You are on page 1of 21

Diagnosa Infeksi Orofasial

Pemeriksaan dilakukan dengan hati-hati dan teliti sebelum pemberian pengobatan


yang tepat dilakukan. Pemeriksaan meliputi :
pembuatan riwayat penyakit yang lengkap
pemeriksaan klinis yang teliti
pemeriksaan tambahan seperti foto R.O dan laboratorium.
Penderita dengan infeksi akut, kelihatan lemah dan kesakitan. Raut muka
menunjukkan :
Tipe I, merah dengan kulit kering dan panas, dapat ditemui kenaikan
temperatur, denyut nadi cepat, serta nafas nadi dangkal dan cepat.
Tipe II, muka pucat dengan kulit dingin dan basah, dapat ditemui
temperatur yang dapat normal, kadang-kadang sub normal serta pandangan pasien
sayu. Pada tipe ini juga menunjukkan daya tahan yang rendah dan biasanya
keadaan pasien ini dapat dikatakan keracunan (toksis)
Terapi antibiotika adalah pengobatan utama untuk menghindari komplikasi yang
lebih lanjut. Pada penderita dapat dicurigai adanya; submandibular selulitis,
obsruksi respiratori atau trombosis, harus dikikrim segera ke rumah sakit untuk
mendapat perawatan spesialis.
Pada waktu mendiagnosa selalu harus diperhatikan riwayat medis secara umum
yakni ; daya tahan tubuh, keadaan umum pasien, kausa, lokalisasi, perluasan, tipe,
stadium dan infeksi, seta adanya pus atau tidak dalam jaringan.
II.5 Abses Odontogenik
Etiologi
Etiologi umum dari kebanyakan infeksi orofasial dapat berupa abses
periapikal akut sampai dengan selulitis servikofasial bilateral, adalah
patologi,trauma atau perawatan gigi dan jaringan pendukungnya. Riwayat alami
dari infeksi odontogenik biasanya dimulai dari kematian pulpa, invasi bekteri dan
perluasan proses infeksi ke arah periapikal. Terjadinya keradangan yang
terlokalisir atau abses periapikal akut tergantung dari virulensi bakteri dan
efektivitas pertahanan hospes. Kerusakan pada ligamen periodonsium bisa
memberikan kemungkinan masuknya bakteri dan akhirnya terjadi abses
periodontal akut. Apabila gigi tidak erupsi sempurna, mukosa yang menutupi
sebagian gigi tersebut mengakibatkan terperangkap dan terkumpulnya bakteri dan
debris sehingga mengakibatkan abses perikoronal.
Gambaran klinis
Suatu abses adalah infeksi akut yang terlokalisir, manifestasinya berupa
keradangan, pembengkakan yang nyeri jika ditekan, atau kerusakakn jaringan
setempat. Abses periapikal berukuran kecil, dari diameter di bawah 1 cm sampai
cukup besar sehingga dapat menutupi vestibulum. Mukosa di atasnya tampak
mengkilat, eritematus, tegang dan kencang. Abses periodontal dapat ditandai
dengan pembengkakan yang besar dan pergeseran papila interdental yang jelas,
atau mungkin akan menjadi abses periapikal dengan penutupan/kelainan
vestibular. Abses perikoronal akut/perikoronitis yang melibatkan gigi yang erupsi

sebagian (biasanya gigi m3 bawah) menunjukkan tanda pembengkakan yang


eritematus, penononjolan dan pergeseran jaringan sekitarnya dan yang
menutupinya (overkulum). Film periapikal menunjukkan adanya kerusakan tulang
sekitar gigi yang terkena , yang disebabkan karena infeksi kronis yang terjadi
sebelumnya.
Tanda dan gejala
Abses odontogenik akut menmbulkan gejala sakit yang kompleks,
pembengkakan , kemerahan, supurasi, gangguan pengecapan dan halitosis.
Keluhan utama adalah rasa sakit, denga nyeri tekan regional yang ekstrem dan
tidak mempan diobati dengan analgetik biasa yang secara nyata menganggu pada
waktu makan, tidur, dan melakukan prosedur higiene mulut. Penderitaan yang
dirasakan pasien tergantung pada intensitas dan durasi rasa sakit serta perubahan
sehubungan dengan perilaku pasien. Rasa skit yang dialami pasien ini sudah
cukup untuk mengelompokkan abses odontogenik ke dalam kategori darurat yang
memerlukan tindakan cepat dan efektif untuk menghilangkan rasa sakit. Status
darurat didukung oleh adanya bahay potensial dari semua infeksi orofasial yang
memerlukan terapi yang cepat dan tepat untuk menghindari penyebarannya.
Penatalaksanaan
Perawatan abses odontogenik akut dapat dilakukan secara lokal/sistemik.
Perawatan lokal meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan
perawatan sistemik terdiri atas pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi
antibiotik, dan terapi pendukung. Walaupun kelihatannya pasien memerlukan
intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih bijaksana apabila diberikan antibiotik
terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan terjadinya bakterimia dan difusi
lokal sebagai akibat sekunder dari manipulasi perawatan yang dilakukan. Blok
saraf dengan anestetikum, walaupun mungkin sulit dilakukan, merupakan
tindakan untuk menghilangkan rasa sakit denga efektif dan menjadikan prosedur
perawatan lokal lebih mudah juga sebagai jembatan sampai obat-obatan sistemik
beraksi. Apabila rasa sakit sudah berkurang, dapat dilakukan pengukuran
temperatur oral, dan apabila terjadi penignkatan, diberikan antipiretik.
Inspeksi dan irigasi
Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi bisa
diperiksa/dicari dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila
interdental atau operkulum. Pada daerah tersebut biasanya juga terdapat debris
makanan, yang merupakan benda asing yang dapat mendukung proses infeksi.
Irigasi dengan hati-hati dengan larutan saline steril dalam volume yang cukup
banyak bisa menyingkirkan debris dan merubah lingkunga yang tadinya
mendukung perkembangan bakteri menjadi sebaliknya. Apabila perawatn definitif
seperti kuretase, operkulektomi, ekstraksi, dan lain-lain ditunda, maka pasien
dianjurkan berkumur sesering mungkin sewaktu di rumah.
Insisi dan drainase
Abses fluctan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal maupun
periapikal, dirawat secara local yaitu insisi dan drainase, maka anestesi yang
dilakukan sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup

untuk melanjutkan tindakan ini. Lokasi estndar untuk melakukan insisi abses
adalah paling yang paling bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase
dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi. Insisi yang agak lebih besra
mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang
dipakai adalah satu selang karet dan dipertahankan pada posisinya dengan jahitan.
Perawatan pendukung
Pasien diberi resep antibiotik dan obat-obat analgesik. Perlu ditekankan pada
pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila
menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat, konsentrasinya 1 sendok (teh)
garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilakukan paling tidak sesudah makan.
Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran
infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan,
trismus/disfagia.
Tindak lanjut
Apabila riwayat menunjukkan adanya infeksi agresif yang terjadinya
mendadak maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pasien yakni 24 jam
setelah perawatan. Apabila infeksi nampak lebih jinak dengan durasi yang lebih
lama dan tidak disertai tanda yang membahayakan, maka kunjungan berikutnya
bisa ditunda sampai 48 jam. Perkembangan yang terjadi dipantau apakah
keadaannya membaik atau memburuk. Perubahan pembengakakan dicatat
(ukuran, konsistensi, fluktuasi) apakah tempat drainase masih memadai, dan
dicatat pula bagaimana sifat pernanahannya. Temperatur diukur atau diamati dan
pasien dianjurlan untuk memperhatikan gejala baru yang timbul. Apabiula kontrol
dan resolusi kondisi akut telah berjalan baik, maka faktor-etiologi bisa
dihilangkan yakni dengan kuretase, ekstirpasi pulpa, operkulektomi, atau
pencabutan. Apabila kondisinya tidak membaik maka diperlukan perawatan yang
bersifat segera. Apabila tidak dilakukan kultur, tindakan yang dilakukan biasanya
dengan meningkatkan dosis antibiotik dan bkan merubah jenis antibiotikanya.
Kadang-kadang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan yakni apabila
menjumpai infeksi orofasial akut yang membahayakan kehidupan. Penyesalan
yang diakibatkan karena konsultasi lebih awal jauh lebih sedikit dibandingkan
kosultasi yang terlambat.
Penghentian terapi
Apabila infeksi dapat dikontrol dengan baik, pada kunjungan kontrol pertama atau
kedua biasanya pertanyaan yang timbul adalah; kapankah pemakaian drain
dihentikan. Kadang drain dirasakan sebagai hal yang menguntungkan tetapi bisa
merugikan. Hal ini biasanya terjadi apabila drainase telah berkurang secara nyata,
karena drain dirasakan sebagai benda asing, dan merupakan tempat terjadinya
kontaminasi eksternal. Drainase biasanya dianggap cukup memadai apabila
penempatan drain paling tidak 48 jam. Pertanyaan lainnya yang sering timbul
adalah kapankah penggunaan antibiotik dihentikan? Standar yang digunakan
adalah meneruskan pemberian antibiotik sampai 5-7 hari. Apabila infeksi tetap
bertahan sampai waktu tersebut, pemberian harus diteruskan. Penghentian
antibiotik umunya didasarkan pada perkembangan klinis yang terjadi pada pasien.

Meneruskann terapi antibiotik 3-4 hari setelah hilangnya gejala-gejala dan tandatanda penyakit jarang dilakukan.
Infeksi Akut Pada Tulang Rahang
Infeksi akut pada tulang rahng dapat digolongkan menurut kausa dan
lokalisasinya.
a. Abses periapikal
Disebut juga abses dentoalveolar. Biasanya dimulai di regio periapikal dari akar
gigi dan sebagai akibat dari pulpa yang non vital atau pulpa yang mengalami
degenerasi. Dapat juga terjadi setelah adanya trauma pada jaringan pulpa.
Dapat terjadi eksaserbasi akut yang disertai dengan gejala-gejala dari infeksi akut.
Pada saat keluarnya toksin dari proses infeksi, pasien merasa sakit dan tidak dapat
menentukan gigi mana yang menjadi kausa. Abses periapikal dapat terbatas hanya
pada struktur tulang dan selama masa transisi dari pembentukan abses dapat
menyebabkan rasa yang amat sakit adanya odem.
Akhirnya abses akan melalui tulang spongiosa dan tulang kortikal, mencapai
permukaan dan sampai ke jaringan lunak dengan adanya penanahan sebagai abses
sub periodontal atau abses supra periodontal.
Selama indurasi, perawatan dilakukan secara lokal. Hal ini dapat dilakukan
dengan kompres panas dan kumur-kumur air hangat. Ini dilakukan apabila akan
dilakukan drainase.
Gigi penyebab harus dipelajari apakah di cabut atau dilakukan perawatan saluran
akar. Bila diperkirakan dapaat dilakukan drainase melalui alveolus gigi penyebab
maka gigi dapat dicabut sedini mungkin dengan catatan :
harus dapat dilakukan anestesi tanpa mengganggu daerah abses (dengan
blok anestesi atau nekrose) dan diberi perawatan antibiotik sebelum, selama dan
sesusah pencabutan.
Apabila abses terbentuk atau terlokalisir pada jaringan ekstra alveolar,
maka dilakukan insisi bersamaan dengan pencabutan gigi.
Bila gigi hendak dipertahankan, insisi dilakukan bersamaan dengan
pembukaan pulpa.
Bila abses intra oral terletak pada bagian bukal vestibular, insisi dilakukan di
bawah titik tertinggi dari daerah yang terfluktuasi.
Bila lokalisasi abses pada bagian palatinal atau lingual, maka insisi harus
menghindari daerah neuro-vaskuler pada daerah tersebut.
b.
Infeksi perikoronal (perikoronitis)
Infeksi ini sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Infeksi ini pada masa
pertumbuhan sering dihubungkan dengan masa pertumbuhan gigi permanen, pada
masa ini jaringan supra dental merupakan bagian yang banyak folikel gigi dan
jaringan mukoperios, sehingga mudah terjadi inflamasi kronis dan berkembang
menjadi selulitis, yang mengakibatkan adanya reaksi sistemik disertai demam
yang tinggi. Apabila fluktuasi dapat dirasakan dengan jari dapat dilakukan insisi
dan drainase.
Perikoronitis jarang terjadi pada orang tua yang sudah tidak bergigi. Pada
umumnya perikoronitis terjadi sebagai akibat dari tekanan protesa karena
dibawahnya ada gigi yang tidak bisa erupsi. Pada saat permulaan gigi terpendam
tersebut mempunyai jarak yang cukup jauh dengan permukaan sehingga tidak
bereaksi terhadap pengaruh tekanan protesa. Tetapi seiring berjalannya waktu

terjadi resorbsi dari tulang rahang, sehingga gigi terpendam tersebut menunjukkan
reaksi karena tekanan protesa sebagai akibat resorbsi dari tulang antara gigi dan
protesa.
Perawatan dari infeksi akut ini berbeda-beda. Bila terdapat abses dengan fluktuasi
di atas gigi yang terpandam, maka dilakukan insisi dan drainase. Akhirnya
dilakukan pengambilan gigi terpendam tersebut.
Tipe perikoronitis yang paling sering dijumpai adalah yang terdapat di sekitar
molar tiga mandibula. Pasien sering merasakan rasa sakit pada daerah peritonsiller
sehingga pasien pergi ke dokter umum. Setelah gejala ini sering berulang, barulah
diketahui bahwa molar tiga yang menjadi penyebabnya.
Gejala khas dari perikoronitis dari molar tiga adalah adenitis, trismus
submandibular, rasa skit pada daerah molar tiga, keadaan malaise dan sering
dijumpai adanya kenaikan temperatur tubuh. Gejala ini bervariasi dari ringan
samapi berat, dapat juga terjadi sellulitis terlihat adanya odem pada daerah
submandibular dan daerah faring. Bila terdapat gejala ini, maka biasanya giginya
tertutup. Hubungan kearah rongga mulut mungkin tidak jelas karena odem dan
proses inflamasi.
Perawatan dapat dilakukan:
masukkan probe-sonde dengan hati-hati melalui celah folikel
setelah celah melebar, pus dapat keluar dan bahan-bahan antiseptik dapat
disemprotkan untuk membersihkannya.
Masukkan rubber dam atau kasa iodoform.
Berikan antibiotika.
Setelah gejala akut hilang dan berganti dengan gejala sub akut, maka
perawatan selanjutnya tergantung pada posisi gigi terpendam tersebut.
Bila molar tiga impaksi dapat dilakuka operasi pengambilan molar tiga
tersebut. Bila posisi molar tiga normal dapat dilakukan operkulektomi
(pengambilan/eksisi operkulum/gingiva yang menutupi korona gigi).
Bila dilakukan eksisi jaringan diatas permukaan gigi maka seluruh jaringan
diatas permukaan gigi terpendam harus terlihat sepenuhnya.
Kemudian luka ditutup dengan surgical pack.
c.
Abses Periodontal
Merupakan suatu proses supurasi di sekitar jaringan periodonsium, biasanya
merupakan lanjutan dari pada periodontitis kronis yang lama. Tipe infeksi ini
biasanya dimulai pada gingival crevice pada permukaan akar, sering dijumpai ke
permukaan apeks. Keadaan ini biasanya merupakan serangan yang tiba-tiba,
dengan sakit yang amat sangat.
Suatu abses periodontal dapat dihubungkan dengan gigi nonvital atau adanya
trauma, perawatan primer untuk menghilangkan gejala akut adalah dengan
melakukan insisi. Insisi harus meliputi jaringan lunak sampai ke permukaan akar.
Bila akar terbuka sampai di bawah sepertiga apikal, baik pada satu permukaan
atau lebih, maka harus dilakukan pencabutan gigi.
Abses periodontal dapat meluas dari gigi penyebab melalui tulang alveolus ke
gigi-gigi tetangga, menyebabkan goyangnya gigi-gigi tersebut. Hal ini dapat
menyulitkan dalam diagnosa oleh karena itu diperlukan R.O foto.
d. Abses sub periosteal

Merupakan suatu proses supurasi di daerah sub-perios, infeksi sub periosteal


dapat timbul beberapa minggu setelah penyembuhan luka post-odontektomi gigi
impaksi. Secara primer dapat terjadi pembengkakan pada jarinag mukoperiosteal
yang meluas jauh ke depan sampai molar satu atau premolar dua. Hal ini dapat
menyebabkan pembengkakan yang progresiv, akhirnya terdapat fluktuasi yang
diraba.
Perawatan :
berikan segera terapi antibiotika
bila terdapat fluktuasi, maka dilakukan insisi dan drainase
abses tipe ini pembengkakannya dapat terlihat dan diraba pada daerah pipi.
Insisi dibuat melalui mukoperios sampai tulang.
Masukkan kasa/rubber untuk drainase.
e.
Abses pasca bedah
Dapat terjadi beberapa hari setelah pembedahan, misalnya setelah pengambilan
molar tiga. Terdapat rasa yang tidak menyenangkan, trismus dan sakit menelan.
Pasien hanya membuka mulutnya dengan susah payah. Bila terdapat gejala-gejala
ini tidak terlihat adanya tanda-tanda pada wajah atau daerah oklusal dari luka,
maka sering diduga abses lidah.
Dalam keadaan ini odem diobservasi, sampai terlihat pembengkakan yang jelas
pada jaringan. Terasa sangat sakit. Bila terdapat fluktuasi, masukkan hemostat
secara tertutup melalui luka pada molar tiga. Hemostat masuk diantara perios dan
permukaan lingual tulang, berjalan sepanjang tulang, sampai hemostat mencapai
rongga abses. Lalu hemostat dibuka. Bila di diagnosa tepat, maka segera akan
terlihat pus.kemudian pus diaspirasi. Setelah itu masukkan pipa keret untuk
drainase, juga berikan terapi antibiotika.
f.
Radang empisema akut
Biasanya disebabkan oleh pemakaian semprotan udara. Pada waktu mengeringkan
saluran akar dengan semprotan udara, maka septik material dapat terdorong
melalui foramen apikalis ke tulang spongiosa. Hal itu dapat sama terjadi pada
waktu melakukan irigasi luka terutama pada regio retromolar.
g.
Selulitis akut
Merupakan peradangan pada jaringan ikat. Bila pertahanan baik maka infeksi
yang masuk ke jaringan dapat terlokalisir. Secara fisiologis akan terbentuk
barrier disekitar infeksi. Bila bakteri sangat virulan atau resisten terhadap
antibiotika, infeksi ini dapat keluar dan berjalan mengikuti sirkulasi limfe. Invasi
bakteri dapat meluas ke daerah jauh dari daerah infeksi.
Selulitis akut pada daerah gigi biasanya luas. Jaringan menjadi membesar,
odematous pada palpasi terasa keras. Pada periode ini infeksi tidak terlokalisir dan
selama masa ini tidak ada supurasi.
Temperatur tubuh naik, sel darah putih naik, denyut nadi cepat, dan keseimbangan
elektrolit berubah.
Kadang-kadang antibiotika yang spesifik dapat meresolusi proses secara
sempurna dan tidak terbentuk pus atau bila terdapat sedikit akan hilang oleh
sirkulasi limfe.
Selulitis yang masif akan berubah menjadi selulitis supuratif, terutama bila
bakterinya adalah stafilokokus atau organisme-organisme pembentuk pus yang
lain.

Materi purulen akan mencari jalan ke permukaan, tergantung pada lokasi dan
struktur anatominya, pus dapat jalan ke hidung, sinus maksilaris, vestibular, dasar
mulut, muka atau fosa infra temporal. Dapat juga berjalan ke rongga kranial atau
dapat berjalan melaui foramina ke dasar tengkorak. Perluasan infeksi ke kranial
dapat menyebabkan kematian.
h.
Ludwigs angina
Digambarkan sebagai selulitis septika generalisata yang besar sekali pada regio
sub mandibular. Ludwigs angina merupakan perluasan infeksi dari gigi molar
mandibula ke dasar mulut. Perbedaan antara ludwigs angina dengan tipe-tipe
selulitis lainnya adalah :
karakteristiknya dengan adanya indurasi ke coklat-coklatan. Jaringan
kelihatan membesar dan tidak melekuk bila ditekan, tidak terdapat fluktuasi.
Tiga spasia fasial terlibat secara bilateral, yaitu submandibular spasia,
submental, dan sublingual spasia. Bila infeksi tersebut tibak terjadi bilateral maka
infeksi tersebut tidak dianggap ludwigs angina.
Pasien memiliki pembukaan mulut yang khas. Dasar mulut terdorong,
lidah terjulur dan sulit bernafas. Dua fasial-spasia yang besar terdapat didasar
lidah atau keduanya terlibat. Spasia yang dalam terletak diantara m.genioglosus
dan m.geniohyoid dan spasia yang sebelah luar terletak antara m.geniohyoid dan
m.mylohyoid. setiap spasia dibatasi septum mediana. Bila lidah tidak terngkat
maka infeksi ini bukan ludwigs angina yang sebenarnya.
Keadaan umum pasien yang jelek, merasa kedinginan, demam, bertambahnya
ludah, gerakan lidah yang sulit, tidak sanggup membuka mulut meenunjukkan
infeksi. Jaringan pada leher kelihatan melebar.
i.
Cavernous sinus thrombosis
Infeksi wajah dapat menimbulkan aseptik trombosis pada sinus cavernosus.
Penyebabnya sering adalah furunkulosis dan infeksi hidung dan sekitarnya. Hal
ini juga bisa disebabkan oleh pencabutan gigi anterior maksila yang mengalami
infeksi akut dan terutama bila dilakukan kuretase pada bekas pencabutan.
Biasanya adalah infeksi stafilikokus. Pemberian antibiotika harus dalam dosis
besar.
Menurut eagleton, diagnosa dari trombosis sinus cavernosus bila terdapat 6 hal
sebagai berikut :
1). Sisi dari infeksi diketahui
2). Adanya tanda-tanda infeksi mengikuti aliran darah
3). Adanya tanda-tanda obstruksi vena di retina. Konjungtiva atau kelopak mata.
4). Adannya paresis pada nervus kranialis ketiga, keempat, dan keenam yang
diakibatkan karena odem dari inflamasi.
5) pembentukan abses pada jaringan lunak sekitarnya.
6). Jelas adanya iritasi meningeal.
Secara klinis mula-mula terlihat sebelah mata terlibat, akhirnya mata yang satunya
terlibat juga.
j. Osteomilitis
Padget mengatakan bahwa istilah osteomielitis sebenarnya menunjukkan
peradangan dari sumsum tulang saja. Akan tetapi pada umumnya pengertian

osteomielitis adalah peradangan dari semua bagian-bagian atau struktur yang


membentuk tulang seperti :
a.
Medula
b.
Kortex
c.
Periosteum
d.
Pembuluh darah dalam tulang
e.
Urat syaraf dalam tulang.
Peradangan atau inflamasi dimulai di dalam sumsum tulang dan meluas ke
spongiosa kemudian melalui pembuluh-pembuluh darah, jaringan fibroblast
sampai ke periosteum. Kita ketahui tulang adalah suatu jaringan hidup. Bila
pengaliran makanan untuk sel-selnya terganggu, maka tulang akan mati dan
terjadilah sequster.
Proses penghambatan makanan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Radang melalui melalui darah dan limfe masuk ke dalam tulang. Kanalis haversi
mengandung banyak anastomose dari pembuluh-pembuluh darah yang
menghubungkan bagian-bagian dari sumsum tulang ke periosteum. Kanalis
haversi ini juga berhubungan dengan bagian tulang yang padat. Oleh karena itu
kanalis havers ini penting untuk pembagian makanan pada tulang.
Proses radang di dalam pembuluh-pembuluh ini menyebabkan terjadinya aposisi
dari lumen pembuluh tersebut dan penebalan ini menghalangi darah mengalir ke
dalam sel-sel tuulang, sehingga terjadi malnutrisi dan akhirnya sel-sel tulang ini
mati (nekrose) dan terjadilah sequester. Dengan kata lain osteomielitis adalah hasil
radang pyogen yang akut dari sumsum tulang.
Osteomielitis ini disebabkan oleh infeksi bakteri terutama Staphylococus
aureus(hemolitika). Dalam beberapa kasus disebabkan oleh Staphylococus albus
dan ada juga ditimbulkan oleh pneumococus.
Etiologi
Winter membagi faktor-faktor etiologi yang dapat memasukkan mikroorganisme
ke dalam sumsum tulang sebagai berikut :
a. Hal-hal yang dapat mengadakan infeksi langsung ke mandibula dan maksila
yaitu :
1.
Gigi yang telah mengalami devitalisasi
2.
Gigi dengan nekrosis pulpa
3.
Infeksi residif, di dalam atau di sekitar gigi
4.
Corpus alienum dalam jaringan
5.
Gigi yang impaksi
6.
Perluasan dari penyakit hidung
7.
Proses supurasi di sinus maksilaris
8.
Ulcerative atau nekrosis stomatitis (noma)
9.
Intoksikasi chemis (racun)
10. Nekrosis yang disebabkan radiasi
b. Trauma pada tulang dan periosteum yaitu :
1. Tuberculosis
2. Sifilis
3. Trauma eksterna mengakibatkan kematian pulpa gigi
4. Trauma akibat pembedahan pada kasus-kasus infeksi primer

5. Kuretase dalam lobang bekas pencabutan gigi yang mengalami infeksi


6. Trauma dari pemakaian bur, panas yang timbul dapat menyebabkan nekrose
sehingga perlu diirigasi dengan air garam fisiologis
c. Secara hematogen, biasanya pada anak-anak seperti :
1. Kerusakan periosteum
2. compound fraktur dari mandibula dan maksila
3. Actinomycosis
4. Scurvy
Menurut pengalaman, osteomielitis lebih mudah terjadi bila pertahanan tubuh
penderita rendah, baik secara umum maupun lokal, maksudnya bila ada
predisposisi faktor karena adanya penyakit-penyakit seperti diabetes melitus,
sifilis, TBC, agranulocytosis, malnutrisi yang hebat, penyakit-penyakit dimana
vaskularisasi dari pada tulang rahang terganggu seperti Marble bone disease,
Pagets disease.
Menurut Waldron, tulang-tulang rahang jarang dikenai osteomielitis yang
disebabkan hematogen. Kebanyakan hasil inflamasi langsung atau trauma pada
maksila dan mandibula. Inilah bedanya dengan tulang-tulang panjang lainnya.
Osteomielitis dimulai dengan stadium akut dan biasanya berlanjut ke stadium
kronis dan kadang-kadang timbul eksaserbasi akut.
Macam-macam atau tipe osteomielitis menurut bagaian tulang yang terkena
yaitu :
1.
Tipe yang terlokalisir yaitu osteomielitis yang hanya mengenai tulang
dalam daerah yang kecil atau sempit.
2.
Tipe difus dimana kerusakan tulang mengenai atau meluaske seluruh bagian
tulang, mengenai daerah tulang yang luas.
3.
difuse fulminating type, yaitu osteomielitis akut yang timbul dengan
gejala-gejala yang hebat dan mengadakan destruksi tulang yang sangat cepat.
4.
sub akut localized type dalam hal ini terjadi osteomielitis lokalisata yang
disebut juga dry soket.
Gejala-gejala osteomielitis akut yang difus pada mandibula dan maksila sama
dengan gejala radang akut lainnya yaitu dolor, kalor, tumor, rubor dan fungsio
laesa.
Fungsio laesa ini biasanya merupakan kelemahn umum dan kenaikan sel-sel darah
putih (leukosit). Pada permulaan penyakit tersebut pada radiograf tidak tampakm
enunjukkan kelainan-kelainan. Gejala rontgenologis baru timbul setelah 2-3
minggu (sstadium kronis). Hal ini tergantung umur, resistensi pasien dan virulensi
bakteri. Gambaran radiologis adalah daerah radiolusen yang lebih luas daripada
gambaran tulang spongiosa. Jika penyakit ini berlanjut maka daerah radiolusen ini
bersatu dan memberi gambaran seperti tulang yang dimakan ulat.
Gejala pertama adalah :
1. Rasa sakit di daerah tersebut
2. Demam
3. Rasa sakit yang mendalam sekali pada mandibula dengan radiasi ke telinga.
4. Gigi terasa sakit saat perkusi
Apabila penyakit berlanjut dan terjadi destruksi tulang, maka gigi akan menjadi
goyang. Gingiva, mukosa labial dan bukal menjadi merah tua dan odematus
akibat dari periostitis. Pus keluar dari servikal gigi bila mukosa sekeliling gigi
ditekan. Pada stadium ini terdapat pembengkakan dengan limfadenitis akut.

II.6 Infeksi non odontogenik pada sinus maksilaris


Secara historis, consensus yang berkenaan dengan rahang atas(maxillary)
biasanya tidak di kolonisasi oleh bakteri dan pada dasarnya adalah steril. Kajian
yang lebih mutakhir dengan menggunakan teknik diperbaharui kadang-kadang
menunjukkan bahwa beberapa bakteri dapat dibiakkan dari sinus paranasal yang
sehat. Walaupun mungkin ada beberapa mikroorganisme hadir dalam sinus
normal, namun kemunculan itu sangat kecil (minimal), dan sifat dinamis epitel
sinus yang aktif dan lapisan mucus yang terus menerus bergerak dapat mencegah
kolonisasi yang signifikan
Mukosa dari sinus adalah suscetible terhadap infeksi, alergi, dan penyakit
neoplastik. Penyakit radang sinus, seperti infeksi atau reaksi alergi, menyebabkan
hiperplasia dan hipertrofi dari mukosa dan dapat menyebabkan terhalangnya
ostium. Jika obstium menjadi terhambat, lendir yang dihasilkan oleh lapisan selsel sekretoris sinus dikumpulkan dalam waktu lama. Bakteri berlebih kemudian
mungkin mengakibatkan infeksi yang ditandai dengan gejala-gejala sinusitis, serta
perubahan radiografipun dapat dilihat pada kondisi ini.
Ketika peradangan berkembang di salah satu sinus paranasal, baik diesebabkan
oleh infeksi atau alergi, kondisi ini disebut sebagai sinusitis. Peradangan sebagian
besar atau seluruh sinus paranasal secara simultan, dikenal sebagai pansinusitis
dan biasanya disebabkan oleh infeksi. Kondisi serupa dari sinus individu yang
diketahui, misalnya, sebagai berkenaan dgn rahang atas atau frontal sinusitis.
Maxillary sinusitis yang akut bisa terjadi pada usia berapa pun. Biasanya Pada
tahap Awal, pasien akan lebih sensitive terhadap tekanan, rasa sakit, dan / atau
sesak di sekitar sinus yang terinfeksi. Intensitas ketidaknyamanan akan meningkat
dan mungkin akan diikuti dengan pembengkakan dan eritema, malaise, demam
dan drainase mucopurulent yang berbau fuol ke rongga hidung dan nasofaring.
Maxillary sinusitis yang kronis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri atau
jamur kelas rendah yang terjadi berulang, penyakit hidung obstruktif atau alergi.
maxillary sinusitis yang kronis ditandai dengan episode penyakit sinus yang pada
awalnya deirespon dengan pengobatan, hanya untuk mengembalikan, atau sisa
dari gejala di luar pengobatan
Aerobik, anaerobik atau bakteri campuran dapat menyebabkan maxillary sinusitis.
Organisme yang biasanya berhubungan dengan maxillary sinusitis adalah yang
termasuk organisme nonodontegenic yang biasanya ditemukan di dalam rongga
hidung. Mucostasis yang terjadi di dalam sinus memungkinkan terjadinya
kolonisasi organisme ini. Bakteri penyebabnya adalah terutama bakteri aerobik,
dengan beberapa Anaerob. Aerob penting adalah Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae, dan Branhamella catarrhalis. Anaerob termasuk
Sterptococcus
viridans,
Staphylococcus
aureus,
Enterobacterieceae,
Porphyromonas, Prevotella, Peptostreptococcus, Veillonella, Propionibacterium,
Eubacterium dan Fusobacterium.
II.7 Infeksi odontogenik pada sinus maksilaris

10

Maxillary sinusitis biasanya disebabkan oleh sumber odontegenic karena anatomi


penjajaran gigi dan maxilarry sinus. Sumber odontogenic kira-kira 10 12% dari
semua maxillary sinusitis. Kondisi ini kemungkinan menyebar dan akan
melibatkan sinus paranasal jika tidak segera diobati atau diobati dengan cara yang
salah. Pada kasus yang jarang terjadi, infeksi ini dapat mengancam kehidupan
(nyawa) dan dapat melibatkan cavernous sinus thrombosis, meningitis,
osteomyelitis, intracranial abscess, dan kematian.
Sumber infeksi Odontegenic yang melibatkan maxillary sinus termasuk sinus
akut dan periapical, dan penyakit periodontal. Infeksi dan sinusitis dapat juga
akibat dari trauma pada gigi atau dari operasi di posterior rahang atas, termasuk
pencabutan gigi, alveolectomy, pengurangan tuberositas, pengangkatan sinus dan
penempatan implan, atau prosedur lain yang membuat wilayah theat komunikasi
antara rongga mulut dan maxillary sinus.
Sinus asal odontegenic lebih mungkin disebabkan oleh bakteri
anaerob, seperti pada infeksi odontegenic biasa. Terkadang(tapi sangat jarang)
H.influenzae atau S.aureus menyebabkan odontogenic sinusitis. Organisme yang
dominan adalah aerobik dan streptokokus anaerob dan anaerob Bacteroides,
Enterobacteriaceae, Peptococcus, Peptostreptococcus, Porphyromonas, Prevotella
dan Enterobacterium.
II.8 Prinsip penatalaksanaan dan pencegahan infeksi odontogenik
Salah satu masalah yang paling sulit untuk dikelola dalam kedokteran gigi adalah
infeksi odontogenik. Infeksi odontogenik muncul dari gigi dan memiliki
karakteristik flora. Karies, penyakit periodontal dan pulpitis adalah infeksi awal
yang bisa menyebar dari gigi ke prosesus alveolar dan jaringan wajah yang lebih
dalam, kavitas oral, kepala, dan leher. Infeksi ini dapat bertingkat mulai dari low
grade, well localized infection yang hanya membutuhkan perawatan minimal,
hingga severe, life threatening deep facial space infection. Walaupun mayoritas
infeksi odontogenik dapat ditangani dengan minor surgical procedures dan
supportive medical therapy yang mencakup penggunaan antibiotic, praktisi harus
menyadari bahwa infeksi ini kadang kala menjadi parah dan mengancam nyawa
dalam waktu singkat.

Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan
berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
hemoragik).12
Syok hipovolemik biasanya berhubungan dengan kekurangan
volume lebih dari 15%. Kerurangan dari volume darah dapat terjadi
internal atau eksternal. Kehilangan internal dapat dikaitkan dengan
perdarahan gastointestinal, atau perdarahan internal sekunder terhadap
11

trauma. Kehilangan eksternal yang berhubungan dengan kehilangan


darah (paling umum), dalam kasus trauma dan gangguan perdarahan;
kehilangan plasma, dalam kasus luka bakar; cairan tubuh, dalam kasus
keringat berlebihan, muntah, dan diare.
Patofisiologi syok hipovolemik adalah bahwa ketika volume
intravaskular berkurang, aliran balik vena berkurang, penurunan curah
jantung, dan tekanan darah menurun. Hasil akhirnya adalah perfusi
jaringan yang buruk yang dapat menyebabkan kegagalan organ.8
Kemungkinan besar yang dapat mengancam nyawa pada syok
hipovolemik berasal dari penurunan volume darah intravaskular, yang
menyebabkan penurunan cardiac output dan tidak adekuatnya perfusi
jaringan. Kemudian jaringan yang anoksia mendorong perubahan
metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi anaerob. Hal ini
menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan asidosis
metabolik.12
Syok hipovolemik berkembang dalam tiga tahapan, yaitu:5
Tahap awal nonprogresif
Selama tahapan ini mekanisme kompensasi refleks akan diaktifkan
dan perfusi organ vital dipertahankan. Efeknya adalah takikardi,
vasokontriksi perifer, dan pemeliharaan cairan ginjal. Pembuluh darah
jantung dan otak kurang sesnsitif terhadap respon sinpatis tersebut
sehingga akan mempertahankan diameter pembuluh darah, aliran
darah, dan pengiriman oksigen yang relatif normal ke setiap organ
vitalnya.
Tahap progresif
Ditandai oleh hipoperfusi jaringan dan awal manifestasi dari
memburuknya ketidakseimbangan sirkulasi dan metabolik. Pada
keadaan kekurangan oksigen yang menetap, respirasi aerobik intrasel
digantikan oleh glikolisis anaerobik disertai dengan produksi asam
laktat yang berlebihan yang memperburuk curah jantung.
Tahap ireversibel
Muncul setelah jejas sel dan jaringan yang berat sehingga walaupun
gangguan hemodinamikanya telah diperbaiki, kebocoran enzim
lisosom semakin memperberat keadaan syok. Fungsi kontraksi
miokard akan memburuk yang sebagiannya disebabkan oleh sintesis
nitrit oksida. Jika usus iskemik memungkinkan masuknya flora usus
ke dalam pembuluh darah, dapat pula muncul syok endotoksik. Pada
tahap ini, pasien mempunyai ginjal yang sama sekali tidak berfungsi
akibat nekrosis tubular akut, dan meskipun dilakukan upaya hebat,
kemunduran klinis yang terus terjadi hampir secara pasti
menimbulkan kematian.
Etiologi Shock Hipovolemik
1. Kehilangan darah karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh
Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus
atau trauma benda tumpul. Trauma yang sering

12

menyebabkan shock adalah sebagai berikut: laserasi dan


ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan
perlukaan organ padat abdomen, fraktur pelvis dan femur,
dan laserasi pada tengkorak. Misalnya: fraktur humerus
menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 1000-1500 ml perdarahan.

2. Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan


banyak kehilangan darah antara lain aneurisma, diseksi, dan
malformasi arteri-vena.
3. Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu
kehamilan ektopik terganggu, plasenta previa, dan solutio
plasenta. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik
umum terjadi. Shock hipovolemik akibat kehamilan ektopik
pada pasien dengan tes kehamilan negatif jarang terjadi,
tetapi pernah dilaporkan.
4. Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya
pada
kelainan pada gastrointestinal yang dapat

menyebabkan Shock hemoragik antara lain: perdarahan


varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, Mallory
Weiss tears, dan fistula aortointestinal.5
Tabel 2.1 Kondisi Pasien Shock Hipovolemik.2

1. Kehilangan Cairan dan Elektrolit


2. Perdarahan
- Pendarahan Internal

Perdarahan Eksternal

3. Kehilangan Plasma

Diare, muntah, diabetes


isnsipidus, heat stroke, renal
loss, luka bakar
Ruptura hepar/ lien, trauma
jaringan lunak, fraktura tulang
panjang, perdarahan saluran
cerna, kelainan hematologis
Trauma
Luka bakar, sindroma nefrotik
obstruksi ileus, demam berdarah
deangue, peritonitis

2.1.3 Manifestasi Klinis Shock Hipovolemik

13

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Agitasi
Akral dingin
Penurunan konsentrasi
Penurunan kesadaran
Penurunan atau tidak ada keluaran urine
Lemah
Warna kulit pucat
Napas cepat
Berkeringat

10.
11. Tabel 2.2 Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam mengestimasi
kehilangan volume cairan
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
13.
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah (1) memulihkan
volume intravaskular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada
perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan, dan (3)
memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.12
14.
Jika pasien sedang mengalami hemoragik, upaya dilakukan untuk
menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau
mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal. 12
15.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk
membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan
pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan.
Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium klorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6
%).12
16.
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan
tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak
14

1.
2.
3.
4.

1.
2.
3.

dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya
gravitasi. 12
17.
Medikasi akan diresepkan untuk mengatasi dehidarasi jika penyebab yang
mendasari adalah dehidrasi. Contohnya, insulin akan diberikan pada pasien dengan
dehidrasi sekunder terhadap hiperglikemia, desmopresin (DDVP) untuk diabetes
insipidus, preparat anti diare untuk diare dan anti emetic untuk muntah-muntah. 12
18.
Military anti syok trousersn (MAST) adalah pakaian yang dirancang
untuk memperbaiki perdarahan internal dan hipovolemia dengan memberikan tekanan
balik disekitar tungkai dan abdomen. Alat ini menciptakan tahanan perifer artifisial dan
membantu menahan perfusi koroner. 12
19.
Penatalaksanaan pra rumah sakit pada pasien dengan syok hipovolemik
sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien
sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa
pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai.
Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma),
menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran
balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok.
20.
21. Sepsis dan Syok Septik
22. Definisi
23. Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
dari kriteria berikut:
Suhu > 38C atau < 36C
Denyut jantung >90 denyut/menit
Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur
24. Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan
syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat
bakteriemia.
25. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi,
atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
Asidosis laktat
Oliguria
Atau perubahan akut pada status mental
26. Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan
pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah
awal dalam diagnosis sepsis.
27. (Hermawan, 2007).
28. Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok
septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg
atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi,
meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
29. Etiologi
15

30. Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri
gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan
sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak
toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab
terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis
dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding
sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak
integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
31. Patogenesis
32. Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja
sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
33. Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara
reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
34. Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan
TCR (T cell receptor).
35. Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating
factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF-
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
IL-1 sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan
mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan Lselektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
16

3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.


36. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan
dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya
endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular
leak, sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat
pendapat tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan
koagulasi dalam pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan
kematian.
37. Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi
APC. IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10
meningkat lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat
dicegah.
38. (Hermawan, 2007).
39. Patofisiologi Syok Septik
40. Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis
dimana terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi
melebihi kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan
gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.
41. Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
42. Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant
substance), malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
43. Gejala Klinis Sepsis
44. Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ
utama, dan pasien dengan granulositopenia.
45. Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
17

1.
2.
3.
4.

1.

2.

7. Gagal jantung
8. Kematian
46. (Hermawan, 2007).
47. Diagnosis
48. Riwayat
49. Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Hipotensi, oliguria, atau anuria
Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
Perdarahan
50. Pemeriksaan Fisik
51. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi
yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis,
dan genital.
52. Laboratorium
53. Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
54. Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
55. Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan
fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan
lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis
respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk
hipotensi.
56. (Hermawan, 2007).
57. Penatalaksanaan
58. Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
Stabilisasi pasien langsung
59. Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan
dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien
hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.
Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
60. Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari
pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah
ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis
tersebut (Hermawan, 2007).
61. Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya
antara golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan gentamisin.
1.
Golongan penicillin
18

62.
63.

- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis


- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
2.
Golongan penicillinaseresistant penicillin
64.
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama 7-10 hari sering
dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan
setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1
gram/hari iv).
65.
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
3.
Gentamycin
66.
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap
efek nefrotoksiknya.
67. Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri
gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
68. Bakteri

69. Antibiotik

71. Escherichia
coli

72.

Ampisilin/sefalotin

76. Klebsiella,
Enterobacte
r

77.

Gentamisin

79. Proteus
mirabilis

80.

Ampisilin/sefalotin

82. Pr. rettgeri,


Pr.
morgagni,
Pr. vulgaris

83.

Gentamisin

85. MimaHerellea

86.

Gentamisin

88. Pseudomon
as

89.

Gentamisin

70. Dosis
73. - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam,
biasanya dilarutkan dalam 50-100 ml
cairan, diberikan per drip dalam 20-30
menit untuk menghindari flebitis.
74. - Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv
75. - Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

91. Bacteroides

92.
Kloramfenikol/klin
damisin
94.
(Purwadianto dan Sampurna, 2000).
1.
Fokus infeksi awal harus diobati
95. Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan,
2007).
96. Penatalaksanaan Syok Septik
97. Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing;
b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai
19

1.

2.

3.

4.
5.

6.

tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan
produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
Oksigenasi
98. Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi
juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
99. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di
darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
Terapi cairan
100.
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan
kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop
S3, dan penurunan saturasi oksigen.
101.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC)
perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan
tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
Vasopresor dan inotropik
102.
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor
diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor
fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
Bikarbonat
103.
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9
meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
Disfungsi renal
104.
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien
tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan
gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
Nutrisi

20

105.
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin
dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila
tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7.
Kortikosteroid
106.
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal,
dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibanding kontrol.
107.

108.

21

You might also like