk membentuk prototrombin dan factor VII, IX dan X.
4. Hati mengekresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
Medium kimia yang aktif dari hati adalah dalam melakukan detoksifikasi atau
eksresi berbagai obat-obatan ke dalam empedu. Hormon yang disekresi oleh
kelenjar endokrin di ekskresikan atau dihambat secara kimia oleh hati,
meliputi tiroksin atau semua hormon steroid seperti esterogen, kortisol, dan
aldesteron. Kerusakan hati dapat mengakibatkan penimbunan hormon ini
didalam cairan tubuh yang menyebabkan aktivitas berlebihan sistem hormon.
(Fathoni F. 2008, Jawi M.I.dkk 2006 dan Sardini. S. 2007).
19
20
2. SGPT
SGPT disebut juga ALT (alanin aminotransferase). Jaringan hati
mengandung banyak SGPT daripada SGOT. SGPT paling banyak ditemukan
dalam sitoplasma sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk mendeteksi
kelainan hati dibanding SGOT (Kosasih.E.N. dkk 2011).
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT akan terjadi jika adanya pelepasan
enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan adanya kerusakan
hati secara akut. Kerusakan hati yang disebabkan oleh keracunan atau infeksi
berakibat pada kenaikan aktivitas SGOT dan SGPT dapat mencapai 20-100 X
nilai batas normal tertinggi. Kenaikan aktivitas SGPT terjadi pada kerusakan
hati yang meningkat (Fathoni 2008).
2.4. Ginjal
Ginjal adalah bagian organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang dan
bagian dari sistem urin. Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang
terletak pada dinding belakang abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal
memiliki tiga bagian utama yaitu, korteks, medulla, dan pelvis renalis. Bagian
korteks ginjal mengandung nefron. Sisi medial ginjal merupakan daerah lekukan
yang disebut hilum yang merupakan tempat dilaluinya arteri dan vena renalis,
cairan limfatik, suplai darah dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke
vesica urinaria. Sistem sirkulasi di ginjal terdiri dari dua bentuk kapiler yaitu
kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus. Ginjal pada bagian belakang
dilindungi oleh iga dan otot-otot sedangkaan bagian depan dilindungi oleh
bantalan usus. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke
21
22
23
Ureum
arginase
sitrulin + NH3
Arginin + H2O
24
ginjal
apabila
disertai
pemeriksaan
urin
yang
hasilnya
menunjukkan diatas nilai normal, selain itu juga harus didukung dengan
diagnosa klinis (Satriana 2008).
2. Kreatinin
Kreatinin adalah produk katabolisme dari kreatin fosfat yang ada di
dalam otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin.
Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin Hasil
katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap
harinya. Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Proses reaksi dehidratasi
dalam otot, kreatin akan diubah menjadi kreatinin yang dapat diperfusi ke
seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin (Satriana 2008).
Kreatin
dehidratasi
kreatinin
urin
Gambar 6. Skema mekanisme pembentukan kreatinin.
Sumber : Satriana 2008
Jumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari bergantung
pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein,
Pembentukan kreatinin setiap harinya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik
yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif
pada otot.
Kenaikan kadar kreatinin mengindikasikan adanya gangguan fungsi
ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dijumpai pada : gagal ginjal akut maupun
25
26
darah
merah,
ginjal
menyekresikan
eritropoetin
yang
merangsang
Hemosiderosis
Hemokromatosis
Transfusi
berulang-ulang
Hemosiderosis
Pembuangan kelebihan
zat besi
Gangguan hati
Gangguan ginjal
27
Thalasemia mayor
2.8. HIPOTESIS
1. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
2. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
3. Ho : Tidak ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
28