Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
penurunan fungsi lahan dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan air laut
di kawasan tambak seluas 582,8 ha yang selama lima tahun ini tergenang dan
kemudian hilang.
Banjir Rob dan abrasi yang terjadi di Kecamatan Sayung, Demak
merupakan implikasi dari berbagai proses alam mulai dari perubahan iklim,
kenaikan muka air laut, dan land subsidance yang membuat wilayah
kecamatan sayung menjadi terendam air dan hilang. Oleh sebab itu, di
perlkan suatu kajian atau studi lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah
kecamatan sayung dan mencari penyelesaian masalah tersebut dengan
mitigasi ataupun adaptasi yang dapat diterapkan di Kecamatan Sayung,
Demak.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penyelesaian laporan ini antara lain :
1. Dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu
wilayah pengamatan.
2. Dapat melakukan analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang
efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini bagi penulis adalah dapat mengetahui
nilai suatu potensi bahaya, kerentanan suatu daerah dan resiko serta dapat
menganalisa bagaimana tindakan yang harus di ambil sebagai langkah dari
mitigasi dan adaptasi suatu daerah dalam menyelesaikan permasalahan pada
suatu wilayah yang memiliki nilai kerentanan dan resiko yang tinggi.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah
2,2, kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).
Menurut Setiadi (1988) dalam Fadillah et al (2014), pasang surut adalah
perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa
lainnya yang diakibatkan oleh aksi gravitasi benda-benda di luar materi itu
berada.Pasang surut atau pasut merupakan suatu fenomena pergerakan naik
turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi
gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama
oleh matahari, bumi dan bulan. Faktor non astronomi yang mempengaruhi
pasut te rutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk
garis pantai dan topografi dasar perairan (Siswanto, 2010).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat
rotasi.
bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)
(Triatmodjo, 1999).
Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik
antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut
dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan sedang sistem
bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap
bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan,
tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)
(Triadmojo,1999).
Pariwono dalam Nanda (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa dari
semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan pasang surut
air laut, hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga
gerakan utama yang menentukan paras / muka air laut di bumi ini. Ketiga
gerakan itu adalah :
1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan
memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya.
2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips
juga dan periode yang diperlukan 365.25 hari.
3. Perputaran bumi terhadap sumbunya dan waktu yang diperlukan 24
jam (one solar day). Rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut
namun mempengaruhi muka air pasang surut.
Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih
tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya
yang seragam di sepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa
diamati sebagai suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak
menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap
bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999). Perkataan pasang surut
biasanya dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara
berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa
terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi (Pariwono, 1989).
2.4 Tipe Pasang Surut
khatulistiwa.
2. Pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.
3. Pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila
bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi
diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk
pasut diurnal.
referensi tinggi. Kedudukan serta nilai muka laut rata-rata setiap saat selalu
berubah-ubah. Perubahan naik turun inilah yang disebut dengan perubahan
muka air laut (sea level rise). Sea level rise (SLR) adalah peningkatan volume
air laut yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti fluktuasi curah hujan
yang tinggi serta meningkatnya suhu air laut. Beberapa faktor tersebut diduga
terjadi karena adanya perubahan iklim secara global. Jika berbicara tentang
perubahan iklim secara global, tentu saja hal tersebut tidak lepas dari
pengaruh pemanasan global (global warming). Efek yang timbul akibat
global warming yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, baik darat, alut
ataupun atmosfer, yang mengakibatkan salah satunya yaitu mencairnya
gunung es di daerah kutub. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan muka air laut (Affandi dkk. 2012).
II.6 Land Susidence (Penurunan Tanah)
Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan fenomena yang
sedang dikaji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penurunan muka tanah
dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti rusaknya struktur bangunan,
peningkatan daerah resapan air laut dan peningkatan area banjir. Fenomena ini
dapat disebabkan oleh beberapa proses baik alamiah seperti pemampatan
sedimen maupun non-alamiah seperti ekstraksi air tanah, minyak bumi, gas
atau pertambangan bawah tanah (Moh. Fifik Syafiudin dan R.S. Chatterjee,
2009).
Turunnya permukaan tanah yang terakumulasi selama rentang waktu
tertentu akan dapat mencapai besaran penurunan hingga beberapa meter lebih
(Galloway dkk., 1999) sehingga dampaknya dapat merusak infrastruktur
perkotaan yang kemudian dapat saja menjadi gangguan terhadap stabilitas
perekonomian dan kehidupan sosial di wilayah tersebut. Definisi penurunan
muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat didefinisikan sebagai
berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah yang luas atau terjadi
secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini biasanya
disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya terjadi di
peningkatan
laju
pembangunan
di
kota
tersebut.
Dengan
kejadian / fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada
waktu air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui
sungai, saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena
dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat
menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut.
Sedangkan yang di akibatkan oleh kegiatan manusia misalnya karena
pemompaan air yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi dan
lain-lain (Wahyudi. 2007).
2.8 Perubahan Iklim
Pemanasan global sudah bukan lagi merupakan masalah masa depan,
tetapi sudah menjadi masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Hasil
penelusuran terhadap database bencana alam intenasional (International
Disaster Database) menunjukkan bahwa banyak bencana alam yang masuk ke
dalam kategori bencana global ialah sebanyak 345 bencana (Boer dan
Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil kajian Panel Antar
Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007) bahwa pemanasan global
akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim.
Penelitian tentang pengaruh pemanasan global terhadap perubahan musim
di pulau Jawa sudah dilakukan oleh Naylor dkk. (2007) dalam Efendi (2012).
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang,
terjadinya pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa
Tengah akan mengalami kemunduran sedangkan akhir musim hujan akan
lebih cepat yang berarti lama musim hujan akan semakin pendek. Di lain
pihak curah hujan musim hujan akan cenderung meningkat sedangkan curah
hujan musim kemarau cenderung menurun. Hal ini berimplikasi pada semakin
meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan risiko banjir atau
bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) dalam effendi (2012)
menyatakan perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai
potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi,
seperti : banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit.
Sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil dapat terjadi potensi
bencana seperti : kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai
permasalahan sosial yang mungkin timbul.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global
telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861.
Pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang
menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan
temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 C (2,0 hingga 11,5
F) antara tahun 1990 dan 2100. (IPCC, 2007). Kondisi ini akan
mengakibatkan iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat
emisi yang telah dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap
berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007). Dampak dari pemansan global
(Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water runoff, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara
keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak
perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of
Science/NAS (2007), menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah
dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun
yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern
Oscilation (ENSO).
Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya sudah
ditengarai sejak tahun 1990-an. Department for International Development
(DFID), badan dari pemerintah Inggris yang mengurusi bantuan pembangunan
untuk negara-negara lain) dan World Bank (2007) melaporkan rata-rata
kenaikan suhu per tahun sebesar 0,3 derajat celsius. Pada tahun 1998 terjadi
kenaikan suhu yang luar biasa mencapai 1 derajat celsius. Indonesia diprediksi
akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun.
Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin
pendek, dan meningkatkan risiko banjir. Iklim selalu berubah menurut ruang
dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau
siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa
III.
Waktu Pelaksanaan
: Pk 10.00-13.00 WIB
Tempat
Fungsi
Sebagai penentu potensi bencana
suatu wilayah
Alat tulis
Kamera
yang
tertera
pada
tabel
4,
maka
kita
harus
IV.
4.1 Hasil
Analisa Potensi Bahaya
Tabel 7. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil
Pengamatan
Analisa Resiko
Metode Perhitungan
Resiko =
= 1.714
Wilayah
Administrasi
Desa Bedono,
Kecamatan
Potensi Kerentanan
Resiko
Kelas
Deskripsi
Bahaya
3
1.714
1.5
Tinggi
Pantai
2.75
-2.1
Sayung, Demak
4.2 Pembahasan
Setelah melakukan survei dan menganalisis hasil survei menggunakan
analisa potensi bahaya, kerentanan dan resiko dapat kita ketahui bahwa Desa
Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten Demak memiliki Potensi Bahaya yang
tinggi dengan nilai 3 (tiga), Nilai Kerentanan pantai dengan nilai 2.875 masuk
kategori besar dan nilai resiko dengan nilai 1.714 yang masik kategori resiko
tinggi.
Pada dasarnya Desa Bedono dapat digolongkan memiliki potensi bahaya
yang tinggi karena geomorfologi daerah ini berupa lumpur dan di tumbuhi oleh
mangrove yang hidup di sekitar pesisir pantai. Kemudian di ketahui juga dari
beberapa penelitian sebelumnya bahwa wilayah ini juga mengalami erosi yang
tinggi beserta perubahan elevasi muka air laut relatif sebesar 7.7 mm/tahun.
Hal ini di perparah dengan adanya penurunan muka tanah atau land subsidence
dimana sepanjang pesisir utara pulau jawa mengalaminya dengan intensitas
jalan utama berada di sekitar pesisir dilewati oleh kendaraan bermuatan tinggi
dan juga penggunaan air tanah yang sanggat tinggi di kota semarang juga turut
menyumbangkan dampak penurunan muka tanah di sekitar wilayah ini
sehingga warga terpaksa untuk meniinggikan rumahnya 10 cm/tahun untuk
mencegah rumahnya tertimbun oleh lumpur.
Lalu untuk analisa nilai kerentanan pantai yang tergolong tinggi dengan
nilai 2.875 dimana nilai tersebut terdapat pada rentang angka 2.1-3.0 (golongan
tinggi). Hal ini terlihat dari berbagai variabel yang di survei hampir semuanya
memiliki nilai yang tinggi dimulai dari perpindahan penduduk. Melalui hasil
wawancara dengan penduduk setempat, diketahui bahwa Desa Bedono dahulu
memiliki 70 KK (kepala keluarga) yang tinggal di daerah itu jika kita
asumsikan 1 KK terdapat 5 anggota keluarga maka total penduduk awal pada
Desa Bedono ada sekitar 350 penduduk. Namun sekarang jumlah penduduk
yang tersisa di wilayah survei di dalam desa Bedono hanya tinggal 5 KK saja
atau kurang lebih sekitar 25 penduduk. Kemudian dapat dilihat pula adanya
tiang-tiang listrik yang terendam oleh air laut dimana membuktikan bahwa
pada wilayah tersebut dulu merupakan ruas-ruas jalan yang saat ini sudah
tenggelam dan tidak terlihat lagi.
Bagian terakhir ialah analisa resiko yang ketahui dari hasil analisa
kerentanan dan potensi bahaya dan dapat di klasifikasikan bahwa Desa Bedono
termasuk desa yang memiliki resiko tinggi karena memiliki nilai resiko sebesar
1.714 dimana nilai tersebut terdapat pada rentang angka 1.5-2.1 (golongan
tinggi). Dan nilai itu didapat dari perhitungan dengan nilai masukan berasal
dari nilai potensi bahaya dan nilai analisa kerentanan pantai dari hal ini dapat
kita ketahui bahwa daerah Desa Bedono memerlukan penanganan khusus
berupa perencanaan tata kelola wilayah yang baik.
Usaha mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mempertegas garis
sepadan pantai dan melakukan penanaman mangrove sebagai tembok pertama
yang menahan pasang air laut dan sekaligus melakukan penghijauan untuk
memperlambat proses global warming yang berkaitan dengan perubahan iklim
global. Melakukan penataat wilayah lingkungan pesisir yang sesuai untuk
menghadapi bahaya banjir rob dan abrasi pantai. Adapun usaha adaptasi yang
bisa diterapkan di wilayah di sekitar Desa Bedono ada 3 opsi yang bisa
V.
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan survei dan analisa yang telah dilakukan pada kegiatan
praktikum mitigasi di Desa Bedono Kecamatan Sayung Kabupaten demak
dapat disimpulkan bahwa Desa Bedono memiliki tingkat potensi bahaya yang
tinggi dengan dengan nilai 3 (tiga) dari skala 1-3, Nilai Kerentanan pantai
dengan nilai 2.875 masuk kategori besar dan nilai resiko dengan nilai 1.714
yang masik kategori resiko tinggi. Adapun usaha Mitigasi yang dapat di
terapkan di wilayah desa bedono dapat berupa penanaman mangrove untuk
menjadi tembok pertama menahan abrasi air laut dan memperbanyak ruang
terbuka hijau untuk memperlambat proses pemanansan global yang berdampak
pada perubahan iklim. Lalu untuk usaha adaptasi yang di sarankan adalah
dengan melakukan perlindungan berupa membangun tembok laut atau Sea
Wall yang melindungi pesisir pantai. Usaha ini di anggap paling effektif karena
menimbang tingkat kenaikan muka air laut yang terus bertambah dan
penurunan muka tanah (land subsidence) terus bertambah.
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitan atau praktikum lebih lanjut untuk mendapatkan
berbagai parameter yang diperlukan untuk memperkuat hasil analisa potensi
bahaya dan kerentanan pantai agar lebih valid dan kedepannya bisa menjadi
sebuah data berkala yang dapat memantau atau monitoring
serta
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ikhsan Dwi., Muhamad Taufik. 2012. Analisa Perubahan Muka Air Laut
(Sea Level Rise) Terkait Dengan Fenomena Pemanasan Global (Global
Warming) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Jurnal
Teknik Pomits Vol. 1
Anonim. 2007. US Geological Survey (USGS). Open-File Report.
Arifin, Taslim. 2009. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Depik, 1(3): 183-188 Desember 2012. ISSN
2089-7790.
Ariyanto, Shodiq Eko. - .Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.) Di Lahan Kering.
ISSN : 1979-6870
Pariwono, I., John, 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Makalah. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, Jakarta.
Rampengan, Royke. 2009. Pengaruh Pasang Surut di Teluk Manado. Jurnal
Perikanan dan Kelautan 5 (3): 15-19. ISSN: 1411-9234.
Siswanto, Dwi Aries et al. 2010. Analisa Stabilitas Garis Pantai di Kabupaten
Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 15 (4) 221-230. ISSN 0853-7291.
Stocker, Thomas F.; et al.7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific
Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel
on Climate Change. Diakses pada 23 Juni 2015.
Syafiudin, Moh. Fifik dan R.S. Chatterjee. 2009. Potensi Pemanfaatan Teknologi
Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Berbasis
Satelit Untuk Pemantauan Penurunan Muka Tanah Di Cekungan
Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 No. 1 : 47-58.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset.Yogyakarta.
Wahyudi. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Surut Terhadap Banjir dan
Rob di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. Vol. I No1 November 2007,
Hal : 27-34
Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai. Master
Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.
Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and
Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.
World Wildlife Fund (WWF). 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Pengelolaan DAS Citarum. WWF Indonesia. Jakarta
LAMPIRAN
No
Koordinat
1 110o2831,539
-6o5650,799
Gambar
Keterangan
Saat Surut
110o2928,409
Saat Pasang
Kondisi
-6o5725,849
makam/kuburan
yang
terkena
dampak kenaikan
3
110 2847,700
-6o5656,639
yang
dapat
diketahui
dulu
4
11002831,650
-605652,669
bahwa
merupakan
area daratan
Sisa
bangunan
yang
merupakan
bekas
penduduk
saat
kondisinya
rumah
yang
ini
telah
dijadikan
5
110o2932,419
-6o565,132
dermaga nelayan
Kondisi
perbedaan rumah
yang
sudah
melakukan
peninggian
6
110 2831,531
-605650,799
dan
yang belum
Sisa
bangunan
permanen
saat
yang
ini
kondisinya
tinggal
puing-
puingnya saja di
sekitar
7
11002242,080
-60597,930
wilayah
mangrove
Kondisi
rumah
yang
selalu
ditinggikan
tahun
tiap
untuk
beradaptasi
suatu
8
11002834,780
-605657,080
dari
kondisi
perairan
Breakwater yang
mengitari
kawasan
10
11002831,650
desa
Bedono
Kondisi kawasan
-605652,669
konservasi
11003120,669
mangrove
Kondisi
-605613,000
menuju
jalan
wilayah
konservasi
mangrove
11
110 2918,619
-605648,139
dan
desa
tertinggal
yang
mulai
terkena
dampak kenaikan
12
110 2931,873
-6o5624,153
110 3119,845
-605620,166
saat pasang
Kenampakan
kenaikan muka air
laut
saat
14
11002918,324
menjelang pasang
Kondisi sebuah
-605611,016
sekolah dasar di
Desa
Benono
yang
hampir