Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
diantara keluarga mereka dan hanya beberapa persen saja yang tinggal di
rumah sakit kusta, koloni penampungan atau penampungan kusta.
Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari
golongan ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila
tidak ditangani secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini
menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyaratkat untuk
memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan serta
dalam pembangunan bangsa dan negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari penyakit kusta ?
2. Bagaimanakah anatomi dan fisiologis kulit ?
3. Bagaimanakah etiologi penyakit kusta ?
4. Apa sajakah klasifikasi dari penyakit kusta ?
5. Bagaimanakah patofisiologis dari kusta ?
6. Bagaimana woc dari penyakit kusta ?
7. Bagaimanakah manifestasi klinis dari penyakit kusta ?
8. Apakah komplikasi yang mungkin muncul ?
9. Bagaimanakah cara pencegahan penyakit kusta ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien kusta ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang penyakit kusta.
2. Mahasiswa mampu membuat dan mengaplikasikan proses pemberian
asuhan keperawatan pada pasien dengan kusta.
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang asuhan
keperawatan pada kasus kusta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan yang menyebabkan
adalah mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. (Adhi
Djuanda, dkk, 2005)
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan
oleh kuman kusta mycobakterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan
jaringan tubuh lainnya. Penyebab penyakit kusta adalah kuman kusta yang
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
ersifat tahan asam. Masa belah diri kuman kusta adalh memerlukna waktu
yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Hal ini
merupakan salah satu penyebab masa tunas yang lama yaitu rata-rata 2-5
tahun.
Morbus Hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi
(primer), kulit dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan syaraf pusat.
Kuman penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M. leprae bebentuk hasil ukuran
3-8 um x 0,5 Um, tahan asam, dan alcohol. (Arif Muttaqin dan Kumala Sari,
2011)
2.2 Anatomi Fisiologi Kulit
Kulit terdiri atas tiga lapisan, yang masing-masing memiliki berbagai
jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut
adalah epidermis, dermis, dan subkutis.
a. Epidermis
3
Fungsi Kulit
Secara umum beberapa fungsi kulit adalah sebagai berikut :
1. Proteksi
Kulit yang menutupi sebagian besar tubuh memiliki kekebalan satu atau
dua mm yang memberikan perlindungan yang sangan efektif terhadap
trauma fisik, kimia, dan biologis dari infasi bakteri.
2. Sensasi
Fungsi utama reseptor pada kulit adalah untuk mengindra suhu, rasa nyeri,
sentuhan yang ringan dan tekanan (atau sentuhan yang berat). Berbagai
ujung saraf bertanggung jawab untuk bereaksi terhadap stimuli yang
berbeda.
3. Termoregulasi
Peran kulit dalam pengaturan panas meliputi sebagai penyekat tubuh,
vasokontriksi (yang mempengaruhi aliran darah dan hilangnya panas ke
kulit), dan sensasi suhu.
4. Metabolisme, sintesis vitamin D
Meskipun sinar matahari yang kuat dapat merusak sel sel epitel dan
jaringan, tetapi sinar matahari dengan jumlah yang dapat ditoleransi sangat
diperlukan tubuh manusia. Ketika radiasi sinar ultraviolet memberikan
paparan, maka sel sel epildermal didalam stratum spinosum dan stratum
germinativum akan mengonversi pelepasan steroid kolestrol menjadi
vitamin D3, atau kolekalsiferol
5. Keseimbangan air
Stratum korneum memiliki kemampuan menyerap air dan dengan
demikian akan mencegah kehilangan air serta elekrolit yang berlebihan
dari bagian internal tubuh dan mempertahankan kelembapan dalam
jaringan subkutan.
6. Penyerapan zat atau obat
Berbagai senyawa lipid (zat lemak ) dapat diserap lewat stratum korneum,
termasuk vitamin (A dan D) yang larut lemak dan hormon hormon
steroid. Obat obat dan substansi dapat memasuki kulit lewat epidermis
melalui jalur transepidermal atau lewat lubang lubang folikel.
7. Penyimpanan nutrisi
2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. HANSEN pada tahun 1874 di norwegia, yang samapai sekarang belum
dapat dibiakkan dalam media artificial. M.leprae berbentuk basil dengan
ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alcohol serta positif gram. (Adhi
Djuanda, dkk, 2005)
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basilier
(MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan
yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat
bahwa penyait kusta dapat ditularkan melalui pernapadan dan kulit.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita inipun tidak
akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Faktor kuman kusta
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung
pada suhu atau cuaca dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid)
saja yang dapat menimbulkan penularan.
3. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%).
2.4 Klasifikasi
a. Reaksi Tipe 1
Terjadi karena meningkat atau menurunnya respon imunitas seluler.
Keadaan ini dapat terjadi pada :
Keadaan cuaca dimana banyak terjadi pada cuaca panas dan pada
perubahan musim
Dapat terjadi pada kusta bentuk subpolar (BT,BB,BL ) terutama
Lesi kulit yang telah ada menjadi lebih eritematus dan bahkan dapat
timbul lesi baru, lebih besar, nyeri dan mengalami infiltrasi
b. Reaksi Tipe 2
Terjadi pada dasarnya karena reaksi komplek imun. Beberpa
keadaan yang dapat merangsang timbulnya reaksi ini adalah :
Fokal infeksi
Stress
Vaksinasi
Obat obatan anti kusta dsb.
Terutama terjadi pada tipe LL yang kita sebut sebagai E.N.L dengan
tanda tanda klinis sebagai berikut :
Lesi kulit berupa nodul nodul yang ukurannya bervariasi, lokasinya
ada tendensi simetris, nyeri dan pada perabaan terasa panas. Nodul ini
terutama pada daerah fleksor pada tangan, muka dan badan jarang
atau hamper tidak pernah ditemukan pada aksila, kepala dan perineum
Saraf tepi membengkak dan nyeri tekan
Gejala sistemik berupa malaise, hipertermi, sakit kepala dan
kelemahan otot
Organ lain : rhinitis, epistaxis, iridocyclitis, glumerulo nephritis
2.5 Patofisiologi
Pada tahun 1960 shepard berhasil menginokulasi M.leprae pada kaki
mencit, dan berkembang biak disekitar tempat suntikan. Dari bebagai
specimen, bentuk lesi maupun Negara asal penderita, ternyata tidak ada
perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.Leprae
yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti
meningkatkan perkembangbiakkan.
Inokulasi pada mecit yang telah diambil timusnya dengan diikuti radiasi
(900 r), sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan
granuloma penuh basil terutama dibagian tubuh yang relative dingin, yaitu
hidung, cuping telinga, kaki dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat
10
Mycobacterium Leprae
Kontak dengan kulit
Masuk dalam pembuluh darah dermis & Sel Schwan
2.6 WOC
Sistem imun seluler
Fagositosis
Pembentukan Epitel
Pembentukan Tuberkel
Saraf otonom
Saraf
sensorik
mengalalami fibrosis
angguan kelenjar produksi minyak, keringat
dan
aliran darah
Penebalan saraf
Anestesia
11
b.
Lepra tuberkuloid
1. Satu atau beberapa macula hipopigmentasi (eritematosa pada kulit
pucat) hipoanestetik yang berbatas tegas di tubuh, yang berlanjut
menjadi tepi yang meninggi dengan cekungan di sentral dan anesthesia.
2. Penebalan saraf terutama saraf ulnaris dan radialis superficial, sering
pula mengenai saraf peroneus dan aurikula mayor
3. Keterlibatan saraf mungkin terjadi tanpa gejala lain.
c. Lepra lepromatosa
1. Sejumlah lesi kulit, macula, berbentuk plak atau nodular, dengan batas
tidak tegas-terdistribusi simetris
2. Biasa terdapat di wajah, telinga, pergelangan tangan, siku, bokong, dan
lutut
3. Kulit mengalami penebalan difus dan pembengkakan, biasanya di
wajah, hidung, dan bibir
4. Anestesia pada lesi kulit lebih jarang terjadi
5. Kongesti nasal dan keratitis sering terjadi
6. Neuritis perifer yang meningkat menyebabkan gangguan sensorik difus
12
d. Lepra borderline
1. Berada diantara tuberkuloid dan lepromatosa, de3ngan gambaran klinis
campuran
2. Keadaan penyakit tidak stabil dan dapat berubah kearah kedua tipe
tersebut.
2.8 Komplikasi
1. Ulkus neuropatik, deformitas wajah dan ekstremitas.
2. Amiloidosis sekunder pada pasien lepromatosa.
3. Ginekomastia, pembentukan jaringan parut di testis.
4. Reaksi reversal (reaksi lepra tipe 1): disebabkan oleh peningkatan respons
imunitas selular pada penyakit borderline yang menyebabkan masuknya
sel-sel inflamasi kedalam lesi yang sudah ada. Lesi kulit menjadi
membengkak dan merah; gejala neuritik dan paralitik meningkat. Dapat
terjadi anesthesia kornea.
5. Eritema nodosum leprosum (reaksi lepra tipe 2): disebabkan oleh
vaskulitis, kemungkinan dicetuskan oleh infiltrasi neutrofilik yang
diperantarai oleh tnf. Terjadi pada keadaan lepromatosa dan lepromatosa
borderline. Timbul nodul subkutan yang nyeri tekan disertai dengan
demam dan artralgia. Mungkin terjadi iridosiklitis dan gejala neuritik.
2.9 Pencegahan
1. Periksa secara teratur anggota keluarga dan anggota dekat lannya untuk
tanda-tanda lepra.
2. Vaksin Bacille Calmette-Guerin memberikan suatu perlindungan
terhadap lepra.
13
2.10
Pengobatan
1. Lepra multibasiler (lepromatosa, lepromatosa borderline): kombinasi
rifampisin, klofazimin, dan dapson selama 2 tahun.
2. Lepra pausibasiler (tuberkuloid, tuberkuloid borderline): rifampisin dan
dapson selama 6 bulan
3. Pengobatan harus dilanjutkan selama terjadinya tipe reaksi apapun, yang
ditambah dengan:
a. Tipe 1: kortikosteroid
b. Tipe 2: ringan-aspirin atau klorokuin; berat-kortikosteroid, talidomid
(tidak diberikan pada usia reproduksi)
4. Pembedahan untuk deformitas dan rehabilitasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Kaji secara lengkap tentang umur ; penyakit kusta dapat
menyerang semua usia, jenis kelamin ; rasio pria dan wanita 2,3 : 1,0.
Paling sering terjadi pada daerah dengan social ekonomi yang rendah
dan insidensinya meningkat pada daerah tropis/ subtropis. Kaji pula
secara lengkap jenis pekerjaan klien untuk mengetahui tingkat social
ekonomi, resiko trauma pekerjaan, dan kemungkina kontak dengan
penderita kusta.
14
3.1.2
3.1.3
Pemeriksaan fisik
15
3.1.4
Pemeriksaan penunjang
a. Uji kulit
Uji ini paling sering dilakukan dan caranya mudah. Pertama
jelaskan tentang prosedur pengujian secara jelas. Penggunaan jarum
untuk mengetahui rasa nyeri dilakukan dengan meminta klien
16
menyebutkan tempat mana yang lebih sakit atau lebih terasa. Kita
dapat pula menggunakan kapas atau bulu ayam untuk sensasi raba.
Jika masi belum jelas, lakukan dengan sensasi suhu, yaitu panas dan
dingin.
b. Uji keringat
Pada penderita kusta, ditemukan anhidrosis karena rusaknya
kelenjar keringat. Uji ini dilakukan dengan cara menggores lesi
dengan pensil tinta mulai dari beberpa sentimeter diluar lesi
melewati permukaan lesi dan keluar batas lesi. Hasilnya, pada
bagian luar lesi goresan pensil akan mengembang berwarna ungu,
sedangkan didaerah lesi tidak
c. Uji lepromint
Dilakukan untuk menentukan diagnosis dan klasifikasi penyakit
kusta. Tipe I,T dan BT : uji lepromin positif. Tipe BB, BL, LL : uji
lepromin negative
3.1.5
Penatalaksanaan
1. Memperbaiki keadaan umum penderita.
2. Mengobati penyakit penyerta yang mempengaruhi timbulnya reaksi.
3. Meneruskan, mengurangi atau menghentikan sama sekali obat anti
kusta tergantung keadaan umum penderita.
4. Pemberi obat anti reaksi :
a. Tergantung berat ringannya reaksi, untuk reaksi ringan diberikan
aspirin 1tablet 3-4x sehari atau chloroquin 1 tablet 3x sehari.
b. Untuk reaksi berat atau reaksi yang disertai neuritis dapat
diberikan kortikosteroid dalam hal ini dexametason atau
triamsinolon 3-4x 2tablet perhari sampai terjadi perbaikan klinis
yang kemudian diturunkan secara perlahan lahan.
3.2 Diagnosa
17
Intervensi
Observasi
1. Kaji/ catat warna lesi, perhatikan
Rasional
1. Memberikan informasi dasar
Mandiri
2. Berikan perawatan khusus pada
daerah yang terjadi inflamasi
3. Bersihkan lesi dengan
sabun pada waktu
direndam.
4. Evaluasi warna lesi dan jaringan
yang terjadi inflamasi perhatikan
adakah penyebaran pada jaringan
18
sekitar
5. Istirahatkan bagian yang
terdapat lesi dari tekanan
mengidentifikasi terjadinya
komplikasi.
5. Tekanan pada lesi bisa
maenghambat proses
penyembuhan
Mandiri
3. Atur posisi senyaman
mungkin
Rasional
1. Memberikan informasi
untuk membantu dalam
memberikan intervensi.
2. Untuk mengetahui
perkembangan atau
keadaan pasien
3. Posisi yang nyaman dapat
menurunkan rasa nyeri
4. Dapat mengurangi rasa
nyeri
Edukasi
4. Ajarkan dan anjurkan
melakukan tehnik distraksi
19
dan relaksasi
Kolaborasi
5. kolaborasi untuk
pemberian analgesik
sesuai indikasi
Observasi:
1. Kaji perubahan dari gangguan
persepsi berhubungan dengan
derajat keidakmampuan.
2. Identifikasi arti dari kehilangan atau
disfungsi pada pasien.
Rasional
1. Menentukan bantuan individual
dalam menyusun rencana perawatan
atau pemilihan intervensi.
2. Beberapa pasien dapat menerima
secara efektif pada kondisi
perubahan fungsi yang dialaminya,
sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan dalam menerima
perubahan fungsi yang di alaminya
sehingga memberikan dampak pada
kondisi koping maladaptif.
3. Pasien dapat beradaptasi terhadap
20
Mandiri
Edukasi
Kolaborasi
6. Kolaborasi untuk pemberian
regimen MDT
BAB IV
PENUTUP
21
4.1 Kesimpulan
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan yang
menyebabkan adalah mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat. (Adhi Djuanda, dkk, 2005)
22
DAFTAR PUSTAKA
Djuanda, Adhi,dkk. 2005. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Edisi Keempat.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Dwi Rahariani, Loetfia. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
System Integument. Jakarta : EGC
Mandal, dkk. 2006. Lecture Notes Penyakit Infeksi Ed. 6. Jakarta : Airlangga
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Integumen. Jakarta : Salemba Medika
23
24