You are on page 1of 23

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Thalasemia
Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.
Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di
daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan
pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau
eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama
penemunya (Ganie, 2005).
Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh
kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang
membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh
tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah
mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).
Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi
mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah
pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.
Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari
rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa ()
dan 2 rantai beta () yang meliputi HbA (22 = 97%), sebagian lagi HbA2 (22
= 2,5%) sisanya HbF (22 = 0,5%).

Gambar 1. Rantai hemoglobin.


Sumber : Virginia 2007.
Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh
suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin- terletak
pada kromosom 16 dan kluster gen globin- terletak pada kromosom 11. Penyakit
thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen
globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka
disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia
tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan
normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan.
Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita
thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing
membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah
gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua
menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50%
thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak
sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (Ganie. R.A,
2008).

Gambar 2. Skema Penurunan Gen Thalassemia menurut Hukum Mendel.


Sumber : Ganie.R.A, 2008
2.2.1. Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu
thalasemia alfa dan thalasemia beta.
1. Thalasemia Alfa
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai
alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :
a. Silent Carrier State
Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama
sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.
b. Alfa Thalasemia Trait
Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan
dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.

c. Hb H Disease
Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak
ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan
perbesaran limpa.
d. Alfa Thalassemia Mayor
Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi
yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat
rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang
diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor pada awal
kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,
perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau
meninggal tidak lama setelah dilahirkan.
2. Thalasemia Beta
Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin
beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :
a. Beta Thalasemia Trait.
Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.
Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah
yang mengecil (mikrositer).
b. Thalasemia Intermedia.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit
rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung
dari derajat mutasi gen yang terjadi.

10

c. Thalasemia Mayor.
Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi
rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa
anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk
hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat
disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan
kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita
thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan
medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).
2.1.1. Gejala
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis
rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian
besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik
(Tamam.M. 2009).
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami
anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat
karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan
splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman
akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi
bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot
jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini
(Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).

11

2.1.2. Diagnosis
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu
makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan,
kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid
(facies

Cooley),

ikterus,

gangguan

pertumbuhan,

splenomegali

dan

hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa
sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik
hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,
poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk
menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis
Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).
2.1.3. Terapi
Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat
menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan
terhadap penyakit dan komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan
cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi
sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah
kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi.
Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan
hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk

12

memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi harus dilakukan seumur


hidup secara rutin setiap bulannya (Herdata.H.N.2008 dan Tamam.M. 2009).
2.2. Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor
Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk
mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan
kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan
agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang
berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus
digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan
dalam bentuk PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).
Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk
mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena
berisiko terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi
bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV (Herdata
N.H. 2009 dan Kartoyo P.dkk 2003).
Transfusi

yang

berulang-ulang

setiap

bulan

akan

mengakibatkan

penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal.
Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat
transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat
gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah
total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun
(Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya
dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian.

13

Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering
digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini
pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.
Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis
dan hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).
2.2.1. Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena
dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan
menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma
terikat pada trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi sangat
terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin
berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk
tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat
menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat
peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak
terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung
karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung
yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang
berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih
R.D.2010).
2.2.2. Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari
penimbunan zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai

14

dengan kadar feritin serum > 1000 g/L. Ferritin merupakan suatu protein
darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan
dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi
tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan
ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain
untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation.
TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam
serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang
dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang
mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai
untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat
antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi
dan transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat
untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati
sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis
yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat
terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema.
Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko
terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati
(Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).
2.3. Hati
Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga perut
sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya terletak

15

organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga
satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas tiga jarinagn
yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim. Hati
juga memiliki dua suplai darah yang berasal dari saluran cerna dan limfa melalui
vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati terdiri atas
bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya terdiri dari sel-sel
epithelial system empedu dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya
endotelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain
yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel kupffer yang
merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan lebih mudah dilalui selsel makro. Sel stellata memiliki aktifitas yang dapat membantu pengaturan aliran
darah. Sel-sel hati menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan
sebagai pemantau fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme tubuh (Fathoni
2008 dan Sudoyo dkk 2006).

Gambar 3. Struktur hati.


Sumber : Fathoni F, 2008

16

2.3.1. Fungsi hati


Hati mempunyai fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi:
1. Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah.
Hati tempat mengalir darah yang besar dan juga sebagai penyimpanan
sejumlah besar darah. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori
dalam sinusoid hati sangat permeabel, di hati terdapat sel Kupffer yang
berfungsi untuk menyaring darah ( Fathoni F, 2008).
2. Fungsi dalam sistem metabolisme tubuh meliputi karbohidrat, lemak,
protein.
Hati sebagai metabolisme karbohidrat adalah mengubah pentosa dan
heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini
disebut glikogenesis. Glikogen ditimbun di dalam hati kemudian hati akan
memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd
glukosa disebut glikogenelisis, karena proses-proses ini maka hati merupakan
sumber utama glukosa dalam tubuh. Hati mengubah glukosa melalui heksosa
monophosphat dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa untuk
menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan
membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon yaitu piruvic acid (asam piruvat
diperlukan dalam siklus krebs) (Fathoni F 2008).
Metabolisme lemak juga dilakukan di hati yang tidak hanya
membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam
lemak yang dipecah menjadi beberapa komponen yaitu senyawa 4 karbon,
senyawa 2 karbon, pembentukan cholesterol, pembentukan dan pemecahan
fosfolid. Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan

17

ekskresi kholesterol, dimana kolesterol menjadi standar pemeriksaan


metabolisme lipid (Frathoni F, 2008).
Peran dalam metabolisme protein dengan proses deaminasi, hati
mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Proses transaminasi, hati
memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan
satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan - globulin dan organ
utama bagi produksi urea. - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga
dibentuk di limpa dan sumsum tulang globulin hanya dibentuk di dalam
hati (Fathoni F, 2008).
3. Sekresi dan ekskresi hati dalam membentuk empedu.
Fungsi sekresi hati membentuk empedu sangat penting, salah satu zat
yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuningkehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin. Empedu
dibentuk oleh hati, melalui saluran empedu interlobular yang terdapat di
dalam hati, empedu yang dihasilkan dialirkan ke kantung empedu untuk
disimpan. Bilirubin atau pigmen empedu yang menyebabkan warna kuning
pada jaringan dan cairan tubuh sebagai indikator penyakit hati dan saluran
empedu (Fathoni F, 2008).
Hati juga mempunyai fungsii metabolik yang lain yaitu :
1. Hati merupakan tempat penyimpanan vitamin.
Hati juga menyimpan vitamin dan sebagai sumber vitamin tertentu yang baik
pada penggobatan pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan adalah

18

vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan
secara normal.
2. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Besi sebagian besar disimpan dihati dalam bentuk ferritin. Besi yang tersedia
dalam cairan tubuh apabila jumlahnya banyak maka besi akan berikatan
dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan di dalam sel hati sampai
diperlukan, bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar yang
rendah maka ferritin akan melepaskan besi.
3. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah.
Zat-zat yang dibentuk dihati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi
fibrinogen, protrombin, globulin, akselereratol, factor VII, dan beberapa
faktor koagulasi penting lain. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme
hati, untuk membentuk prototrombin dan factor VII, IX dan X.
4. Hati mengekresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
Medium kimia yang aktif dari hati adalah dalam melakukan detoksifikasi atau
eksresi berbagai obat-obatan ke dalam empedu. Hormon yang disekresi oleh
kelenjar endokrin di ekskresikan atau dihambat secara kimia oleh hati,
meliputi tiroksin atau semua hormon steroid seperti esterogen, kortisol, dan
aldesteron. Kerusakan hati dapat mengakibatkan penimbunan hormon ini
didalam cairan tubuh yang menyebabkan aktivitas berlebihan sistem hormon.
(Fathoni F. 2008, Jawi M.I.dkk 2006 dan Sardini. S. 2007).

19

2.3.2. Pemeriksaan laboratorium fungsi hati


Organ hati terdapat enzim-enzim sebagai detoksifikasi pada hati,
sehingga enzim-enzim tersebut dapat digunakan sebagai parameter kerusakan
hati (Gatot. D. 2007). Dua macam enzim transamine yang sering digunakan
dalam diagnosis klinik kerusakan sel hati adalah SGOT dan SGPT.
Transamine adalah sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam
proses pemindahan gugus amino dari suatu asam alfa amino ke suatu asam
alfa keto. Trasamine dalam plasma pada kadar di atas nilai normal memberi
gambaran peningkatan kecepatan kerusakan jaringan (Kharima.N.R.N. dkk
2010 dan Qodariyah 2006). SGOT dan SGPT dalam jumlah kecil diproduksi
oleh sel otot, jantung, pankreas, dan ginjal. Sel-sel otot apabila mengalami
kerusakan maka kadar kedua enzim ini pun meningkat. Kerusakan sel-sel otot
dapat disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat, luka, atau trauma, sebagai
contoh ketika mendapat injeksi intra muskular seperti suntik lewat jaringan
otot, maka sel-sel otot pun bisa mengalami sedikit kerusakan dan
meningkatkan kadar enzim transaminase (Fathoni 2008 dan Jawi dkk 2003).
1. SGOT
SGOT disebut juga AST (aspartat aminotransferase). SGOT selain di
hati terdapat juga di jantung, otot rangka, otak dan ginjal. Kenaikan SGOT
bisa bermakna kelainan non hepatik atau kelainan hati yang didominasi
kerusakan mitokondria karena SGOT berada dalam sitosol dan mitokondria
(Sardini. S. 2007).

20

2. SGPT
SGPT disebut juga ALT (alanin aminotransferase). Jaringan hati
mengandung banyak SGPT daripada SGOT. SGPT paling banyak ditemukan
dalam sitoplasma sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk mendeteksi
kelainan hati dibanding SGOT (Kosasih.E.N. dkk 2011).
Peningkatan kadar SGOT dan SGPT akan terjadi jika adanya pelepasan
enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan adanya kerusakan
hati secara akut. Kerusakan hati yang disebabkan oleh keracunan atau infeksi
berakibat pada kenaikan aktivitas SGOT dan SGPT dapat mencapai 20-100 X
nilai batas normal tertinggi. Kenaikan aktivitas SGPT terjadi pada kerusakan
hati yang meningkat (Fathoni 2008).
2.4. Ginjal
Ginjal adalah bagian organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang dan
bagian dari sistem urin. Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang
terletak pada dinding belakang abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal
memiliki tiga bagian utama yaitu, korteks, medulla, dan pelvis renalis. Bagian
korteks ginjal mengandung nefron. Sisi medial ginjal merupakan daerah lekukan
yang disebut hilum yang merupakan tempat dilaluinya arteri dan vena renalis,
cairan limfatik, suplai darah dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke
vesica urinaria. Sistem sirkulasi di ginjal terdiri dari dua bentuk kapiler yaitu
kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus. Ginjal pada bagian belakang
dilindungi oleh iga dan otot-otot sedangkaan bagian depan dilindungi oleh
bantalan usus. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke

21

korteks, sedangkan sisanya didistribusikan ke medula. Nefron merupakan unit


fungsional ginjal terdiri dari komponen kapsula Bowman, tubulus kontortus
proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontotus distal. Ginjal akan mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya jika lebih dari 70 % nefronnya tidak
seimbang dalam menjalankan fungsi (Price.S.A dkk 2006, Purnomo 2008 dan
Satriana 2008).

Gambar 4. Struktur ginjal


Sumber : Satriana 2008
2.4.1. Fungsi ginjal
Ginjal melakukan fungsinya dengan cara menyaring plasma darah, zatzat yang tidak dibutuhkan lagi diekskresikan melalui urin dan zat yang masih
dibutuhkan tubuh dikembalikan ke dalam darah. Zat-zat sisa produk
metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh meliputi urea,
kreatinin, asam urat, bilirubin, metabolit hormon, dan toksin.
Ginjal memiliki fungsi yang multipel sebagai pengatur keseimbangan
air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolitas cairan tubuh, pengatur
keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metaboli dan bahan kimia
asing serta sekresi hormon (Purnomo B.B 2008 dan Satriana.2008).

22

1. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit.


Ekskresi air dan elektrolit sesuai dengan asupan dalam tubuh.
2. Pengaturan keseimbangan asam-basa.
Ginjal bersama dengan sistem dapar paru dan cairan tubuh mengatur
keseimbangan asam-basa dengan mengekskresikan asam dan menyimpan
dapar cairan tubuh.
2. Ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing.
Ginjal membuang produk sisa-sisa metaboloisme yang tidak diperlukan
tubuh seperti urea, kreatinin, asam urat, produk akhir pemecahan hemoglobin.
4. Pengaturan tekanan arteri
Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan arteri jangka panjang dengan
mengekskresikan sejumlah natrium dan air, juga dalam pengaturan tekanan
arteri jangka pendek dengan mengekskresi faktor atau zat vasoaktif.
5. Glukoneogenesis
Ginjal mensintesis glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya selama
masa puasa yang panjang, sama seperti hati.
6. Pengaturan produksi eritrosit
Ginjal menyekresikan eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel
darah merah. Kira-kira 90 persen dari seluruh eritropoietin dibentuk dalam
ginjal.
7. Organ endokrin
Ginjal menghasilkan kinin, 1,25-dihidroksikolekalsiferol serta membentuk
dan mensekresi renin.

23

2.4.2. Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal


Pemeriksaan fungsi ginjal yang biasa dilakukan diantaranya penilaian
kadar ureum dan kreatinin. Ureum adalah hasil pembakaran protein dalam
tubuh. Kreatinin adalah hasil produk akhir keratin dalam otot. Kedua zat ini
dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal dan bila terjadi gangguan atau
kerusakan pada ginjal, kadar zat ini dapat meningkat. (Kosasih.E.N dkk
2010).
1. Ureum
Ureum berasal dari metabolisme protein yang dibentuk di hati dari CO2
dan NH3 melalui proses biokimia yang dikenal siklus Ornithin. Ureum
dihidrolisis dalam air dan menghasilkan NH3 dan CO 2. Ornithin bersama
CO2 dengan NH3 akan bereaksi menghasilkan senyawa sitrulin dan hasilnya
akan bereaksi kembali dengan NH3 akan menghasilkan senyawa arginin.
Arginin ini akan bereaksi dengan H2O mengalami reaksi arginase dan
menghasilkan ureum dan ornithin. Sitrulin dan arginin merupakan kelompok
asam amino (Satriana 2008).
Ornithin + CO2 + NH3

Ureum

arginase

sitrulin + NH3

Arginin + H2O

Gambar 5. Skema mekanisme pembentukan ureum


Sumber : Satriana 2008
Kenaikan ureum dalam darah dipengaruhi oleh beberapa hal seperti
gagal ginjal akut maupun kronik, gagal jantung, kekurangan elektrolit dan
cairan tubuh. Kenaikan kadar ureum dalam darah tidak selalu menunjukkan

24

adanya kerusakan ginjal. Kadar ureum dapat dikatakan sebagai tanda


kerusakan

ginjal

apabila

disertai

pemeriksaan

urin

yang

hasilnya

menunjukkan diatas nilai normal, selain itu juga harus didukung dengan
diagnosa klinis (Satriana 2008).
2. Kreatinin
Kreatinin adalah produk katabolisme dari kreatin fosfat yang ada di
dalam otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin.
Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin Hasil
katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap
harinya. Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Proses reaksi dehidratasi
dalam otot, kreatin akan diubah menjadi kreatinin yang dapat diperfusi ke
seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin (Satriana 2008).
Kreatin

dehidratasi

kreatinin

urin
Gambar 6. Skema mekanisme pembentukan kreatinin.
Sumber : Satriana 2008
Jumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari bergantung
pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein,
Pembentukan kreatinin setiap harinya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik
yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif
pada otot.
Kenaikan kadar kreatinin mengindikasikan adanya gangguan fungsi
ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dijumpai pada : gagal ginjal akut maupun

25

kronis, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis, dehidrasi, leukemia, diet


tinggi protein, obat-obatan juga dapat meningkatkan kreatinin (Satriana
2008).
2.5. Metabolisme Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal Thalasemia Mayor.
Penderita thalasemia mayor mengalami kelainan pada gen globin
menyebabkan produksi hemoglobin berkurang dan sel darah merah mudah
rusak/berumur lebih pendek dari sel darah merah normal. Kerusakan sel darah
merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam
tubuh. Manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk
membentuk sel darah merah yang baru. Penderita thalasemia, zat besi yang
ditinggalkan sel darah merah yang rusak akan menumpuk dalam organ tubuh
seperti hati dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Zat besi paling banyak
terakumulasi di hati karena fungsi hati sebagai sintesis ferritin (simpanan besi)
dan transferin (protein pengikat besi) juga tempat penyimpanan terbesar cadangan
besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin. Penderita thalasemia mayor harus
mendapat suplai darah terus menerus dari darah transfusi untuk mengatasi anemia
sehingga akan menambah penumpukan zat besi di dalam hati. Penumpukan zat
besi ini harus dikeluarkan karena akan sangat membahayakan dan dapat berujung
pada kematian (Herdata N.H, 2008).
Penumpukan zat besi juga terdapat di ginjal. Kelebihan zat besi dapat
dikurangi dengan terapi kelasi besi berupa obat yang diberikan secara oral
maupun lewat infus. Fungsi ginjal diantaranya sebagai ekskresi sisa metabolik dan
bahan kimia asing juga produk akhir pemecahan hemoglobin. Obat khelasi besi

26

selain bermanfaat namun juga berbahaya karena mengandung bahan kimia.


Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan < 10 % lewat urin, dengan
cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi. Obat
khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Jangka waktu
yang lama maka menambah beban ginjal sebagai ekskresi yang dapat
mengakibatkan kerusakan ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi
sel

darah

merah,

ginjal

menyekresikan

eritropoetin

yang

merangsang

pembentukan sel darah merah. 90 % dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam


ginjal. Penderita thalasemia mayor pembentukan sel darah merah lebih cepat
sehingga ginjal akan lebih sering menyekresikan eritropoetin untuk pembentukan
sel darah merah baru, lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi
ginjal (Fathoni F.2008, Herdata N.H.2008 dan Qodariah N.R.2006) .

2.6. Kerangka Teori


Thalasemia mayor

Hemosiderosis
Hemokromatosis

Transfusi
berulang-ulang

Hemosiderosis
Pembuangan kelebihan
zat besi

Gangguan hati

Gangguan ginjal

SGOT dan SGPT

Ureum dan Kreatinin

27

2.7. Kerangka Konsep

Thalasemia mayor

SGOT dan SGPT

Ureum dan kreatinin

2.8. HIPOTESIS
1. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
2. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
3. Ho : Tidak ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.

28

4. Ho : Tidak ada perbedaan kadar kreatinin pada penderita thalasemia


mayor berdasarkan lamanya transfusi.
Ha : Ada perbedaan kadar kretinin pada penderita thalasemia mayor
berdasarkan lamanya transfusi.

You might also like