Professional Documents
Culture Documents
untuk melanjutkan tindakan ini. Lokasi estndar untuk melakukan insisi abses
adalah paling yang paling bebas, yaitu daerah yang paling mudah terdrainase
dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi. Insisi yang agak lebih besra
mempermudah drainase dan pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang
dipakai adalah satu selang karet dan dipertahankan pada posisinya dengan jahitan.
Perawatan pendukung
Pasien diberi resep antibiotik dan obat-obat analgesik. Perlu ditekankan pada
pasien bahwa mereka harus makan dan minum yang cukup. Apabila
menganjurkan kumur dengan larutan saline hangat, konsentrasinya 1 sendok (teh)
garam dilarutkan dalam 1 gelas air, dan dilakukan paling tidak sesudah makan.
Pasien dianjurkan untuk memperhatikan timbulnya gejala-gejala penyebaran
infeksi yaitu demam, meningkatnya rasa sakit dan pembengkakan,
trismus/disfagia.
Tindak lanjut
Apabila riwayat menunjukkan adanya infeksi agresif yang terjadinya
mendadak maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pasien yakni 24 jam
setelah perawatan. Apabila infeksi nampak lebih jinak dengan durasi yang lebih
lama dan tidak disertai tanda yang membahayakan, maka kunjungan berikutnya
bisa ditunda sampai 48 jam. Perkembangan yang terjadi dipantau apakah
keadaannya membaik atau memburuk. Perubahan pembengakakan dicatat
(ukuran, konsistensi, fluktuasi) apakah tempat drainase masih memadai, dan
dicatat pula bagaimana sifat pernanahannya. Temperatur diukur atau diamati dan
pasien dianjurlan untuk memperhatikan gejala baru yang timbul. Apabiula kontrol
dan resolusi kondisi akut telah berjalan baik, maka faktor-etiologi bisa
dihilangkan yakni dengan kuretase, ekstirpasi pulpa, operkulektomi, atau
pencabutan. Apabila kondisinya tidak membaik maka diperlukan perawatan yang
bersifat segera. Apabila tidak dilakukan kultur, tindakan yang dilakukan biasanya
dengan meningkatkan dosis antibiotik dan bkan merubah jenis antibiotikanya.
Kadang-kadang perlu dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan yakni apabila
menjumpai infeksi orofasial akut yang membahayakan kehidupan. Penyesalan
yang diakibatkan karena konsultasi lebih awal jauh lebih sedikit dibandingkan
kosultasi yang terlambat.
Penghentian terapi
Apabila infeksi dapat dikontrol dengan baik, pada kunjungan kontrol pertama atau
kedua biasanya pertanyaan yang timbul adalah; kapankah pemakaian drain
dihentikan. Kadang drain dirasakan sebagai hal yang menguntungkan tetapi bisa
merugikan. Hal ini biasanya terjadi apabila drainase telah berkurang secara nyata,
karena drain dirasakan sebagai benda asing, dan merupakan tempat terjadinya
kontaminasi eksternal. Drainase biasanya dianggap cukup memadai apabila
penempatan drain paling tidak 48 jam. Pertanyaan lainnya yang sering timbul
adalah kapankah penggunaan antibiotik dihentikan? Standar yang digunakan
adalah meneruskan pemberian antibiotik sampai 5-7 hari. Apabila infeksi tetap
bertahan sampai waktu tersebut, pemberian harus diteruskan. Penghentian
antibiotik umunya didasarkan pada perkembangan klinis yang terjadi pada pasien.
Meneruskann terapi antibiotik 3-4 hari setelah hilangnya gejala-gejala dan tandatanda penyakit jarang dilakukan.
Infeksi Akut Pada Tulang Rahang
Infeksi akut pada tulang rahng dapat digolongkan menurut kausa dan
lokalisasinya.
a. Abses periapikal
Disebut juga abses dentoalveolar. Biasanya dimulai di regio periapikal dari akar
gigi dan sebagai akibat dari pulpa yang non vital atau pulpa yang mengalami
degenerasi. Dapat juga terjadi setelah adanya trauma pada jaringan pulpa.
Dapat terjadi eksaserbasi akut yang disertai dengan gejala-gejala dari infeksi akut.
Pada saat keluarnya toksin dari proses infeksi, pasien merasa sakit dan tidak dapat
menentukan gigi mana yang menjadi kausa. Abses periapikal dapat terbatas hanya
pada struktur tulang dan selama masa transisi dari pembentukan abses dapat
menyebabkan rasa yang amat sakit adanya odem.
Akhirnya abses akan melalui tulang spongiosa dan tulang kortikal, mencapai
permukaan dan sampai ke jaringan lunak dengan adanya penanahan sebagai abses
sub periodontal atau abses supra periodontal.
Selama indurasi, perawatan dilakukan secara lokal. Hal ini dapat dilakukan
dengan kompres panas dan kumur-kumur air hangat. Ini dilakukan apabila akan
dilakukan drainase.
Gigi penyebab harus dipelajari apakah di cabut atau dilakukan perawatan saluran
akar. Bila diperkirakan dapaat dilakukan drainase melalui alveolus gigi penyebab
maka gigi dapat dicabut sedini mungkin dengan catatan :
harus dapat dilakukan anestesi tanpa mengganggu daerah abses (dengan
blok anestesi atau nekrose) dan diberi perawatan antibiotik sebelum, selama dan
sesusah pencabutan.
Apabila abses terbentuk atau terlokalisir pada jaringan ekstra alveolar,
maka dilakukan insisi bersamaan dengan pencabutan gigi.
Bila gigi hendak dipertahankan, insisi dilakukan bersamaan dengan
pembukaan pulpa.
Bila abses intra oral terletak pada bagian bukal vestibular, insisi dilakukan di
bawah titik tertinggi dari daerah yang terfluktuasi.
Bila lokalisasi abses pada bagian palatinal atau lingual, maka insisi harus
menghindari daerah neuro-vaskuler pada daerah tersebut.
b.
Infeksi perikoronal (perikoronitis)
Infeksi ini sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Infeksi ini pada masa
pertumbuhan sering dihubungkan dengan masa pertumbuhan gigi permanen, pada
masa ini jaringan supra dental merupakan bagian yang banyak folikel gigi dan
jaringan mukoperios, sehingga mudah terjadi inflamasi kronis dan berkembang
menjadi selulitis, yang mengakibatkan adanya reaksi sistemik disertai demam
yang tinggi. Apabila fluktuasi dapat dirasakan dengan jari dapat dilakukan insisi
dan drainase.
Perikoronitis jarang terjadi pada orang tua yang sudah tidak bergigi. Pada
umumnya perikoronitis terjadi sebagai akibat dari tekanan protesa karena
dibawahnya ada gigi yang tidak bisa erupsi. Pada saat permulaan gigi terpendam
tersebut mempunyai jarak yang cukup jauh dengan permukaan sehingga tidak
bereaksi terhadap pengaruh tekanan protesa. Tetapi seiring berjalannya waktu
terjadi resorbsi dari tulang rahang, sehingga gigi terpendam tersebut menunjukkan
reaksi karena tekanan protesa sebagai akibat resorbsi dari tulang antara gigi dan
protesa.
Perawatan dari infeksi akut ini berbeda-beda. Bila terdapat abses dengan fluktuasi
di atas gigi yang terpandam, maka dilakukan insisi dan drainase. Akhirnya
dilakukan pengambilan gigi terpendam tersebut.
Tipe perikoronitis yang paling sering dijumpai adalah yang terdapat di sekitar
molar tiga mandibula. Pasien sering merasakan rasa sakit pada daerah peritonsiller
sehingga pasien pergi ke dokter umum. Setelah gejala ini sering berulang, barulah
diketahui bahwa molar tiga yang menjadi penyebabnya.
Gejala khas dari perikoronitis dari molar tiga adalah adenitis, trismus
submandibular, rasa skit pada daerah molar tiga, keadaan malaise dan sering
dijumpai adanya kenaikan temperatur tubuh. Gejala ini bervariasi dari ringan
samapi berat, dapat juga terjadi sellulitis terlihat adanya odem pada daerah
submandibular dan daerah faring. Bila terdapat gejala ini, maka biasanya giginya
tertutup. Hubungan kearah rongga mulut mungkin tidak jelas karena odem dan
proses inflamasi.
Perawatan dapat dilakukan:
masukkan probe-sonde dengan hati-hati melalui celah folikel
setelah celah melebar, pus dapat keluar dan bahan-bahan antiseptik dapat
disemprotkan untuk membersihkannya.
Masukkan rubber dam atau kasa iodoform.
Berikan antibiotika.
Setelah gejala akut hilang dan berganti dengan gejala sub akut, maka
perawatan selanjutnya tergantung pada posisi gigi terpendam tersebut.
Bila molar tiga impaksi dapat dilakuka operasi pengambilan molar tiga
tersebut. Bila posisi molar tiga normal dapat dilakukan operkulektomi
(pengambilan/eksisi operkulum/gingiva yang menutupi korona gigi).
Bila dilakukan eksisi jaringan diatas permukaan gigi maka seluruh jaringan
diatas permukaan gigi terpendam harus terlihat sepenuhnya.
Kemudian luka ditutup dengan surgical pack.
c.
Abses Periodontal
Merupakan suatu proses supurasi di sekitar jaringan periodonsium, biasanya
merupakan lanjutan dari pada periodontitis kronis yang lama. Tipe infeksi ini
biasanya dimulai pada gingival crevice pada permukaan akar, sering dijumpai ke
permukaan apeks. Keadaan ini biasanya merupakan serangan yang tiba-tiba,
dengan sakit yang amat sangat.
Suatu abses periodontal dapat dihubungkan dengan gigi nonvital atau adanya
trauma, perawatan primer untuk menghilangkan gejala akut adalah dengan
melakukan insisi. Insisi harus meliputi jaringan lunak sampai ke permukaan akar.
Bila akar terbuka sampai di bawah sepertiga apikal, baik pada satu permukaan
atau lebih, maka harus dilakukan pencabutan gigi.
Abses periodontal dapat meluas dari gigi penyebab melalui tulang alveolus ke
gigi-gigi tetangga, menyebabkan goyangnya gigi-gigi tersebut. Hal ini dapat
menyulitkan dalam diagnosa oleh karena itu diperlukan R.O foto.
d. Abses sub periosteal
Materi purulen akan mencari jalan ke permukaan, tergantung pada lokasi dan
struktur anatominya, pus dapat jalan ke hidung, sinus maksilaris, vestibular, dasar
mulut, muka atau fosa infra temporal. Dapat juga berjalan ke rongga kranial atau
dapat berjalan melaui foramina ke dasar tengkorak. Perluasan infeksi ke kranial
dapat menyebabkan kematian.
h.
Ludwigs angina
Digambarkan sebagai selulitis septika generalisata yang besar sekali pada regio
sub mandibular. Ludwigs angina merupakan perluasan infeksi dari gigi molar
mandibula ke dasar mulut. Perbedaan antara ludwigs angina dengan tipe-tipe
selulitis lainnya adalah :
karakteristiknya dengan adanya indurasi ke coklat-coklatan. Jaringan
kelihatan membesar dan tidak melekuk bila ditekan, tidak terdapat fluktuasi.
Tiga spasia fasial terlibat secara bilateral, yaitu submandibular spasia,
submental, dan sublingual spasia. Bila infeksi tersebut tibak terjadi bilateral maka
infeksi tersebut tidak dianggap ludwigs angina.
Pasien memiliki pembukaan mulut yang khas. Dasar mulut terdorong,
lidah terjulur dan sulit bernafas. Dua fasial-spasia yang besar terdapat didasar
lidah atau keduanya terlibat. Spasia yang dalam terletak diantara m.genioglosus
dan m.geniohyoid dan spasia yang sebelah luar terletak antara m.geniohyoid dan
m.mylohyoid. setiap spasia dibatasi septum mediana. Bila lidah tidak terngkat
maka infeksi ini bukan ludwigs angina yang sebenarnya.
Keadaan umum pasien yang jelek, merasa kedinginan, demam, bertambahnya
ludah, gerakan lidah yang sulit, tidak sanggup membuka mulut meenunjukkan
infeksi. Jaringan pada leher kelihatan melebar.
i.
Cavernous sinus thrombosis
Infeksi wajah dapat menimbulkan aseptik trombosis pada sinus cavernosus.
Penyebabnya sering adalah furunkulosis dan infeksi hidung dan sekitarnya. Hal
ini juga bisa disebabkan oleh pencabutan gigi anterior maksila yang mengalami
infeksi akut dan terutama bila dilakukan kuretase pada bekas pencabutan.
Biasanya adalah infeksi stafilikokus. Pemberian antibiotika harus dalam dosis
besar.
Menurut eagleton, diagnosa dari trombosis sinus cavernosus bila terdapat 6 hal
sebagai berikut :
1). Sisi dari infeksi diketahui
2). Adanya tanda-tanda infeksi mengikuti aliran darah
3). Adanya tanda-tanda obstruksi vena di retina. Konjungtiva atau kelopak mata.
4). Adannya paresis pada nervus kranialis ketiga, keempat, dan keenam yang
diakibatkan karena odem dari inflamasi.
5) pembentukan abses pada jaringan lunak sekitarnya.
6). Jelas adanya iritasi meningeal.
Secara klinis mula-mula terlihat sebelah mata terlibat, akhirnya mata yang satunya
terlibat juga.
j. Osteomilitis
Padget mengatakan bahwa istilah osteomielitis sebenarnya menunjukkan
peradangan dari sumsum tulang saja. Akan tetapi pada umumnya pengertian
10
Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana
terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan
beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan
berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok
hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok
hemoragik).12
Syok hipovolemik biasanya berhubungan dengan kekurangan
volume lebih dari 15%. Kerurangan dari volume darah dapat terjadi
internal atau eksternal. Kehilangan internal dapat dikaitkan dengan
perdarahan gastointestinal, atau perdarahan internal sekunder terhadap
11
12
Perdarahan Eksternal
3. Kehilangan Plasma
13
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Agitasi
Akral dingin
Penurunan konsentrasi
Penurunan kesadaran
Penurunan atau tidak ada keluaran urine
Lemah
Warna kulit pucat
Napas cepat
Berkeringat
10.
11. Tabel 2.2 Indikasi parameter pada pemeriksaan/ pengkajian dalam mengestimasi
kehilangan volume cairan
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
12.
13.
Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah (1) memulihkan
volume intravaskular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada
perfusi jaringan yang tidak adekuat. (2) meredistribusi volume cairan, dan (3)
memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.12
14.
Jika pasien sedang mengalami hemoragik, upaya dilakukan untuk
menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau
mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal. 12
15.
Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk
membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan
pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan.
Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium klorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6
%).12
16.
Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan
tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak
14
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya
gravitasi. 12
17.
Medikasi akan diresepkan untuk mengatasi dehidarasi jika penyebab yang
mendasari adalah dehidrasi. Contohnya, insulin akan diberikan pada pasien dengan
dehidrasi sekunder terhadap hiperglikemia, desmopresin (DDVP) untuk diabetes
insipidus, preparat anti diare untuk diare dan anti emetic untuk muntah-muntah. 12
18.
Military anti syok trousersn (MAST) adalah pakaian yang dirancang
untuk memperbaiki perdarahan internal dan hipovolemia dengan memberikan tekanan
balik disekitar tungkai dan abdomen. Alat ini menciptakan tahanan perifer artifisial dan
membantu menahan perfusi koroner. 12
19.
Penatalaksanaan pra rumah sakit pada pasien dengan syok hipovolemik
sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien
sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa
pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai.
Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma),
menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi.
Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran
balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok.
20.
21. Sepsis dan Syok Septik
22. Definisi
23. Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
dari kriteria berikut:
Suhu > 38C atau < 36C
Denyut jantung >90 denyut/menit
Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg
Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur
24. Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan
syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat
bakteriemia.
25. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi,
atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
Asidosis laktat
Oliguria
Atau perubahan akut pada status mental
26. Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan
pertanda biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah
awal dalam diagnosis sepsis.
27. (Hermawan, 2007).
28. Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok
septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg
atau penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi,
meski telah dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
29. Etiologi
15
30. Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri
gram negatif. LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan
sistem imun seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak
toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab
terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis
dengan prosentase yang lebih sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding
sel dair semua kuman, dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak
integritas membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).
31. Patogenesis
32. Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi
atau represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja
sitokin proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
33. Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara
reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag
mengekspresikan imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi
adalah bakteri gram negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
34. Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida
MHC kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan
TCR (T cell receptor).
35. Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating
factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-
merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF-
merupakan sitokin proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF dalam serum penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat
merusakkan endotel pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas.
IL-1 sebagai imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk
pembentukan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah
tersensitisasi oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan
mudah mengadakan adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah,
yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan Lselektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel
dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
16
1.
2.
3.
4.
1.
2.
7. Gagal jantung
8. Kematian
46. (Hermawan, 2007).
47. Diagnosis
48. Riwayat
49. Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Hipotensi, oliguria, atau anuria
Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas
Perdarahan
50. Pemeriksaan Fisik
51. Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi
yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis,
dan genital.
52. Laboratorium
53. Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
54. Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia,
dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
55. Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan
fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan
lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis
respiratorik. Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk
hipotensi.
56. (Hermawan, 2007).
57. Penatalaksanaan
58. Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
Stabilisasi pasien langsung
59. Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan
dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien
hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan norepinefrin.
Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme
60. Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari
pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah
ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab sepsis
tersebut (Hermawan, 2007).
61. Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya
antara golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan gentamisin.
1.
Golongan penicillin
18
62.
63.
69. Antibiotik
71. Escherichia
coli
72.
Ampisilin/sefalotin
76. Klebsiella,
Enterobacte
r
77.
Gentamisin
79. Proteus
mirabilis
80.
Ampisilin/sefalotin
83.
Gentamisin
85. MimaHerellea
86.
Gentamisin
88. Pseudomon
as
89.
Gentamisin
70. Dosis
73. - Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam,
biasanya dilarutkan dalam 50-100 ml
cairan, diberikan per drip dalam 20-30
menit untuk menghindari flebitis.
74. - Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv
75. - Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv
91. Bacteroides
92.
Kloramfenikol/klin
damisin
94.
(Purwadianto dan Sampurna, 2000).
1.
Fokus infeksi awal harus diobati
95. Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan,
2007).
96. Penatalaksanaan Syok Septik
97. Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing;
b) circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai
19
1.
2.
3.
4.
5.
6.
tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan
produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
Oksigenasi
98. Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau
kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke
jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard
menyebabkan penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi
juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan
penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
99. Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di
darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
Terapi cairan
100.
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik
kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar
tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan
kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki, gallop
S3, dan penurunan saturasi oksigen.
101.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC)
perlu diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan
tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada
sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
Vasopresor dan inotropik
102.
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan
pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor
diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis 2-28
mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor
fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).
Bikarbonat
103.
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9
meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
Disfungsi renal
104.
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien
tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan
gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
Nutrisi
20
105.
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin
dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila
tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.
7.
Kortikosteroid
106.
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal,
dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibanding kontrol.
107.
108.
21